Selasa, 10 Mei 2011

Al-Quran dan As-Sunnah Pemersatu Ummah

Oleh : Abu Aisyah 

Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang telah disepakati (ijma') oleh seluruh umat Islam. Keduanya menjadi pedoman dalam memutuskan segala sesuatu. Pada keduanya terdapat hukum-hukum yang global dan hukum-hukum yang rinci mengenai segala sendi kehidupan manusia. Di dalam salah satu ayat Al-Qur'an disebutkan :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ(89)
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. QS An-Nahl ayat 89.
Al-Qur'an adalah petunjuk global bagi segala sesuatu, sedangkan As-Sunnah (Al-Hadits) adalah penjelasannya. Keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan, karena keduanya saling membutuhkan. Al-Qur'an sangat membutuhkan As-Sunnah demikian pula As-Sunnah membutuhkan Al-Qur'an. Kedudukan keduanya sama karena datang dari sumber yang sama yaitu Allah ta'ala.
Maka ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam hendaklah kita kembalikan kepada kedunya, Allah ta'ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisa ayat 59.
Syaikh Abdurrahaman bin Nashir As-Sa'di di dalam kitab tafsirnya Juz II / 89-90 menafsirkan ayat ini bahwa kembali kepada Kepada Allah berarti kembali kepada Al-Qur'an dan kembali kepada Rasul berarti kembali kepada sunnahnya.
Pendapat seperti ini juga disebutkan oleh Mujahid, Qatadah dan ahli tafsir lainya, mereka menyatakan bahwa kembali kepada Allah ta'ala berarti kembali kepada Al-Qur'an dan kembali kepada Rasul berarti bertanya kepada Rasulullah semasa hidupnya dan setelah wafatnya, maka kita melihat kepada sunnahnya. (Tafsir Ibnu 'Athiyah Juz IV / 112-113).
Ayat ini sangat jelas menunjukan bahwa setiap perbedaan pendapat yang ada haruslah dicari solusinya di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Perintah berpegang teguh kepada keduanya juga disebutkan oleh Nabi Muhammad shalalahu alaihi wa salam dalam sebuah haditsnya :  
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku tinggalkan kepada kalian dua sumber hukum yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitabullah dan sunnah Nabinya. HR Al-hakim 1/93, Ath-Thabrani, Malik II/1899, Muslim 1218 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Jami' no. 2934.
Ada kesalahan persepsi yang terjadi di tengah masyarakat muslim yaitu menganggap bahwa as-sunnah adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Ini adalah sebuah kesalahan, kenapa? karena baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah keduanya berasal dari Allah ta'ala, sehingga tidak ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Jika Al-Qur'an menetapkan suatu hukum, maka kita wajib untuk mengikutinya, demikian pula jika As-Sunnah menetapkan suatu hukum tersendiri selain yang ada dalam Al-Qur'an maka kita wajib untuk mentaatinya pula. Artinya adalah bahwa As-Sunnah bisa jadi menetapkan suatu hukum selain yang ada di dalam Al-Qur'an.
Sebagai contoh As-Sunnah mengharamkan daging binatang yang mempunyai taring dan kuku yang tajam :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فأكله حرام
Rasulullah melarang untuk memakan segala hewan yang memiliki taring dan memakannya adalah haram. HR Muslim.
Dalam hadits ini Rasulullah mengharamkan segala binatang yang memiliki taring, padahal dalam Al-Qur'an tidak disebutkan tentang hal ini. Maka di sini kedudukan As-Sunnah dapat menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.
Dari sini kita mengetahui bahwa antara keduanya adalah satu, karena itu kita tidak boleh memisah-misahkannya. Jika ada suatu kelompok yang mengingkari salah satunya, maka dapat dipastikan kelompok tersebut telah sesat. Misalnya suatu kelompok menolak Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam atau menolak As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
Dan ternyata kelompok yang hanya menolak salah satu dari sumber hukum ini telah ada saat ini, yaitu yang dikenal dengan kelompok Ingkar Sunnah, mereka menolak sunnah-sunnah nabi sebagai sumber hukum, padahal sudah sangat jelas ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya kita mengikutinya.
