Selasa, 10 Mei 2011

Ingin Selamat? Shalat !

Oleh : Abu Aisyah


Saya yakin anda yang membaca buku ini telah terbiasa dengan shalat lima waktu, atau bahkan dengan shalat-shalat sunnah lainnya. Kita pantas bersyukur atas anugerah dimudahkannya kita di dalam beribadah terutama shalat.
Namun adakah shalat kita tersebut telah mencapai tujuan?, kita diingatkan dengan sebuah ayat yang disebutkan dalam firmanNya : 
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. QS Al-Ankabut ayat 43.
Kita akan sangat terenyuh ketika melihat banyaknya kemaksiatan yang terjadi di sekitar kita, namun lebih parah lagi ketika kemaksiatan berupa perbuatan keji dan munkar tersebut dilakukan oleh orang-orang yang melaksanakan shalat.
Kita dengan mudah menyaksikan orang-orang yang melakukan tindakan korupsi, dan kemunkaran lainnya adalah orang-orang yang mengerjakan shalat lima kali dalam sehari. Ada apa dengan hal ini? kenapa shalat yang telah dia laksanakan tidak dapat mencegahnya dari berbuat maksiat?
Jumlah bilangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari bukanlah tanpa makna, ia adalah laksana sebuah sungai, sebagaimana yang dimisalkan oleh Nabi :
مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ
Permisalan shalat yang lima waktu itu laksana sebuah sungai yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang di antara kalian, maka ia mandi darinya setiap hari sebanyak lima kali. HR Muslim.
Maka jika seseorang  shalat lima kali dalam sehari, ia laksana seseorang yang mandi sebanyak lima kali dalam sehari, apa yang terjadi? tentu badanya akan bersih. Demikian pula orang yang melaksanakan shalat lima waktu, hatinya akan bersih dan perilakunya juga akan terbebas dari berbagai perbuatan keji dan munkar. Bukankah ini adalah salah satu dari tujuan shalat?
Maka ada apakah gerangan, seseorang yang selalu melakukan shalat namun perbuatan maksiatnya masih tetap dilaksanakan. Ada apa gerangan? lagi-lagi kita harus kembali bercermin diri, shalat yang kita laksanakan ternyata sering kali hanya sebatas menunaikan kewajiban, bukan sebuah kebutuhan.
Terlalu teoritis memang, tapi cobalah untuk mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Caranya........?
Antara kebatilan dengan kebenaran tidak mungkin akan bersatu, demikian pula antara shalat dan kemaksiatan. Berbagai kemaksiatan baik dalam bentuk perbuatan keji ataupun munkar hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang lalai dari shalatnya :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. QS Al-Ma'un ayat 4 dan 5.
Siapa yang menjamin shalat kita diterima? ustadz kita, kyai kita?, tidak ! tidak ada yang menjamin shalat kita.
Dari sinilah kita selalu berlindung diri dari sifat shalat kita yang sering kali lalai. Lalai dari mengikhlaskan niat hanya kepadaNya, lalai dari mengikuti tata cara Nabi dalam shalatnya. Hal ini menjadi salah satu sebab shalat yang telah kita laksanakan tidak mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Setelah mengetahui bagaimana keadaan shalat kita, tentu kita ingin agar shalat tersebut dapat diterima di sisiNya, minimalnya adalah ada indikasi yang dapat dijadikan pegangan. Benar, sebagaimana kita ketahui bahwa sebuah amalan tidaklah diterima jika tidak memenuhi dua syarat :
Pertama, Ikhlas dan kedua adalah ittiba'. Maksudnya adalah bahwa shalat kita haruslah diniatkan ikhlas karena Allah ta'ala, sebagaimana firmanNya :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. QS Al-Bayyinah : 5.
Maksud dari ayat ini adalah bahwa setiap muslim diperintahkan untuk beribadah (menyembah) Allah saja sehingga penyembahan kepada selainNya adalah tercela.
Inti dari keikhlasan adalah seluruh ibadah kita hanya ditujukan kepada Allah saja, sebagaiamana Allah mengajarkan kepada nabi Ibrahim 'Alaihi Salam :  
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". Qs Al-An'am ayat 162-163.
Kedua adalah ittiba' yaitu mengikuti segala ibadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, baik itu berupa ibadah mahdhah ataupun yang lainnya, intinya adalah segala tingkah laku nabi hendaknya kita contoh, karena beliaulah satu-satunya tauladan kita :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS Al-Ahzab ayat 21.
Ayat ini sudah masyhur di kalangan umat Islam, dan tidak ada yang membantah lagi bahwa beliaulah satu-satunya suri teladan terbaik, Karena itu segala amalan haruslah disesuaikan dengan amalan beliau. Maka shalat kita haruslah sesuai dengan apa yang beliau contohkan, sebagaimana sabdanya :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat HR. Bukhary dan Muslim.
Kalau dua syarat tersebut sudah ada, apakah shalat kita dijamin diterima? sekali lagi tidak ada yang menjaminnya, hanya saja kita telah memiliki indikasi-indikasi diterimanya sebuah amal.
Dari sini shalat kita harus terus ditingkatkan kualitasnya, dari segi keikhlasan serta ittiba' (mencontoh) kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, hingga shalat kita mampu menghapuskan segala perbuatan keji dan munkar. Dengan itu maka penopang Islam ini akan kokoh menghadapi berbagai cobaan.
