Jumat, 29 Juli 2011

KAJIAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM



A. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al-ta’lim. Al-Ta’lim biasanya diterjemahkan dengan “pengajaran”. Ia kadang-kadang disebut dengan al-ta’dib. Al-ta’dib secara etimologi diterjemahkan dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.[1] Sedangkan al-Ghazali menyebut “pendidikan” dengan sebutan al-riyadhat. Al-riyadhat dalam arti bahasa diterjermahkan dengan olah raga atau pelatihan. Term ini dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga al-Ghazali menyebutnya dengan riyadha as-shibyan.
Menurut mu’jam (Kamus) kebahasaan, kata al-tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan,[2] yaitu :
1. Tarbiyah-Yarbuu-Rabba : yang memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas Q.S. al-Rum ayat 39.
2. Yurabbi-Tarbiyah-Rabbi : yang memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra’a).
3. Tarbiyah-Yurabbi-Rabba : yang memiliki arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.[3]
Apabila term al-tarbiyat dikaitkan dengan bentuk madhi-nya rabbayaniy yang tertera di dalam Q.S. al-Isra’ ayat 24 (kama rabbayaniy shaghira), dan bentuk mudhari-nya – nurabbiy dan yurbiy—yang tertera di dalam Q.S. al-Syuara ayat 18 (alam nurabbika fina walida) dan al-Baqarah ayat 276 (yamh Allah Al-riba’ wa yurbiy al-shadaqat), maka ia memiliki arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan, memproduksi dan menjinakkan.[4]
Pada masa sekarang istilah yang popular dipakai orang adalah tarbiyah, karena menurut Athiyah Abrasyi, al-Tarbiyah adalah term yang mencangkup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulis, serta memiliki beberapa keterampilan.[5] Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.
Sedangkan secara terminologi ada beberapa istilah tentang pendidikan Islam diantaranya :
Musthtafa al-Maraghiy membagi kegiatan al-tarbiyat dengan dua macam. Pertama, tarbiyat khalqiyat, yaitu penciptaan, pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan jiwanya. Kedua, tarbiyat diniyat tahzibiyat, yaitu pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu Ilahi.[6] Berdasarkan pembagian, maka ruang lingkup al-tarbiyat mencankup berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia dan akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan.
Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tetap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.[7]
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[8]
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas maka berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.

