Selasa, 14 Juni 2011

Asy-Syatiby dan Strata Sosial Andalusia

 
 
1. Latar Belakang Sosial Imâm al-Syâthibiy
Nama lengkap Imâm al-Syâthibiy adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Muhammad al-Lakhmiy al-Syâthibiy al-Gharnâthiy. Tidak banyak catatan yang memberikan informasi tentang awal kehidupannya. Tahun kelahirannya tidak diketahui, namun beberapa literatur menyebutkan bahwa ia wafat sekitar tahun 790 H./1388 M. Demikian juga keterangan tentang latar belakang keluarganya, kecuali hanya melalui nama nisbah-nya sendiri, yakni al-Lakhmiy, al-Syâthibiy, dan al-Gharnâthiy. Al-Lakhmiy adalah nama salah satu suku dari bangsa Arab Yaman yang merupakan anak cucu ’Amr ibn ’Âdy ibn Nashr al-Lakhmiy. Nama tersebut mengindikasikan bahwa al-Syâthibiy adalah seorang ulama berdarah Arab. Syâthiba (Xativa atau Jativa), kota industri kertas di Andalusia saat itu, merupakan daerah tempat keluarga al-Syâthibiy berasal, sementara Gharnâtha (Granada) adalah daerah tempat al-Syâthibiy menetap.
Al-Syâthibiy tumbuh besar dan menjalani kehidupannya di Granada, salah satu di antara tiga kota paling penting di kerajaan Banû Nashr (631-893 H./1230-1492 M.), kerajaan penerus Dinasti Muwahhidûn (548-613 H./1147-1212 M.) di Spanyol. Dua kota lainnya adalah al-Mariyyah (Almeria) dan Malaqa (Malaga). Banû Nashr dikenal juga dengan sebutan Banû Ahmar, yang merupakan julukan untuk keturunan Sa’d ibn ’Ubâdat al-Anshârîy, salah seorang sahabat Anshar. Nama laqab Ahmar dialamatkan kepada salah seorang keturunannya yang menjadi raja yaitu Abû Sa’îd Muhammad VI (memerintah: 761-763 H./1368-1370 M.) karena memiliki warna kulit yang kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abû Sa’îd dengan “el-Barmekho” yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang kemerah-merahan.
Kerajaan Banû Nashr berada di sekitar gunung Sierra Nevada dan dilintasi oleh sungai el-Derro dan sungai Genil (Shanil), anak sungai Guadalquivir. Granada yang merupakan ibukota kerajaan Banu Nashr berada di sebelah utara gunung Sierra Nevada dan dikelilingi sekitar 300 kota-kota kecil (kûrah). Secara geografis, di sebelah selatan Granada berbatasan dengan Laut Mediterania dan Selat Gibraltar; sebelah utara berbatasan dengan Jaen, Cordova, dan Seville; sebelah timur berbatasan dengan Murcia dan Laut Mediterania; dan di sebelah barat berbatasan dengan Cadiz dan La Frontera.
Granada pada saat itu memiliki populasi yang cukup besar, terutama karena banyaknya imigran yang terus berdatangan. Orang-orang Islam yang sebelumnya tinggal di belahan Andalusia yang lain menjadikan Granada sebagai kota tujuan ketika kerajaan mereka ditaklukan oleh penguasa-penguasa Kristen. Selain itu imigran Berber dari Afrika juga terus berdatangan, baik sebagai guru-guru sufi, pedagang, pelajar, atau sekadar mengadu nasib. Imamuddin dalam A Political History of Spain memperkirakan jumlah penduduk Granada pada masa pemerintahan al-Ghâlib bi Allâh (memerintah: 633-674 H./1232-1273 M.) mencapai 150.000 jiwa, sementara menurut G.F. Seybold penduduk Granada saat itu mencapai setengah juta jiwa.
