Jumat, 01 April 2011

Waktu makan yang diperhitungkan


Oleh : Abdurrahman

Makan adalah salah satu dari kebutuhan pokok manusia, ia menjadi penopang bagi tubuh agar tetap dalam kondisi siap melakukan berbagai bentuk aktifitas di dunia. Sebagai sebuah penopang ia adalah sarana untuk mencapai sebuah tujuan utama yaitu menjadikan tubuh ini mampu beribadah kepadaNya. Ini berarti makan adalah sarana yang esensinya adalah sebatas memberikan asupan bagi tubuh agar bisa melakukan ibadah.
Pernahkah kita berpikir berapa lama waktu yang diperlukan untuk melaksanakan aktifitas makan? Saya sendiri tidak pernah berpikir itu. Namun ketika membaca biografi beberapa ulama saya tercengang ternyata managemen waktu yang mereka lakukan telah merambah sampai waktu untuk makanpun diperhitungkan. Mereka begitu hemat dalam mengatur waktu hingga tidak mau waktu itu terbuang sia-sia, sampai dalam masalah makan.
Mereka tidak mau hanya karena makan waktu mereka terkurangi untuk menuntut ilmu. Maka sebagian mereka makan dengan makanan yang mudah dimasak dan mudah dicerna. Luar biasa…..
Di antara mereka adalah Imam Ibnu Abi Dawud salah seorang lautan ilmu. Beliau menceritakan tentang dirinya “Aku masuk Kufah dan hanya memiliki satu dirham lalu aku membeli 30 mud baqlah (kacang-kacangan). Maka aku memakan baqlah dan aku menulis riwayat dari Abu Sai’d Al-Asyad. Tidaklah habis kacang itu sampai aku bisa menulis 30 ribu hadits yang maqthu’ dan mursal.” Beliau memilih kacang-kacangan karena waktu untuk mengkonsumsinya dapat digunakan sambil mengkaji ilmu selain tidak diperlukan waktu lama dalam memasaknya. Ini beliau lakukan sebagai bentuk kesungguhannya dalam mengkaji ilmu, membaca dan menuliskannya.
Sebagian mereka mengurangi waktu makan dengan cara hanya satu kali makan dalam sehari semalam yaitu ketika waktu sahur. Hal ini sekaligus mereka niatkan untuk berpuasa. Di antara para ulama yang melakukan hal ini adalah Imam Al-Farahidy berkata: “Waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan.” Maksudnya adalah beliau merasa berat untuk menghabiskan waktu untuk makan, karena akan mengurangi jatah waktunya untuk mengkaji ilmu.
Hal ini dilakukan pula oleh Imam An-Nawawy rahimahullah, tidaklah beliau makan dalam sehari kecuali satu kali di waktu sahur, dan tidaklah minum kecuali satu kali. Itu beliau lakukan karena waktunya dihabiskan untuk membaca, menelaah dan menuliskan ilmu. Dalam hal makanan beliau  juga menjauhi berbagi macam buah, karena buah-buahan akan membasahi tubuhnya sehingga menjadikan banyak tidur.
Sebagian mereka menyedikitkan makan di saat waktu  makan tiba, hal ini dilakyukan agar tidak butuh banyak minum, dengan banyak makan bisa jadi akan banyak masuk kamar mandi sehingga waktu yang begitu berharga terbuang sia-sia.
Penggunaan waktu makan yang efisien juga dilakukan oleh Imam Ibnu Aqil. Beliau pernah berkata tentang makanannya “Aku memilih kue lalu siram dengan air dibanding roti karena adanya perbedaan jenis.” Beliau mengambil kue lalu menjadikannya seperti tepung lalu menelannya satu kali telan bersama dengan air, dan tidak memilih roti karena dianggap terlalu lama dalam memakannya. Hal ini tidaklah berlebih-lebihan, hingga akhirnya beliau (Ibnu Aqil) mampu dengan semangat ini mengarang kitab judulnya “Al-Funun” yang terdiri dari 800 jilid. Adz-Dazhaby berkata: “Tidak diketahui dalam Islam karya yang lebih besar dari kitab ini dalam 800 jilid.” Beliau mengumpulkan padanya permasalahan aqidah, fiqih, bahasa, ushul, tafsir, sya’ir-sya’ir, wejangan, hasil pemikiran dan sebagainya.
Maka cepat dalam  hal makan, dalam berjalan, dalam menulis adalah sesuatu yang dikenal dari ulama kita. Mereka telah menghemat waktu dan menggunakannya untuk sesuatu yang lebih bermanfaat yaitu membaca dan menuliskan ilmu.
Imam As-Suyuthy berkata: berkata guru kami Al-Kinany dari bapaknya (penulis Al-Khithabah)”: “Kecepatan temannya ilmu dalam tiga perkaraa: Dalam makan, berjalan dan menulis.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...