Selasa, 10 Mei 2011

Haji : Keshalihan Pribadi dan Manfaat bagi Insani

Oleh : Abu Aisyah

Jumlah jama'ah haji Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, ini tentu menunjukan tingkat keberagamaan masyarakat Indonesia yang terus meningkat.
Di sisi lain banyaknya jama'ah haji tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan besar, begitu banyak jama'ah haji Indonesia namun tingkat kemiskinan masyarakatnya terus meningkat, ada apa  ini?
Sebenarnya bukanlah ukuran yang tepat bahwa meningkatnya jumlah jama'ah haji mengindikasikan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Akan tetapi seharusnyalah ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima ini menjadi indikasi suatu masyarakat itu memiliki tingkat pemahaman agama yang terus meningkat.
Namun sayang, sepertinya harapan tersebut masih di awang-awang, ibadah haji yang seharusnya akan membekas ke dalam sanubari seseorang dan memancar ke lingkungan tempat tinggalnya kini hanya sebuah fatamorgana.
Mitos bahwa haji adalah sebuah gelar kehormatan kini hanyalah legenda. Anda tidak percaya? silahkan, tidak ada yang melarang, hanya saja fakta di masyarakat memang demikian. Ada seseorang yang telah naik haji di tempat saya, namun kesehariannya tidaklah mencerminkan ia seorang haji. Apa rahasianya? ia melaksanakan ibadah haji karena waktu itu ia menjadi TKW di Saudi Arabia.
Apa ada yang salah? atau apa hubungannya ibadah haji dengan TKW? sekilas tidak ada, namun ternyata keberkahan sebuah ibadah adalah sebuah fakta tanpa bisa kita tolak. Dalam hal ini karena ibdah haji yang dilakukan oleh TKW tersebut adalah karena kebetulan kerja di sana, maka "nilai" dari hajinya tidak dapat dia raih.  
Lihatlah berapa banyak TKW atau TKI yang bekerja di Saudi Arabia yang telah melaksanakan ibadah haji namun ketika kembali ke Indonesia sikap, tingkah laku, akhlak dan tindak-tanduknya tidaklah mencerminkan seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji.
Sekali lagi ada yang salah? jangan salahkan mereka. Salahkanlah orang-orang yang telah naik haji dengan uang sendiri namun masih tetap menjalankan korupsi. Hajinya benar-benar tidak membekas dalam jiwa.
Pada asalnya ibadah haji adalah rukun ke-lima dalam Islam, ia adalah laksana puncak dari ibadah kita kepada Allah ta'ala selain ibadah-ibadah lainnya. Maka mana kala seseorang melaksanakan ibadah haji, ia telah mengorbankan hartanya, waktunya, tenaganya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Begitu banyak pengorbanan yang harus dikeluarkan hingga pahala yang dijanjikanpun begitu bernilai :
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ               
Haji yang mabrur (diterima) tidak ada pahalanya melainkan surga. HR Bukhary dan Muslim.
Mana ada pahala yang lebih tinggi melainkan surga. Karena itu seorang yang berhaji haruslah selalu mengikhlashkan niat karena Allah dan dalam berhaji haruslah mengikuti petunjuk Nabi :
خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
Ambilah dariku manasik haji kalian, karena aku tidak tahu apakah dapat berhaji lagi setelah ini. HR Ahmad.
Berapa banyak jama'ah haji yang berhaji tanpa mempedulikan tata cara ibadah hajinya, padahal kita tahu bahwa syarat diterimanya amal adalah mutaba'ah (mengikuti) cara Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam selain ikhlas hanya untuk Allah ta'ala.
Dari sini kita melihat beberapa indikasi kenapa ibadah haji kita sering kali tidak membekas dalam diri dan perilaku :
Pertama, harta yang digunakan untuk melaksanakan haji dihasilkan dari kerja yang haram atau subhat. Ini sangat berbahaya, karena dari harta yang jelek tidak mungkin akan memperoleh hasil yang baik. Lihatlah di masyarakat kita fakta yang terbentang, begitu banyak publik figur kita yang telah melaksanakan haji, namun tidak membekas sama sekali dalam dirinya, bahkan haji dianggap semacam ritual penghapus dosa, peningkat kepopuleran, menambah simpati orang lain, na'udzubillah min dzalika.
Bagaimana haji kita akan mabrur jika harta yang digunakan adalah dari jalan yang haram. Apalagi kalau niatnya adalah untuk mendapatkan keuntungan dunia. Karena itu kita harus memperhatikan dari mana harta kita diperoleh, jika harta itu bukan hak kita (hasil korupsi misalnya) maka tidak ada hak bagi kita untuk menggunakannya sekalipun untuk beribadah haji. Keberkahan tidak akan pernah ada pada ibdah yang dilaksanakan dengan harta yang haram dan subhat.
Kedua, belum adanya ilmu tentang ibadah haji tersebut. Ilmu yang dimaksud bukan hanya tata cara pelaksanaan haji saja, melainkan hakikat dari haji itu sendiri. Haji apa adanya adalah haji yang dilaksanakan oleh seseorang yang memahami apa itu hakikat berhaji, dilaksanakan ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk nabi.
Dengan bekal ilmu inilah seseorang akan mampu melaksanakan ibadah haji secara sempurna.
Ilmu adalah laksana udara untuk bernafas bagi manusia, ia begitu penting. Allah ta'ala memberikan contoh menarik dalam Al-Qur'an :
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. QS Al-Jumu'ah ayat 5.
Seseorang yang menyandang gelar haji  (walaupun nggak ada contohnya) namun tidak memahami apa yang disandangnya tersebut adalah seperti seekor keledai yang membawa kitab-kitab tebal berisi ilmu pengetahuan. Terkesan kasar memang perumpamaan ini, namun demikianlah adanya.
Intinya adalah bahwa ibadah haji yang telah kita lakukan seharusnyalah tercermin dalam tingkah laku kita, sehingga jika ada seseorang yang berhaji berkali-kali bahkan hampir setiap tahun namun tetangga dan lingkungannya hidup dalam kekurangan maka ia bukanlah haji, sebenarnya ada motif dunia di sana.
Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, sedangkan membantu sesama muslim adalah kewajiban sepanjang hayat :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. QS Al-Hujurat ayat 10.
Dalam hadits Nabi disebutkan secara jelas :
ليس المؤمن الذي يشبع وجاره جائع إلى جنبه
Bukanlah seorang mukmin orang yang kenyang sedangkan tetangga di sampinya kelaparan. HR Bukhary dalam Adab Al-Mufrad.
Maka masihkah kita bangga dengan haji kita yang dilaksanakan lebih dari satu kali, sementara tetangga di lingkungan kita adalah orang-orang yang kekurangan untuk makan dan kebutuhan hidup lainnya? di mana letak kemabruran haji kita? jawablah dengan amal perbuatan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...