Masyarakat Granada terdiri dari beberapa macam etnis. Masyarakat Arab umumnya lebih sejahtera dibandingkan etnis lainnya. Penduduk asli Granada (Spaniard) kebanyakan merupakan petani, sedangkan kaum Berber Afrika adalah prajurit perang. Kaum Berber kurang mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan politik maupun sosial masyarakat Andalusia karena dianggap memiliki kebudayaan yang masih terbelakang.
Masa hidup al-Syâthibiy bersamaan dengan kekuasaan Sultan Yûsuf Abû al-Hajjâj (memerintah: 734-755 H./1333-1354 M.) dan Sultan Muhammad V al-Ghânîy bi Allâh (memerintah: 755-792 H./1354-1391 M.). Raja yang kedua naik tahta pada usia enam belas tahun namun kelak berhasil menjadikan masa pemerintahannya sebagai zaman keemasan bagi Granada. Granada pada saat itu merupakan pusat kegiatan intelektual Islam baik di Timur maupun di Barat. Para sarjana dan cendekiawan dari Afrika Utara dan daerah lainnya banyak yang tertarik dan berdatangan ke Granada. Di antara para sarjana tersebut yang paling terkenal adalah Ibn Khaldûn (w. 808 H./1406 M.) dan Ibn al-Khathîb (w. 775 H./1374 M.). Keduanya menetap beberapa waktu di Granada dan menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan Banû Nashr. Ibn al-Khathîb bahkan mendapatkan gelar kehormatan dari Muhammad V sebagai “Dzû al-Wizâratain” (Yang Memegang Dua Kementrian).
Granada pada abad ke-14 M tengah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di segala bidang. Konsolidasi politik dengan kerajaan-kerajaan tetangga yang banyak dilakukan oleh Sultan Muhammad V memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pembangunan pada hampir seluruh institusi sosial di kota itu. Pakta gencatan senjata dengan kerajaan Banû Marîn, kerajaan penerus Dinasti Muwahhidûn di Afrika Utara, serta dengan beberapa kerajaan Kristen Spanyol terutama dua kerajaan yang paling kuat saat itu yakni Castille dan Aragon adalah salah satu contohnya.
Mulai dikenalnya sistem pendidikan dan struktur peradilan yang baru, meluasnya pengaruh guru-guru sufi melalui kegiatan tarekat, serta merebaknya corak pemikiran liberal di antara para sarjana adalah beberapa akibat yang berakar pada kebijakan politik penguasanya. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada masa ini juga cukup signifikan. Semakin ramainya perdagangan di pesisir Pantai Mediterania, perpindahan masyarakat pedesaan (rural) yang bercorak agraris ke daerah perkotaan (urban) yang ramai dengan aktivitas perniagaan, dan digunakannya logam dinar yang terbuat dari tembaga (dînâr ’ayniy), selain dinar emas dan perak, termasuk juga faktor-faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola hidup masyarakat Granada saat itu.
Adanya perubahan sosial yang terjadi di Granada juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi aktivitas intelektual waktu itu. Pada masa tersebut secara hampir bersamaan muncul ulama-ulama dengan produk pemikiran yang relatif baru yang ditujukan untuk melakukan re-evaluasi, re-sistematisasi, dan penyesuaian kembali (readjustment) tradisi yang telah ada. Di Afrika Utara ada Ibn Khaldûn yang banyak membahas tentang filsafat dan sejarah, di Siria ada Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1328 M.) yang mengkaji ulang teori-teori politik dan hukum Islam, di Persia ada al-Jîliy (w. 825 H./1424 M.) yang mensistematisasi kembali doktrin teologi Sunni, dan di Andalusia ada al-Syâthibiy yang membahas tentang filsafat dan hukum Islam.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan berkenaan dengan kondisi sosial kerajaan-kerajaan Islam di Andalusia, seperti dicatat oleh Muhammad Khalid Ma’sud, adalah bahwa fuqahâ’ memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan kebijakan politik para penguasanya, tidak terkecuali dalam kerajaan Banû Nashr di Granada. Ada beberapa pendapat yang mencoba untuk menjelaskan penyebab hal tersebut. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Khaldûn dan diikuti oleh Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa madzhab resmi kerajaan, yaitu Mâlikiyyah, serta masyarakat Spanyol Islam yang mayoritas menganut madzhab yang sama menyebabkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh penguasa saat itu harus banyak mempertimbangkan ketentuan fiqh Mâlikiyyah. Kenyataan tersebut menjadikan fuqahâ’ Mâlikiyyah memiliki peran yang sangat besar –tidak terbatas pada masalah hukum saja namun juga politik– oleh karena mereka adalah orang-orang yang dianggap paling memahami fiqh Mâlikiyyah.