B. Tujuan Pendidikan Islam
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[9]
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan tertentu. Karena pendidikan terlaksana dalam tahapan tertentu itu, maka pendidikan tentu saja memiliki tujuan yang bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, yakni berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya yang berjenjang.
Ramayulis mengemukakan aspek-aspek tujuan pendidikan Islam dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam.[10] Menurut beliau, aspek tujuan pendidikan Islam itu meliputi empat hal, yaitu: (1) tujuan jasmaniah (ahdaf jismiyyah), (2) tujuan rohaniah (ahdaf al-ruhiyyah), (3) tujuan akal (ahdaf al-aqliyyah), dan (4) tujuan sosial (ahdaf al-ijtima’iyyah). Masing-masing aspek tujuan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1. Tujuan Jasmaniyah (Ahdaf al-Jismiyyah)
Tujuan Pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang bagus di samping rohani yang teguh. Dalam Hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله علیھ و سَلَّم أَلْمُؤْمِنُ الْقَوِ يُّ  خَیْرٌ وَ أُ حِبُّ إِلىَ اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الْضَعِیْفِ.
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih di sayangi oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah”.[11]
Kata “kuat” dalam hadits di atas dapat diartikan dengan kuat secara jasmani sesuai dengan firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang kuat perkasa” Q.S. Al-Baqarah: 247.
Dalam ayat di atas dikisahkan bahwa Talut dipilih oleh Allah menjadi raja karena pandai dan kuat tubuhnya untuk melawan Djalut yang terkenal berbadan besar seperti raksasa, namun Talut dapat mengalahkannya dengan perantaraan Daud yang melemparkan bandilnya dengan pertolongan Allah dapat merobohkan tubuh Djalut hingga tewas.
Jadi tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia muslim yang sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi.[12]
2. Tujuan Rohaniah (Ahdaf al-Ruhiyah)
Kalau kita perhatikan, namun ini dikaitkan dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk dan patuh kepada nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya dengan mengikuti keteladanan Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, inilah tujuan rohaniah pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan rohaniah diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia, yang ini oleh para pendidik modern Barat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan religious, yang oleh kebanyakan pemikir pendidikan Islam tidak disetujui istilah itu, karena akan memberikan kesan akan adanya tujuan pendidikan yang non religious dalam Islam.[13]
Muhammad Qutb mengatakan bahwa tujuan pendidikan ruhiyyah mengandung pengertian “ruh” yang merupakan mata rantai pokok yang menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan pendidikan Islam harus bertujuan untuk membimbing manusia sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap berada di dalam hubungan dengan-Nya.[14]
3. Tujuan Aqliyah (Ahdaf al-Aqliyyah)
Selain tujuan jasmaniyah dan tujuan rohaniah, pendidikan Islam juga memperhatikan tujuan akal. Aspek tujuan ini bertumpu pada pengembangan intelegensia (kecerdasan) yang berada dalam otak. Sehingga mampu memahami dan menganalisis fenomena-fenomenan ciptaan Allah di jagad raya ini. Seluruh alam ini bagaikan sebuah buku besar yang harus dijadikan obyek pengamatan dan renungan pikiran manusia sehingga daripadanya ia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan makin mendalam. Firman Allah yang mendorong pendidikan akal banyak terdapat di dalam Al-Qur’an tak kurang dari 300 kali.[15]
Kemudian melalui proses observasi dengan panca indra, manusia dapat dididik untuk menggunakan akal kecerdasannya untuk meneliti, menganalisis keajaiban ciptaan Allah di alam semesta yang berisi khazanah ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pokok pemikiran yang analitis untuk dikembangkan menjadi ilmu-ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam bentuk-bentuk teknologi yang semakin canggih.
Proses intelektualisasi pendidikan Islam terhadap sasaran pendidikannya berbeda dengan proses yang sama yang dilakukan oleh pendidikan non Islami, misalnya pendidikan sekuler di Barat. Ciri khas pendidikan yang dilaksanakan oleh pendidikan Islam adalah tetap menanamkan (menginternalisasikan) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam seperti keimanan, akhlak dan ubudiyah serta mu’amalah ke dalam pribadi manusia didik.
4. Tujuan Ijtima’iyah (Ahdaf al-Ijtima’iyyah)
Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yang utuh dari roh, tubuh, dan akal. Di mana identitas individu di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan sosial ini penting artinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi seyogyanya mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang.  Yang karenanya tidak mungkin manusia menjauhkan diri dari kehidupan  bermasyarakat.[16]
Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang sama sebagai anggota masyarakat. Kesesuaiannya dengan cita-cita sosial diperoleh dari individu-individu. Maka persaudaraan dianggap sebagai salah satu kunci konsep sosial dalam Islam yang menghendaki setiap individu memperlukan individu lainnya dengan cara-cara tertentu.
Keserasian antara individu dan masyarakat tidak mempunyai sifat kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individual. “Aku” adalah “kami”, merupakan pernyataan yang tidak boleh berarti kehilangan “aku”-nya.
Pendidikan menitikberatkan perkembangan karakter-karakter yang unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standart masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada padanya. Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan karakteristik pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.
Oleh karena itu aspek sosial haruslah mendapatkan perhatian dengan porsi yang cukup di dalam pendidikan Islam, agar peserta didik mampu dan pandai menempatkan diri pada lingkungannya, tolong menolong dan saling membantu dengan masyarakatnya, sekaligus menyadari bahwa dirinya tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan dari yang lain. Yang dengan demikian, seorang muslim atau peserta didik, akan dapat diterima oleh masyarakatnya, dan ia bisa tenang dan harmonis hidup di tengah-tengah masyarakat.

