Sabtu, 05 Februari 2011

Islamic Life Style : Shuwar Hayat Al-Islamiyah

Pertama-tama izinkanlah, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk membaca buku ini. Mudah-mudahan ucapan ini bukan sekadar basa-basi yang mungkin sudah mengemuka dalam setiap perjamuan sosial  (yang jangan-jangan juga sudah menjadi gaya hidup). Namun  dalam sebuah masyarakat  di mana pertumbuhan gaya hidup semakin meningkat, memikat dan mengundang hasrat (untuk tidak mengatakan adanya semacam "ledakan" gaya hidup) seperti akhir-akhir ini. Semoga  buku ini mampu memberikan sebuah alternatif, untuk mencari  identitas kita yang "hilang" digeser oleh  west life style (gaya hidup barat).
Dalam sebuah masyarakat, di mana di satu sisi persoalan gaya hidup,adalah "segalanya", maka tidak mengherankan jika identitas mereka sendiri tercabut dari diri mereka, karena itu  sangatlah lumrah jika seorang pengemis ketika telah selesai "beraktifitas" dan mereka kembali ke rumahnya, merekapun mencoba untuk mempraktekkan sisi-sisi gaya hidup yang mereka saksikan baik di TV atau yang nyata  di tempat "aktifitas" mereka, yaitu di jalan-jalan raya dan pinggir-pinggir lampu merah.
Bagaimana dengan orang-orang yang memang setiap hari dicekoki oleh iklan atau entertainment yang semua itu menyuguhkan gaya hidup serba wah…
Era globalisasi  ternyata memberikan berbagai  suguhan gaya hidup, dari gaya hidup vegetarian sampai gaya hidup kanibal, dari gaya hidup sufi (termasuk yang suka film India) sampai gaya hidup pemuja tradisi, dari para penganut ideology Asketisme sampai para penganut Dandyisme semua itu tersaji setiap hari di setiap tempat, bahkan telah merasuk ke ruang-ruang pribadi kita (atau mungkin sudah merasuk ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam).
Globalisasi Ekonomi ternyata telah menyeret masyarakat kita ke arah transformasi kapitalisme konsumsi, hal ini terlihat nyata dengan menjamurnya berbagai pusat perbelanjaan bergaya semacam shopping mall, hyper market, industri waktu luang, industri mode dan fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri gosip, kawasan hunian mewah, apartemen, real estate, gencarnya iklan-iklan yang menawarkan barang-barang super mewah, kegandrungan terhadap merek asing dan yang lainnya. Semua itu menyerbu masyarakat kita tanpa henti (tanggung jawab kita untuk "menghentikannya").
Globalisasi industri media dari manca negara juga telah membuat semacam "kiblat baru" bagi masyarakat kita majalah-majalah mode, acara-acara TV semacam Famous to Famous dan yang lainnya ternyata membawa sebuah misi yaitu gaya hidup transnasional dengan ideology yang begitu nampak dari slogan-slogan mereka yang menawarkan fantasi hidup seperti "Be Smarter, Richer, & Sexier atau "Get Fun", hal ini tidak hanya menimpa kalangan Jetzet akan tetapi merambah hampir ke seluruh pelosok negeri. Tidak hanya pada usia separuh baya namun juga menimpa kawula muda dan bahkan anak-anak kita.
Salah satu ladang dari persemaian gaya hidup yang diperuntukan untuk remaja ABG adalah dengan beredarnya majalah dan media yang mengkhususkan diri pada segmen remaja, mereka menawarkan gaya hidup yang berselera di sekitar perkembangan trend busana, problema gaul, pacaran, shopping  yang semua itu telah menggiring ke arah budaya generasi muda (youth culthure) yang hanya berorientasi kepada gaya hidup fun.