Kedua, seperti dikatakan oleh Lopez Ortiz dan Hussain Monez, bahwa saat itu fuqahâ’ Mâlikiyyah dinilai memiliki otoritas yang dibutuhkan oleh penguasa Andalusia dalam memberikan legitimasi terhadap kekuasaan dan undang-undang yang mereka buat karena telah memerdekakan diri dari kekhalifahan ’Abbâsiyyah di Timur. Dan Mâlik ibn Anas, seorang tokoh sentral dalam madzhab Mâlikiyyah yang merupakan figur antagonis dalam kekhalifahan ’Abbâsiyyah dianggap sebagai pilihan yang tepat.
Ketiga, menurut L.E. Provencal dan Roger Idris, fuqahâ’ dan ulama merupakan elit sosial tersendiri dalam masyarakat Andalusia, atau semacam religious aristocracy di dalam strata sosial saat itu. Ketika Hakam I (memerintah: 180-206 H./796-822 M.) mencoba menekan pengaruh mereka, mereka mengadakan dua kali pemberontakan di Cordova. Pemberontakan tersebut mendapat dukungan dari masyarakat di daerah pinggiran Cordova dan bahkan sebagian elit di pemerintahan. Sekalipun pemberontakan tersebut gagal namun Hakam I terpaksa harus mengakui bahwa kelompok fuqahâ’ memang memiliki kekuatan dan pengaruh yang relatif besar dalam memobilisasi massa untuk menentangnya.
Selain memainkan peran penting dalam administrasi politik saat itu, kewenangan fuqahâ’ dalam perkembangannya melebar hingga dapat memberikan kontrol terhadap institusi pendidikan yang ada, termasuk menentukan kebijakan yang represif terhadap gerakan rasionalisme murni dan tarekat sufi. Akan tetapi keadaan tersebut perlahan berubah ketika pengaruh pemikiran al-Râziy –yang karenanya pula pemikiran kalam menjadi lebih dekat dengan filsafat– meresap ke dalam pemikiran ushul fiqh Mâlikiyyah.
2. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syâthibiy
Tidak jauh berbeda dengan latar belakang keluarganya, latar belakang intelektual al-Syâthibiy juga tidak terlalu banyak diketahui. Namun demikian satu hal yang pasti adalah bahwa pengembaraan intelektual telah ia jalani sejak masa mudanya. Al-Syâthibiy mengenal ilmu tata bahasa dan sastra Arab dari dua orang guru, yakni Abû ’Abd Allâh Muhammad ibn ’Ali al-Fakhkhâr al-Ibiriy (w. 754 H./ 1353 M.) yang terkenal dengan julukan Syaikh al-Nuhât (Maha Guru Para Ulama Nahwu [Tata Bahasa Arab]) di seantero Andalusia. Al-Syâthibiy menghabiskan waktunya untuk belajar kepada al-Ibiriy sampai sang guru wafat pada tahun 754 H./1353 M. Guru Bahasa Arab-nya yang kedua adalah Abû al-Qâsim al-Syarîf al-Sabtiy (w. 760 H./ 1358 M), seorang ketua kadi di Granada yang juga penulis syarh (l_école de l_éxegèse) kitab Maqshûrah karya Ibn Hazm al-Andalûsiy (w. 456 H./1064 M).
