Sabtu, 26 Maret 2011

Kisah Di balik “POLIGAMI”


 Oleh Ummu Afif


Ketika membicarakan masalah poligami, mungkin terasa menarik bagi para laki-laki. Dari beberapa ikhwan yang pernah penulis tanya, hampir rata-rata memberikan sinyal “berkeinginan” walau hanya dalam angan dan realisasinya belum terlaksana. Eh…tapi penulis sengaja memberikan tanda kutip dua, berarti masih ada laki-laki yang masih belum “berkeinginan”. Lagi-lagi masih dalam tanda kutip ya…

Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh menolak apa yang telah menjadi ketentuan Alloh dan Rasul-Nya. Karena apa yang telah menjadi ketetapan Alloh dan Rasululloh adalah baik adanya dan tentunya untuk kemaslahatan umat. Begitu juga dengan masalah poligami. Terlepas dari pro dan kontra masalah poligami, di sini penulis ingin mengajak para pembaca melihat realita yang ada di balik orang-orang yang melaksanakan poligami. Ada banyak kebaikan di sana, namun tidak sedikit yang menjadi musibah bagi mereka yang melaksanakan sunnah yang satu ini.

Saat penulis menjadi mediator “ta’aruf” dan ternyata gagal, usut punya usut ternyata sang ikhwan bertanya kepada akhwat pandangannya tentang “ta’ddud” (poligami) dan bagaimana bila seandainya nanti di poligami? Ikhwan dan akhwat ini sudah pasti mengerti tentang hukum poligami dari kajian-kajian yang diikutinya selama ini. Tapi ketika disodorkan pertanyaan “siapkah untuk dipoligami?”….hmmm….tidak sedikit dari akhawat yang diam…Entahlah…diamnya itu karena tidak mau atau karena pertarungan dalam hatinya…Bila dia mengatakan “iya”, terus terang dia belum siap, tetapi bila dia mengatakan “tidak”, berarti dia menolak syariat. Walhasil diam menjadi pilihan.

Penulis memberikan applause dan jempol untuk para ikhwan yang belum menikah tetapi sudah terfikir untuk ta’addud. Alasan mereka ta’addud adalah untuk menjalankan sunnah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, karena tanda-tanda akhir zaman dengan banyaknya jumlah wanita dari pada laki-laki, selain itu ingin mempunyai keturunan yang banyak untuk syi’ar agama Islam yang mulia ini. Sebuah keinginan yang subhanalloh tentunya, dan pastinya pembaca setuju bukan?

 Lalu bagaimana bila seorang ustadz, penceramah, da’i  yang selalu menyebarkan kebaikan, selalu mengajarkan mana yang halal dan mana yang haram, lalu terjebak dalam fitnah wanita? Lalu jalan terakhirnya adalah ta’addud karena sang ustadz telah beristri. (he he…ustadz juga manusia lho…) Dan inilah fitnah yang dahsyat “fitnah wanita”. Di balik kesuksesan seorang laki-laki, ada wanita di belakangnya, tetapi lihatlah banyak pula laki-laki yang menderita hanya karena seorang wanita, putus asa, menjadi temperamen, bahkan bisamen jadi kufur karena fitnah wanita….Ah…wanita…kadang engkau disanjung, tetapi kadang engkau bisa menjadi petaka.

Ketika poligami akhirnya menjadi sebuah keputusan terakhir untuk menghindari fitnah wanita, bisa jadi musibah yang akan terjadi. Seperti dalam pembagian giliran malam. Istri pertama telah banyak mengalah, namun ketika buah hatinya sakit dan dia butuh kasih sayang seorang ayah, namun ketika di hubungi  sang ayah sedang sibuk dengan istri barunya. Rasa sedih dan nelangsa tentunya bergelayut dalam hati istri pertama. Dia tidak terlalu peduli dengan keadaannya, tetapi yang dia butuhkan keberadaan sang ayah untuk anaknya ketika sakit. Ketika dia meminta pengertian dari sang suami, namun terhalang oleh ancaman istri barunya, walhasil kekerasan dalam rumah tangga berupa pukulan yang di dapat dari suami yang teramat dimuliakannya.

Dan masalah ini terjadi pada orang yang mengerti tentang ilmu syar’I, bagaimana hidup berpoligami, bagaimana cara membagi malam antara istri-istrinya. Lalu bagaimana dengan ancaman  Alloh bagi mereka yang berpoligami akan berjalan miring di akhirat ketika dia tidak mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya? Bila hanya bersembunyi di  balik “saya juga manusia” apakah semua masalah akan selesai? Saat hendak berpoligami dia menyodorkan dalil, bila digugat tentang rasa ketidakadilan dia bersembunyi di balik “manusia itu tempat khilaf”. Bila sudah begini, bukankah akan mendatangkan kerusakan lain? Bisa jadi istri pertama akan mengajukan khulu karena telah merasa didzalimi? Buah hati yang tidak mengerti permasalahan yang terjadi akan menjadi korban dari rasa keegoisan orang tuanya? Kalau sudah begini trauma juga akan dirasakan bagi para akhawat yang lain, menjadi phobia dengan ta’addud. Lalu…..bagaimana dengan antum ya ikhwah….?

Hidup Poligami………….!!!!!!
Dukung Poligami……….!!!!!!
(suara laki-laki…he he…@smile)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...