Jumat, 22 April 2011

Rumah Sakit Dalam Sejarah Peradaban Islam


 Dr. Mustafa As-Siba’i


Di antara prinsip-prinsip yang melandasi peradaban kita ialah penggabungannya antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani serta pengakuannya bahwa perhatian terhadap jasmani dan tuntutan-tuntutannya adalah suatu keharusan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia dan mencerahkan rohaninya. Salah satu kalimat yang berasal dari peletak dasar-dasar peradaban kita, Muhammad Rasulullah, adalah : Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak yang hrus kau penuhi. (HR. Bukhari dan Muslim).
Satu hal yang tampak dalam ibadah-ibadah Islam ialah realisasinya terhadap salah satu tujuan terpenting ilmu kedoteran yaitu pemeliharaan kesehatan. Shalat, puasa, haji, dan segala yang dituntut oleh ibadah-ibadah ini berupa syarat-syarat, rukun-rukun dan perbuatan-perbuatan, semua menjaga kesehatan, kegiatan dan kekuatan jasmani. Apabila kita mencermati lebih jauh bahwa Islam memerangi penyakit-penyakit dan penularannya serta menganjurkan mencari obat yang bisa mengatasinya maka anda pasti mengetahui asas-asas kuat mana yang melandasi pembangunan peradaban kita di bidang kedokteran dan sejauh mana faedah yang diperoleh dunia dari peradaban kita dalam mendirikan rumah sakit dan lembaga-lembaga kedokteran. Peradaban kita telah menghasilakan dokter-dokter yang selalu dibanggakan jasa-jasanya oleh kemanusiaan dalam ilmu pada umumnya dan kedokteran pada khususnya.
Bangsa Arab mengenal sekolah kedoteran Jundisabur yang didirikan oleh Kisra pada pertengahan abad ke-6 Masehi, Sekolah ini telah menelorkan dokter-dokternya, seperti Harits bin Kaladah yang hidup pada masa Nabi Saw. Dia mengimbau sahabat-sahabat Nabi agar berobat kepadanya apabila terserang penyakit.
Pada masa Walid bin Abdul Malik, didirikan rumah sakit pertama dalam Islam yang khusus untuk penderita kusta. Di situ ditempatkan dokter-dokter yang diberi gaji. Para penderita diberi nafkah dan dilarang ke luar. Kemudian menyusul pebdirian rumah sakit-rumah sakit yang dikenal dengan sebutan Bymaristan, yaitu rumah yang ditempati orang-orang sakit.
Rumah sakit ada dua macam, yaitu rumah sakit keliling dan rumah sakit permanen. Rumah sakit keliling adalah rumah sakit yang pertama kali dikenal dalam Islam pada masa hidup Nabi yakni dalam perang Khandak, ketika didirikan kemah untuk orang-orang yang terluka.  Tatkala Sa`ad bin Muadz terluka di bagian urat tangannya, Nabi berkata, Tempatkan dia di kemah Rafidah sampai aku menyambingnya sebentar lagi! Itulah rumah sakit pertama salam Islam yang didirikan pada saat perang. Kemudian para Khalifah dan raja-raja mengembangkannya pada masa-masa selanjutnya. Rumah sakit keliling itu dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan orang-orang sakit seperti obat-obatan, makanan, minuman, pakaian, dokter, dan apoteker. Rumah sakit keliling berpindah dari satu desa ke desa lainnya di tempat-tempat yang belum ada rumah sakit permanennya.
Wazir Isa bin Ali al Jarrah menulis surat kepada Sinan bin Tsabit, dokter pengawas rumah sakit Bagdad dan lainnya: Aku memikirkan penduduk desa-desa. Di antara mereka tentu ada yang sakit, padahal di situ tidak ada dokter yang mengawasinya dan mengobati mereka. Maka, kirimkanlah dokter-dokter berikut persediaan obat-obatan dan minuman, berkeliling ke desa-desa. Di masing-masing tempat para dokter itu harus tinggal selama jangka waktu yang dibutuhkan dan mengobati orang-orang yang sakit di situ. Kemudian baru berpindah ke tempat lainnya.
