Minggu, 23 Januari 2011

Cerita Fiksi dalam Islam, Boleh Nggak ya..... ?

Cerita Fiksi dalam Islam, Boleh Nggak ya..... ?
Disusun oleh : Abdurrahman

Kisah Fiksi adalah salah satu  dari genre tulisan yang mengedepankan imajinasi dan daya khayal penulisnya. Ia disusun berdasarkan pada kisah-kisah khayalan yang disusun oleh penulisnya. Bagaimana hukum menulis dan membaca kisah-kisah fiksi dalam sebuah novel atau cerpen? Sebuah pertanyaan yang memerlukan pembahasan mendalam, kehati-hatian, tanpa adanya sikap taklid kepada seseorang dan yang lebih penting dari semua itu adalah ilmu yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pemahaman para pendahulu kita yang shalih.
Sebelum membaca tulisan ini hendaklah harus kita pahami bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Kesempurnaan Islam telah diberikan jaminan oleh Allah ta’ala. Maka tidaklah suatu syariat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala kecuali telah dijelaskan dalam syariat Islam yang mulia ini. Kesempurnaan Islam yang bersifat sempurna adalah berkaitan dengan Al-Aqaid atau akidah (keyakinan) kepada Allah ta’ala dan hal-hal yang bersifat tauqify lainnya.
Adapun dalam permasalahan yang berkaitan dengan fiqh ter utama yang tidak ada nash (dalil) nya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maka di sana berlaku apa yang disebut dengan ijtihad. Perlu ditegaskan di sini pula bahwa ijtihad sendiri memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jadi tidak semua orang bisa berijtihad dan disebut mujtahid.
Masalah hukum menulis dan membaca cerita fiksi telah menjadi ajang perdebatan yang hingga saat ini belum selesai. Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa haram hukumnya menulis dan membaca cerita fiksi. Hal ini didasarkan pada fatwa masyaikh (Para Ulama) ketika ditanya tentang hukum menulis dan membaca cerita fiksi. Pendapat kedua menyatakan mubah dengan alasan beberapa fatwa dari ulama yang membolehkan hal itu. Sebagai seorang muslim, menjadi kewajiban kita untuk mengikuti para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Hanya saja ketika dihadapkan pada permasalahan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat maka kita harus bijak dalam menyikapinya.
Lebih tegas lagi bahwa sebagai seorang muslim, kita tidak hanya berhenti pada menerima fatwa tersebut tanpa mengetahui dasar dan nash yang digunakan dalam fatwa tersebut. Maksudnya adalah kita tidak dengan mudah mengklaim bahwa pendapat “A” paling benar sebelum mengetahui secara detail permasalahannya dan dasar hukum yang digunakan.
Di sinilah keilmuan kita ditantang, hal ini sama sekali bukan menyepelekan fatwa-fatwa para ulama tersebut akan tetapi kita juga diajarkan oleh para ulama untuk tidak bersikap taklid dan ta’ashub. Artinya ketika kita mendapatkan sebuah pendapat (entah itu fatwa atau yang lainnya) akan lebih baik jika kita juga memahami dasar dari fatwa tersebut. Inilah sikap seorang muslim, bukan hanya menjadi muqqolid tapi diharapkan menjadi seorang mujtahid.
Maka dengan kepala dingin dan tanp syak wa sangka kita akan membahas tentang permasalahan hukum menulis dan membaca cerita fiksi.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa ada dua pendapat berkenaan dengan hukum menulis dan membaca ceritera fiksi. Pendapat pertama didasarkan pada fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, berikut adalah fatwa beliau :  
Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan:
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah  jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?
Jawaban:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
Fatwa Syaikh Fauzan dalam ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – hal. 644-645, al-Fauzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416 H.
Dalam kesempatan lainnya beliau (Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan) berfatwa mengenai hukum sandiwara sebagai wasilah dakwah :
Beliau mengatakan “Saya katakan tidak boleh karena: Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta'ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,'Telah bersabda Rasulullah, “Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. Imam At Tirmidzi (2417).
Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.” Hadits Hasan riwayat Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315). Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata,'Dan sungguh Ibnu Mas'ud berkata, “Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda”.
Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar'i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu. Majmu Fatawa(32/256).
Tentang cerita-cerita, sungguh ulama' salaf membenci cerita-cerita dan majelis-majelis cerita. Mereka memperingatkan segala peringatan dan memerangi para narator (pencerita) dengan berbagai sarana. Ibnu Abi Ashim meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ali melihat seseorang bercerita, maka dia berkata, Apakah engkau tahu tentang naskh(ayat yang menghapus) dan mansukh(yang dihapus) ? Maka dia (pencerita itu) menjawab,Tidak. Ali berkata,Binasa engkau dan engkau telah membinasakan mereka. Al-Mudzakir wa at-Tadzkir (hal 82).
Imam Malik berkata, Sungguh saya benci cerita-cerita di masjid. Saya memandang berbahaya ikut bermajelis dengan mereka. Sesungguhnya cerita-cerita itu bid'ah. Imam Ahmad berkata,Manusia yang paling dusta adalah para narator dan orang yang paling banyak bertanya (dengan pertanyaan yang tidak ada faedahnya). Kemudian ditanyakan padanya (Imam Ahmad),Apakah Anda menghadiri majelis mereka ? Dia menjawab, Tidak. Al-Bida' wa al-Hawadits karya At-Turrusyi hal 109-112.
Kedua: Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh Islam, seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka. Hal ini didasarkan dari sebuah riwayat yang disampaikan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, 'Sungguh saya tidak suka menirukan seseorang dan sungguh bagi saya seperti ini dan seperti ini'. Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/136-206), At-Tirmidzi(2501). Baik si pemain merasa atau tidak. Contoh: anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. Ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.
 Ketiga: Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Fir'aun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah tasyabuh (meniru). Rasulullah melarang tasyabuh dengan orang-orang musyrik dan kufur, sebagaimana sabda beliau 'Selisihilah orang-orang Yahudi dan Nashara..'[Taqrib Ibnu Hibban(2186)], 'Berbedalah dengan orang-orang musyrik...' [Muslim(259)], 'Berbedalah dengan orang-orang Majusi..' [Muslim(260)].
Peniruan ini baik meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah serta bukan dari salafu ash shalih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah tauqifiyah(ittiba'). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah dan tidak butuh jalan seperti ini. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) datang tidaklah menampakkan kebaikan kepada manusia sedikitpun, dan tidak bisa mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faedahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.
