Rabu, 15 Juni 2011

Untukmu Para Suami (1)

Oleh Ummu Salwa

Menuntut ilmu syar'i adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan tidak diragukan lagi bahwa wanita sederajat dengan laki-laki dalam hal menuntut ilmu, seperti juga kewajiban menjalankan perintah lainnya, seperti perintah mentauhidkan Allah,shalat, zakat, haji, puas dan lain sebagainya.

Namun keadaan kaum Muslimin pada masa sekarang ini sangatlah berbeda dengan kaum Muslimin di masa lalu. Di zaman shahabiyah, antara suami dan istri ada saat-saat tertentu dimana keduanya duduk bersama dengan kecintaan yang sama akan ilmu agama ini. Sedang di masa sekarang ini sulit kita temukan pemandangan seperti ini. Walaupun mungkin masih ada dari sebagian kaum Muslimin yang melakukan aktifitas menuntut ilmu bersama pasangannya, saling berbagi, saling menasihati, saling mengisi kekurangan masing-masing. Betapa indah rasanya hidup ini.

Contohlah para ulama terdahulu, mereka begitu bersemangat menempuh perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bagi laki-laki seperti mereka, memiliki isteri seorang ulama adalah salah satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan.

Tercatat indah dalam sejarah, bagaimana semangat para shahabiyah radhiyallâhu ‘anhunnâ dalam menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problematika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berkata,
نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshor. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.”

Ada beberapa faktor mengapa  para Muslimah sekarang ini tidak dapat mengajari ilmu agama kepada suaminya, diantaranya adalah minimnya ilmu yang mereka miliki, rasa gengsi sang suami bila diajarkan langsung oleh istri, kesibukan mereka akan urusan duniawi, dan tidak tertariknya salah satu atau keduanya untuk mempelajari agama Islam.

Untuk memberikan motifasi kepada para Muslimah untuk terus menuntut ilmu dan mengajarkan kepada pasangan, ada baiknya kita mengetahui sejarah para shahabiyah, dengan pengorbanannya, kesabarannya dan keteladanannya yang dapat dijadikan suri tauladan bagi kita semua.

Fatimah bint al-Mundzir ibn az-Zubair ibn al-Awwam.

Asma radhyallohu 'anha adalah sosok yang dikenal dalam sejarah Islam, tidak saja karena dia adalah anak dari Abu Bakar as-Siddiq radhyallohu 'anhu dan saudari Aisyah radhyallohu 'anha, akan tetapi dia juga adalah
isteri yang taat dari sahabat Zubair ibn al-Awwam radhyallohu 'anhu. Perannya dalam membantu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan keteladanannya dalam pengorbanan dan kesabarannya akan tetap hidup dalam satu kurun sejarah Islam. Dia diberi nama Dzaatun Niataqain (wanita dengan dua ikat pinggang) karena peristiwa yang dialaminya, dimana dia menggunakan dua ikat pinggang untuk mengikat makanan bagi Nabi shallallohu 'alaihi wasallam dan ayahnya Abu Bakar radhyallohu 'anhu. Keduanya telah meninggalkan Makkah dan dikejar oleh musuh-musuh (Quraisy). Adalah tugas Asma radhyallohu 'anha untuk membawakan makanan itu bagi mereka secara rahasia, dalam keadaan hamil tua dia memanjat gunung Tsur.
Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan gunung ini, cukup bagimu mengetahui, bahkan orang muda sekalipun akan terengah-engah mendaki jalannya yang berbatu. Apa yang mendorong Asma radhyallohu 'anha dengan kehamilannya, menempuh perjalanan yang berbahaya itu? Tidak lain karena cinta yang mendalam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan ayahnya. Selanjutnya ketika Abu Jahal datang ke rumah Abu Bakar radhyallohu 'anhu, dengan penuh dendam dan amarah bertanya kepada Asma radhyallohu 'anha, dimana ayahnya dan Nabi yang mulia shallallohu 'alaihi wasallam berada. Berdiri tegar, dengan iman yang mengalir di sekujur nadinya, dia mengatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Abu Jahal pun menampar pipinya, dan dia tetap tegar berdiri tanpa menyerah, dengan hati yang dipenuhi cinta kepada agama ini.