C. Sasaran Pendidikan Islam
Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multi dimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi fisik dan rohani.
Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah.[17]
Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masing dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah : dimensi akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan.[18] Semua dimensi tersebut harus tumbuh kembangkan melalui pendidikan Islam.
1. Pendidikan Fisik (Jasmani)
Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik. Pada dimensi ini, proses penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam. Setiap alam biotik, memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.
Keempat unsur-unsur di atas merupakan materi yang abiotik (tidak hidup). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut nyawa. Karena nyawa manusia hidup. Ibnu Maskawaih menyebut energi tersebut dengan al-hayat (daya hidup).[19] Sedangkan al-Ghazali menyebutnya dengan ruh jasmaniyah (ruh material), daya hidup ini merupakan vitaliatas ini tergantung sekali kepada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut dan sebagainya.
Dengan ini manusia dapat bernafas, merasa sakit, haus lapar, panas dingin, keinginan seks dan sebagainya. Jadi aspek jasmani ini memiliki dua natur yaitu natur kongkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan natur abstrak berupa nyawa yang menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak jasmani inilah yang mampu berinteraksi dengan aspek rohani manusia.
Dalam pelaksanaan pendidikan jasmanai di dalam Al-Qur’an dan hadits ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan jasmani diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebihan”. (Q.S. Al-A’raf: 31).
Juga firman Allah ta’ala :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
 “Ibu-ibu haruslah menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh”. (Q.S. Al-Baqarah : 233).
Juga sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam :
كُلُّ شَيْءٍ لَیْسَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ لَھْوٌ وَلَعْبٌ إِلاَّ أَنْ یَكُوْن أَرْبَعَةً مُلاَ عَبَةُ الرَّجُلِ إِمْرَأَتَھُ وَتَأْدِیْبُ الرَّجُلِ فِرَسَھُ مَشْي الرَّجُلِ بَیْنَ الْغَرْضَیْنِ وَ تَعْلِیْمُ الرَّجُلِ اَلسَّبَاحَةَ.حدیث حسن.
“Segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan dzikir, maka itu adalah senda gurau, kecuali empat perkara: bersenda gurau dengan istrinya, latihan menunggang kuda, berjalannya seseorang diantara dua tujuan (memanah) dan belajar berenang.”(HR. Nasa’i dari Jabir bin Abdullah dan Jabir bin Umar)[20]
Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki dua tujuan sekaligus yaitu: Pertama, membina tubuh sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan fisik manusia.[21]