Lalu jika ada orang yang berkata,'Sesungguhnya Malaikat itu menyerupai bentuk anak Adam.(maksudnya bersandiwara kepada manusia-ed)
Kami jawab, 'Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak Adam, karena manusia tidak mampu melihat dalam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka. Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?
 Kemudian ada beberapa tambahan keterangan yang diambil dari berbagai sumber: Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam kitabnya At-Tamtsil,'Keberadaan sandiwara awalnya adalah bentuk peribadahan non-Islam. Sebagian ahlu ilmi menguatkan, bahwa inti sandiwara itu adalah bagian dari syiar-syiar peribadahan penyembah berhala di Yunani.(Hal 18) sandiwara itu tak ada hubungannya dengan sejarah kaum muslimin pada generasi yang pertama(utama). Kedatangannya tak disangka-sangka pada masa sedikitnya orang yang berilmu, yakni pada abad 14H. Kemudian disambut dengan mendirikan rumah-rumah hiburan dan gedung-gedung sandiwara, serta merta berpindahlah dari tempat-tempat peribadahan kaum Nashara kepada sekelompok pelaku sandiwara Islami di sekolah-sekolah daripada sebagian jamaah Islam.
Apabila hal ini telah dimaklumi, maka ketahuilah bahwa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang mengangkat ahlinya kepada derajat mulia dan sempurna tentu menuntut penolakan dengan cara itu. Sebagaimana diketahui, bahwa suatu amal mungkin termasuk sebagai ibadah, atau bisa jadi termasuk sebagai adat. Maka asal ibadah, tidaklah disyariatkan kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan asal adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang telah Allah larang. Oleh karena itu sandiwara Islami itu tidak boleh diadakan sebagai jalan ibadah, atau pun sebagai bagian dari kebiasaan atau adat yang mengandung unsur permainan dan hiburan.
Sandiwara Islami tidak ditetapkan dalam syariat, dia jalan yang baru. Sebagian dari keseluruhan ajaran Islam adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah,'Barangsiapa yang membikin perkara-perkara baru dalam urusan kami(Islam), yang perkara itu buka dari Islam maka tertolak'. Karena itu, apa yang telah dilihat pada beberapa sekolahan atau kampus-kampus, yakni adanya permainan sandiwara Islami maka sesungguhnya itu adalah sandiwara bid'ah, karena telah diketahui asalnya. amalan tersebut bagi kaum muslimin adalah perkara yang keluar dari daerah yang ditentukan berdasarkan dalil syar'i. Karena amalan tersebut merupakan peribadahan penyembah berhala dari Yunani dan ahlu bid'ah Nashara, maka tak ada dasarnya dalam Islam secara mutlak. Jadi amalan itu adalah perkara baru dalam islam dan setiap perkara baru dalam Islam adalah bid'ah yang menyerupai syariah. Nama yang pas untuk istilah itu berdasar syariat Islam adalah 'Sandiwara Bid'ah'.
Apabila sandiwara ini dimasukkan sebagai adat, maka hal itu menyerupai musuh-musuh Allah (kafir). Sedangkan kita telah dilarang menyerupai mereka. Sementara perkara itu tidak dikenal kecuali dari mereka.
Jika ada orang yang berkata,'Sesungguhnya sarana-sarana berdakwah merupakan bagian dari mashalihul Mursalah'. Kami jawab,'Apakah syariah meremehkan segala kebaikan bagi hamba-hambanya?
 Jawabannya terdapat dalam keterangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut,'Secara singkat bahwa syariah tidak meremehkan kebaikan (maslahah) sama sekali, bahkan Allah Ta'ala telah menyempurnakan dien nikmatNya bagi kita. Jadi tidak ada yang mendekatkan diri ke surga kecuali kita telah diperintahkan beliau untuk mengerjakannya. Beliau telah meninggalkan kita di atas lembaran yang putih bersih. Malamnya seprti siangnya, tidak menyimpang daripadanya melainkan orang yang binasa. Hujatu al-Qawiyyah 'Ala Anna Wasa'ila ad-Da'wah Tauqifiyyah, karya Abdussalam bin Barjas hal 40.
Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi berkata, 'Apabila sejumlah besar dari berbagai kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertaubat kepada al-haq dengan jalan yang syar'i dan memang harus demikian. Maka mengapa seorang da'i mencari jalan yang tidak terdapat di dalam syara' ? Lagipula bahwa sesungguhnya apa yang terdapat dalam syara' sungguh telah mencukupi untuk memperoleh tujuan dakwah kepada Allah. Yakni menjadikan ahlu maksiat bertaubat dan orang-orang yang tersesat mendapat petunjuk. Hendaklah para da'i melapangkan dirinya tatkala berdakwah kepada Allah dengan sarana yang para sahabat melapangkan diri mereka di atasnya. Sesungguhnya mereka kembali menuju kepada ilmu. Ibnu Mas'ud berkata,'Sesungguhnya kalian akan menciptakan perkara yang baru dan akan diciptakan perkara baru untuk kalian, Maka, apabila kalian melihat perkara yang baru, wajib atas kalian berpegang dengan perkara yang pertama (Rasulullah dan para sahabat)'. Ibnu Mas'ud berkata pula,'Hati-hati kalian terhadap bid'ah, hati-hati kalian terhadap berlebih-lebihan, hati-hati kalian terhadap berdalam-dalaman dan wajib kalian berpegang teguh dengan generasi yang dahulu'.
Syaikh Abdussalam berkata,'Sesungguhnya menentukan kebaikan dalam suatu perkara adalah sulit sekali. Kadang-kadang seorang pengamat menyengka bahwa ini adalah maslahah, padahal ini, sesungguhnya yang berkuasa menentukan kemaslahatan adalah ahlu ilmi. Merekalah yang dipenuhi keadilan dan bashirah, yang senantiasa mewujudkan hukum-hukum syariah serta kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu suatu masalah butuh sikap hati-hati yang besar dan sangat waspada dari penguasaan hawa nafsu jika menghendaki sesuatu yang baik. Hawa nafsu sering menghiasi sesuatu yang rusak menjadi tampak baik, sehingga banyak orang tertipu. Padahal bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu bagaimana para muqallid(orang yang taklid) itu bisa dikuasai dengan persangkaan kemudian menentukan bahwa ini adalah maslahah? Bukankah ini merupakan sikap lancang terhadap dien dan sikap nakal terhadap hukum syar'i dengan tanpa keyakinan?
Demikianlah fatwa dari Syaikh Al-Fauzan mengenai hukum sandiwara dan yang sejenisnya dalam Islam. Sekarang kita kembali ke permasalahan fiksi.
Selain fatwa Syaikh Al-Fauzan, Lajnah Daimah juga telah memfatwakan tentang permasalahan ini, berikut adalah fatwa tersebut:
Soal:
Bolehkah seseorang menulis cerita bohong, seperti cerita khayal atau cerita fiktif untuk disajikan kepada anak-anak agar dibaca dan dijadikan pelajaran?
Jawab:
Diharamkan bagi seorang muslim menulis cerita-cerita bohong ini. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur'an, Al-Hadits, kisah nyata lainnya sudah cukup dijadikan sebagai pelajaran dan peringatan yang bagus.
Al-Lajnah Daimah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta. Ketua: Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, Wakil: Syaikh 'Abdurrazaq 'Afifi
Demikianlah fatwa-fatwa yang mendukung pendapat bahwa menulis dan membaca cerita fiksi adalah haram hukumnya. Hal ini didasarkan kepada beberapa sebab :
1.Cerita fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong)
2.Cerita fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
3.Cerita fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kisah-kisah nyata lainnya.