Sebagian rumah sakit keliling itu pada masa Sultan Muhammad Seljuk mencapai volume yang besar sehingga diangkut oleh empat puluh ekor unta. Rumah sakit-rumah sakit permanen sudah banyak jumlahnya, memenuhi kota-kota dan ibukota-ibukota. Tidak ada sebuah negeri kecil pun di dunia Islam saat itu yang tidak memiliki rumah sakit. Bahkan Cordoba saja mempunyai lima puluh rumah sakit. Rumah sakit-rumah sakit itu bermacam-macam. Ada rumah sakit militer yang di tangani oleh dokter-dokter spealis, di samping dokter-dokter khalifah, para panglima dan Umara dan ada rumah sakit-rumah sakit untuk narapidana. Para dokter berkeliling mengunjungi mereka setiap hari untuk mengobati penyakit mereka dengan obat-obat yang lazim.
Wazir Isa bin Ali al Jarrah pernah menulis surat kepada Sinan BinTsabit, pemimpin-pemimnpin dokter-dokter Bagdad. Isi surat itu antara lain : Aku memikirkan keadaan orang-orang dalam penjara. Di antara mereka pasti ada yang terserang penyakit karena jumlah mereka banyak sementara tempatnya sangat buruk. Maka, seyogyanya engkau mengirimkan secara khusus dokter-dokter kepada mereka setiap hari serta membawa obat-obatan dan minuman, lalu berkeliling mengunjungi penjara-penjara dan mengobati orang-orang sakit yang ada di situ.
Ada juga pos-pos pertolongan pertama yang didirikan di dekat masjid-masjid dan tempat-tempat umum yang penuh dengan masa, Al Marqizi bercerita kepada kita bahwa Ibnu Toulon, ketika membangun masjidnya yang terkenal di Mesir, di bagian belakang masjid ia membuat tempat Wudhu dan apotek. Di apotek itu terdapat seluruh macam obat dan minuman, ada pelayan-pelayannya, dan ada pula dokter yang duduk setiap hari jum`at untuk mengobati jamaah shalat yang terserang penyakit. Ada pula rumah sakit-rumah sakit umum yang selalu membuka pintu-pintunya untuk mengobati masyarakat. Rumah sakit-rumah sakit umum terbagi menjadi dua bagian pria dan bagian wanita. Masing-masing bagian mempunyai ruangan yang banyak. Setiap ruangan untuk satu macam penyakit. Antara lain ada ruangan untuk penyakit dalam, untuk penyakit mata, ruangan operasi bedah, untuk patah dan retak tulang, dan untuk penyakit jiwa. Bagian penykit dalam mempunyai ruangan khusus lagi, Ada ruangan khusus untuk penyakit diare, dan lain sebagianya. Setiap bagian terdiri dari beberapa dokter yang dipimpin oleh dokter kepala bagian bedah dan patah tulang, juga ada dokter kepala bagian mata. Semua bagian dipimpin oleh direktur umum yang disebut sa`ur, yaitu gelar bagi kepala dokter-dokter rumah sakit.
Dokter-dokter itu bekerja secara bergiliran. Setiap dokter mempunyai waktu tertentu dimana ia berada dalam ruangan-ruangan yang ditempatinya untuk mengobati para pasien. Di setiap rumah sakit ada sejumlah karyawan, laki-laki dan perempuan, juru rawat dan pembantu. Masing-masing mendapat gaji tertentu yang cukup. Di setiap rumah sakit juga terdapat apotek yang di sebut gudang obat . Apotek itu berisi berbagai macam sirup dan tablet yang berharga, aneka jenis obat, wewangian istimewa yang hanya terdapat di situ. Di samping itu juga terdapat alat-alat bedah, bejana-bejana kaca dan keramik, dan lain-lain, padahal semua benda tersebut biasanya terdapat di lemari raja-raja.