Antitesis dari gaya hidup glamour ini adalah dengan munculnya gaya hidup alternative gerakan untuk "kembali ke alam" yaitu sebuah kebangkitan spiritualisme baru, namun "gerakan antitesis" ini ternyata mengalami polesan yang cukup canggih  dengan budaya konsumen yang ada, sehingga sering sekali kita lihat bahwa kebangkitan agama hanya mengambang di level simbolik, simbol-simbol, ikon-ikon, yang diyakini sebagai artefak (bukti) ketakwaan seseorang. Hal ini ternyata terakomodikasi menjadi obyek konsumsi, ini terlihat nyata ketika datangnya hari raya. Hari-hari raya keagamaan hanya menjadi semacam "festival konsumsi" sehingga menjelang hari raya orang dibuat sibuk oleh "thethek bengek" aksesoris yang akan dikenakan, dan hal ini dimanfaatkan sekali oleh industri iklan dan media. Dari sini kita lihat bahwa semangat keagamaan di kalangan tertentu juga harus dipahami sebagai kebangkitan gaya hidup.
Gaya hidup keagamaan ini ternyata dimanfaatkan sekali oleh industri konsumsi, sehingga label Islamisasi pun mereka coba taklukan dengan menawarkan berbagi produk dengan label Islam, seperti wisata religius, moslem fashion show, moslem's shopping centre, dan yang lainnya.
Dari sini ternyata Islam telah ditaklukan oleh pasar, dunia bisnis, sehingga yang terjadi adalah kapitalisme Islam, karena dengan slogan Islam mereka hendak menguasai ummat Islam, mereka hendak menyetir dan mengarahkan ummat Islam kepada gaya hidup konsumtif dan terpaku pada simbol-simbol Islam.
Kenyataan-kenyataan di atas adalah femonema atau gambaran yang terjadi di masyarakat kita, di mana mereka terombang-ambing oleh gaya hidup yang tidak pernah ajeg,  padahal jika kita mau jujur bahwa semua gaya hidup yang mereka tawarkan tidak lebih hanya sebuah fatamorgana semu, yang akan menyeret kita agar tidak lagi memahami apa ruh atau spirit dari dien (aturan hidup) kita ini, padahal seperti kita tahu bahwa Islam sebagai agama yang kamil (sempurna), maka di sana kita akan dapati bahwa seluruh persoalan gaya hiduppun telah diatur, dimulai dari persoalan batin (aqidah), fashion, makanan, dsb. Semua itu harus kita laksanakan karena Allah ta'ala. Karena itu, ketika begitu maraknya tawaran gaya hidup di sekitar kita maka kita akan katakan "cukup bagiku Islamic Life Style" yaitu gaya hidup Islami, di mana batin kita dipenuhi oleh nilai-nilai Islam demikian juga dhahir kita. Dari ujung rambut sampai ujung kaki harus mencerminkan bahwa kita adalah seorang muslim, dan kita harus bangga dengan itu.
Ketika gaya hidup Islami adalah satu-satunya jalan keluar, maka kita akan diajak untuk memahami segala hal mengenai kehidupan kita. Gaya hidup kita tidak hanya sebatas pada masalah-masalah yang materiil akan tetapi kita akan menyelami makna dari yang tidak materiil (immateriil), ini adalah ruh dari Islam. Jadi ketika seseorang melaksanakan perintah Allah ta'ala contohnya ketika seorang memakai jilbab (kerudung) namun hanya sebatas agar tampak cantik atau modis maka di situlah kita terjebak pada simbol dan bukan inti dari Islam, kita terjebak pada gaya hidup Dandyisme (ideologi pesolek) bukan kepada gaya  hidup Islamy.
Mudah-mudahan sedikit pembahasan dalam buku ini mampu menyadarkan kepada kita bahwa gaya hidup kita haruslah sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan jangan sampai kita terjebak pada simbol-simbol Islam dan melalaikan ruh dari Islam, dengan ini kita akan mampu untuk menunaikan tugas kita sebagai hamba yaitu melakukan segala aktifitas hanya bagi Allah ta'ala saja, Wallohu A'lam bishowab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...