Pendapat Kedua : Mubah / Boleh
Pendapat kedua mengenai hukum menulis dan membaca cerita fiksi mubah atau boleh, hal ini didasarkan pada fatwa dari Syaikh Dr Muhammad Bazmul,:
والسؤال الثاني : عن حكم كتابة القصص الخيالية الإسلامية ؟
Pertanyaan : 
Apa hukum cerita fiksi islami?
أما بالنسبة للسؤال الثاني : فالظاهر أن القصة إذا كانت متخيلة لأشخاص متخيلين بأحداث متخيلة فهي جائزة، مادام أن الشخص يقصد تقريب المعاني الشرعية، وتقريرها.
Jawaban :
Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.
والأفضل لهذا الذي رزقه الله موهبة الكتابة القصصية أن يقتصر على ما ورد في القرآن العظيم والسنة النبوية، فهذه أحسن القصص، ومعاني الشرع فيها متقررة على أتم وجه، بلا محظور.
Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.
Selain itu Syeikh Ibnu Jibrin juga berfatwa mengenai hal ini, berikut adalah fatwa beliau :
رقم الفتوى (8493) موضوع الفتوى القصص في مادة التعبير
No fatwa: 8493 tentang cerita yang ada dalam pelajaran ta’bir (membaca teks dalam pelajaran Bahasa Indonesia).
السؤال س: ما رأي فضيلتكم في القصص التي تطلب في المدرسة في مادة التعبير والتي تكون في غالبها قصصًا مكذوبة ولم تقع؟
Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”
الاجابـــة
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها
Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.
فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد. والله أعلم.
Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.
Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.
Pendapat yang membolehkan cerita fiksi juga didasarkan pada Al-Qur’an yang banyak menggunakan tamsil (permisalan) untuk menjelaskan suatu permasalahan kepada manusia, berikut adalah dalil-dalilnya :
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.” (QS. Al-Baqarah : 17)
“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja . Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 171)
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya . Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”.(QS. Al-A`raf : 176)
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. Al-Jumuah : 5).
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-ankabut : 43).
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quraan ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”(QS. Az-Zumar : 27).