Sebenarnya penolakan terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah terbagi menjadi menjadi dua bagian : Pertama, menolak secara terang-terangan dengan menyatakan bahwa keduanya atau salah satunya bukan sumber hukum dan pedoman dalam agama ini. Kedua, menolak dengan kiasan misalnya dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an ataupun As-Sunnah sudah tidak relevan (cocok) dengan perkembangan zaman, keduanya sudah kuno, ketinggalan zaman dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk penolakan ini yang banyak terjadi di masyarakat. Dengan berbagai subhat tersebut masyarakat awam menganggap itu adalah sebuah pembaharuan berfikir. Ini adalah kesesatan yang nyata.
Jadi ketika ada kelompok yang menolak keduanya ataupun salah satunya, baik secara terang-terangan ataupun dengan kiasan maka kelompok tersebut adalah sesat. Ini tentu bukan klaim prematur, karena telah ada bukti nyatanta.  
Penolakan atas keduanya dalam bentuk yang lain yaitu dengan mengutamakan pendapat orang-orang yang dianggap mempunyai keilmuwan yang lebih dari orang lain. Entah itu seorang ustadz, kyai, ajengan, tuan guru atau seorang ketua kelompok. Perkataan mereka tidak boleh melebihi perkataan Allah dan rasulNya. Sebagaimana firman Allah ta'ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(1)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS Al-Hujuraat ayat 1.
Imam Al-Jalalain dalam tafsirnya menyatakan bahwa makna "Janganlah kamu mendahului Allah dan rasulNya" adalah janganlah kalian mendahului di dalam perkataan dan perbuatan tanpa izin dari keduanya. Ini berarti seorang muslim tidak boleh mendahulukan atau mengutamakan perkataan dan perbuatannya tanpa adanya izin (kehendak) dari Allah ta'ala dan rasulNya. Apalagi mengesampingkan keduannya hanya karena orang lain yang kita percayai mempunyai pendapat yang berbeda.
Kenapa hal ini kami ungkapkan? kita semua adalah manusia yang lemah, demikian juga mereka semua adalah manusia yang dha'if (lemah). Maka tidak ada kewajiban untuk mengutamakan pendapat mereka di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bersabda :       
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ فَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam pernah berbuat salah (dosa) dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat. HR Thirmidzi.
Dari hadits yang mulia ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa seluruh manusia jelas mempunyai kesalahan dan tidak ada manusia yang sempurna, termasuk juga ustadz-ustadz, kyai-kyai atau orang-orang pintar. Mereka jelas mempunyai kesalahan misalnya dalam masalah-masalah ijtihad, tentunya kesalahan mereka tidak wajib kita ikuti, karena kita sebagai umat Islam dididik untuk mandiri dan dilarang taklid dan ta'ashub. Taklid adalah mengikuti pendapat seseorang tanpa adanya dalil yang dijadikan pegangan baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, sedangkan ta'ashub berlebih-lebihan dalam mengutamakan kelompoknya.
Sifat taklid dan ta'ashub ini adalah ciri khas dari orang-orang kafir, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" QS Al-Baqarah ayat 170.
Demikian pula dalam QS Asy-Syura ayat 74 :
قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Mereka menjawab: "(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian".
Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan di dalam kitab "Al-Irsyad Ila Shahih Al-I'tiqad" hal. 337 menjelaskan tentang ayat ini "Apabila mereka disuruh mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menolak dengan alasan "Ustadz-ustadz kami dan bapak-bapak kami tidak mengerjakan amalan-amalan itu, jadi kami hanya mengikuti ustadz-ustadz kami dan pendapat-pendapat  madzhab kami".
Sikap mengikuti pendapat seseorang tanpa adanya dalil adalah sebuah kesalahan yang jelas, mereka hanya mengikuti madzhab-madzhab dan ustadz-ustadz mereka dan tidak mau rujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak paham dengan agama Islam ini sehingga mereka hanya menyandarkan segala bentuk kebenaran kepada ustadznya atau kelompoknya saja.
