Jumat, 18 Maret 2011

Hukum Islam : Antara Statis dan Dinamis


Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Islam adalah sebuah dien (way of life), yaitu seperangkat hukum yang datang dari Allah ta'ala, ia merupakan manhaj al-hayat yang turun untuk kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ(29)
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. QS Ar-ra'd : 29.
Kebahagiaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Inilah yang menjadi tujuan dari syariah Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki pedoman dan sumber hukum bagi setiap ajaran-ajarannya. Sumber hukum tersebut yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah :
  يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ(16)
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. QS Al-Maidah : 16.
Dalam ayat yang lain disebutkan secara tegas bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah reference bagi setiap perbedaan pendapat yang terjadi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisaa : 59.
Mentaati Allah yaitu dengan cara melaksanakan setiap perintahNya dan menjauhi laranganNya yang termaktub di dalam Al-Qur'an, sedangkan mentaati rasul yaitu mentaati setiap petunjuknya yang terdapat dalam As-Sunnah yang merupakan bayan (penjelas) bagi Al-Qur'an. Pada dasarnya keduanya tidak bisa dipisahkan karena sama-sama wahyu yang datang dari Allah ta'ala.  Karena itu jika ada perbedaan pendapat dalam suatu masalah maka kita wajib mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. (As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan. : 229)
Namun Al-Qur'an dan As-Sunnah tidaklah memberikan hukum-hukum rinci mengenai setiap masalah yang dihadapi oleh manusia. Keduanya memberikan kaidah global (al-qawaid al-'ammah) bagi setiap permasalahan yang ada. Hal ini bukanlah menunjukan bahwa Islam tidak sempurna, karena Allah ta'ala sendiri berfirman :
   الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS Al-Maidah ayat 3
Kesempurnaan yang dimaksud adalah tercovernya seluruh permasalahan hidup yang dihadapi oleh manusia dalam ruang lingkup global. Sehingga permasalahan rinci semisal penggunaan tekhnologi dalam  ru'yah al-hilal tidak disebutkan, demikian pula bagaimana hukum transplantasi organ tubuh, batasan ta'zir  dan lain sebagainya. 
Dari sinilah Islam memberikan ruang bagi setiap cendekiawan untuk menggali berbagai hukum (istimbat al-ahkam) yang tidak terdapat nash sharih / qath'i  pada masalah tersebut. Permasalahan-permasalahan yang seperti ini berkutat pada ruang lingkup hal-hal baru semisal tekhnologi, metodologi, wasilah dan lain sebagainya.
Bagaimana Islam dapat memberikan solusi bagi permasalahan-pemasalahan baru tersebut ? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Islam memiliki dua sumber hukum yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, keduanya telah mengcover seluruh sendi kehidupan manusia, cakupannya sendiri bersifat global. Sehingga dari sini para cendekiawan muslim menggali dan merumuskan berbagai kaidah-kaidah yang disebut dengan dalil-dalil syari'ah (al-adilah asy-syar'iyah) semisal ijma Shahabat, Qiyas, Ijtihad, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man Qoblana dan ‘Urf  (Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah : hal. 45).
Dalil-dalil hukum inilah yang merupakan sendi hukum Islam yang akan menjawab setiap permasalahan baru yang dihadapi oleh umat manusia, tentunya dengan tetap berpegang teguh kepada spirit dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Hukum Islam adalah rahmat bagi Umat manusia
Syariat Islam bagi para Islamophobia adalah sebuah sistem hukum yang sangat menakutkan, adanya rajam, qishas, hukuman gantung, cambuk, potong tangan adalah sederet istilah yang mengesankan hukum Islam itu sadis, kejam dan melanggar hak asasi manusia. Benarkah demikian ? Pengakuan seringkali tidak banyak bermanfaat, karena itu mari kita lihat bersama bagaiamana eksistensi hukum Islam bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Islam datang membawa sebuah kemerdekaan dari segala bentuk penindasan. Ia datang membawa kemudahan hidup, Allah ta'ala berfirman :     
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Qs Al-Hajj : 78.