Rumah sakit-rumah sakit itu juga merupakan sekolah-sekolah kedoteran. Di setiap rumah sakit terdapat ruangan besar untuk kuliah. Para dokter ahli bersama para dokter dan mahasiswa duduk di ruangan itu. Di samping mereka ada alat-alat dan buku-buku. Para mahasiswa duduk di hadapan guru mereka setelah mengunjungi dan mengobati pasien. Kemudian berlangsunglah pembahasan-pembahasan tentang kedokteran dan diskusi antara guru dan murid. Mereka menelaah buku-buku kedokteran. Seringkali sang guru disertai muridnya masuk ke rumah sakit untuk melakukan kuliah praktek terhadap para pasien, seperti yang terjadi sekarang ini di rumah sakit-rumah sakit yang berlindung pada fakultas kedokteran.
Ibnu Abu Ushaibiah, salah seorang dosen yang mengajar ilmu kedokteran di Bymaristan An Nuri di Damaskus berkata, Setelah Hakim Muhadzabuddin dan Hakim Imran selesai mengobati para pasien yang diopname di Bymaristan (ketika itu aku bersama mereka), maka aku lantas duduk bersama syekh Ridhaddin ar Rahbi. Aku mencermati cara dia mendiagnose penyakit dan segala yang dianalisa dengannya tentang banyak penayakit dan cara-cara pengobatannya.
Seorang tidak dokter tidak diijinkan membuka praktek sendiri sebelum menempuh ujian (pendadaran) di hadapan dokter ahli. Ia maju dengan sebuah tesis mengenai ilmu yang ia inginkan ijazahnya. Tesis itu dapat bersumber dari hasil karangannya atau karangan salah seorang dokter ahli dikajinya dan dikomentarinya. Ia diuji mengenai tesis itu dan ditanya mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hal itu. Jika ia bisa menjawab dengan baik maka dokter ahli memberinya ijazah yang dapat mengijinkannya menjalankan praktek kedokteran.
Pada tahun 319 H (931 M) pada masa khalifah Al Muqtadir pernah terjadi, salah seorang dokter salah mengobati seorang pasien singga pasien itu meninggal. Maka khalifah memerintahkan para dokter ahli agar menguji sekali lagi semua dokter di Bagdad. Mereka lalu diuji oleh Sinan bin Tsabit, tokoh dokter ahli di Bagdad. Di Bagdad saja jumlah dokter mencapai 860 orang lebih. Dokter-dokter yang tidak diuji adalah dokter-dokter terkenal, dokter-dokter khalifah, menteri dan pejabat. Setiap rumah sakit juga mempunyai sebuah perpustakaan yang penuh dengan buku-buku kedokteran dan buku-buku lainnya yang dibutuhkan oleh para dokter dan mahasiswa kedokteran, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa di rumah sakit.
Ibnu Toulon di Kairo terdapat perpustakaan yang berisikan lebih dari 100.000 buku mengenai seluruh macam ilmu. Aturan masuk ke rumah sakit-rumah sakit itu adalah gratis bagi semua orang, baik untuk kaya maupun miskin, yang rumahnya jauh maupun dekat, dan untuk orang yang tersohor maupun tidak. Pertama kali pasien diperiksa di ruang depan (luar). Jika penyakitnya ringan maka resepnya langsung ditulis dan ditukarkan ke apotek rumah sakit. Namun orang yang kondisi penyakitnya mengharuskannya diopname di rumah sakit maka namanya dicatat, dibawa masuk ke kamar mandi, dilepas pakaiannya (yang diletakkan dilemari khusus), kemudian diberi pakaian khusus rumah sakit. Setelah itu ia dimasukkan ke ruangan khusus tempat pasien-pasien yang berpenyakit serupa. Ia diberi tempat tidur sendiri yang bagus, diberi obat yang telah ditentukan dokter dan diberi makanan yang sesuai dengan kesehatannya yang telah ditetapkan untuknya. Makanan pasien biasanya meliputi daging kambing, sapi, burung dan ayam. Tanda kesembuhan pasien adalah apabila ia boleh makan roti dan ayam secara lengkap dalam satu menu. Bila ia sudah memasuki fase kesembuhan maka ia di masukkan ke ruangan khusus untuk pasien-pasien yang baru sembuh. Jika ia benar-benar sembuh maka ia diberi pakaian ganti yang baru dan sejumlah uang yang mencukupinya sampai ia mampu bekerja.