Mereka tidak mau berfikir bahwa kebenaran itu haruslah didasarkan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bahkan keimanan seseorang dipertaruhkan jika kita masih memilih pendapat seseorang padahal ia bertentangan dengan perintah Allah ta'ala dan petunjuk rasulNya :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS An-Nisaa ayat 65.
Menjadikan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa salam sebagai hakim berarti mengikuti petunjuknya, mengutamakan pendapat dan amalannya sekaligus tidak boleh menyelisihinya walaupun ada pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan pendapat beliau.  
Fenomena lain yang terjadi di masyarakat adalah fenomena bermadzhab. Pada dasarnya bagi orang-orang awam diperkenankan untuk mengikuti salah satu madzhab, namun bukan berarti dia harus mengikuti mafdzhabnya tersebut tanpa adanya upaya untuk menambah ilmunya.
Kebanyakan para pengikut madzhab lebih mengutamakan pendapat madzhabnya dari pada pendapat Allah dan rasulNya (Al-Qur'an dan As-Sunnah). Padahal para imam madzhab sendiri telah berlepas diri dari orang-orang seperti ini. Mereka akan rujuk (kembali ) kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah mana kala pendapatnya menyelisihi keduanya.
Di antara buktinya adalah wasiat seorang imam besar yaitu  Imam Syafi'i rahimuhullah yang menegaskan :
إِذَا صَحَّ الْحَدِيث فَهُوَ مَذْهَبِي
Apabila hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku.
Demikian pula pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal :
عجبت لقوم عرفوا الإسناد وصحته يذهبون إلي رأي سفيا.
Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui sanad dan shahihnya hadits, namun mengambil pendapat seseorang, padahal Allah ta'ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
……maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. QS An-Nur ayat 63.
Seorang sahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas berkata dengan nada marah mana kala ada seseorang yang lebih mengutamakan ucapan orang lain dari pada ucapan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa salam.
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء, أقول قال رسول الله و تقول قال أبو بكر وقال عمر
Aku takut kalian akan dijatuhi batu-batu dari langit manakala aku berkata "Rasulullah bersabda" sedangkan kalian mengatakan "Abu bakar berkata, Umar berkata".  
Dan masih banyak perkataan imam yang lain, di antaranya Imam Malik Bin Anas yang menyatakan :
كلنا راد ومردود إلا صاحب هذا القبر, يعني رسول الله صلى الله عليه والسلام
Setiap kita (manusia) bisa menolak dan ditolak (pendapatnya) kecuali penghuni kubur ini (yaitu nabi Muhammad SAW). HR Ibnu Abdul Barr.
Nash-nash di atas cukup bagi kita uantuk menerangkan jeleknya mengutamakan pendapat madzhab daripada Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik berupa sikap taklid kepada satu orang guru ataupun berlebihan kepada kelompoknya (Kitab Al-I'tisham : Imam Asy-Syatibi hal. 506 – 507 Juz II).
Ada beberapa sebab kenapa sikap taklid dan ta'ashub ini tumbuh subur di kalangan umat Islam, diantaranya adalah :  
1.      Iblis dan balatentaranya.
2.      Guru / Ustadz yang mengajarkan
3.      Orang yang taklid tersebut (mukalid)
Berikut adalah penjelasannya :
1.      Iblis dan balatentaranya.
Iblis yang terlaknat tidak akan suka manusia ini menempuh jalan yang lurus ini, sebagaimana sumpahnya di dalam Al-Qur'an :
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). QS Al-'Araf ayat 16-17.
Inilah sumpah Iblis untuk menyesatkan manusia sampai akhir zaman, dengan segala bujuk rayu dan subhat-subhat yang ditancapkan ke dalam dada-dada anak Adam.
