Selasa, 14 Februari 2012

'Azimah dan Rukhshah dalam Hukum Islam


Muhammad Habibi


Abstrak
Agama atau Ad-Din mencakup makna kepatuhan dan rendah diri dan ibadah adalah bukti dari sikap patuh seorang hamba. Ibadah tersebut kemudian terkomulasi dalam hukum-hukum yang mengatur makna kepatuhan.

Mukaddimah
Ibadah bagi manusia dalam Islam adalah cara untuk membersihkan jiwa, perilaku dan akal pikiran, karena konsep Islam berdasarkan pada anggapan bahwa dasar kehidupan yang baik adalah baiknya akal, jiwa dan perilaku. Islam telah memperluas makna dan cakupan definisi Ibadah dengan mengartikan bahwa ibadah bukan hanya shalat, puasa, zakat dan haji saja, tetapi ia adalah segala bentuk amal saleh yang dilakukan oleh manusia secara ikhlas, dengan niat menjalankan perintah Tuhannya dan mencari keridhaan-Nya. Itulah ibadah yang akan diberikan pahala bagi yang melakukannya.
Sedangkan ibadah-ibadah yang khusus – yang telah ditetapkan oleh Allah tentang tata caranya – itu adalah ibadah yang menjadikan dasar hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Ibadah khusus itu ada empat: Shalat, zakat, puasa, dan haji; yaitu rukun-rukun Islam setelah dua kalimat syahadat, yang telah dibebankan kepada setiap muslim, sebagai bukti dari keimanannya, sebagai bukti atas ketulusan ‘azimah-nya, kesungguhan jiwanya dan sebagai bukti atas kemampuannya menahan hawa nafsu.

Hakekat Ibadah
Ibadah menurut bahasa adalah taat. Al-‘Ubudiah adalah patuh dan merendah. At-Ta’bid artinya merendahkan, dikatakan thariq ma’bad artinya jalan yang rendah. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Ibadah menurut syara’, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada lafadz saja. Mereka bersepakat bahwa maknanya berkisar tentang ketaatan kepada Allah, yang bersumber dari kecintaan kepada-Nya.
Ibnu Taimiah mendefinisikannya: Ibadah adalah Ismun Jam’un (nama yang cakupannya menyeluruh) untuk setiap apa yang dicintai Allah dan yang diridhai-Nya, dari perkataan, amal perbuatan baik yang batin maupun yang dhahir . Dan Ibnu Katsir mendefinisikannya dengan setiap apa yang menyatukan kesempurnaan rasa cinta, rasa patuh dan rasa takut .
Dari dua definisi ibadah di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu amal perbuatan dikatakan sebagai ibadah jika memenuhi dua hal:
Pertama: Berpegang teguh dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan apa yang diseru oleh para Rasul-Nya, baik itu perintah maupun larangan, baik halal maupun haram. Ini adalah unsur ketaatan dan kepatuhan kepada Allah . Ibnu Taimiah berpendapat bahwa Ad-Din atau agama mencakup makna kepatuhan dan rendah diri. Jika dikatakan Dantuhu fa Dana, artinya saya merendahkannya lalu dia merendah. Juga dikatakan Yadinullaha atau Yadinu Lillah, artinya adalah menyembah dan mentaati Allah, patuh kepada-Nya. Oleh karena itu agama Allah memiliki arti bahwa kita beribadah kepada-Nya, taat dan patuh kepada-Nya .
Kedua: Sikap berpegang teguh tersebut harus bersumber dari hati yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang pantas dicintai selain Allah, Dia adalah pemilik segala kemuliaan dan kebaikan, Yang telah Menciptakan manusia, yang sebelumnya tidak ada satu berita pun tentangnya. Semua yang ada di langit dan di bumi patuh kepada-Nya dan Allah akan menyempurnakan nikmat-nikmatnya, baik yang dhahir maupun yang batin kepadanya. Ibnu Taimiah berkata, “Ibadah, asal maknanya juga adalah merendah, dikatakan thariq ma’bad (jalan yang rendah), jika jalan tersebut rendah karena telah banyak diinjak oleh kaki. Dan ibadah yang diperintahkan kepada kita mempunyai makna merendah dan mencintai, ia mempunyai sikap betul-betul merendah kepada Allah dengan tujuan mencintai Allah. Ibadah dalam Islam bersifat menyeluruh (komprehensif), karena ia mencakup seluruh bentuk perilaku yang bersumber dari manusia. Shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, melaksanakan amanat, berbakti kepada orangtua, menyambung silaturahmi, melaksanakan janji, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik, baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak dan binatang, berdoa, berdzikir, membaca dan selain dari itu semua adalah ibadah .
Ibadah adalah tujuan diciptakannya manusia .Dan inilah rahasia dari perluasan makna ibadah dalam Islam, sehingga manusia selalu mempunyai hubungan dengan Tuhannya, selalu menjaga kehadiran-Nya, sehingga manusiapun menjadikan dunianya sebagai jalan untuk akhiratnya.
Taklif (pembebanan) seorang muslim dengan ibadah-ibadah ini adalah untuk kepentingan dirinya dan kepentingan komunitasnya karena Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan sesuatupun dari ibadah manusia, karena Dia sesungguhnya tidak membutuhkan sesuatupun dari alam raya dan apa yang ada di dalamnya. Ibadah-ibadah ini dilakukan atas dasar kemudahan dan kesanggupan, bukan berdasarkan sesuatu yang sulit dan menyempitkan, tetapi ia dilakukan atas batas kemampuan manusia biasa, semua orang dapat melakukannya tanpa bersusah payah. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,