Demikian pula fatwa berikut :
رقـم الفتوى : 13278 عنوان الفتوى : تأليف وقراءة القصص الخيالية… رؤية شرعية تاريخ الفتوى : 20 ذو القعدة 1422 / 03-02-2002
Pandangan syariat tentang menulis dan membaca cerita fiksi.
السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟
Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها. هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
Di sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
Akan tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini”.
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل،
Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
Atau dengan tujuan sekadar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata”.
Dari dua pendapat ini kita akan bahas lebih mendalam mengenai hukum cerita fiksi dalam Islam. Karena sifatnya yang kontroversi maka pada bagian pertama ini kita baru membahas tentang pendapat-pendapat mereka. Insya Allah pada bagian selanjutnya kita akan bahas lebih mendalam........ bersambung Insya Alloh. 


6 komentar:

  1. mau nanya nih apakah fatwa ini bisa diterapkan di indonesia, mengingat para pembaca cerita fiksi diindonesia karena mereka jauh sekali dari pembelajaran islam, misal anak sekarang mana ada mereka berfikir ini cerita bohong atau tidak yang penting enak di baca enak difantasikan, dan fatma ulama keliatannya hanya dikhususkan untuk pelajaran takbir terimakasih

    BalasHapus
  2. Kisah fiksi adalah cara manusia melihatkan isi kepalanya ke orang lain dan pelajaran didalamnya terkadang sangat bermakna,kisah-kisah buatan allah di qur-an memang hebat,tapi kisah-kisah itu harus kita kembangkan menjadi sebuah kisah yang lebih unik karena anak-anak muda sudah menganggapnya terlalu klise

    BalasHapus
  3. maaf tulisan bapak terlalu panjang, menyulitkan saya membaca nya samapai habis, sehingga saya belum tahu apakah halal atau haram

    BalasHapus
  4. Saya suka nulis, dan fokus ke genre fiksi ini...jika tujuannya untuk memotivasi dan menanamkan nilai2 moral tanpa ada unsur melanggar ajaran Islam di dalamnya...apa boleh???

    BalasHapus
  5. Saya mendengar Ustadz Syafiq Reza basalamah juga mengatakan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama salaf. Ada yang memperbolehkannya dengan alasan seperti yang disampaikan di atas, pembaca harus tahu bahwa bacaan yg dibaca adalah fiksi. Syukran jazakumullah artikel ini sangat bermanfaat. Detail dan jelas dengan fatwa beberapa ulama salaf, beserta dalilnya.

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...