Dalam bidang hukum Islam al-Syâthibiy memperdalam pengetahuannya kepada Abû Sa’îd Farj ibn Qâsim ibn Ahmad ibn Lubb di Madrasat Nashriyyah (atau al-Jâmi’ al-A’dham [?]) mulai tahun 754 H./1353 M., tahun yang sama dengan wafatnya al-Ibiriy. Ibn Lubb adalah orang yang paling berjasa dalam mengajarkan fiqh kepada al-Syâthibiy, sekalipun dalam beberapa persoalan al-Syâthibiy acapkali terlibat polemik dengannya.
Guru al-Syhâtibiy yang lain adalah Abû ’Abd Allâh al-Maqqâriy, seorang ulama asal Maghribi (Maroko) yang datang ke Granada pada 757 H./1356 M. untuk suatu keperluan diplomatik kerajaan Banû Marîn yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abû ’Inân (w. 759 H./1358 M.). Al-Maqqâriy adalah seorang kadi di kerajaan Banû Marîn yang juga memiliki kecakapan akademik di berbagai bidang. Ia bahkan dikenal sebagai al-Muhaqqiq, sebutan untuk para ahli hukum madzhab Mâlikiyyah yang memiliki otoritas dalam menerapkan prinsip-prinsip fiqh yang kulliy (universal) untuk masalah-masalah yang juz’iy (partikular).
Al-Maqqâriy berjasa dalam mengenalkan al-Syâthibiy dengan sufisme dan pemikiran rasional secara bersamaan. Dalam bidang sufisme ia terkenal lewat karangannya yang berjudul al-Haqâ’iq wa al-Raqâ’iq fi al-Tashawwuf, di samping karena ia juga merupakan mursyîd tarekat Syâdziliyyah. Sedangkan dalam bidang pemikiran rasional al-Maqqâriy dikenal lewat hasil karyanya yang merupakan ringkasan dari kitab karangan Fakhr al-Dîn al-Râziy (313 H./925 M.) yang berjudul al-Muhashshal dan tulisannya yang merupakan komentar atas kitab Mukhtashar karya Ibn Hâjib (w. 646 H./1221 M.) yang memperkenalkan Razisme kepada ushul fiqh Mâlikiyyah. Dari al-Maqqâriy itu pulalah al-Syâthibiy mengenal pemikiran rasional al-Râziy, terutama dalam bidang ushul fiqh.
Dalam bidang filsafat dan kalam (khususnya teologi Mu’tazilah) al-Syâthibiy memperdalam pengetahuannya kepada Abû ’Alî Manshûr al-Zawâwiy (w. 770 H./1369 M.) dan al-Syarîf al-Tilimsâniy (w. 765 H./1369 M.). Al-Zawâwiy adalah seorang ulama yang terkemuka dalam ilmu-ilmu Islam tradisional dan rasional yang datang ke Granada pada tahun 753 H./1352 M. Ibn al-Khathîb, wazir Granada saat itu, bahkan pernah memberikan penghargaan yang sangat besar atas kecendekiawanan al-Zawâwiy. Namun demikian, al-Zawâwiy memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan penguasa saat itu, terlihat dari seringnya ia terlibat polemik dengan kadi di Granada. Sebab inilah yang pada akhirnya membuat ia tidak bisa tinggal lebih lama di Granada. Pada tahun 765 H./1363 M., genap dua belas tahun berada di Granada, ia diusir dari Andalusia.
Dari al-Zawâwiy al-Syâthibiy mempelajari Kitâb al-Dalâil (teologi) dan al-Mu’tamad (ushul fiqh), dua kitab karangan Abû al-Husain al-Bashriy (w. 413 H./1012 M.); Kitâb al-Tafsîr karya Qâdli ’Abd al-Jabbâr (415 H./1023 M.); dan tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyâriy (w. 545 H./1144 M.). Dari al-Tilimsâniy al-Syâthibiy mengenal filsafat Ibn Sîna (w. 438 H./1037 M.) dan Ibn Rusyd (w. 599 H./1198 M.).