2. Pendidikan Akal
Al-Ishfahami, membagi akal manusia kepada dua macam yaitu:
a. Aql al-Mathbu’, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah ilahi.
b. Aql al-masmu’, yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.
Sedangkan fungsi akal manusia terbagi kepada enam yaitu:
a. Akal adalah penahan nafsu.
b. Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan.
c. Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
d. Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia atau anak didik dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui.
Dalam arti yang luas kognitif ialah peroleh, penataan dan penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan kenyakinan.[22]
Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasarnya. Potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternatif : berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan pendidikan yang baik, akal yang masih berupa potensi akhirnya menjadi akal yang siap dipergunakan.
Sebaliknya, membiarkan potensi akal tanpa pengarahan yang positif, akibatnya bisa fatal. Karenanya pendidikan akal memiliki arti penting dibatasi pandangan akal itu. Dengan demikian tenaga akal itu akan terhindar dari cengkraman hal-hal yang ghaib yang tidak bisa dijangkaunya.[23]
Adapun tujuan pendidikan akal, berdasarkan semangat Islam secara utuh, adalah akal yang sempurna menurut ukuran ilmu dan takwa. Dengan kata lain, setelah mengalami pendidikan dalam arti yang luas, akal seseorang diharapkan mencapai tingkat perkembangan yang optimal, sehingga mampu berperan sebagaimana yang diharapkan, yaitu untuk berpikir dan berdzikir.[24]
Materi dalam pendidikan akal adalah seluruh alam ciptaan Allah meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesempurnaan, member indikasi bahwa tujuan akal yang sebenarnya adalah untuk menyakini, mengakui dan mempercayai eksistensi Allah. Inilah yang merupakan cirri khas pendidikan Islam, yaitu internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan) nilai-nilai ilahi ke dalam peserta didik.
3. Pendidikan Agama
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal.
Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.[25]
Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah tuhannya. Pandangan ini bersumber pada firman Allah ta’ala :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A’raf: 172).
Muhammad Hasan Hamshi, menafsirkan fitrah pada ayat di atas dengan ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu, agama tauhid.[26] Pandangan tersebut diperkuat oleh Syekh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah.[27] Demikian juga Abu A’la al-Mududi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i (human nature).[28]
Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak mitsaq dengan Allah. Sehingga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan yang lain. Dalam konteks makro, pandangan Islam terhadap kemanusiaan ada tiga implikasi dasar yaitu, pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, di mana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu muttaqin yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai Abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.[29]
Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Manurut Abdurrahman Shaleh Abdullah praktek kependidikan yang tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas tentang sifat dasar manusia pasti akan gagal.[30]
Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam dirumuskan untuk membentuk insan muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
4. Pendidikan Akhlak
Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung, yang dekat yaitu harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridha Allah ta’ala.[31]
Adapun ciri akhlak Islam antara lain: 1) bersifat menyeluruh (universal). 2) Ciri-ciri keseimbangan Islam dengan ajaran-ajaran dan akhlaknya menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi memperhatikan seluruh tuntutannya dan kemaslahatan dunia dan akhirat. 3) Bersifat sederhana. 4) Realistis. 5) Kemudahan. 6) Mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan dan perbuatan dan teori dan praktek. 7) Tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prinsip akhlak umum.[32]
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci.[33] Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (alfahilah).
Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segala-galanya.
Pendidikan akhlak dalam Islam telah dimulai sejak anak dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan. Perlu disadari bahwa pendidikan akhlak itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalaman atau perlakuan yang diterima atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Pembentukan akhlak dilakukan setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan perkembangan, dengan mengikuti proses yang alami.[34]
5. Pendidikan Rohani (Kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.
Sedangkan Al-Shari’ati menyebut roh yang ditiupkan kepada manusia adalah the spirit of God (ruh Ilahi). Roh ini bersifat metafisis (gaib), dinamis, menghidupkan dan “luhur” di atas. Dengan sifatnya yang dinamis, memungkinkan manusia untuk meraih derajat yang setinggi-tingginya. Atau menjerumuskan diri pada derajat yang serendah-rendahnya. Manusia memiliki kehendak bebas (the freedom of will) untuk mendekatkan ke kutub “Roh Ilahi” atau ke arah kutub “tanah”.
Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan kebahagiaan dan pada hakekatnya setiap usaha yang dilakukan oleh manusia adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut. Berbagai usaha telah dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan. Dengan akal, ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai fasilitas telah berhasil diciptakan manusia untuk menunjang kehidupannya, namun kebahagiaan tetap tidak diperoleh. Bahkan berbagai fasilitas tersebut dapat menimbulkan berbagai problema dan kesulitan. Secara fisik materil kebutuhan manusia terpenuhi, namun secara mental spiritual mengalami pedangkalan. Padahal dimensi mental spiritual inilah yang mampu menjamin kebahagiaan manusia. Islam dengan enam pokok keimanan (arkanul iman), dan lima pokok ajarannya (arkanul Islam) memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan dan memelihara keseimbangan serta menjamin ketentraman batin.[35]
Oleh karena itu maka dalam rangka terlaksana usaha untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut adalah dengan pendidikan agama. Yang dimaksud dengan pendidikan agama tidak hanya upaya untuk membekali anak didik dengan pengetahuan agama, tapi sekaligus upaya untuk menanamkan nilai keagamaan dan membentuk sikap keagamaan sehingga menjadi bagian dari kepribadian mereka.
6. Pendidikan Rasa Keindahan
Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga dan lain sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.
Sebagai manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia, maka seni merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan fungsi kekhalifahannya di atas dunia ini. Jadi tujuan seni bukanlah untuk seni, tapi memiliki tujuan jangka panjang yaitu kebahagiaan spiritual dan material manusia di dunia dan di akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam di bawah naungan keridhaan Allah ta’ala.
Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung oleh Allah ta’ala lewat tuntunan-Nya yaitu Al-Qur’an, nilai keindahan al-Qur’an yang maha mulia menunjukkan kehadiran Ilahi dalam objek pengetahuan manusia.
Karena al-Qur’an adalah ekspresi kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, tuntutan dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintahNya.[36]
Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, tapi juga menekankan agar manusia mengungkapakan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan.
Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ia akan mampu untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang diciptakan Allah di alam. Oleh karena itu seorang pendidik hendaklah mampu mengarahkan anak didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah (qurany dan kauniy), maupun memotivasi mereka agar mampu mengungkapkan nilai-nilai seni tersebut sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka masing-masing.[37]
7. Pendidikan Sosial
Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individu.
Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga sosial sekaligus. Tanggung jawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi ia tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar pembentuk masyarakat.[38]
Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka aqidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang dapat meningkatkan iman, taqwa, takut kepada Allah dan mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.
Di dalam al-Qur’an dan hadits ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan sosial.  Sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam:
تَرَى الْمُؤْ مِنِیْنَ فِيْ تَرَاحُمِھِمْ وَتَوَا دُدِھِمْ وَتَعَا طُفِھِ مْ  كَمَثَلِ الجَْسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوٌ تَدَاعَى لَھُ سَائِرُ جَسَدِه بِالسَّھَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman yang saling cinta, tolong menolong, dan kasih sayang diantara mereka adalah bagaikan suatu tubuh. Bila salah satu bagian dari tubuh kita itu merasakan kesakitan, maka seluruh tubuh akan merasakannya pula dengan menderita demam, dan tidak dapat tidur.”[39]
Ikatan kemasyarakatan yang kuat mendorong setiap orang untuk berbuat menolong, sesamanya, bila ditimpa musibah dan kemalangan. Perbuatan demikian merupakan pencerminan keimanan seseorang, seperti tercermin dalam ungkapan Nabi melalui sabdanya:
لَیْسَ الْمُؤمِنُ بِالَّذِى یَشْبَعُ وَجَارَه جَائِعٌ جَنْبِھِ .
Tidak beriman orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya”. (HR. Baihaqy, Imam Malik, Thabroni, Daruquthni dari Ibnu Abbas).[40]
Masyarakat yang baik menurut pengertian Islam, adalah masyarakat yang ikut merasakan kesulitan-kesulitan orang lain. Tumbuhlah kemudian  rasa cinta dan solider terhadap sesamanya. Yang kaya harus menolong yang miskin, sedangkan orang yang kuat harus menolong kepada yang lemah.
Disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, tentang dasar-dasar solidaritas sosial:
عَنْ أَبِي ھُرَیْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْھُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ قَالَ :
الدُّنْیَا نَفَّسَ اللهُ عَنْھُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ یَوْمِ الْقِیَامَةِ، وَمَ نْ یَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ یَسَّرَ اللهُ عَلَیْھِ فِي الدُّنْیَا وَالآخِرَةِ،
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْیَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِیْھِ
“Dari Abu Hurairah Ra. Dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda: Barangsiapa yang membebaskan seorang mukmin dari suatu kesukaran (musibah), maka Allah akan membebaskan dirinya dari kesukaran-kesukaran hari kiamat”. “Barangsiapa yang meringankan bebannya di dunia dan akhirat”. “Barangsiapa yang menutupi cacat (kejelekan) orang Islam, maka Allah akan menutupi cacatnya di dunia dan di akhirat”. “ Sesungguhnya Allah akan menolong hambaNya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya”.(HR. Muslim)[41]
Solidaritas sosial mengandung pengertian yang dalam, baik yang menyangkut rasa mencintai dan merasakan kepada penderitaan orang lain, berusaha meringankan beban yang dipikul mereka, sampai menyangkut sikap menutupi kelemahan dan cacat tubuh mereka. Sikap ini tidak mungkin timbul bila keimanan tidak tumbuh dalam diri seorang muslim. Karena itulah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
لاَیُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى یُحِبُّ لِأَخِیْھِ مَا یُحِبُّ لِنَفْسِھِ .
“Tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” HR. Bukhari.[42]
Demikianlah sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat membentuk peserta didik yang beriman, yang memiliki pribadi utama dan seimbang dalam keseluruhan dimensi kehidupan peserta didik. Selaras dan seimbang karena segenap dimensi dan potensi yang ada padanya bekerja dan berfungsi sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.[43]

D. Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
1. Pendidik Dalam Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidik
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, muallim dan muaddib. Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi. Kata muallim isim fail dari allama, yuallimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 31, sedangkan kata muaddib, berasal dari addaba, yuaddibu, seperti sabda Rasul: “Allah mendidikku, maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”.[44]
Ketika term itu, muallim, murabbi, muaddib, mempunyai makna yang berbeda, sesuai dan kontek kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna.
Kata atau istilah “murabbi” misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian serta akhlak yang terpuji.
Sedangkan untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan (baca : pengajaran), dari seorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Adapun istilah “muaddib”, menurut al-attas, lebih luas dari istilah “mu’allim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.[45]
Beragamnya penggunaan istilah pendidikan dalam literature pendidikan Islam, secara tidak langsung telah memberikan pengaruh terhadap penggunaan istilah untuk pendidik. Hal ini tentunya sesuai dengan kecenderungan dan alasan masing-masing pemakai istilah tersebut. Bagi mereka yang cenderung memakai istilah tarbiyah, tentu murabbi adalah sebutan yang tepat untuk seorang pendidik. Dan bagi yang merasa bahwa istilah ta’lim lebih cocok untuk pendidikan, sudah pasti ia menggunakan istilah mu’allim untuk menyebut seorang pendidik. Begitu juga halnya dengan mereka yang cenderung menggunakan term ta’dib untuk mengistilahkan pendidikan, terutama mua’ddib menjadi pilihannya dalam mengungkapkan atau mengistilahkan seorang pendidik.
Namun walau demikian, tampaknya istilah mu’allim lebih sering dijumpai dalam berbagai literaratur pendidikan Islam, dibandingkan dengan yang lainnya. Gambaran tentang hakikat pendidik dalam Islam, adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadapa perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan psikomotor.[46]
b. Syarat-Syarat Pendidik
Al-Kanani mengemukakan persyaratan seorang pendidik atas tiga macam yaitu (1) Yang berkenaan dengan dirinya sendiri, (2) Yang berkenaan dengan pelajaran, dan (3) Yang berkenaan dengan muridnya. Pertama, syarat-syarat guru berhubungan dengan dirinya, yaitu :
1) Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya.
2) Hendaknya guru memelihara kemulian ilmu.
3) Hendaknya guru bersifat zuhud.
4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.
5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’, dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.[47]
6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, serta menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
7) Guru hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunnatkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, dan shalat tengah malam.
8) Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan banyak orang dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk.
9) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca dan mengarang.
10) Guru hendaknya hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap masukan apapun yang bersifat positif dan dari manapun datangnya.
11) Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.
Kedua, kode etik guru di tengah-tengah para muridnya, antara lain:
1) Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’ menegakkan kebenaran, dan melenyapkan kebathilan serta memelihara kemaslahatan umat.
2) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
3) Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4) Guru hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar muridnya dapat memahami pelajaran.
6) Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya.
7) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya.
8) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan dan hartanya.
9) Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya.
Suatu hal yang sangat menarik dari teori tentang kode etik (syarat-syarat) pendidik yang dikembangkan oleh al-Kanani itu adanya unsure yang menekankan pentingnya sifat kasih sayang, lemah lembut terhadap anak didik. Agaknya, pendapat mereka itu didasarkan atas sabda Rasululllah Shalallahu Alaihi Wasalam yang artinya : “Sesungguhnya saya dan kamu laksana bapak dengan anaknya”. Selain itu juga didasarkan atas paham mereka bahwa bila guru telah memiliki rasa kasih sayang yang tinggi kepada muridnya, maka guru tersebut akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan keahliannya karena ia ingin memberikan yang terbaik kepada murid-murid yang disayanginya. Tentunya hal itu dilatarbelakangi oleh suatu sikap untuk selalu bercermin kepada akhlak Allah (asma alhusna) dan meniru akhlak Rasulullah dalam mendidik umatnya.

2. Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
a) Pengertian Peserta Didik
Yang dimaksud obyek pendidikan di sini adalah seorang anak didik. Sama halnya teori Barat, anak didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis. Untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan dialah pihak yang harus diajar, dibina dan dilatih unfuk dipersiapkan agar menjadi manusia yang kokoh Iman dan Islamnya serta berakhlak mulia.[48]
Pengertian di atas menunjukkan bahwa anak didik merupakan anak yang belum dewasa dan masih memerlukan proses binaan dan bimbingan dari orang lain untuk tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Dewasa dalam arti secara fisik dan psikologisnya, serta memiliki kemampuan berpikir ke arah yang lebih positif dan mapan.
Dalam pandangan yang lebih modern anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten dari orang lain kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.[49] Selain itu tidak hanya dipandang sebagai obyek atau sasaran pendidikan tetapi ia juga sebagai subyek pendidikan.
Perlakuan ini diperlukan agar anak didik secara langsung dapat berinteraksi dengan masalah-masalah pendidikan dan melibatkan diri dalam proses pemecahannya. Selain itu ia juga ikut secara aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga ia dapat berkembang daya kreativitasnya ke tingkat yang lebih optimal.
Dalam Bahasa Arab kita mengenal tiga istilah yang menunjuk kepada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah tilmidz yang berarti murid. Kemudian murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu dan thalib al-‘ilm yang secara berarti pelajar, mahasiswa atau orang yang sedang menuntut ilmu.[50] Ketiga istilah tersebut mengacu kepada seorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya terletak pada penggunaannya, pada sekolah tingkat rendah kita mengenal istilah murid, sedangkan pada sekolah tingkat lanjutan atau perguruan tinggi kita mengenal istilah thalib.
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada seorang guru. Karena ilmu itu dari Allah maka membawa konsekuensi perlunya seorang anak didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi dirinya dengan akhlak mulia yang disukai Allah dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah dalam hubungan ini muncullah aturan yang bersifat normative tentang perlunya kesucian jiwa bagi peserta didik yang sedang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharap ilmu yang merupakan anugerah dari Allah.
Selanjutnya, karena seorang yang sedang mencari ilmu juga memerlukan kesiapan fisik yang prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih dan jiwa yang tenang, maka perlu adanya pemeliharaan dan perawatan yang sungguh-sungguh terhadap potensi dan media indera, fisik, dan metal yang diperlukan untuk mencari ilmu.[51]
b) Akhlak Peserta Didik
Kembali ke persoalan akhlak anak didik, A. Hasan Fahmi menyebutkan ada empat akhlak yang harus dimiliki anak didik, yang masing-masing berorientasi pada upaya mendapatkan ilmu yang berkah, yaitu:
1) Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah ibadah, tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati yang bersih;
2) Seorang anak didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia merantau dalam mencari ilmu;
3) Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada Tuhan bukan mencari kemegahan dan kedudukan;
4) Seorang anak didik wajib menghormati gurunya dan berusaha agar senantiasa memperoleh kerelaan dari gurunya, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.[52]
Dalam hubungan dengan akhlak anak didik, khususnya yang menyangkut tentang penghormatan terhadap guru. Sejalan dengan itu, al-Abdari, sebagaimana dikutif oleh A. Hasan Fahmi, ia lebih lanjut mengatakan agar seorang pelajar tidak menganggu gurunya dengan cara memperbanyak pertanyaan, terutama pada saat guru itu dalam keadaan yang letih dan jangan pula berlari-lari di belakang guru yang sedang berjalan.
Selain hal-hal penting di atas ‘Athiyah al-Abrasy menambahkan hal-hal sebagai berikut: bergadang di waktu malam. Kedua, Ia harus saling menyayangi di antara sesama temannya, sehingga merupakan persaudaraan yang kokoh. Ketiga, seorang anak didik harus tekun belajar di waktu senja dan mengulang pelajarannya di waktu subuh. Waktu antara isya’ dan sahur adalah waktu yang penuh berkah.[53]
Penjelasan mengenai akhlak anak didik ini secara khusus lagi telah dibahas oleh Imam al-Zarnuji dalam risalahnya yang berjudul Ta’lim Muta’allim (pedoman bagi para pelajar). Dalam risalah yang banyak di pelajari di pesantren-pesantren ini dijelaskan berbagai ketentuan normative dan moral bagi pelajar dalam hubungannya dengan berbagai hal dalam upaya mencari ilmu.

E. Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Berdasarkan secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha.[54]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, antara lain: (1) pengertian secara fisik, material, kongkrit, dan (2) pengertian secara non-fisik, non-material, dan abstrak.[55]
Sedangkan dalam kamus bahasa Inggris, lembaga berarti institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak adalah institution, yakni suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non-fisik disebut dengan pranata.
Dalam memberikan definisi secara terminologi, antara lain: Hasan Langgulung[56], mengemukakan bahwa lembaga pendidikan itu adalah suatu system peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideology-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik : kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah, kuttab dan sebagainya.
Daud Ali dan Habibah Daud,[57] menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik material, kongkrit, dan kedua pengertian secara non fisik, non material dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik merupakan suatu badan dan sarana yang di dalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lmerupakan suatu system yang berperan membantu mencapai tujuan.
Amin Daien mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan definisi yang dikemukakan amir Daien ini memberikan penekanan pada sikap tanggung jawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan.[58]
Definsi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam.[59]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian bentuk dan juga pengertian–pengertian yang abstrak, adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggungjawaban pendidikan itu sendiri.
2. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang jenis-jenis lembaga pendidikan Islam harus ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya (1) aspek azas ajaran Islam sebagai azas (2) aspek tempat dan waktu, dan (3) aspek penanggung jawab.
Sedangkan dalam pembahasan kali ini penulis akan memfokuskan untuk membahas jenis-jenis lembaga pendidikan Islam yang ditinjau dari aspek penanggung jawabnya.
Tanggung jawab kependidikan merupakan suatu tugas wajib yang harus dilaksanakan, karena tugas ini satu dari beberapa instrument masyarakat dan bangsa dalam upaya pengembanan manusia sebagai khalifah di bumi. Tanggung jawab ini dapat dilaksanakan secara individu dan kolektif.
Secara individu dilaksanakan oleh orang tua dan kolektif dilakukan melalui kerja sama seluruh anggota keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab kependidikan tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak lain, seperti sekolah dan lembaga kependidikan yang lain, karena sekolah berfungsi membantu orang tua dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pendidik.
Menurut Al-Qabisy, pemerintah dan orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak baik berupa bimbingan, pengajaran secara menyeluruh. Konsep tanggung jawab pendidikan yang dikemukakan al-Qabisy ini berimplikasi secara tidak langsung dalam melahirkan jenis-jenis lembaga pendidikan sesuai dengan penanggung jawabnya. Jika penanggungjawabnya orang tua maka jenis lembaga pendidikan dimunculkan adalah lembaga pendidikan keluarga. Jika penanggung jawabanya adalah pemerintah maka jenis lembaga pendidikan yang dilahirkan ini ada beberapa macam, seperti sekolah lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Jika penangung jawabnya adalah masyarakat, lembaga pendidikan yang dimunculkan seperti panti asuhan, panti jompo dan sebagainya.
Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat, memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-eraturan dan sistem kekuasaan tertentu.[60] Islam tidak membebaskan manusia dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral sehingga harus tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan tanggung jawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YP3A, 1987), h.149.
[2] Ibnu Manzhur, Abiy al-Fadhl al-Din Muhammad Mukarram, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar al-Ahya’, tt), Jilid V, h.94-96.
[3] Karim al-Bastani, dkk, Al-Munjid fi Lughat wa ‘Alam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1975), h.243-244.
[4] Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terjemahan Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1988), h.66.
[5] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyat wa Ta’lim, (Saudi Arabiah: Dar al-Ahya’, tt), h.7-
[6] Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), Juz I, h.30.
[7] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Islamiyah, cet.3, (Dar al-Fikr al-Arabi, tt), h.100.
[8] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), h.131.
[9] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.29.
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.75.
[11] KH. Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.43.
[12] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.229.
[13] Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1967), h.13-50.
[14] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Islam Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.142.
[15] H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h.233.
[16] Ag. Sujono, Pendahuluan Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Bina Ilmu, tt), 16.
[17] Widodo Supriyono, Filsafat Manusia dalam Islam,Reformasi Filsafat Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h.179-181.
[18] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h.4.
[19] Marasudin Seregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun, Suatu Analisa Fenomenologi, (Jogya : Pustaka Pelajar, 1995), h.65.