Kesempitan dalam beragama adalah sebuah perasaan terpaksa dalam melaksanakan agama, selain itu adanya pertentangan antara tabiat manusia dengan agama tersebut. Islam bukanlah agama yang menentang tabiat manusia dan sulit untuk diaplikasikan. Allah ta'ala berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. QS Al-Baqarah : 185.
Kemudahan yang menjadi konteks ayat ini adalah kemudahan dalam melaksanakan seluruh syariat Islam, Karena itu tidak ada lagi umat Islam yang mengatakan bahwa agama Islam itu sulit dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Aturan-aturan yang datang dari Allah ta'ala yang terdapat dalam Al-Qur'an bukanlah untuk menyusahkan manusia :
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى
Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; QS Thaha : 2.
Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa maksud dari diturunkannya wahyu, diturunkannya Al-Qur'an dan disyariatkannya hukum-hukum Islam bukanlah untuk menyusahkan kalian wahai umat manusia. (As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan : 690). Dalam QS Al-Hajj : Allah menyebutkan bahwa agama ini datang bukanlah untuk menyusahkan manusia. Dengan kata lain bahwa agama ini datang untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi oleh manusia, serta bertujuan mulia yaitu untuk kebahagiaan manusia di dunia dan juga diakhirat.
Dalam ayat yang lain disebutkan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS Al-Anbiyaa : 107
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa salam untuk menjadi  rahmat bagi seluruh alam berarti syariat yang beliau bawa membawa kepada kebaikan / kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan juga jin. (Al-Mahali, Tafsir Jalalain : 1362)
Kemudahan Islam juga menjadi titik tekan dakwah Rasulullah, di mana beliau bersabada :
الدين يسر احب الدين الى الله الحنفية السمحة 
Agama itu mudah. Agama yang disukai Allah adalah agama yang benar dan mudah.  HR Bukhary dan Muslim.
Para ulama juga membahas dan membuat beberapa kaidah yang berkaitan dengan kemudahan dan dinamika hukum Islam ini, seperti kaidah :
المشقة تجلب التيسير
Kesukaran itu menarik adanya kemudahan. (Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah)
Sementara kaidah fiqhiyyah lainnya adalah :
الدِّينُ مبني على المصالح  في جلبِها والدرء للقبائح
"Agama ini bangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan  syariatNya dan untuk menolak kerusakan"
Dalam kitab Mulakhos Mandhumah Fiqhiyyah yang di ringkas oleh Abu Humaid Abdullah Al-Falasi dari kitabnya Asy-Syeikh Muhammad Sholeh Al-Usaimin disebutkan :  
 الدين جاء لسعادة البشر 
”Agama Islam datang untuk kebahagian manusia, atau dalam konteks lain dikatakan : 
  الدين كله جلبٌ للمصالح ودفعٌ للمفاسد
Agama ini bertujuan untuk mendatangkan kebaikan (maslahat) dan menolak kerusakan (mafsadah)
Kaidah ini berkaitan erat dengan bagaimana hukum-hukum Islam yang bersifat elastis pada keadaan-keadaan tertentu. Seorang ibu yang hamil dan menyusui dibolehkan untuk tidak berpuasa dengan menggantinya dengan fidyah atau berpuasa pada waktu yang lainnya, seseorang yang sakit, safar, diperbolehkan untuk bertayamum dan mengqashar shalat demikian pula qhisas pembunuhan jika ahli waris memaafkan maka qishas tersebut tidak boleh dilaksanakan.
Selain itu masih banyak lagi hukum-hukum Islam yang memberikan toleransi begitu luas terhadap kondisi fisik dan psikologi manusia, maka system hukum mana yang sangat memahami tabiat manusia ini selain Islam ?
Prof. Dr. Bustanul Arifin, S. H. menyatakan hukum  Islam  memiliki  serta  menawarkan  konsep  hukum yang  lebih  universal  dan  mendasarkan  pada  nilai-nilai  esensial  manusia  sebagai khalifatullah, bukan sebagai homo economicus.
