Rabu, 25 Mei 2011

Jiwa itu Apa Ya....?

Abdurrahman MBP

Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa.[1] Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut dengan nama. علم النفس Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun waktu yang sangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf. Dalam filsafat, pengertian jiwa diklasifikasi dengan bermacam-macam teori, antara lain:
1.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan substansi yang berjenis khusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan raga.
2.      Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan, yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan.
3.      Teori yang memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada organismeorganisme hidup.
4.      Teori yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.[2]
Dalam psikologi, jiwa lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologipsikologi adalah perbuatanperbuatan yang dipandang sebagai gejalagejala dari jiwa. Teoriteori psikologi, baik psikoanalisa, Behaviorisme maupun Humanisme memandang jiwa sebagai suatu yang berada di belakang tingkah laku.[3]
Sedangkan di kalangan ahli tasawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. AlGhazali (w. 1111 M.) misalnya menyebut nafs sebagai  pusat potensi marah dan syahwat pada manusia[4] الجامع لقوة الغضب والشهوة في الانسان dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela ألأصل الجامع للصفات المذمومة منالأنسان pengertian ini antara lain dipahami dari hadits yang berbunyi اعدى عدوك نفسك التى بين جنبيك yang artinya musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuta untuk berbuat kurang baik,[5] padahal dalam alQur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari kajian tentan hakikat manusia
itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Kajian tentang manusia selalu menarik, tercermin pada disiplin ilmu yang berkembang, baik ilmu murni maupun ilmu terapan.[6]
Tentang manusia, alQur’an menggunakan tiga nama, yaitu ( ناساناس – ( 1 بشر ( 2) انس - انسان dan ( بين آدم ( 3 atau[7] . ذرية آدم menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia sebagai satu keseluruhan sehingga Nabi pun disebut sebagai basyar,[8] sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh Tuhan, satu hal yang membuatnya berbeda dengan basyar yang lain, seperti dijelaskandalam surat alKahfi/18: . انما انا بشر مثل كم يوحى الي 110
Sedangkan nama insan yang berasal dari kata انس (‘uns)[9] yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata نسي (nasiya)[10] yang artinya lupa, atau dari ناس ينوس (nasa yanusu) yang artinya berguncang, menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lain, bisa merupakan perbedaan fisik, bisa juga perbedaan mental dan kecerdasan.
Kata nafs sendiri, dalam alQur’an mempunyai aneka makna. Dalam surat alMaidah/5:32 berbunyi :
 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
…barang siapa yang membunuh seorang manusia…….
Kalimat ini menunjuk pada arti totalitas manusia, sedang pada surat alRa’d/13/11 yang berbunyi :
لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Ayat ini menunjukan pada apa saja yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, dan pada surat alAn’am/6:12 yang berbunyi :
كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih saying. Kalimat ini merujuk kata nafs kepada diri Tuhan.
Nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Penelitian tentang hakikat manusia atau sekurang-kurangnya tentang sifat-sifat manusia yang secara alami melekat pada manusia, atau hukum-hukum yang berlaku pada kejiwaan manusia dalam hal ini konsep nafs dalam alQur’an adalah sangat penting. Pentingnya penelitian tentang nafs bukan hanya terbatas pada kebutuhan pengetahuan, tetapi juga pada kepentingan mengurai, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, baik dalam kaitannya dengan bidang dakwah atau pendidikan maupun untuk kepentingan menggerakkan masyarakat dalam pembangunan nasional.
AlQur’an mengisyaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam alQur’an mencakup (1) makna yang dapat di pahami dari ungkapan nafs, (2) nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku dan (3) hubungan nafs dengan tingkah laku manusia.


[1] Bahasa Arab menggunakan term nafs untuk menyebut banyak hal, seperti: roh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah, saudara, kepunyaan, kegaiban, ukuran samakan kulit, jasad, kedekatan, zat, mata, kebesaran dan perhatian (lihat Ibn Manzhur, lisan al-Arab, Dar al Ma’arif Jilid Vi, tt h. 4500-4501)
[2] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, alih bahasa Soeyono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), cet ke-1, h. 301
[3] Teori psikoanalisa menempatkan keinginan bahwa sadar sebagai penggerak tingkah laku. Behaviorisme menempatkan manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya menghadapi lingkungan sebagai stimulus, sedangkan teori Psikologi Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kemauan baik dalam merespon lingkungan. Lihat Hassan Langgulung. Teori-teori kesehatan mental, perbandingan Psikologi modern dan pendekatan pakar-pakar pendidikan Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Huda, 1983), cett. Ke-1, h.  9-26
[4] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (tt: kitab al-Syu’ab, tth), vol. II h. 1345
[5] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke3, h. 679.
[6] Dr. Muhammad Muhammad Jabir yang mentashhih alMunqizh min alDlalalnya Imam alGhazali  mengatakan bahwa filsafat (sebagai ilmu dasar) sebenarnya merupakan symbol dari revolusi melawan manipulator yang mengarahkan manusia tanpa bendera kemanusiaan. Menurutnya, filsafat tidak bermaksud menghancurkan agama, tetapi keduanya berhubungan dalam hal mencari kebajikan bagi manusia (lihat Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Ibn Muhammad alGhazali, alMunqizh min alDlala, wa Kimya alSa’adah wa alQawa’id alAsyrah wa alAdab fi alDin (Beirut: alMaktabah alSaqafiyah, tth), h. 16
[7] AlQur’an menyebut term insane sebanyak 65 kali, ins 12 kali, unas lima kali, nasiya satu kali, alNas 250 kali, basyar 37 kali, bani Adam tujuh kali dan dzurriyah Adam satu kali.

[8] Ibn Kastsir menafsirkan basyar dari surat alKahfi 110 ini dengan menyebutkan bahwa Muhammad sebagai basyar tidak mengetahui halhal yang gaib, tidak mengetahui pula data
sejarah masa lalu dari bangsabangsa yang disebut alQur’an. Apa yang disampaikan oleh Nabi bukan pengetahuannya karena beliau sebagai basyar pengetahuannya terbatas seperti keterbatasan pengetahuan basyar yang lain, hanya saja Allah memberi beliau informasi tentang hal tersebut melalui wahyu. (Muhammad Alial Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir (Beirut : Dar alQur’an, 1981), jilid II, h. 440
[9] Ibn Manzhur, Lisan alArab (Kairo: dar alMa’arif, tth), Jilid I, h. 147150
[10] ibid, h. 147. menurut Ibn Abbas, manusia disebut insane karena sifat pelupanya terhadap janji, li nisyanibi. 14 Ibid, jilid VI, h. 4575

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...