[20] Jalalluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthy, Al Jamiush Shaghir, (Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah, tth), Juz 2, h.93.
[21] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.108-109.
[22] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.4.
[23] Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, Terjemah, Salman Harun, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), h.129.
[24] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002 ), h.112.
[25] Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1987), h.209.
[26] Muhammad Hasan Hamshi, Qur’an Karim, Tafsir dan Bayan, (Beirut: Dar al-Rasyid, tt), h.407.
[27] Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Mesir : Darul Manar, 1373 H), Juz IV, h.119.
[28] Abu A’la Muadudi, Towar Understanding Islam, (Lahore Dacca, Islamic Publication Ltd., 1996), h.4-6.
[29] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.113.
[30] Abdullah Saleh Abdullah, Education Theory: a Quranic Outlook, Terj. H.M. Arifin dan Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al Quran, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1990), h.45.
[31] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.114.
[32] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaybany, Filsafat Tarbiyah al-Islamiyah, Terjemah, Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.344.
[33] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.104.
[34] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.116.

[36] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al-Hasan, 1992), h.106.
[37] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.120.
[38] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h.111.
[39] Hussein Bahresi, Al-Jami’ush Shahih: Hadits Bukhari Muslim Pilihan, (Surabaya: Karya Utama, tth), h.137.
[40] Jalalluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthy, Al Jamiush Shaghir, (Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah, tth), Juz 2, h.135.

[41] Imam Muslim, Shahih Muslim Imam Muslim, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah 1994 ), Juz 1, h.269.

[42] Hussein Bahresi, al-Jamiush Shahih: Hadits Bukhari Muslim Pilihan, (Surabaya: Karya Utama, tth), h.6.
[43] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.120-122.
[44] Lihat , Q.S. 17:24
[45] Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam,Terjemahan Haidar Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), h.5.
[46] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perseptif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), h.75.
[47] Badruddi Ibn Jama’ah al-Kanani, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), h.15-16.
[48] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad: Pendidikan Anak, diterj. Raharjo,( Bandung : Rermaja Rosdakarya ,1992), h. 59.
[49] H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.144.
[50] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : YP3A, 1990), h.79 dan 238.
[51] M. Samsul Ulum dan Triyo Supriyatno, Tarbiyah Qur’aniyyah, (Malang : UIN Malang Press, 2006), h.71-77.
[52] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h.82-83.
[53] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Dar al-fikr Al-‘Arabi, 1974), h.141.
[54] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. III, h. 572.
[55] M. Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.1.
[56] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam mengahadapi Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), Cet. I, h. 12-13.
[57] M. Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.1.
[58] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h.171.
[59]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi kasara, 1996), h.39.
[60] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam mengahadapi Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), Cet. I, h. 14.

1 komentar:

  1. mantap.....materi ini yg q cari...mksih y buat pnulis materi ini..smg anda sukses Selalu

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...