Kamar-kamar rumah sakit selalu bersih. Air selalu mengalir lancar. Ruangan-ruangannya diberi perabotan yang terbaik. Setiap rumah sakit mempunyai pemeriksa-pemeriksa kebersihan dan pengawas-pengawas keuangan. Seringkali khalifah atau amir menjenguk sendiri para pasien serta mengawasi perlakuan dan pelayanan rumah sakit terhadap mereka. Itulah aturan yang berlaku di seluruh rumah sakit yang ada di dunia Islam baik di Magrib (wilayah Barat), di Masyriq (kawasan Timur), di rumah sakit-rumah sakit Bagdad, Damaskus, Kairo, Al Quds, Mekah, Madinah, Maroko, Andalus dan lainnya. Namun di sini kami akan membatasi pembicaraan pada empat buah rumah sakit di empat kota dari ibukota-ibukota Islam pada masa-masa itu.
1. Runah Sakit Adhudi di Bagdad
Rumah sakit ini dibangun oleh Daulah bin Buwaihi pada tahun 371 H setelah Ar Razi, dokter yang amat terkenal memilih tempatnya dengan meletakkan empat potong daging di empat penjuru Bagdad dalam semalam. Tatkala pagi tiba ia mendapatkan daging yang terbaik baunya di tempat yang menjadi letak rumah sakit itu di kemudian hari,.
Pada waktu pendiriannya,rumah sakit itu menghabiskan dana yang sangat besar. Di situ ditempatkan 24 orang dokter dan dibangun semua yang dibutuhkan rumah sakit, seperti perpustakaan ilmiah,apotek, dapur-dapur dan gudang-gudang.
Pada tahun 449 Hijriah khlifah Al Qaim Biamrillah memperbaharuinya. Berbagai macam obat dan sirup yang kebanyakan sulit didapat dikumpulkan di situ. Ia membuatkan juga tempat tidur-tempat tidur dan selimut untuk para pasien. Juga minyak wangi dan es. Ia juga menambah pelayan, dokter dan karyawan. Ada juga penjaga pintu dan pemgawal-pengawal. Di rumah sakit itu terdapat kolam besar yang berada di samping kebun yang penuh dengan aneka macam pohon buah-buahan dan sayur-mayur. Perahu-perahu berlayar mengangkut para pasien yang lemah dan miskin. Para dokter melayani mereka secara bergiliran pagi dan petang. Juga ada yang bermalam bersama mereka secara bergantian.
2. Rumah Sakit Besar An Nuri
Didirikan oleh Sultan Malik Adil Nuruddin as Syahid pada tahun 549 H (1154 M) dari harta yang diambilnya sebagai tebusan dari salah seorang raja Eropa. Ketika dibangun, rumah sakit itu merupakan rumah sakit yang terbaik di antara rumah sakir-rumah sakit di seluruh negeri. Sebenarnya rumah sakit An Nuri diperuntukan bagi kaum fakir-miskin, tetapi jika orang-orang kaya terpaksa memerlukan obat-obatan yang ada di situ, mereka juga diijinkan mendapatkannya. Semua obat dan minuman yang ada di situ memang dibolehkan bagi setiap pasien yang memerlukannya.
Ibnu Jubair pernah mengembara memasukki rumah sakit itu pada tahun 580 H. Ia menggambarkan perhatian para dokter kepada pasien-pasien dan kepedulian mereka terhadap keadaan si pasien. Juga tersedia persediaan obat-obatan dan makanan yang layak. Di situ ada bagian khusus untuk penyakit jiwa. Orang-orang gila di situ diikat dan dirantai, tapi makanan dan pengobatan tetap diperhatikan.