Jika demikian hakikat hukum Islam, maka ia adalah sebuah system hukum dan syariah yang sejalan dengan tujuan hidup manusia, ia terkadang bersifat statis pada hal-hal yang bersifat taufiqi dan terkadang bersifat elastis pada hal-hal yang membawa kepada kemasalahatan manusia.

Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Dua kata tersebut terdiri dari kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata الحكم (al- hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalah الأحكام  (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berarti القضاء (al-qadha) yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman. (Munawwir, 1997 : 286)  bentuk fa'il-nya adalah الحاكم الحكيم  (al-haakim-al-hakiim) yaitu orang yang memutuskan suatu perkara dan menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah.
Kata  hukum (hukm)  bisa bermakna putusan  (judgement)  atau  ketetapan  (Provision).  Dalam  buku Ensiklopedi  Hukum  Islam,  hukum  berarti  menetapkan  sesuatu  atas  sesuatu  atau meniadakannya. (Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam : 2)
Sementara  dalam  A Dictionary of Law dijelaskan  tentang pengertian hukum sebagai berikut "Law is "the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of Parliament."  (Elizabeth    A.  Martin  (editor)  a  Dictionary  of  Law : 259)


Dalam Lisan Al-'Arab disebutkan :
الحَكَمُ الله تعالى قال الأَزهري من صفات الله الحَكَمُ والحَكِيمُ والحاكِمُ ومعاني هذه الأَسماء متقارِبة . قال  ابن الأَثير في أَسماء الله تعالى الحَكَمُ والحَكِيمُ وهما بمعنى الحاكِم وهو القاضي فَهو فعِيلٌ بمعنى فاعَلٍ
Al-Hakam adalah Allah ta'ala, Al-Azhary berkata bahwa kata Al-Hakam adalah salah satu dari dari sifat Allah ta'ala, kata-kata al-hakam-al-hakiim-al-haakim semuanya memiliki makna yang berdekatan. Ibnu Al-Atsir berkata tentang nama Allah ta'ala al-hakam dan al-hakim keduanya bermakna al-haakim, seperti kata al-qadhi adalah fa'iil dengan makna faa'il.” (Ibnu Mandzur, 1998 : 270) \
Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم (al- hukmu) dengan dhamah berarti القضاء  (al-qadha) yaitu  mengadili, bentuk jama'nya adalah االأحكام  (al-ahkam). Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :
اللحكم لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i. (Al-Fauzan, 1997 : 28)
Nasrun Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm"  dalam beberapa arti, yaitu :
1.      Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2.      Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'.
3.      Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh)
4.      Keputusan hakim di sidang pengadilan. (Haroen, 2001 : 207) 
Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm  adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i” (Khalaf, 2003 : 87).
Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. 
Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. (Ali, 2004 : 44) Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam” (Ash-Shidieqi, 1986 : 44)
Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah.
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi dari syariah dengan beraneka ragam, misalnya Hasbi Ash-Shidieqy yang mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”. ( Ash-Shidieqy, 2001 : 18). Masjfuk Zuhdi mendefinisikannya dengan “Hukum yang ditetapkan Allah melalui RasulNya untuk hamba-hambaNya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan akidah, amaliah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak. (Zuhdi, 1990 : 1).
Rifyal  Ka'bah mengemukakan  bahwa  hukum  Islam  adalah terjemahan dari istilah Syari'at Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau fiqh Islam (al-fiqh a/-Islami).  Syariat  Islam  dan  fiqh  Islam  adalah  dua  buah  istilah  otentik  Islam yang berasal dari perbendaharaan kajian Islam sejak lama. (Rifyal Ka'bah, 2006.)
Dalam bagian lain disebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul. (Hasan, 1995 : 5) Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata hukum dalam “Hukum Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm akan tetapi makna hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari'ah dalam bahasa Arab. Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan : Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat. ( Djamil, 1999: 11)
Dari sini berarti hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah syariah Islam, walaupun cakupan makna syariah tentu lebih luas dari pada pengertian hukum itu sendiri. Penyandaran hukum kepada Islam (hukum Islam) berarti hukum tersebut sesuai dengan syariah Islam.

