Sabtu, 07 Mei 2011

Warisan Anak Angkat

Oleh : Abdurrahman MBP

Islam sebagai dien (aturan hidup) yang  paripurna memiliki sumber-sumber hukum yang kredibel (qoth’i) sebagai rujukan bagi setiap permasalahan yang ada. Sumber–sumber hukum Islam tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an adalah aturan yang datang dari Allah Subhanahu Wa  Ta’ala, sedangkan As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang berperan sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an,[1] keduanya bersifat pasti dan tauqifi yang berarti baku dan tidak bisa dirubah, pada keduanya terdapat dalil-dalil global sebagai dasar bagi hukum-hukum dalam Islam.
Selain adanya sumber hukum (Mashadir Al-Ahkam), dalam Islam juga dikenal adanya Dalaail Al-Ahkam yaitu Ijma Shahabat, Qiyas, Ijtihad, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man Qoblana dan ‘Urf.[2] Ijtihad, Qiyas dan Maslahah Mursalah menjadi dalil hukum Islam yang sangat penting bagi perkembangan hukum Islam, dengan adanya sumber-sumber hukum dan dalil hukum ini Islam dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu dengan menghasilkan hukum-hukum baru yang belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang tercakup dalam ruang lingkup Ilmu Fiqh.
Kerangka ilmu fiqh yang begitu luas memerlukan adanya sebuah pemikiran dan istidlal (pengambilan dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga akan dapat memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dan inilah ciri khas dari fiqh yang selalu bersifat dinamis dan senantiasa  berubah-ubah.[3] 
Kondisi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang menuntut ilmu fiqh untuk menanggung beban berat dalam peranannya sebagai problem solving (pembuat solusi), namun dengan adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat dalil-dalil global menjadikan semua permasalahan dapat dijawab oleh ilmu fiqh, tentunya dengan sentuhan tangan dari para cendekiawan (ulama) untuk menggali hukum dari keduanya.[4]
Fiqh Mawaris sebagai bagian dari ilmu fiqh juga terus berkembang bersamaan dengan berkembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berbagai permasalahan muncul silih berganti, yang semua itu membutuhkan ijtihad, Qiyas dan pengambilan dalil-dalil (istidlal) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Permasalahan-permasalahan yang sering muncul dan memerlukan pemecahan dalam hukum waris adalah menyangkut hal-hal yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara permasalahan tersebut adalah apa yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Al-Khathab yang terkenal dengan masalah Ghorowain atau Umaryatain di mana seorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri (suami), ibu dan ayah, yang menjadi masalah adalah bagian dari ibu yang berjumlah 1/3 apakah diambil dari seluruh harta warisan atau dari sisa harta warisan setelah dikurangi bagian suami. Umar berfatwa bahwa bagian ibu adalah 1/3 dari sisa harta warisan.[5]
Walaupun pendapat ini berseberangan dengan pendapat Ibnu Abbas namun dalam kapasitas sebagai hasil Ijtihad maka berlaku kaidah fiqhiyah “Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad“.[6]
Umar bin Khathab juga berijtihad mengenai masalah Musyarakah (Himariyah), beliau berpendapat bahwa saudara kandung itu berserikat dengan saudara seibu dalam menerima warisan dari ayahnya yang meninggal.[7] Para Shahabat Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam dan generasi-generasi sesudahnya banyak berijtihad dan berfatwa mengenai berbagai permasalahan waris yang timbul pada zamannya.
Dari sini terlihat bahwa fiqh mawaris termasuk di dalamnya masalah wasiat adalah perkara fiqh yang terus berkembang dan memerlukan berbagai ijtihad dan pendapat dari para ulama (cendekiawan) untuk menggali dalil-dalil global yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menghasilkan sebuah hukum baru sebagai solusi bagi permasalahan yang dihadapi yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara hasil ijtihad yang muncul dalam ruang lingkup fiqh- mawaris adalah Wasiat Wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 Ayat 1 dan 2, Kompilasi Hukum Islam sendiri adalah hasil Ijma’ Ulama Indonesia. Disebutkan bahwa Wasiat Wajibah adalah  “Suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula “.[8]
Wasiat wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat dalam Undang-Undang Waris Mesir No. 71 Tahun 1946 Pasal 76-79 dan Undang-Undang Ahwal Asy-Syakhsiyah di Suriah pasal 257.[9] Adapun wasiat wajibah yang diberlakukan di Mesir adalah bagi mereka yang tidak mendapatkan warisan dari dzawil arham, seperti cucu laki-laki garis perempuan dan cucu perempuan garis perempuan.[10]
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 Ayat 2 disebutkan “Terhadap anak angkat yang tidak menerima warisan diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya “.
Sementara para Imam Madzhab berbeda pendapat mengenai hukum wasiat ada yang berpendapat wajib dan ada juga yang berpendapat hanya sunnah, adapun mengenai wasiat wajibah (wasiat yang wajib dilakukan) Ibnu Hazm berpendapat seperti dikutip oleh Hasbi Ash-Shidieqy bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan warisan dari muwaris, maka hakim harus bertindak memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan warisan pusaka sebagai suatu wasiat yang wajib bagi mereka.[11]


[1]  Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,  Bina Ilmu, Surabaya, 1978,  hal. 143
[2]  Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990,  hal. 45
[3]  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999,  hal. 20
[4]  Peunoh Daly, Perkembangan Ilmu Fiqh, Bumi Aksara, Jakarta, 1982,  hal. 83
[5]  Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo, Jakarta,  2000,  hal. 129
[6]  Abdul Majid, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hal. 49
[7]  Fathurrahman, Ilmu Waris, Al-Ma’aif, Bandung, 1981, hal. 539
[8]  Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,  hal. 184
[9]  Wahbah Al-Zuhayly,  Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu, Dar Al-Fikr, 1989,  hal. 121
[10] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris hal. 185.
[11] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001,  hal.  275.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...