“…Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al-Hajj:78).

‘Azimah dan Rukhshah dalam Ibadah
Para ulama berselisih pendapat mengenai posisi ‘azimah dan rukhshah dalam hukum islam. Sebagian para ulama memasukkan ‘azimah dan rukhshah bagian dari hukum wadh’i (hukum positif), karena suatu hal tidak akan berpindah dari ‘azimah kepada rukhshah kecuali karena adanya sebab, yaitu dharurah (keterpaksaan) dibolehkannya yang dilarang, atau adanya udzur, yang menjadi sebab diringankannya untuk meninggalkan sesuatu yang wajib. Oleh karena itu, rukhshah adalah bagian dari pembahasan hukum wadh’i. Pendapat inilah yang banyak diambil oleh sebagian besar ulama. Perlu untuk disampaikan juga bahwa ‘azimah adalah lawan daripada rukhshah. Suatu hukum tidaklah dinamakan ‘azimah, kecuali jika ditetapkan adanya rukhshah pada hukum tersebut, disebabkan karena udzur yang sulit. Berdasarkan itu maka hukum ada tiga pembagian: Pertama; ‘Azimah, kedua; rukhshah pada saat adanya udzur, dan ketiga; hukum asli yaitu hukum yang tidak ada rukhshahnya, sehingga itu tidak ada ‘azimah. Itulah yang disebut sebagai hukum permulaan secara mutlak, yang dinamakan sebagai hukum syariat yang asli. Seluruh hukum ini dianggap sebagai ‘azimah (ketetapan) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dilihat bahwa hukum-hukum tersebut adalah syar’iyyah (hukum syariat), karena dibebankan kepada manusia untuk melaksanakannya.