Hukum Islam yang bersifat statis dan Konstan
Di dalam syariat Islam terdapat aspek-aspek yang tetap (konstan/statis) yang menjadi sifat hukum Islam. Padanya tidak boleh ada upaya pengebirian terhadap berbagai ketetapan tersebut. Sebab, syariat merupakan bagian dari fitrah dan realitas manusia yang selalu ada dan senantiasa melekat kuat.
Dasar-dasar syariat Islam yang universal bersifat konstan dan abadi. Keberadaaannya seperti aturan-aturan alam semesta yang mengokohkan kedudukan langit dan bumi agar tidak bergeser, kacau atau saling bertabrakan. Sebagaimana kita ketahui jika revolusi bumi lebih lambat atau lebih cepat sedikit saja tentu akan mengakibatkan keseimbangan alam semesta ini terganggu. Demikian pula pokok-pokok Islam yang tauqifi jika dirubah sedikit saja tentu akan mengurangi kesempurnaan Islam bahkan bisa jadi akan terjatuh kepada sesuatu yang bersifat muhdats :
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Maka hal-hal yang berkaitan dengan aqidah / tauhid adalah sesuatu yang konstan misalnya tentang tauhid rububiyah, uluhiyyah dan asma wa sifat. Padanya tidak ada perubahan dan harus sesuai dengan nash-nash syar'i dan keyakinan Nabi serta para shabatnya. 
Selain itu pada beberapa jenis hukum yang telah ditetapkan oleh Allah ta'ala baik di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah secara qath'i (qath'i tsubut ) maka ia akan tetap dan tidak bisa berubah (konstan). Misalnya dalam masalah waris, jumlah raka'at shalat, jumlah nishab zakat dan haul zakat dan lain sebagainya. Walaupun demikian dalam masalah-masalah tersebut terdapat pula bagian-bagian yang memerlukan adanya pengembangan pemahaman. Misalnya pada masalah mustahik zakat, saat ini budak jelas sudah tidak ada lagi, maka diperlukan adanya reinterpretasi mengenai makna budak, demikian pula mualaf ., Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan bagian zakat bagi para mualaf  (Zudi, 1990 : 30).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam yang bersifat konstan yang berkaitan dengan muamalah dengan sesama manusia masih memberikan peluang untuk selaras dengan kemaslahatan manusia. Adapun yang berkaiatan dengan ibadah mahdhah dan keyakinan (aqidah) maka tidak ada kompromi padanya, dalam arti kita wajib taslim  dengan nash-nash yang telah menetapkan hukum tersebut.      
Selain itu, syariat Islam bukanlah undang-undang yang dibuat oleh manusia, sebab segenap hal yang dibawa oleh manusia merupakan bagian dari gambaran perjalanan waktu. Syariat Islam juga bukan sekumpulan peraturan yang diberlakukan pada masa dan lingkungan tertentu serta ditujukan kepada bangsa yang memiliki struktur psikologi dan sosiologis tersendiri. Syariat Islam sesungguhnya adalah sekumpulan kaidah Ilahiyah yang berinteraksi dengan hukum alam yang bersifat konstan sehingga menyebabkan interaksi itu menjadi baik. ('Uways, Al-Fiqh Al-Islam baina Tathawur wa ats-tsabat : 119).
Sifat hukum Islam yang konstan dan statis berkaitan dengan kondisi manusia yang pada beberapa sendi kehidupannya tetap statis, seorang perempuan selamanya akan mengalami haidh, melahirkan dan mengasuh anaknya. Demikian juga seorang lelaki, secara umum ia memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibanding perempuan sehingga ia memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, ia juga mempunyai kewajiban untuk shalat jum'at, berjihad dan amal-amal yang khusus bagi laki-laki.
