Rabu, 29 Desember 2010

Antara Aku, Kau dan Tahun Baru Masehi

Oleh Ummu Reza


“Besok datang ya ibu-ibu…ke lapangan bulu tangkis RT 06, ada malam tasyakuran, menyambut Tahun Baru, bawa juga anak-anak. Kita kumpul bareng dengan bapak-bapak”. Begitu kira-kira pesan Bu RT saat berbicara di forum arisan. Seketika suasana arisan kali ini riuh oleh suara ibu-ibu. Ada celetukkan dari ibu yang lain, ‘wah…asyik nih, kita bakar ayam and so pasti makan lontong sayur. Nih tukang masaknya ada di sebelah gue”. Geerrrrr….arisan kali ini terasa bagai di pasar kaget, berisiknya minta ampun, apa lagi kalau udah menyangkut urusan makan, hura-hura, pengikutnya pasti banyak. Dari yang tua sampai anak kecil, ngga mau ketinggalan. Coba kalau diundang datang ke ta’lim, seribu macam alasan mereka jadikan dalil.
“Bu…datang dong lu sekali-kali, jangan ngerem aja di rumah. Mentang-mentang udah dapat hidayah nih. Kalau nggak datang, ya…nyumbang ke’ buat nambah-nambahin beli ayam.” Celetuk Bu Linda yang membuyarkan lamunan Bu Marni. “ Maaf Jeng…Saya nggak mau ikutan acara begituan…Lebih baik di rumah aja. Wanita kan lebih baik di rumah. Apalagi acaranya campur baur dengan laki-laki yang bukan mahrom. Udah gitu acara malam tahun baru lagi, acara yang jelas-jelas nggak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, acaranya agama non muslim.  Itu namanya tasyabbuh.”
“Apaan tuh, gue kaga ngarti ah…Perasaan agama elu sekarang ekstrim banget sih. Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Bahasa elu juga sekarang dikit-dikit bahasa Arab. Gue jadi takut nih gaul sama elu” Seloroh Bu Linda yang disambut gelak tawa ibu-ibu yang lain.

Ya…Itulah realita yang ada. Padahal jika kita kilas balik sejarah acara Tahun Baru Masehi, jelas acara ini bukanlah acara kaum muslimin. Walaupun dibungkus dengan acara-acara islami, seperti tasyakuran dengan memanggil penceramah atau acara dzikir bersama. Seperti apa sih sejarah Tahun Baru Masehi. Yuk…kilas balik sama-sama.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
1 tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka, yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja, Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Bagi kita, orang Islam, merayakan Tahun Baru Masehi, sama saja kita telah ikut andil dalam acara agama non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin menyerupai orang non muslim dan mengikuti hari rayanya. Larangan berpartisipasi dalam perayaan hari raya non muslim sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar menyerupai mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini dalam melindungi umatnya, dari aqidah, kebiasaan, dan perilaku orang-orang di luar Islam.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”
Oleh karena itu tidak dibenarkan menyerupai mereka dalam hal perayaan hari besar. Seperti menyalakan lilin, mercon atau petasan, hingga habis puluhan juta rupiah seperti kaum Konghucu menyambut Imlek. Atau melagukan syair-syair pujian di  Masjid, seperti kaum Nasrani Natalan di Gereja. Maka ini semua adalah penyerupaan terhadap mereka yang sangat dilarang.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.”
maksud dari hadits ini adalah kita berlepas diri dari segala perilaku yang terkait dengan agama dan simbol agama mereka, baik acara keagamaan, pakaian keagamaan, dan lainnya. Namun, untuk perilaku di luar itu, yang terkait dengan kemaslahatan dunia dan kemakmuran manusia, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, strategi perang, dan semisalnya, maka Islam membolehkan mengambil manfaat dari mereka.
Ada pun orang Islam yang menjadi penggembira, yang ikut-ikutan berbahagia menyambutnya walau tidak ikut langsung dengan perayaannya, maka ini pun terlarang bahkan haram sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Wallahu A’lam

Bojong Gede, 29 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...