Minggu, 08 Januari 2012

Teori Maqashid Asy-Syariah


Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa lepas dari teori dan konsep tentang maqasid al-syariah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
1.      Pengertian
Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Kata maqashid adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kata ق ص د، يقصد، قصدا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut adalah :
Ø  al- I'timad wa al- I'tisham الإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
Ø  Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah ta’ala  ومنهم مقتصد
Ø  Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman Allah ta’ala وعلى الله قصد السبيل
Ø  al-Qurbu, sebagaimana firmanNya لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا
Ø  al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan قصدت العود قصدا
Dari beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah pengertian pertama yaitu  الإعتماد والإعتصام (kesengajaan atau tujuan).
Sedang term syariah secara bahasa bermakna  على مورد الماء أى مكان ورود الناس للماء tempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air. Dengan kata lain juga bermakna al-mawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[1] Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air)[2].
Mahmud Syaltut mendefinisikan al Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[3] Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “.[4] Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Canon law of Islam ; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M), ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya kata “syari’ah” kadang-kadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama Islam dan kadang dipakai juga untuk menyebut aspek hukum dan agama itu sekaligus. Al-Asy’ari (324 H/935 M) teolog terkenal secara tegas memaknai syari’ah untuk merujuk pada aspek hukum dari agama Islam. Ia menyatakan bahwa masalah kasus cabang agama, seperti kewarisan, hukum halal dan halal, masalah pidana dan talak harus dikembalikan kepada syari’ah yang dasarnya adalah dalil-dalil sam’i (revelasional), sedangkan masalah pokok agama dikembalikan kepada sejumlah prinsip yang didasarkan kepada dalil akal, pengalaman intuisi. Janganlah dicampuradukkan antara masalah akidah yang didasarkan kepada dalil rasional (‘aqliyyah) dengan masalah cabang agama yang didasarkan kepada dalil revelasional (sam’i).
Pengertian yang diberikan al-Asy’ari terhadap syari’ah masih tetap dipakai hingga sekarang seperti dapat dilihat penggunanan frase “fakultas syari’ah”, “bank syari’ah” dan judul beberapa buku, serta sejumlah peraturan perundangan muslim. Berbeda dengan Asy’ari, Syatibi (790 H/1388 M) mengartikan “syari’ah” sebagai “keseluruhan ketentuan agama yang mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia”. Pengertian ini menggambarkan syari’ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan aspek doktrinal.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa terminologi “syari’ah” dipakai dalam dua pengertian, yaitu : dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan keseluruhan norma agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam arti sempit “syari’ah” merujuk pada aspek praktis dari ajaran Islam yaitu, bagian yang terdiri dari norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, perkara di pengadilan, penyelenggaraan negara dan lainnya. Apabila istilah “hukum Islam” hendak digunakan untuk menerjemahkan istilah “syari’ah”, maka “syariah” yang dimaksud syari’ah adalah dalam arti sempit. Maka pengertian syariat dalam term maqasid syariah adalah peraturan/hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi  yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh beliau.
Dari pemahaman kebahasaan mengenai istilah maqashid dan syariah maka dapat disimpulkan bahwa  maqasid al Syariah adalah maksud dan tujuan dari syariah atau hukum Islam. Menurut 'Allal al Fasiy, maqashid al Syariâh adalah : Tujuan yang dikehendaki Syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah) pada setiap hukumAdapun inti dari maqashid al Syariâh adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara. 
Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemashlahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, taklif (pembebanan hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum itu. Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah Ta’ala dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah Ta’ala dalam semua atau sebagian besar syariatNya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya. Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba.
2.      Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.
a)   Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Ta’ala menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Di antara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan Yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan Yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan Yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.
Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang mendesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.
3.      Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia.
Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.


[1] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
[2] Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161
[3] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12
[4] Kamus Besar bahasa Indonesia, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...