Demikian juga di masyarakat, betapapun berubah kondisi sosial masyarakat maka tetap saja mereka adalah manusia yang tidak bisa lepas dari tabiat kemanusiannya. Pada dimensi inilah hukum Islam akan selalu bersifat konstan, karena tidak diperlukan adanya perubahan padanya.   

Hukum Islam yang bersifat elastis dan dinamis
Perkembangan sosial budaya manusia yang terus mengalami perubahan yang begitu cepat, ia tumbuh dan berkembang sehingga membawa manusia kepada berbagai perubahan di hampir seluruh sendi kehidupannya. Jika dulu seseorang harus melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji selama tiga sampai empat bulan dari Indonesia ke Mekkah, maka sekarang ini hanya dalam waktu kurang lebih delapan jam kita sudah sampai ke sana. Permasalahannya tentu tidak sesederhana itu, adanya batas miqat yang harus dilewati jamaah haji menjadikan mereka memakai pakaian ihram di pesawat, sementara sebagian yang lain telah memakainya sebelum menaiki pesawat di negaranya masing-masing.
Dalam skala hukum yang lebih luas misalnya di bidang pidana Islam muncul berbagai permasalahan, misalnya bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah pembuktian dengan teknologi modern (seperti pemeriksaan DNA). Bagaimana pandangan hukum Islam tentang alat bukti berupa  rekaman video?  Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah kejahatan baru (seperti money laundering, computer crime, illegal loging) ? Bagaimana penerapan hukum Islam dalam masalah Korupsi ? semua itu memerlukan adanya solusi yang harus diselesaikan oleh hukum Islam.
Syukur kepada Allah ta'ala yang telah menurunkan syariat Islam dengan sempurna bagi umat manusia :
   الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS Al-Maidah ayat 3
Kesempurnaan syariat Islam bukan berarti ia menjelaskan secara terperinci tentang seluruh sendi kehidupan manusia. Ia memberikan kaidah-kaidah global yang dapat menjadi pedoman bagi setiap permasalahan yang ada every where and every time.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya Islam menggunakan mashadir al-ahkam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber supremasi hukum, selain itu dalam khazanah hukum Islam dikenal pula adanya ­al-adilah al-ahkam yang terdiri dari Ijma Shahabat, Qiyas, Ijtihad, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man Qoblana dan ‘Urf  (Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah : hal. 45).
Ijtihad, Qiyas dan Maslahah Mursalah menjadi dalil hukum Islam yang sangat urgen bagi perkembangan hukum Islam. Dengan adanya sumber dan dalil hukum ini Islam dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu dengan menghasilkan hukum-hukum baru yang belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang tercakup dalam ruang lingkup Ilmu Fiqh. Kerangka ilmu fiqh yang begitu luas memerlukan adanya sebuah pemikiran dan istidlal (pengambilan dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga akan dapat memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dan inilah ciri khas dari fiqh Islam / hukum Islam yang selalu bersifat dinamis dan senantiasa  berubah-ubah. (Djamil, 1999 : 20)
Kondisi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang menuntut hukum Islam untuk menanggung beban berat dalam peranannya sebagai problem solver (pembuat solusi), namun dengan adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat dalil-dalil global menjadikan semua permasalahan dapat dijawab oleh hukum Islam, tentunya dengan sentuhan tangan dari para cendekiawan (ulama) untuk menggali hukum dari keduanya. (Peunoh Daly, Perkembangan Ilmu Fiqh : hal. 83)
Bagian-bagian dari sistem hukum Islam yang elastis berkaitan dengan permasalahan yang bersifat ”furu’” dalam hal ini biasanya tidak tidak terkait langsung dengan permasalahan aqa’id. Ia mempunyai ciri khas yaitu tidak adanya dalil dan nash sharih yang menetapkan suatu hukum pada sebuah permasalahan. Contoh paling mudah adalah mengenai ta’zir. Ta’zir adalah bentuk sangsi hukuman yang bersifat terbuka dan dinamis yang memungkinkan para qadhi (hakim) atau penguasa memiliki wewenang untuk bertindak dalam rangka mengatasi berbagai dekadensi moral dan sosial. Hanya saja bentuk sangsi ini tidak boleh sampai menyamai sangsi hudud.  Bentuk dan jenis dari ta’zir inilah yang menjadi ranah ijtihad  bagi para mujtahid dalam menetapkannya.