Definisi ‘Azimah
’Azimah adalah kemauan yang kuat, kata kerjanya adalah ‘azama dari bentuk kata kerja dharaba yadhribu. Dikatakan ‘azama, ‘azimatan dan ‘azman artinya bersungguh-sungguh pada suatu perkara. ‘Azimah Allah artinya adalah hal-hal yang diwajibkan oleh-Nya. Bentuk jamaknya adalah ‘azaim.
Contoh dari itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“…Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya ‘azman.” QS Thaha:115
‘Azman artinya kemauan yang kuat, tetapi ada yang mengatakan bahwa ‘azm di sini berarti kesabaran, artinya “Kami tidak menemukan kesabaran padanya.” Ada juga yang mengatakan bahwa artinya adalah sharimah (kemauan yang kuat), yaitu sama dengan ‘azimah, atau ia adalah sesuatu yang ingin kamu lakukan. Oleh karena itu sebagian utusan-utusan Allah disebut dengan “Ulul Azmi,” karena kuatnya kemauan mereka dalam menyebarkan kebenaran.
Para ahli Ushul Fikih mendefinisikan ‘azimah dengan definisi yang beragam. Bazdawi berpendapat bahwa ‘Azimah adalah nama untuk sesuatu yang asli dari suatu hukum, tidak berhubungan dengan ‘awaridh (hal-hal yang tidak tetap muncul dari sesuatu). Syatibi mendefinisikannya dengan sesuatu yang disyariatkan dari hukum-hukum umum sejak permulaan. Dan Baidhawi berpendapat bahwa ‘Azimah adalah hukum yang ditetapkan yang tidak bertentangan dengan dalil karena suatu udzur (sebab).
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari definisi-definisi di atas; Ada kesepakatan bahwa ‘azimah disyariatkan sejak permulaan dan hukumnya adalah diharuskan, atau diwajibkan. Dan tidak menjadikan ‘azimah sebagai lawan dari rukhshah, kecuali definisi yang dikatakan Baidhawi, dimana dia menjadikan ‘azimah sebagai lawan dari rukhshah, tetapi dia tidak membatasi udzur dengan batasan masyaqqah (kesulitan) karena udzur jika tidak syaqqah (sulit) maka itu tidak dapat dijadikan sebagai penyebab rukhshah. Cakupan hukum ‘Azimah dan Pembagiannya Telah dijelaskan di atas bahwa ‘azimah adalah hukum umum yang ditetapkan pada permulaan, maka ia mencakup hukum taklifi yang lima, fardhu , wajib , sunnah , makruh dan haram .
‘Azimah pada saat disebutkan secara mutlak memiliki empat bentuk:
1.      Hal-hal yang disyariatkan sejak permulaan untuk kepentingan manusia secara umum. Seperti ibadah, muamalat, jinayat (hukum pidana) dan seluruh hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk kepentingan dunia dan akhirat. Ini adalah bagian terbesar dari hukum-hukum yang ada.
2.      Hal-hal yang disyariatkan dari suatu hukum karena sebab tertentu, seperti diharamkannya mencaci sekutu dan sesembahan yang disembah selain Allah disebabkan karena cacian kaum musyrikin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (Al-An’am:108)
3.      Apa-apa yang disyariatkan dari hukum yang menjadi nasikh (penghapus) bagi hukum yang sebelumnya. Hukum yang mansukh (dihapus) seakan tidak ada dan hukum yang nasikh (penghapus) adalah ‘azimah. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya , “…Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram…” (Al-Baqarah:144) Ayat ini menjelaskan bahwa ia menghapus mengarahkan wajah ke Baitul Maqdis, dan menyuruh untuk memalingkan wajah dalam shalat ke Ka’bah.
4.      Perkara yang menjadi pengecualian dari suatu perintah yang ditetapkan dan bersifat umum. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…” (Al-Baqarah:229)
Allah telah mengharamkan suami untuk mengambil apa yang telah dibayarkan dari mahar kepada istrinya. Kemudian ayat ini memberikan pengecualian yaitu pada saat keadaan tidak dapat disatukan dan tujuan pernikahan tidak tercapai, Allah membolehkan suami mengambil harta dari istrinya sebagai tanda mentalak istrinya dan memutuskan hubungan perkawinan antara keduanya, itulah yang disebut dengan al-Khal’u .