Di antara subhat tersebut adalah sikap taklid dan ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab dan guru-guru mereka. Dari sinilah muncul kata-kata yang tidak didasari oleh ilmu, mereka mengatakan : "Di dalam beragama kita harus memegang salah satu madzhab, kalau tidak maka tidak sempurna agama kita",
"Guru–ustadz kita khan sudah belajar ke mana-mana jadi tidak mungkin kalau berbuat kesalahan",
"Guru/ustadz/kyai kita khan sudah tingkat ma'rifat jadi setiap tindakannya dibimbing langsung oleh Allah ta'ala" dan lain sebagainya.
Semua perkataan di atas adalah sesat dan bertentangan dengan nash-nash yang ada di dalam A-Qur'an dan As-Sunnah.
Bantahan pertama ada dalam QS Al-Ahzab ayat 36 :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Demikian pula dalam QS An-Nisaa ayat 59 : 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Penjelasan kedua ayat tersebut sudah sangat jelas, maka tidak ada tempat bagi pendapat seseorang baik itu seorang ustadz atau yang lainnya jika telah ada nash dari Al-Qur'an maupun dari As-Sunnah yang shahih.  
Bantahan kedua adalah firman Allah ta'ala dalam QS Ali Imran ayat 133 :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
Maksudnya adalah bahwa setiap manusia dipastikan mempunyai kesalahan, karena itu Allah ta'ala senantiasa memerintahkan manusia untuk selalu bertaubat. Maka seseorang, berapapun tingggi ilmunya tentu mempunyai kesalahan-kesalahan, maka pada kesalahan-kesalahan yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah kita tidak wajib untuk mengikutinya.
Bantahan ketiga yaitu jika seseorang yang mengatakan demikian haruslah mendatangkan nash (dalil) tentang tingkatan-tingkatan yang mereka buat, yang menurut mereka ada tingkatan syariat, hakikat dan ma'rifat. Ini jelas bertentangan dan tidak sesuai dengan syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa salam.
Itulah sebab pertama timbulnya taklid dan ta'ashub yaitu yang dipelopori oleh Iblis dan balatentaranya yang mereka tidak ingin manusia ini berjalan sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para shahabatnya.   
2.      Guru atau ustadz yang mengajarkan.
Kenapa mereka disalahkan? bukankah mereka adalah orang-orang yang alim? benar, mereka adalah orang yang paham dengan agama, hanya saja sering kali metode penyampaian ilmu yang tidak tepat sehingga banyak di antara murid-muridnya yang menganggap bahwa kebenaran adalah yang datang dari ustadznya saja, sementara dari ustadz lain dianggap salah.
Misalnya seseorang yang mengajarkan ilmu agama namun jarang sekali mengucapkan perkataan Allah dan perkataan rasulNya, ia hanya membawakan pendapat-pendapatnya sendiri berdasarkan ra'yunya. Ra'yu (pendapat) tersebut tidak dilandasi oleh Al-Qur'an dan As-Sunah sehingga cenderung kepada hawa nafsunya.
Metode dakwah seperti ini jelas menjadikan orang yang diajar hanya terpaku terhadap perkataan ustadz-ustadznya, dan memang ustadz-ustadznyapun jarang sekali membahas apalagi memperingati tentang bahaya taklid dan ta'ashub ini.
Inilah faktor kedua yang menjadikan semakin suburnya taklid dan ta'ashub ini berakar di hati umat Islam. Jalan keluarnya bisa dengan merubah metode dakwah kita dengan metode dakwah yang diajarkan oleh pendidik terbesar kita yaitu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa salam dan juga dipraktekan oleh para sahabatnya, tabi'in dan tabiut tabi'in. Merekalah generasi terbaik kita yang harus kita contoh termasuk di dalam dakwah.
Sebagai contohnya adalah bagaimana Rasulullah mendidik para shahabatnya, misalnya tatkala seorang sahaabat rasul bersabda :
ماشاء الله وشئت قال : أجعلتني لله ندا ؟ بل ماشاء الله وحدة
"Menurut kehendak Allah dan kehendakmu (Nabi)", lalu Nabi bertanya "Apakah kamu mau menjadikan saya sebagai tandingan Allah ta'ala?" katakanlah "Menurut kehendak Allah saja. HR. Ahmad.