Selain itu tentu hal-hal baru yang berkaitan dengan permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya adalah medan bagi hukum Islam untuk terus berkembang mengikuti dinamika masyarakat. Adanya kasus pencangkokan oragan tubuh, alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB), abortus, Inseminasi buatan, Asuransi, jual beli valuata asing dan lain sebagainya adalah sedikit contoh yang menjadi tantangan hukum Islam untuk terus maju dan berkembang dengan memberikan solusi dengan dasar keyakinan Islam.  
Sejatinya jauh sebelum bermunculannya berbagai permasalahan modern di tengah masyarakat, hukum Islam telah memberikan suatu tahapan hukum yang memberikan suatu kewenangan bagi umatnya untuk menggunakan rasionya dalam menimbang setiap hukum yang dianggap baru oleh mereka. Maksudnya adalah bahwa syariat Islam datang sesuai dengan kadar rasio serta keimanan bagi para pemeluknya.
Sebagai contoh adalah pengharaman khamr, ia adalah salah satu bukti yang tidak dapat ditolak. Evolusi pengharamannya melalui beberapa tahap. Dimulai tentang celaan terhadap khamr tersebut, seperti disebutkan dalam Al-Qur'an :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya", QS Al-Baqarah : 219
Dalam ayat ini Allah ta'ala hanya menyebutkan tentang jeleknya mengkonsumsi khamr, karena hal ini termask dosa besar, walaupun Ia menyebutkan juga tentang adanya sedikit manfaat darinya. Ayat ini belum mmemberikan suatu larangan yang tegas bagi para peminum khamr. (Djamil, Filsafat Hukum Islam : 70).
Setelah ayat tersebut dipahami dan dapat dijadikan pertimbangan dalam jiwa mereka (para shahabat) dalam meminum khamr, selanjutnya Allah ta'ala menyebutkan lanjutan dari mengkonsumsi khamr ini :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. QS An-Nisaa : 43
Sebagian shahabat Nabi ketika turun ayat yang pertama dalam QS Al-Baqarah : 219 tentang khamr ini, masih tetap mengkonsumsinya hingga Allah melarang untuk melaksanakan shalat ketika mereka dalam keadaan mengkonsumsinya. Dari sini tampak adanaya larangan yang secara langsung mengurangi jumlah konsumsi mereka terhadap khamr.
Setelah kedua ayat tersebut turun dan jiwa para shahabat telah siap untuk menerima sebuah hukum yang tetap dan pasti maka turunlah ayat : 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ(91)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). QS Al-Maidah : 90 -91).
Ayat inilah yang menjadi akhir dari kepastian hukum dari mengkonsumsi khamr, maka setelah ayat ini turun para shahabat Nabi membuang seluruh khamr yang mereka miliki, hingga dalam suatu riwayat kota Madinah dipenuhi dengan khamr yang ditumpahkan dan dibuang oleh kaum muslimin waktu itu.
Itulah salah satu contoh dari bagaimana hukum Islam sangat memahami adat kebiasaan manusia yang seringkali sangat sulit untuk dihilangkan, apalagi berkaitan dengan budaya yang sudah berakar sekian lama.
Contoh lainnya adalah berkenaan dengan masalah riba (tambahan bunga dalam berbagai transaksi). Pengharamannyapun tidak sekaligus, ia mengalami beberapa tahapan. Pertama Allah ta'ala mencela orang-orang Ahli Kitab yang memakan riba dan harta orang lain dengan cara yang batil :
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا(161)
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. QS An-Nisaa : 161.
