Senin, 28 Februari 2011

Mitos Kufu


Oleh : Bambang Sahaja

    "Kalau mau mencari pasangan hidup cari yang sekufu” itulah pesan dari murabiku. Pesan ini selalu menjadi pertimbanganku dalam mencari pasangan hidup. Kufu berarti sepadan atau setara, dalam ruang lingkup kehidupan rumah tangga berarti kesepadanan antara pasangan atau minimal mendekati sama, baik dari segi umur, pendidikan, strata sosial, pemahaman agama dan sebagainya. Dalam budaya Jawa istilah kufu barangkali sepadan dengan istilah bibit, bebet dan bobot, sebuah syarat dalam mencari pasangan hidup. Prinsip dalam mencari pasangan hidup ini masih terus diamalkan oleh masyarakat kita, barangkali termasuk aku waktu itu. Melalui bincang-bincang dengan sesama ikhwan aku juga mendengar adanya berbagai kasus perselisihan dalam rumah tangga karena sejak awal tidak ada kesepadanan (kufu) antara pasangan. Benarkah kufu adalah suatu prasyarat dalam sebuah rumah tangga? Atau hanya mitos yang salah dipahami oleh masyarakat kita?
    Tahun 1997 akhirnya aku mendapatkan seorang pendamping hidup, seorang akhwat yang begitu bersemangat dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman, teman satu liqa'. Aku sendiri baru mulai aktif di beberapa pengajian. Melalui seorang murabbi yang cukup kukenal akhirnya tanpa pertimbangan sekufu atau tidak, berlangsunglah perkawinan kami. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, namun sepertinya aku telah melabrak sebuah mitos tentang kufu yang selama ini kuyakini.
    Benar, waktu menikah aku berumur 18 tahun, baru tiga bulan menyelesaikan SMU, sedangkan istriku sudah berumur 35 tahun. Aku berasal dari desa terpencil nun jauh di selatan Jawa, sementara istriku gadis metropolitan (tapi akhwat lho..) yang besar di ibu kota Jakarta. Sebuah perbedaan yang tidak ada tempat bagi si kufu untuk disebut. Berbekal iman dan takwa yang membara dalam dada kami mengarungi samudera rumah tangga. Kini sudah sepuluh tahun lebih kami membina rumah tangga, pahit getir dan manis asam rumah tangga telah kami rasa.
Untuk meningkatkan kualitas hidup aku kembali ke bangku sekolah -kuliah tepatnya-. Walaupun hanya kuliah di perguruan tinggi swasta dan mengambil kelas ekstention, namun tidak memupuskan semangatku untuk terus maju, menyibak takdir yang tidak pernah aku tahu, termasuk mitos kufu yang sepertinya tak lagi berlaku dalam rumah tanggaku. Kurang lebih empat tahun akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah, namun semangatku untuk terus maju semakin menggebu-gebu hingga tanpa menunggu berganti tahun aku langsung melanjutkan ke program pascasarjana. Hanya memerlukan waktu kurang lebih dua tahun akhirnya aku menyelesaiakan program magister, dengan hasil cumlaude, kami merayakan keberhasilanku. Istriku ? ia tertinggal di belakang, sibuk dengan urusan rumah tangga, bukan aku ingin lepas landas sendiri, tapi ia tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan studinya.
Apa yang terjadi dengan si kufu? Di tengah persiapanku memasuki program doktoral, mitos kufu ternyata hanya sebuah syarat yang relatif di setiap rumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga yang kami selami selama lebih dari sepuluh tahun, ia tidak mempunyai tempat sama sekali. Hal ini bukan berarti rumah tangga kami adem-ayem, konflik sebagai bumbu dalam rumah tangga terkadang juga muncul, namun dapat diselesaikan dengan pengertian bersama. Benar, pengertian telah membunuh si kufu sehingga dia tidak bisa berkutik sama sekali, perbedaan pendidikan, umur dan strata sosial semua itu hilang bersama dengan segudang pengertian.
Saling mengerti dan memahami itulah kunci rumah tangga hakiki, ia laksana jembatan yang menghubungkan antara timur dan barat, atau laksana Terusan Suez yang menghubungkan antara Laut Tengah dengan laut Merah. Karena itu, mulailah hari ini dengan saling memahami dan mengerti kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Apalagi katanya wanita ingin dimengerti. Wallahualam bishawab.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...