Sebagian sejarawan mengatakan, pada tahun 813 H pernah ada seorang asing (non Arab) yang memiliki keutamaan, perasaan dan kelembutan berkunjung ke Damaskus. Ketika memasuki rumah sakit An Nuri dan melihat begitu banyaknya para dokter di situ yang begitu baik memperhatikan pasien, juga melihat makanan yang disediakan rumah sakit itu, hadiah-hadiah dan kenikmatan-kenikmatan yang tak terhitung, ia ingin menguji pengetahuan para dokternya. Maka ia pura-pura sakit dan tinggal selama tiga hari di sana. Dokter kepala bolak-balik mendatanginya untuk memeriksa kelemahannya. Tatkala dokter itu meraba denyut nadinya, tahulah ia bahwa orang itu tidak sakit, melainkan hanya ingin menguji dokter-dokternya saja. Maka dokter kepala itupun langsung menuliskan resep untuk orang tersebut yang berisi makanan-makanan enak (ayam yang gemuk, kue-kue, minuman-minuman dan buah-buahan yang beraneka macam). Setelah tiga hari dokter kepala itu menulis surat kepadanya. Katanya, Menjamu tamu dikalangan kami hanya sampai tiga hari. Maka orang asing itupun tahu bahwa mereka mengerti maksudnya dan menganggapnya sebagai tamu di rumah sakit selama itu. Rumah sakit An Nuri melaksanakan amalnya yang besar hingga tahun 1317 H, saat didirikannya rumah sakit untuk orang-orang asing, yaitu rumah sakit yang di awasi oleh fakultas kedokteran di Universitas Suriah. Rumah sakit An Nuri ditutup, kemudian difungsikan menjadi sekolah kejuruan.
3. Rumah Sakit Besar Al Mashuri (Bymaristan Qalawun)
Semula rumah sakit ini adalah rumah salah seorang pejabat, lalu diubah oleh Malik Manshur Saifuddin Qalawun menjadi rumah sakit pada tahun 683 H (1284 M). Setiap tahun ia mewakafkan untuk rumah sakit tersebut 1000 dirham dan dibangunkan pula sebuah masjid, sekolah dan pantai asuhan anak yatim. Orang-orang mengatakan bahwa hal yang menyebabkan rumah sakit itu dibangun ialah ketika Malik Manshur jatuh sakit di Damaskus. Dokter-dokter mengobatinya dengan obat-obat yang diambil dari rumah Sakit Besar An Nuri. Setelah sembuh ia pergi dengan menunggang kuda untuk menyaksikan sendiri rumah sakit itu. Ia amat takjub dan benazar kepada Allah, jika ia diberi kekuasaan oleh Allah, ia akan membangun rumah sakit yang serupa. Tatkala menjadi Sultan, ia memilih rumah ini, lalu membelinya dan mengubahnya menjadi rumah sakit.
Rumah Sakit Besar Al Manshuri merupakan salah satu kecanggihan dunia dalam pengaturan dan penertiban. Siapapun boleh memasuki dan memanfaatkannya, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba sahaya, raja atau rakyat jelata. Pasien yang ke luar dari situ ketika sembuh diberi pakaian, sedang pasien yang meninggal diurus, dikafani dan dikuburkan. Di situ ditempatkan pula dokter-dokter dari berbagai cabang kedokteran. Juga dipekerjakan pegawai-pegawai dan pelayan-pelayan untuk melayani pasien, membenahi dan membersihkan tempat-tempat mereka, mencuci pakaian mereka dan melayani mereka di kamar mandi. Setiap pasien di layani oleh dua orang pelayan dan diberi tempat tidur lengkap. Setiap kelompok pasien disendirikan di tempat-tempat khusus. Di situ ada juga ruangan khusus dokter kepala untuk memberikan pelajaran-pelajaran kedokteran kepada para mahasiswa. Di antara hal yang menakjubkan di situ ialah bahwa pemanfaatan rumah sakit itu tidak terbatas hanya pada pasien-pasien yang tinggal di situ tetapi juga diperuntukkan bagi pasien di rumah yang meminta minuman, makanan dan obat-obatan yang diperlukannya.
Rumah sakit ini menunaikan amal kemanusiaannya yang mulia. Bahkan sebagian dokter mata yang bekerja di situ mengabarkan, setiap hari pasien yang masuk dan yang ke luar berjumlah sekitar 4.000 orang. Pasien yang sembuh dan yang ke luar dari situ selalu diberi pakaian dan sejumlah uang nafkahnya sehingga ia tidak perlu segera bekerja berat untuk mencari penghidupan.