Kecintaannya tidak berakhir dengan wafatnya Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, sebaliknya dia menyalakan kecintaan yang mendalam ini ke dalam hati anak-anak dan cucu-cucunya. Salah seorang
cucunya yang mengambil manfaat yang sangat besar dari kebersamaan dengannya tidak lain adalah Fatima bin al-Mundzir rahimahallah. Allah telah memilih Fatimah menjadi sebuah cahaya yang namanya bersinar, bahkan hingga hari ini, di kitab-kitab hadits.

Fatimah bint al-Mundzir rahimahallah dipandang sebagai salah satu Tabi’at yang utama di masanya. Dia adalah
seorang ulama besar dan dikenal sebagai seorang Faqihah dan menikah dengan saudara sepupunya, Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair rahimahullah.  Hisyam juga seorang ulama besar dan seorang perawi hadits. Beberapa diantara murid-muridnya yang utama adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Syu’bah dan Sufyan ats-Tsauri rahimahumullah.

Meskipun mereka berdua bersepupu, Hisyam tidak mendapatkan banyak hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari Asma radhyallahu 'anha seperti yang diperoleh Fatimah. Oleh karena itu dia bertanya kepada
isterinya dan belajar darinya perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghafalkannya dan kemudian menyampaikannya kepada para shahabat dan murid-muridnya, dari apa yang diajarkan isterinya. Banyak yang telah meriwayatkan dari Fatimah, seperti Ibnu Ishak (penulis buku shirah yang terkenal) dan yang lainnya. Akan tetapi Hisyam merupakan orang yang paling utama dalam meriwayatkan hadits langsung dari Fatimah rahimahalllah.

Berikut ini beberapa contoh dalam kitab hadits utama, dimana Hisyam meriwayatkan dari Fatimah:
1. Hisyam meriwayatkan dari isterinya Fatimah, dari neneknya Asma bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata,”Ya Rasulullah, aku mempunyai anak perempuan yang akan menjadi pengantin. Ia pernah terkena penyakit campak sehingga rambutnya rontok. Bolehkan aku menyambungnya (dengan rambut lain)?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Allah mengutuk wanita yang menyambungkan rambut seorang wanita dengan rambut lain dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya.” (Hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim, An-nasa'i, Ibnu majah).
2. Hisyam berkata: Fatimah meriwayatkan kepadaku dari Asma bahwa dia berkata: “Kami memakan daging salah satu kuda kami di masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.“ (Hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim, An-nasa'i, Ibnu majah).
3. Hisyam meriwayatkan dari Fatimah dari Asma bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: “Berinfaklah atau memberilah dan jangan menghitung-hitung, karena Allah
akan memperhitungkannya untukmu.” (Hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim, An-nasa'i).
4. Hisyam juga meriwayatkan hadits yang panjang darinya dalam Shahih Bukhari dan Muslim mengenai Shalat Gerhana.

Bagi sebagian ulama Islam terkemuka, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah, mencatat hadits dimana seorang wanita meriwayatkan hadits dan seorang laki-laki meriwayatkan dari isterinya, terdapat ibrah (pelajaran) bagi kita para Muslimah karena kitab yang dipandang sebagai sumber ilmu Islam yang memuat hadits-haditsyang paling terpercaya, di dalam sanadnya terdapat nama-nama para wanita, bahkan hal ini cukup sebagai contoh bahwa laki-laki dapat meriwayatkan dari isterinya tanpa perlu merasa malu. Jika bukan karena Hisyam rahimahullah yang belajar dari Fatimah rahimahallah, yang belajar dari Asma radhyallahu 'anha, kita mungkin tidak dapat menarik manfaat dari mutiara hikmah yang indah ini, yang diambil dari lautan Kenabian (yakni hadits-hadits Nabawiyah yang diriwayatkan Fatimah dari Asma).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...