Kemudian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
إشترو أنفسكم من النار لاأغني عنكم من الله شيئا
Tukarkanlah diri-diri kalian dengan/selamatkanlah diri-diri kalian dari Neraka, saya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa di hadapan Allah ta'ala. HR Bukhary dan Muslim.  
Dua hadits ini cukup bagi para da'i untuk memahami bagaimana cara berdakwah Rasulullah. Adapun fawaaid (manfaat) yang dapat kita ambil dari hadits ini adalah :
a.       Hendaklah bagi seorang da'i jangan sombong dengan keilmuwan yang dimilikinya, sehingga orang-orang yang lemah imannya dan dimasuki subhat Iblis terpesona dengan kepandaian bicara dai tersebut dan timbullah sikap taklid.
b.      Seorang da'i haruslah merasa dirinya lemah dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah ta'ala, karena itu dia akan selalu memperingati pengikutnya dari sifat taklid dan ta'ashub sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur'an :
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
      Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. QS An-Nisaa : 28.
c.       Dalam menyampaikan materi hendaklah selalu mengutamakan perkataan Allah dan perkataan Rasul, sebelum pendapat-pendapatnya dan pendapat-pendapat gurunya, karena dakwah adalah untuk meninggikan kalimatNya bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.   
d.      Selalu memperingatkan pengikutnya dari bahaya taklid dan ta'ashub dengan bimbingan para ulama yang diakui keilmuannya.
Itulah beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh seorang dai, sebenarnya masih banyak lagi bisa anda lihat dalam "Manhaj Ad-Dakwah Ilallah".
3.      Orang yang taklid tersebut (mukalid).
Sudah fitrah manusia untuk mengidolakan seseorang yang dianggap berada di atasnya. Namun fitrah ini haruslah dibimbing oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga tidak menyimpang dari jalan keduanya.
Orang-orang yang bersikap taklid biasanya disebabkan karena dirinya merasa kurang ilmu pengetahuannya, sehingga ia akan mencari seseorang yang mempunyai ilmu lebih tinggi darinya. Jika hanya sebatas itu tidak masalah, yang menjadi masalah adalah ketika dia mendapatkan seseorang yang mempunyai ilmu lebih dan dia merasa bahwa orang tersebut mengetahui segala-galanya, ini sangat berbahaya.
Setiap muslim diperintahkan untuk menggunakan seluruh nikmat yang diberikan kepadanya dalam rangka beribadah kepadanya, di antara nikmat tersebut adalah nikmat akal pikiran. Dengannya kita bisa menimbang mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, ia akan dimintai pertanggunjawabannya :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. QS Al-Isra ayat 36.
Ayat ini memperingatkan orang-orang yang taklid kepada pendapat seseorang tanpa adanya ilmu pengetahuan tentangnya. Karena anugerah yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai kita pertanggungjawabkan,  apakah karunia itu kita manfaatkan sebaik-baiknya? Bagaimana kita akan menjawab semua pertanyaan itu di akhirat kelak?
Kita tentu tidak mau seperti orang-orang kafir yang menyesal dan saling mengutuk di neraka hanya karena mereka mengikuti pembesar-pembesar mereka :
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا(67)رَبَّنَا ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". QS Al-Ahzab ayat 66-68.
Mereka diadzab di akhirat karena sikap mereka yang mentaati pemimpin-pemimpin mereka tanpa melihat apakah hal itu benar atau salah. Adzab tersebut ditimpakan karena mereka tidak mau mencari kebenaran, mereka hanya taklid tanpa ilmu, dan sebagian mereka sampai derajat ta'ashub dengan kelompoknya.
Lalu bagaimana jalan keluar dari taklid ini? jawabannya adalah dengan selalu membekali diri dengan ilmu syari'ah, selalu meningkatkannya dan senantiasa menjaga diri dan amal kita agar selalu berada di atas jalanNya dengan petunjuk dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa salam.        