Setelah itu Allah ta'ala memberikan sebuah argumenatasi filosofis bagi orang-orang Islam yang mengambil riba :
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). QS Ar-Rum : 39.
Tahap berikutnya yaitu larangan Allah ta'ala untuk memakan riba yang bersifat berlipat ganda (adh'fan mudha'afah).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(130)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. QS Ali Imran : 130
Allah mencela dan melarang setiap riba yang sifatnya terus bertambah dengan berjalannya waktu. Dalam ayat ini ada indikasi bahwa riba yang tidak berlipat ganda (adh'fan mudha'afah) diperbolehkan. Jika kita membaca ayat ini saja mungkin bisa jadi pemahamannya demikian, namun ternyata ayat ini disambung kembali oleh Allah ta'ala dengan sebuah hukum pasti tentang riba :
 الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. QS Al-Baqarah : 275.
Ayat ini secara jelas dan gamblang memberikan hukum haramnya riba dalam berbagai variannya, baik ia dalam akad-akad jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, gadai dan lain sebagainya.
Dari sinilah cendekiawan muslim memiliki tugas untuk menggali hukum-hukum (istimbat al-ahkam) mengenai hal-hal baru yang belum pernah dikaji dan dibahas sebelumnya oleh ulama terdahulu, tentunya dengan tidak menyimpang dari spirit Islam.
Kedinamisan hukum Islam juga tercermin dari beberapa kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama, di anatara kaidha tersebut adalah : 
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab (illatnya). Dalam kaidah yang lainnya disebutkan :
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
Tidak diingkari adanya perubahan hukum disebabkan oleh berubahnya masa.
Maksud dari dua kaidah ini adalah bahwa pada beberapa kasus hukum terjadi perubahan siak hukum sehingga berubah dari hukum asalnya. Seseorang yang dalam keadaan kelaparan dan tidak ada makanan halal di sekitarnya, maka ia diberikan rukhsah untuk memakan makanan haram tersebut sesuai dengan kadar yang diperlukan. Demikian pula seseorang yang sakit keras dan sulit sekali melakukan shalat maka diperbolehkan untuk shalat hanya dengan isyarat dengan kedua matanya.
Sebagai contoh dari hukum Islam yang bersifat elastis adalah di bidang jual beli (buyu'), di mana kita mendapati empat buah ayat yang berhubungan dengan hal ini, yaitu dalam QS Al-Baqarah : 275 - 282, An-Nisaa : 29 dan Al-Jumu'ah : 9. Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukan hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah pihak, larangan riba, dan larangan jual beli sewaktu adzan jum'at. (Ash-Shidieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam : 27).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip dalam jual beli yang diatur dalam Islam sangat bersifat global sehingga di sini ada ruang bagi para cendekiawan muslim untuk mengembangkan berbagai transaksi jual beli yang terus berkembang di era global ini. Dengan demikian hukum Islam akan senantiasa selaras dengan perkembangan zaman.
Jika kita meneliti lebih jauh hukum Islam, maka kita akan melihat bahwa ternyata hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan fitrah manusia, walaupun itu berkaitan dengan hukum qishas (balas) yang merupakan momok bagi setiap manusia yang tidak paham dengan hukum Islam. Mari kita periksa syariat qhisas ini. Allah ta’ala berfirman :  
يا يها الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. QS Al-Baqarah : 178.
Ternyata dalam hukum qishas pun Islam memberikan alternative lain ketika ternyata ahli waris dari orang yang dibuynuh tersebut tidak menginginkan adanya qishah, walaupun hanya satu oirang ahli waris yang tidak menuntutnya. 
Dari sini terlihat jelas bahwa Hukum Islam sangat memperhatikan berbagai tabiat dasar manusia, baik bidang muamalah, ibadah, jinayah, siayasah  dan yang lainnya. Ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh umat manusia. Dengan demikian yang diharapkan dari umat Islam adalah tumbuh dan berkembangnya proses ijtihad yang menurut Iqbal disebut "Prinsip gerak dalam Islam" Ijtihad merupakan suatu teori yang aktif, produktif dan konstruktif". (Djamil, Filsafat Hukum Islam : 48). 