Di antara hal yang menakjubkan juga ialah ketentuan dalam akte wakaf rumah sakit itu. Makanan setiap pasien harus diberikan dengan piring yang khusus untuknya dan tidak boleh digunakan pasien lain, juga harus ditutup dan diantarkan kepada pasien dengan cara ini. Hal lain yang juga menakjubkan, para pasien yang tidak bisa tidur bisa menyenakan telinganya dengan mendengarkan musik-musik merdu atau menghibur diri, dengan menyimak kisah-kisah yang diceritakan oleh tikang dogeng. Sedangkan bagi pasien yang sudah sembuh dipertunjukkan komedi-komedi dan tarian-tarian desa. Tukang adzan di masjid yang bersisian dengan rumah sakit mengumandangkan adzan pada dini hari dua jam sebelum fajar. Mereka juga mengalunkan suara-suara pujian-pujian dengan suara lembut untuk meringankan penderitaan para pasien yang dijemukan oleh keadaan mereka yang tidak bisa tidur dan terlalu lama mendekam di rumah sakit.
Kebiasaan ini berlanjut hingga masuknya ekspedisi Perancis Ke Mesir tahun 1798 M. Sarjana-sarjana Perancis menyaksikan sendiri kebiasaan itu dan menulis tentang hal itu. Katanya, Demi Allah, ini adalah keluhuran kemanusiaan yang mengagumkan dan keahlian di bidang kedokteran yang tidak diperhatikan oleh dunia modern kecuali pada masa modern. Ini meningatkan saya pada hal-hal yang saya dengar di Tripoli mengenai wakaf langka yang hasilnya dikhususkan untuk menugaskan dua orang agar mengunjungi rumah sakit-rumah sakit setiap hari, kemudian berbicara di samping para pasien dengan suara yang pelan agar si pasien mendengar apa yang disugestikan kepadanya bahwa keadaannya bahwa keadaannya sudah membaik, wajahnya sudah memerah dan matanya sudah bersinar.
4. Rumah Sakit Marrakesh
Didirikan oleh Amirul mukminin Manshur Abu Yusuf, salah seorang raja Muwahhidin di Maghrib. Ia memilih lapangan yang luas di Marrakesh di tempat yang terbaik dan menyuruh ahli-ahli bangunan untuk mendirikan rumah sakit itu dengan bentuk paling bagus serta menanaminya dengan segala macam pepohonan, bunga-bungaan dan buah-buahan. Di situ dialirkan air yang banyak yang mengitari seluruh bangunan di samping empat buah kolam yang dibagian tengahnya terdapat marmer putih, juga dihamparkan permadani-permadani indah dari berbagai jenis wol, katun, sutra, kulit dan lain-lain yang tak bisa digambarkan satu per satu. Di situ juga didirikan apotek-apotek dan laboratorium untuk meramu obat-obatan, salep dan alkohol.
Untuk sang pasien disediakan baju tidur malam dan siang. Jika si pasien sembuh, sedang ia miskin, maka ia diberi uang untuk biaya hidupnya selama belum bekerja. Jika pasien itu hanya kaya maka uangnya di kembailkan kepadanya. Rumah sakit ini tidak terbatas hanya untuk orang-orang miskin saja tapi juga untuk orang kaya. Bahkan setiap orang kaya yang sakit di Marrakesh dibawa ke situ dan diobati hingga sembuh atau meninggal. Setiap hari jum`at Amirul Mukminin mengunjunginya, menjenguk para pasien dan menanyakan keadaan mereka serta menanyakan perlakuan para dokter dan perawat terhadap mereka.
Itulah empat contoh dari ratusan rumah sakit yang tersebar di dunia Islam, baik di kawasan Timur maupaun Barat. Sementara pada waktu itu bangsa Eropa masih tersesat dalam gelapnya kebodohan. Mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang rumah sakit-rumah sakit ini berikut ketertibannya, kebersiahannya dan keluhuran perasaan kemanusiaan yang ada di dalamnya.
