Minggu, 27 Februari 2011

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah



Oleh Wanty Handayani Sutrisno

Ketika berada di dalam angkutan kota (angkot), sering kita jumpai pengemis dan pengamen yang bisa jadi menimbulkan rasa iba bagi yang melihat.  Mereka masih balita, tapi  terkadang ada juga wanita dewasa, menggendong seorang anak dengan wajah memelas. Padahal entah anak siapa yang mereka bawa. Hanya bermodalkan amplop kosong yang kumal dan botol bekas minuman yang mereka isi dengan pasir atau beras, mereka menyayikan lagu yang tidak jelas syairnya. Kadang mendengarnya pun malas, tapi kadang iba juga melihatnya. Fenomena ini sering kita jumpai, bahkan hampir setiap hari, bukan hanya di kota Jakarta yang semakin dirasakan semakin sulit saja untuk bernafas, namun fenomena ini sudah merambah ke kota-kota lain.

Tidak hanya pengemis, pengamen yang nota bene berbadan tegap nan gagah pun tidak mau kalah dengan metode ini. Mereka menjadikan profesi ini sebagai mata pencaharian. Ada yang terpaksa melakukannya karena desakan ekonomi. Namun ada juga yang menjadikan profesi ini sebagai hiburan untuk menyalurkan bakat… katanya, dari pada menyanyi di rumah ngga ada yang dengerin, siapa tau ada produser lewat dan mendengar suaranya lalu mengajaknya untuk rekaman.


Yang  lebih ekstrim lagi kalau ada pengamen yang meminta dengan agak sedikit memaksa. Apalagi penumpang  yang  ada  di dalam  angkot  adalah wanita  semua. Agak kecut juga hati ini saat si pengamen memandang dengan  rada melotot  dan mata yang agak memerah. Entah kurang tidur atau pengaruh dari meminum minuman keras. Ditambah lagi si pengamen naik angkot tidak sendiriin, tapi dengan satu atau dua temannya. Hati ini semakin ciut. Dari pada nanti di apa-apakan, mending dikasih aja deh, biar cepat pergi.

Pernah suatu ketika saya naik angkot, kebetulan angkot berhenti di lampu merah. Tiba-tiba segerombolan “anak punk” begitu mereka menyebut komunitas (gank) mereka yang menganut “kebebasan”. Bebas mau ngapain aja, tidak mau terikat oleh satu peraturan. Jujur saja, dalam hati ini saya tidak mau memberi, tapi karena mereka banyak dan kebetulan satu angkot itu tidak ada yang memberi. Walhasil saya beri mereka selembar uang lima ribuan. Bukan kepalang gembiranya mereka, lembaran lima ribuan itu mereka pajang di kening mereka bergantian satu persatu. Yaa Sallam…

Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya tentang bagaimana hukum memberi pengamen dan pengemis, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak dari berbagai usia dan penampilan, mereka berkelilling di antara manusia di pasar-pasar, jalan-jalan, masjid-masjid dan tempat-tempat umum lainnya meminta sumbangan dan uluran tangan?
Syaikh pun menjawab “Dalam hal ini hukumnya berbeda-beda tergantung kondisi dan personil masing-masing. Telah diketahui, bahwa banyak di antara para pengamen dan pengemis itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bias meninggalkannya. Jika anda melihat pengamen atau pengemis itu laki-laki yang tampak masih kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen atau pengemis sebenarnya dapat diketahui dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan "meminta-minta" sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan ucapan yang lancar serta hafal do'a-do'a lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita, dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik. Yang jelas, jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja beroperasi demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa, lalu serahkan ke lembaga yang menangani masalah pengamen. Wallahu a'lam”

Begitu pula dengan Hadits di bawah ini yang menjelaskan bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha dan tidak meminta-minta, tidak membebani orang lain, apalagi menjadi benalu dalam kehidupan orang lain.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhyallohu anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, "orang miskin bukanlah orang yang berkeliling kepada orang lain untuk meminta segenggam atau dua genggam kurma, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki cukup (uang) untuk memenuhi kebutuhannya dan keadaannya itu tidak diketahui orang lain; orang lain mungkin memberinya sedekah, tetapi ia tidak mengemis kepada orang lain". (Hadits shahih al-Bukhari)

Ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun” (HR Bukhari, Muslim, dan Nasai dalam Sunan-nya)

Seorang muslim harus memerangi kemalasan, semangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja, tidak menjadi beban orang lain. Sebab, pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri, merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam. Imam Ibnul Jauzi berkata: “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam dua keburukan, yaitu menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan dan juga suatu kehinaan, sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha”

Wallohu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...