Kekokohan shalat kita sangat dipengaruhi oleh kualitas shalat kita. Dan kualitas sebuah shalat dapat dilihat dari bagaimana pemahaman seseorang terhadap shalat itu sendiri.
Sangat disayangkan manakala ada seekor burung beo yang mampu mengucapkan ayat-ayat Al-Qur'an namun ia tidak memahami isi kandungannya. Bagaimana dengan seseorang yang shalat namun tidak mengetahui makna apa yang ia baca? jelas ini sangat ironis.
Pada dasarnya sebuah keniscayaan manakala seseorang mengucapkan suatu ucapan, maka ketika ucapan itu keluar dari mulutnya ia paham dengan apa yang dibacanya dan konsekuensi dari ucapan tersebut.
Namun lagi-lagi sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang shalat namun ia tidak paham apa yang dibacanya. Ini adalah masalah besar yang harus dicari jalan keluarnya. Inilah yang menjadi salah satu sebab kualitas dari shalat kebanyakan kita sangat rendah.
Lagi-lagi saya teringat dengan sebuah hadits Nabi :
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلَّا عُشْرُهَا تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang shalat, namun hanya dicatat ganjarannya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya. HR Abu Daud dan Ahmad.
Betapa meruginya kita, sudah capek-capek shalat namun pahalanya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apa yang kurang dengan shalat kita? secara umum bisa saja kita jawab tingkat kekhusyu'an kita yang kurang.
Kekhusyu'an berkaitan erat dengan bagaimana seseorang itu paham dengan apa yang dibacanya. Ketika seseorang paham dengan makna bacaannya dalam shalat maka akan menambah kekhusyu'annya.
Mengenai kekhusyu'an ini Allah ta'ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. QS Al-Mu'minun ayat 1 dan 2.
Keberuntungan yang sangat besar ketika kita mampu shalat dalam keadaan khusyu', sebaliknya sebuah bencana ketika dalam shalat kita sibuk dengan urusan dunia, atau tidak sempurna dalam melaksanakannya. Keadaan seperti inilah yang diancam oleh Nabi :
إن أسوأ الناس سرقة الذي يسرق صلاته » قالوا : يا رسول الله ، وكيف يسرق صلاته ، قال : « لا يتم ركوعها وسجودها
Sesungguhnya manusia yang paling jelek cara malingnya adalah orang yang mencuri dari shalat-nya. Mereka bertanya : "Wahai Rasulullah, bagaimana ia bisa mencuri dari shalatnya?" Beliau menjawab : "Bisa, yaitu ketika ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya". HR Al-Hakim.
Tidak menyempurnakan ruku' dan sujud adalah salah satu dari ketidak khusyu'an shalat. Lalu  apa dan bagaiman sebenarnya khusyu' itu? kita sering mendengar bahwa khusyu' dalam shalat adalah sesuatu yang sangat sulit dicapai. Sebagian kita beranggapan bahwa khusyu dalam shalat adalah tidak mengingat apa-apa manakala kita sedang shalat. Benarkah demikian? 
Sebuah kisah menarik mengenai ujian bagi beberapa orang santri oleh gurunya barangkali sesuai dengan makna khusyu di sini, begini ceritanya : Pada suatu hari seorang ustadz ingin menguji santri-santrinya dalam hal kekhusyu'annya dalam shalat, maka disuruhlah seluruh muridnya untuk shalat. Ketika mereka sedang shalat sang ustadz memukul sebuah benda sehingga mengeluarkan suara yang sangat keras, sehingga sebagian santri yang sedang shalatpun kaget. Namun karena mereka sedang diuji kekhusyu'annya maka mereka melanjutkan shalatnya hingga selesai. Lalu sang ustadz memanggil mereka satu demi satu. Sang ustadz bertanya "Apakah kamu tadi mendengar suara ketika sedang shalat ?" sebagian murid mereka menjawab "Kami tidak mendengarnya ya ustadz, kami sedang khusyu dalam shalat" namun ada seorang murid yang menjawab "Saya mendengar suara itu ustadz, hanya saja saya kembali memusatkan perhatian saya kepada shalat saya". Mendengar jawaban terakhir dari salah satu muridnya tersebut, ustadz itu berkata "Sesungguhnya engkau lulus dari ujian ini dan teman-temanmu yang lain tidak lulus karena telah berbohong terhadapku".
Dari kisah ini tampak bahwa yang namanya khusyu' bukanlah manakala kita shalat kita tidak mendengar apa-apa lagi di sekitar kita, atau perhatian kita hanya tertuju kepada shalat kita saja. Pengertian dari shalat yang khusyu' adalah bahwa shalat yang dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan tuma'ninahnya (ketenangan dalam shalat).
Dan syarat mutlak mencapai shalat yang khusyu adalah dengan mencontoh bagaimana Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam shalat.
Ketika seseorang telah melaksanakan shalat sesuai dengan yang dicontohkan oleh nabi maka di situlah terkandung seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat pada sebuah shalat, sehingga shalatnya dapat dikatakan khusyu'.
Dan di antara sarana menuju kekhusyu'an yang lainnya yaitu memahami apa yang kita baca dalam shalat.  Kalaupun kita belum mampu maka harus kita latih terus menerus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...