Simaklah apa yang dikatakan orientalis Jerman, Max Meirhauf mengenai keadaan rumah sakit-rumah sakit di Eropa pada masa ketika rumah sakit-rumah sakit peradaban kita sudah mencapai kemajuan seperti yang telah kami gambarkan di atas. Dr. Max berkata, Rumah sakit-rumah sakit Arab dan sistem-sistem kesehatan di negeri-negeri Islam pada masa silam telah memberikan kepada kita pelajaran yang keras dan pahit. Kita tidak dapat menilainya dengan benar bila kita belum mengadakan perbandingan sederhana dengan rumah sakit-rumah sakit Eropa pada masa yang sama.
Lebih dari tiga abad yang lalu (terhitung dari masa kini) di Eropa, sebelum dikenal arti rumah sakit umum (hingga abad ke-18 atau 1710 M), rumah sakit masyarakat Eropa ibarat rumah-rumah kasih sayang dan kebajikan serta hanya sebagai tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal, baik orang sakit maupun tua. Contoh paling nyata untuk itu adalah Rumah Sakit Autille Dieux di Paris. Rumah sakit ini adalah rumah sakit Eropa terbesar saat itu yang digambarkan Max Turdeau dan Tenon sebagai berikut:
Rumah sakit itu berisi 1200 tempat tidur, 486 buah di antaranya masing-masing dikhususkan untuk 1 orang, sedangkan sisanya biasanya dtempati 3 sampai 6 pasien (padahal satu tempat tidur luasnya tidak lebih dari lima kaki). Serambi-serambi besarnya pengap dan lembab, tidak berjendela atau berventilasi. Serambi-serambi selalu dalam keadaaan gelap. Di situ Anda dapat melihat, setiap hari sekitar 800 pasien tidur terlentang di tanah, saling bertindihan satu sama lain dalam keadaan sangat memperahtinkan. Di tempat tidur berukuran sedang dapat pula anda saksikan 4,5 atau 6 pasien yang berhimpitan. Kaki pasien yang satu menimpa kepala pasien yang lain. Anak-anak kecil bersisian dengan orang tau, sedang perempaun bersisian dengan laki-laki (kadang-kadang tidak dapat di percaya, tetapi itulah kenyataannya). Anda dapat saksikan juga seorang perempuan yang hampir melahirkan bercampur dengan anak kecil yang sedang dalam keadaan kejang karena terserang tipus dan demam. Di samping mereka ada pasien lain yang menderita penyakit kulit yang menggaruk kulitnya yang lapuk dengan kuku-kukunya yang penuh darah sehingga nanah koreng-koreng mengalir di atas selimut. Makanan pasien-pasien termasuk yang paling jelek yang bisa dibayangkan akal. Jumlah makanan yang dibagikan kepada para pasien sungguh tidak memadai dan dalam selang waktu yang tidak teratur. Para biarawti sudah biasa mengistimewakan pasien-pasien yang patuh dan munafik atas pasien-pasien lainnya. Mereka diberi minum khamar dan dberi makan kue-kue dan makanan berlemak yang disumbangkan para dermawan pada saat mereka lebih membutuhkan pantangan singga banyak di antara mereka yang mati karena terlalu banyak makan sedang yang lain mati karena kelaparan. Pintu-pintu rumah sakit terbuka setiap saat bagi setiap pasien yang datang pagi dan sore. Dengan begitu, berjangkitlah penyakit-penyakit karena penularannya dan karena kotoran-kotoran serta udara yang busuk. Kasur-kasur penuh dengan serangga-serangga kotor, sedang udara di kamar-kamar tidak bisa dihirup karena terlalu pengap sehingga para pelayan dan perawat tidak berani masuk kecuali setelah meletakkan karet busa atau bunga karang yang dibasahi dengan cuka pada hidung-hidung mereka. Jenazah orang mati dibiarkan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum diangkat dari tempat tidur umum (yang di pakai bersama pasien lain). Seringkali jenazah itu rusak dan membusuk, terbujur di samping pasien lain yang nyaris hilang kesadarannya.