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa ternyata hokum Islam memberikan tempat yang memadai bagi setiap cendekiawan untuk berijtihad dalam rangka mengembangkan dan beristidlal dalam permasalahan-permasalahan hokum yang tidak ditemukan adanya nash shahih di sana.



Penutup
Syariat Islam atau hukum Islam adalah sebuah sistem hukum yang datang dari Allah ta'ala, ia datang sebagai suatu jalan (manhaj) bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Syariat islam memiliki dua sumber hukum primer yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari keduanya para ulama membuat berbagai kaidah-kaidah yang disebut dengan dalil-dalil syariat (al-adilah asy-syar'iyah) seperti ijma', qiyas, istislah, istishab, maslahah mursalah, 'urf, qaul shahaby dan syar'u man qablana. Semua itu adalah seperengkat kaidah yang dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan suatu hukum, dengan ini hukum Islam akan senantiasa dapat menjadi problem solver bagi setiap permasalahan yang ada.
Hukum Islam sendiri memiliki dua sifat yang saling melengkapi, yaitu sifat statis dan sifat elastis.
Sifat hukum Islam yang statis berkaitan dengan permasalahan keimanan (aqidah) yang tidak ada ruang padanya untuk merubah baik mengurangi atau menambahkannya. Ia bersifat konstan (tauqify) yang berarti taken for granted.
Adapun sifat hukum Islam yang elastis dan dinamis berkaitan dengan permasalahan fiqh (yurisprudence) yang tidak ada nashnya secara sharih dan qath'i. Permasalahan ini biasanya adalah permasalahan-permasalahan baru yang belum terjadi sebelumnya, baik pada masa Nabi ataupun pada masa-masa sesudahnya, misalnya permasalahan ta'zir, berbagai akad jual beli, bayi tabung, shalat di luar angkasa dan lain sebagainya.     



Referensi
Al-Mahalliy, Jalal Ad-Din dan Jalal Ad-Din As-Suyuti. Tafsir Jalalain. Sinar Baru Algesindo : Bandung, 1995.
Al-Fauzan, Abdullah bin Shalih. Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Muslim : Riyadh , 1997. 
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004.
Al-Qatan, Manna' Khalil. At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Maktabah Wahbah : Mesir
Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Falsafah hukum Islam, PT Bulan Bintang : Jakarta, 1986.
Ash-Shidieqy, M. Hasbi. Pengantar hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra  : Semarang, 2001.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Ats-Tsalastah Al-Ushul, Dar Ibn Al-Jauzy : Mesir, 2004.
As-Sa'di, Abdurrahman Bin Nashir. Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan. Dar Al-Ihya At-Turats Al-Islamy : Kuwait, 2003.
Dasuki, HA. Hafizh. Ensiklopedi Hukum Islam. PT Ichtiar Baru van Hoeve : Jakarta,  1997
Daly, Peunoh. Perkembangan Ilmu Fiqh. Bumi Aksara : Jakarta, 1982.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999.  
Elizabeth    A.  Martin  (editor). A  Dictionary  of  Law. Oxford  University  Press : New  York, 1997.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Madzhab, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta, 1995.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I, PT Logos Wacana Ilmu : Jakarta,  2001.
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz III, Darul Ihya At-Turats Al-‘Araby :  Libanon.
Ka'bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia, Buletin Dakwah, 19 Mei 2006
Khudary Beik, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islamy, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah :  Jakarta, 2007.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Dar Al-Hadits : Kairo, 2003.
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Munawwir. Pustaka Progressif  : Surabaya, 1997.
Uwais, Abdul Halim. Al-Fiqh Al-Islam Baina Atyh-Thatawur wa Ats-Tsabat. Asy-Syirkah As-Su'udiyah Li Al-Abhats Wa At-taswiq, tt.  
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syari’ah. CV. Haji Masagung : Jakarta, 1990.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...