Demikianlah Islam berhukum, ia selalu mengutamakan Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas pendapatnya dan pendapat guru-guru mereka yang menyelisihi keduanya. Sehingga mereka selamat dari subhat-subhat yang dimasukan Iblis dan balatentaranya serta subhat-subhat yang didengung-dengungkan oleh musuh-musuh Islam demikian pula orang yang hanya menginginkan kehidupan dunia.
Kesimpulannya adalah bahwa setiap kelompok atau golongan yang tidak berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah kelompok yang sesat, sebaliknya mereka yang berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah maka mereka adalah kelompok yang selamat.
Namun fenomena yang kita lihat saat ini seluruh kelompok/golongan dalam Islam semuanya mendakwahkan berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, tapi apa yang terjadi? kenapa golongan-golongan tersebut tetap berbeda pendapat padahal katanya pedoman mereka sama? kenapa terjadi? inilah yang harus kita cari jawabannya.
Jawabannya adalah karena kesalahan mereka di dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pemahaman terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mereka ikuti hanya berdasarkan kepada pendapat-pendapat pribadi atau pendapat turun-temurun yang terus diwariskan dari guru-guru mereka tanpa adanya usaha untuk mencocokan dengan pemahaman para shabat Nabi. Ini jelas tidak sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai uswah terbaik kita :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin setelahku dan gigitlah dengan gigi taring (geraham) kalian. HR Abu Daud, Thirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim.
Hadits yang mulia ini memberi pengertian bahwa cara memahami sunnah/hukum sesudah Rasulullah adalah pemahaman para shahabatnya. Ya', inilah kenapa kita harus memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat karena merekalah generasi terbaik umat ini sebagaimana sabda Nabi :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang seseudahnya sesudah itu orang-orang sesudahnya. HR Bukhary, Muslim dan Ahmad.
Mereka adalah manusia terpilih yang dipilih oleh Allah ta'ala untuk mendampingin Nabinya, pantas kalau kita mencontoh mereka, karena mereka sudah mendapat rekomendasi dari Allah ta'ala, dan Dia ridha kepada mereka, dan merekapun ridha kepadaNya.
Banyak sekali dalam Al-Qur'an ayat-ayat yang menerangkan bahwa mereka adalah manusia terbaik, firman Allah ta'ala :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. QS Ali Imran ayat 110.
Demikian pula dalam firmanNya yang lain :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ(7)جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ(8)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. QS Al-Bayyinah yat 7 dan 8.
Siapakah mereka yang dimaksud dalam ayat-ayat di atas? jawabannya ada di dalam ayatNya yang lainnya :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. QS At-Taubah ayat 100.
Tidak salah lagi mereka adalah para shahabat nabi dan para tabi'in yang mereka hidup sezaman dengan nabi dan hidup dengan sinar nubuwah, kehidupan mereka selalu diawasi oleh Allah ta'ala, jika mereka berbuat salah maka mereka langsung ditegur olehNya. Tentunya dengan perantara malaikat Jibril dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa salam, sebagaimana teguran Allah ta'ala kepada Abu Bakar dan Umar yang terlalu meninggikan suara di hadapan Nabi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ(2)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. QS Al-Hujurat ayat 2.
Para sahabat hidup di zaman kejayaan Islam dan dibimbing langsung oleh Nabi, sehingga jalan mereka tersinari oleh cahaya nubuwah, karena itu tidak ada alasan untuk tidak mencontoh mereka (shahabat Nabi).
Itulah sedikit nash sebagai alasan kenapa kita harus mencontoh mereka. Untuk catatan, di dalam mencontoh mereka, kita harus mencontoh dalam semua hal, dari mulai masalah aqidah, ibadah, muamalah, manhaj, tazkiyatun nufus dan yang lainnya.
Syaikh Al-Islam berkata : Tidak ada celaan bagi orang-orang yang menisbatkan diri kepada orang-orang terdahulu. (Majmu Fatawa Jilid IV / 149).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...