Ketertarikan al-Syâthibiy kepada ilmu ushul fiqh bermula dari penilaiannya bahwa fiqh memiliki kelemahan yang sangat serius dalam merespon tantangan perubahan sosial yang disebabkan oleh tidak memadainya aspek metodologi dan filosofi yang digunakan. Selain itu, keragaman pendapat di antara para yuris Islam dari berbagai madzhab serta dalam berbagai masalah juga cukup membingungkan al-Syâthibiy. Bagi al-Syâthibiy, menggunakan prinsip murâ’ât al-khilâf (melestarikan keragaman pendapat) sebagai argumen untuk menyatakan bahwa tiap-tiap pendapat sama benarnya adalah usaha yang semakin memperumit masalah dan tidak dapat diterima. Di sisi lain al-Syâthibiy juga menilai bahwa bangunan fiqh yang ada saat itu telah kehilangan spirit. Sebagai konsekuensinya, fiqh yang telah mengalami formalisasi itu sama sekali tidak menampakkan aspeknya yang dinamis.
3. Karir dan Karya Tulis Imâm al-Syâthibiy
Al-Syâthibiy adalah seorang imâm dan khâthib di beberapa masjid di Granada. Selain itu ia juga seorang tenaga pengajar di madrasah dan universitas di kota yang sama. Jika melihat adanya fatwa-fatwa yang pernah ia keluarkan, besar kemungkinan ia pernah menjabat sebagai mufti kerajaan. Murid-muridnya yang cukup terkenal adalah Abû ’Abd Allâh al-Bayâniy, Abû Bakr ibn ’Âshim, dan saudaranya, Abû Yahyâ ibn ’Âshim. Abû Bakr ibn ’Âshim (w. 849 H./1426 M.) –kemudian populer dengan nama Ibn ’Âshim– menjadi kadi di Granada dan menulis kitab yang berjudul Tuhfat al-Hukkâm, sebuah kompilasi hukum yang menjadi pegangan para kadi kerajaan serta kitab ringkasan (mukhtashar) al-Muwâfaqât karangan al-Syâthibiy.
Kitab-kitab karangan al-Syâthibiy terbagi menjadi dua, yakni kitab-kitab tentang tata bahasa Arab dan kitab-kitab tentang masalah hukum Islam. Kitab-kitab tersebut –baik kitab-kitab yang sampai ke tangan umat Islam saat ini maupun yang hanya diketahui melalui penelusuran literatur– antara lain:
a. Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah/al-Ahkâm/al-Fiqh;
b. Al-I’tishâm;
c. Al-Ifâdat wa al-Insyâdah/al-Insyâ’ah;
d. Kitâb al-Majâlis, syarh bab perniagaan (al-buyû’) dalam kitab Shahîh al-Bukhâri;
e. ’Unwân al-Ittifâq fi ’Ilm al-Istihqâq;
f. Syarh al-Jalîl ’alâ al-Khulâshat fî al-Nahw, sebuah kitab komentar terhadap kitab nahwu karangan Ibn Mâlik, Alfiyyat Ibn Mâlik;
g. Kitâb Ushûl al-Nahw.
Selain dalam kitab-kitab di atas pemikiran al-Syâthibiy juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab karangan sarjana lain, misalnya fatwa-fatwa yang dirumuskannya semasa menjadi mufti dapat ditemukan dalam karya Abû al-’Abbâs Ahmad al-Wanshârîsiy (w. 914 H./1506 M.), al-Mi’yâr al-Mughrib ’an Fatâwâ ’Ulamâ’ Ifrîqiyyat wa al-Andalus wa al-Maghrîb dan dalam karya Caisiri, Bibliotheca Arabica Hispana Escuralenisis. Di samping itu terdapat satu manuskrip yang tersimpan di Universitas Leiden Belanda tentang ilmu pengobatan yang dinisbahkan kepada al-Syâthibiy. Namun ada dugaan bahwa naskah tersebut tidak ditulis oleh al-Syâthibiy, melainkan oleh muridnya yang bernama Ibn al-Khathîb. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...