Sabtu, 21 Januari 2012

Teori Syar`u Man Qablana


Oleh : Imam Yazid

Syariat terkadang sering disamakan dengan fiqh. Sementara fiqh itu sendiri bermakna pemahaman, dan secara istilah adalah pemahaman mendalam para ulama tentang hukum syara` yang bersifat amaliyah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqh diartikan pula sebagai ilmu yang mengkaji syariat.[1]
Kajian fiqh lebih luas dibandingkan dengan konsep syariat karena fiqh melibatkan berbagai metode dan pendekatan dalam memahami semua ajaran Islam. Fiqh dapat berlaku untuk yang sifatnya naqliyah maupun `aqliyah. Hasbi Ash-Shiediqie berpendirian bahwa makna fiqh identik dengan hukum Islam atau syariat Islam. Fiqh adalah koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fiqh merupakan syari`ah `amaliyah.[2]
Kita mengetahui bahwa ada perubahan hukum yang dibawa oleh para Rasulullah dalam catatan sejarah. Perubahan hukum itu dapat dipahami sebagai penyesuaian atas kondisi fisik dan pemikiran manusia pada zaman “para utusan” tersebut diutus. Misalnya perbedaan antara syariat Islam dengan syariat sebelumnya adalah mengenai tata cara bertaubat pada masa Nabi Musa yaitu dengan membunuh dirinya, dan pakaian yang terkena najis harus disucikan dengan cara memotong bagian yang terkena najis. Diantara syariat itu ada yang masih berlaku meski tidak sama persis tatacara waktu pelaksanaannya, seperti perintah puasa, qurban, dan sebagainya.[3] Tata cara taubat telah diubah oleh Allah melalui QS. Hud: 3 ( وأن استغفروا ربكم ثم توبوا اليه يمتعكم متعا حسنا الى أجل مسمى ويؤتى كل ذى فضل فضله ) dan menyucikan pakaian dari najis diubah caranya melalui QS. Al-Mudatstsir: 4 ( وثيابك فطهر).
Sehubungan masalah syariat berkaitan dengan hukum praktis maka pembahasan tentang Syar’u Man Qablana ini khusus ditemukan dalam berbagai kitab hukum, spesial pada cabang ilmu yang membahas mekanisme pembentukan hukum yaitu ilmu Ushul Fiqh. Sampai saat makalah ini ditulis, penulis belum menemukan pembahasan khusus tentang Syar`u Man Qablana selain dalam kitab Ushul Fiqh.
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar`u man qablana ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad Saw.
Dimana kita dapat menemukan syariat terdahulu itu? Apakah dari kitab suci Nabi dan Rasul terdahulu yang ada sekarang seperti Perjanjian Lama untuk agama Yahudi dan Injil Bible untuk agama Kristen (Katolik dan Protestan)? Hal ini menjadi pembicaraan di kalangan ulama.
Meyakini adanya kitab suci yang diturunkan kepada  nabi-nabi terdahulu adalah merupakan salah satu rukun iman. Namun kita meyakini pula bahwa Perjanjian Lama yang ada sekarang bukanlah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa. Begitu pula Injil atau Bible yang dipegang orang Kristen saat ini bukanlah Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa dalam arti yang sesungguhnya. Kedua kitab suci yang ada sekarang itu sudah mengalami perubahan melalui tangan para pengikutnya.
Sehubungan dengan itu, maka syariat umat terdahulu itu bukanlah yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada sekarang. Kedua kitab tersebut sudah disepakati oleh semua ulama untuk menolaknya. Kalau demikian halnya, maka yang disebut syariat sebelum kita adalah hukum-hukum yang berlaku untuk umat sebelum datang risalah Nabi Muhammad sejauh yang dapat dibaca dalam Alquran atau dinukilkan oleh Nabi Muhammad Saw, karena memang Alquran dan Hadis Nabi banyak berbicara tentang syariat terdahulu.

B.      Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1.      Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-An`am: 146
n?tãur šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym ¨@à2 ÏŒ 9àÿàß ( šÆÏBur ̍s)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä©
Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku; dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz
Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
Hadis Nabi
احلت لى الغنام ولم تحل لاحد من قبلى
Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku.

Hadis Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.
Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
2.      Hukum-hukum dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan ataspu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad.
Contoh dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang dijelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi:
ضحوا فانها سنة ابيكم ابراهيم
Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim.

Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia adalah syara’ sebelum kita yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita dalam Alquran atau Hadis Nabi.
3.      Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.

Dari ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara` atau metode ijtihad.
Pembahasan tentang syariat “syariat sebelum kita” ini mucul karena di satu sisi ia terdapat (disebut) dalam Alquran yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk umat Nabi Muhammad, namun di sisi lain Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam hal ini mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/
Kami telah tetapkan terhadap mereka (kaum Yahudi) di dalamnya (Kitab Taurat) bahwasany jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata...

Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala.

C.      Kehujjahan Syar`u Man Qablana
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul.[4]
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2.      Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah
شرع من قبلنا شرع لنا
Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Alquran yang diantaranya:
a.      Surat al-Syura: 13
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya”

b.      Surat al-Nahl: 123
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus.

Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45[5] bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash.
Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri.
Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah Swt. untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1.      sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[6]
2.      sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:[7]
1)      ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat al-Syura: 13
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î)
Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu

2)      ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 67
$tB tb%x. ãNŠÏdºtö/Î) $wƒÏŠqåku Ÿwur $|ÏR#uŽóÇnS `Å3»s9ur šc%x. $ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B
Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim.

3)      Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3.      Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain yang sependapat.

Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini timbul beberapa pendapat:
1.      Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh.
Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya adalah
1)      Surat al-Nahl: 123
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym (
Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif

2)      Surat Al-Maidah: 44
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$#
Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para nabi berhukum berhukum dengannya.

2.      Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.      Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b.      Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c.       Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak akan menasakhnya.

D.     Penutup
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama terakhir maka akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum Islam, pertama penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita sehingga tidak berlaku lagi, kedua sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu ada yang dinyatakan masih berlaku melalui Alquran atau Hadis, dan ketiga sebagian dinyatakan namun tidak dijelaskan masih berlaku atau tidak.
Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya dengan catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sedangkan syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah Saw dan umatnya kecuali yang dinyatakan dalam Alquran dan Sunnah melahirkan kaidah tersendiri dalam perumusan hukum Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Lisan al-Arab.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Muhyiddin Darwisy, I`rab al-Qur’an al-Karim Wa Bayanuh, jilid 9, cet. iii. Suriah: Dar al-Irsyad, 1412 H.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. xii. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, juz iv. Beirut: Dar al-Jail, 1408  H.
Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420 H.
Tafsir al-Thabari
Juhaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam. Bandung: Yayasan Piara, 1997.
Hasbi Ash-Shiediqie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. xii. Kairo: Dar al-Qalam, 1398 H.
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.


[1] Juhaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 7.
[2] Hasbi Ash-Shiediqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 44.
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. xii (Kairo: Dar al-Qalam, 1398 H), h. 93.
[4] Keempat kaidah itu adalah Syar`u Man Qablana, Qaul al-Shahabi, Istihsan, Istishlah. Lihat Al-Ghazali, Al-Mustashfa.
[5] QS. Al-Maidah: 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ   
[6] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 239.
[7] Al-Ghazali, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...