Selasa, 25 Januari 2011

Cerita Fiksi dalam Islam, Boleh Nggak ya..... ? Bagian II

Cerita Fiksi dalam Islam, Boleh Nggak ya..... ? Bagian II
Istinbath Al-Ahkam (Metode menentukan hukum) dalam Islam
Oleh : Abdurrahman

Istinbath Al-Ahkam
Sebagai kelanjutan dari pembahasan tentang hukum Fiksi dalam Islam, maka di bagian dua ini  kita akan menganalisa masing-masing pendapat mengenai hal ini. Pisau analisa yang digunakan adalah kaidah-kaidah yang menjadi pegangan oleh para pendahulu kita yang sholih yaitu dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. merekalah umat terbaik yang sangat memahami agama Islam ini, bahkan Allah ta’ala telah memberikan jaminan penuh kepada mereka. Allah ta’ala berfirman :
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.” At-Taubah : 100
Dalam ayat ini Allah ta’ala telah memberikan puncak hidayahNya yaitu keridhoanNya kepada para shahabat Nabi, hal inilah yang menjadi dasar bagi umat Islam untuk mengikuti mereka dalam segala aspek kehidupan. Intinya adalah setiap dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaknya menggunakan metode mereka dalam memahami keduanya. Adapun pada permasalahan yang tidak ada nash nya maka ijma’ mereka menjadi dalil hukum.
Jika masih terjadi suatu perbedaan pendapat dalam suatu permasalahan maka mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebuah kewajiban umat Islam, Allah ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisaa : 59.
Dalam ayat ini disebutkan secara jelas mengenai jalan keluar terbaik ketika terjadi perselisihan, yaitu kembalikanlah perbedaan pendapat tersebut kepada Allah dan rasulNya. Maka pembahasan tentang hukum cerita fiksi juga menjadi perbedaan pendapat. Apalagi ruang lingkupnya berkaitan dengan masalah fiqh.
Metode Islam dalam menyikapi setiap permasalahan adalah selalu merujuk kepada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَاكَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. QS Yusuf : 111.
Maka setiap permasalahan yang kita hadapi pasti ada penjelasannya dalam Al-Qur’an, baik yang sifatnya rinci ataupun bersifat global (umum). Selanjutnya selain Al-Qur’an Allah ta’ala juga telah menurunkan Al-Hadits sebagai penjelas bagi Al-Qur’an, Rasulullah bersabda :
ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه
Ketahuilah sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisal dengannya (Al-Hadits).
Beliau adalah Sang Pengemban Amanah Utama yang telah menjelaskan seluruh sendi-sendi kehidupan dan sumber-sumber hukum dalam agama. Maka tidak ada hal sekecil apapun yang tidak dijelaskan oleh beliau. Seorang shahabat pernah berkata : “Aku telah meninggalkan kalian dalam kondisi putih bersih, yang malamnya seperti siangnya” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, Al-Muqaddimah 43, Ahmad Jilid IV. No. 1374]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda : “Aku telah meninggalkan pada kalian dua hal, yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya ; Kitabullah dan Sunnah NabiNya” [Hadits Riwayat Malik di dalam Al-Muwaththa’, Al-Qadar, hal 899]
Maka agama / Dien Islam adalah agama terang benderang, tidak ada padanya kekacauan, semua telah tercover dalam manhaj ilmiah Rabbaniyah. Adapun permasalahan baru dalam Islam, yang tidak ditemukan dalil khusus yang berkenaan dengan itu, maka kita kembalikan kepada keduanya. Allah ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisaa : 59.
Mentaati Allah dan rasulNya adalah bukti keimanan seseorang, ia adalah kunci bagi kebahagiaan maka wajib bagi setiap muslim untuk iltizam dengan keduanya. Orang-orang yang tidak mentaati keduanya, ia diancam dengan firman Allah ta’ala :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,  dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS An-Nisaa : 65.
Dari dua ayat ini kita mengetahui bahwa setiap permasalahan yang ada haruslah dikembalikan kepada Allah dan rasulNya, yaitu kepada Al-Qur’an dan kepada sunnah Nabi. Maka pada keduanya terdapat jawaban yang shahih, dan seperti inilah Allah ta’ala memerintahkan kita, sebagaimana firmanNya :
وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ﴾[المائدة:49]
……dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah……… QS Al-Maidah : 49.
Maka yang dimaksud berhukum dalam ayat ini adalah pada bidang keagamaan dan juga keduniaan. Pada keduanya terdapat jawaban bagi setiap permasalahan yang ada. Sebagaimana firmanNya :
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. QS Huud : 01
Maka di dalam Al-Qur’an terdapat seluruh penjelasan berkenaan dengan permasalahan hidup di dunia dan diakhirat. Demikian juga di dalam As-Sunnah, Rasulullah Shalala Alaihi Wasalam telah menjelaskan secara rinci bagaimana prinsip hidup, termasuk di dalamnya bagaimana menyikapi permasalahan yang ada.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa segala sesuatu permasalahan baru yang tidak ada sebelumnya dapat dijawab oleh Islam dengan didasarkan kepada nash . teks dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Fiksi dalam Pandangan Islam
Dari kajian mengenai hukum fiksi dalam Islam, yang pertama harus kita lakukan adalah melihatnya dari Al-Qur’an. Apakah ada didalamnya ayat-ayat yang berkaitan dengan hal ini? Masalah fiksi adalah masalah “baru” dalam arti tidak secara khusus ada pada masa beliau, namun adanya kisah-kisah yang dibuat oleh Bani Israil membantah pendapat ini. Walaupun demikian dalam  Al-Qur’an tidak ada secara khusus membahas tentang fiksi. Ini bisa dimaklumi karena Al-Qur’an lebih menitikberatkan pada masalah-masalah  keyakinan (keimanan), bila Al-Qur’an membahas tentang muamalah secara umum hanya memberikan kaidah-kaidah dasar.
Selain itu pada masa wahyu turun, kaum muslimin berkonsentrasi penuh pada penulisan Al-Qur’an (hapalan) dan As-Sunnah. Maka penulisan fiksi pada masa keemasan Islam ini tidak ada. Sehingga jika fiksi dikaitkan dengan sebaik-baik generasi pada umat ini dijamin tidak ditemukan jawabannya. Yang ada adalah kaidah-kaidah tentang norma dan etika, semisal tidak bolehnya berbohong, berdusta, ghibah dan akhlak tercela lainnya.     
Dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menjadi pegangan umum dalam membahas masalah cerita fiksi ini adalah ayat-ayat umum yang membahas tentang tida bolehnya melakukan kedustaan atau kebohongan. Misalnya firman Allah ta’ala : 
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim. QS Hud : 18 .
Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. QS An-Nahl : 105
Selain dua ayat tersebut masih banyak ayat-ayat lainnya yang mencela mengenai perbuatan dusta atau bohong dalam konteks umum. Sedangkan hadits-hadits Nabi secara spesifik memberikan ancaman bagi apra pelaku dusta : Rasulullah bersabda :

“Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Selama seorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong). (HR. Bukhari)

Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Muslim)

Celaka bagi orang yang bercerita kepada satu kaum tentang kisah bohong dengan maksud agar mereka tertawa. Celakalah dia...celaka dia. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Seorang mukmin mempunyai tabiat atas segala sifat aib kecuali khianat dan dusta. (HR. Al Bazzaar)

Rasulullah Saw membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa dan pembicaraan suami kepada isterinya. (HR. Ahmad)
Demikianlah hadits-hadits Nabi yang mengharamkan perbuatan bohong dan dusta, ia adalah salah satu dari cirri-ciri orang munafik.
Sekarang yang menjadi permasalahnnya adalah apakah fiksi bagian dari kebohongan, atau kebohongan yang sistematis? ……………….. tunggu jawabannya di bagian ke-III.
 Afwan jika bersambung lagi………………..

2 komentar:

  1. Afwan,,, bagian ke iii nya udah ada belum... saya penasaran... syukran...

    BalasHapus
  2. Ada yg brpndapat Al Qur'an itu fiksi.. bgmn hujjahnya utk menolak pndpt ini

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...