Inilah perbandingan sederhana antara kondisi rumah sakit pada masa peradaban kita dengan kondisi rumah sakit Barat pada masa-masa itu. Ini merupakan sebuah perbandingan yang menunjukkan sejauh mana kerendahan keilmuan yang dialami bangsa Barat ketika itu. Juga merupakan kebodohan yang nyata terhadap kaidah-kaidah rumah sakit, bahkan terhadap kaidah-kaidah kesehatan umum yang seharusnya.
Dalam dua peristiwa yang dikisahkan Usamah bin Munqiz dalam buku Al I`tibar kita dapat melihat sejauh mana kebodohan tentara-tentara Salib Barat terhadap ilmu kedokteran, dan sejauh mana pengetahuan dokter-dokter mereka. Usamah mengatakan, ada salah satu keanehan dalam kedokteran mereka (orang-orang Barat). Selanjutnya Usamah berkata, Penguasa Manaitharah pernah menulis surat kepada pamanku. Penguasa minta dikirimkan seorang dokter untuk mengobati sahabat-sahabatnya yang sakit. Pamanku mengirimkan dokter Nasrani bernama Tsabit, Tak sampai sepuluh hari dokter itu sudah kembali. Kami berkata kepadanya, Betapa cepat Anda mengobati orang-orang sakit. Dokter itu lalu berkata, Mereka membawa kepadaku seorang prajurit berkuda yang terdapat bisul di kakinya dan seorang perempuan yang pucat sekali. Aku mengopres prajurit itu sehingga pecah bisulnya dan akhirnya dia sembuh, sedangkan perempuan itu aku hangatkan dan aku segarkan kembali tubuhnya. Kemudian datang kepada mereka seorang dokter Barat. Dia berkata, Orang ini tidak mengetahui cara mengobati mereka. Lalu ia bertanya kepada prajurit itu, Mana yang lebih engkau sukai, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki? Prajurit itu menjawab, Hidup dengan satu kaki. Dokter itu berkata, Hadirkan seorang prajurit dan kuat dan kapak yang tajam! Setelah prajurit dan kapak yang dimaksud sudah ada, dokter itu lalu meletakkan betis prajurit yang berbisul itu di lobang papan dan berkata, Potonglah kakinya dengan kapak itu! Prajurit yang kuat itu mengayunkan kapaknya sekali tetapi kaki itu tidak putus. Maka diulanginya sekali lagi sehingga mengalir sumsum tulang betis itu dan prajurit itu tewas seketika.
Selanjutnya Usamah beralih menceritakan bagaimana dokter Salib itu menyuruh merendam perempuan itu ke dalam air panas sehingga ia pun mati seketika itu juga. Kami akhiri pebicaraan ini dengan beberapa kesimpulan yang kami harap bisa mengundang perhatian, yaitu:
a. Dalam pengaturan rumah sakit, peradaban kita lebih dahulu dari orang-orang Barat, sekurang-kurangnya tujuh abad.
b. Rumah sakit-rumah sakit kita berpijak pada rasa kemanusiaan yang mulia yang tak ada bandingannya dalam sejarah dan tidak pula dikenal oleh orang-orang Barat sampai sekarang.
c. Kita adalah umat paling dahulu mengenal pengaruh besar musik, komedi dan sugesti dalam penyembuhan orang-orang sakit.
d. Dalam mewujudkan solidaritas sosial kita telah mencapai batas yang tidak pernah dicapai oleh peradaban Barat hingga sekarang, yakni ketika kita memberikan perawatan, pengobatan dan makanan kepada para pasien secara gratis. Bahkan kepada yang miskin kita memberikan sejumlah uang uang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai mampu bekerja.
Dalam pemaparan di atas kita dapat melihat sendiri bahwa kita telah mencapai puncak dalam kecenderungan kemanusiaan ini pada saat kita memikul panji-panji peradaban. Kini yang patut kita pertanyakan pada diri masing-masing, sekarang ini di mana posisi kita sebenarnya dan di mana pula posisi orang-orang Barat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...