Definisi Rukhshah
Kata “Rukhshah” dengan mematikan hurup “kha” adalah bentuk ungkapan tentang kemudahan. Darinya terbentuk kata seperti “Rukhusha as-Si’ru” (harga murah) artinya ia adalah mudah. Jika hurup “kha” dibaca fatah (menjadi Rukhashah) maka ia adalah bentuk ungkapan tentang seseorang yang mengambil, atau menjalankan rukhshah. Seperti yang disebutkan oleh Amidi .
Para Ahli Ushul Fikih mendefinisikan rukhshah dengan beberapa definisi. As-Sarkhasi mendefinisikan dengan sesuatu yang dibolehkan karena udzur (alasan), tetapi dalil diharamkannya adalah tetap . Syathibi berpendapat bahwa rukhshah adalah sesuatu yang disyariatkan karena udzur yang sulit, sebagai pengecualian dari hukum asli yang umum, yang dilarang dengan hanya mencukupkan pada saat-saat dibutuhkan.
Dan kesimpulan yang dapat diambil dari dua definisi ini adalah bahwa;
Ø  Hukum Rukhshah disyariatkan pada tahap kedua, sebagai pengucualian dari hukum asli yang umum yaitu ‘azimah.
Ø  Bahwa dalil hukum asli yaitu ‘azimah masih tetap berlaku, masih harus dilaksanakan bagi orang yang tidak memiliki udzur.
Ø  Faktor udzur-lah yang membolehkan dilaksanakannya rukhshah.

Perbedaan antara Rukhshah dan Udzur
Tidak banyak ulama yang membedakan antara udzur dengan rukhshah, diantara ulama yang membedakan adalah Syathibi, Ghazali dan Isnawi . Untuk itu adalah penting untuk dikemukakan perbedaan antara keduanya sehingga kita dapat mengaitkan antara furu’ (permasalahan cabang) dengan ushul-nya dalam bentuk yang ilmiah. Udzur itu lebih umum daripada rukhshah karena mencakup seluruh ‘awaridh (hal-hal yang tidak tetap yang muncul dari sesuatu), yang terjadi pada hak seorang mukallaf (manusia) karena suatu keadaan dan kondisi.
Di antara udzur itu ada yang masuk dalam cakupan al-Hajiyyat al-Kulliyyat (maslahat sekunder yang umum) seperti al-Qiradh, dimana ia disyariatkan karena adanya udzur pada hukum asal, yaitu ketidakmampuan pemilik harta dalam berusaha mencari rezeki dan qiradh dibolehkan karena tidak ada masyaqqah, atau ketidakmampuan, begitu juga dengan transaksi al-Musaqat . Oleh karena itu, akad Qiradh dan akad salam tidak disebut sebagai rukhshah. Di antara udzur juga ada yang dikembalikan kepada aslu takmili (hukum asal yang bersifat penyempurna), ini juga tidak dinamakan rukhshah, seperti shalat makmum yang mampu berdiri dibelakang imam yang tidak mampu berdiri.  Sedangkan rukhshah tidak terjadi kecuali adanya udzur yang syaqq (sulit), seperti shalat dalam bepergiaan. Bepergian adalah udzur karena ada masyaqqah (kesulitan), sehingga disyariatkan rukhshah untuk mengqashar (memendekkan) shalat. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat kami tetapkan bahwa setiap rukhshah adalah udzur, tetapi tidak setiap udzur itu adalah rukhshah.

Hubungan rukhshah dengan maqashid Syar’iyyah
Prinsip umum yang pasti dalam Islam adalah prinsip kemudahan dan memudahkan, tasamuh, moderat dan menghilangkan segala kesulitan dalam hukum-hukum syariatnya, baik itu hukum yang ditetapkan dengan teks yang lugas, atau yang ditetapkan berdasarkan ijtihad para Fuqaha dan Mujtahid . Cakupan sikap tasamuh dan kemudahan dalam Islam tidak terbatas pada masalah-masalah ibadah saja, tetapi mencakup seluruh hukum-hukum Islam, baik itu mengenai hukum tentang hubungan sipil, hukum perdata, hukum pidana, hukum-hukum tentang pengadilan dan yang lainnya. Hal itu dapat dilihat dengan jelas jika menelusuri nash dan kaidah-kaidah syariat, juga hubungannya dengan maqashid syariat yaitu tentang mengambil manfaat dan menolak mafsadah (kerusakan).
Ibnu Asyur menjelaskan tentang hikmah dari sifat tasamuh, ”Sesungguhnya hikmah sifat tasamuh dalam Islam adalah bahwa Allah telah membuat syariat sebagai agama fitrah dan masalah fitrah kembali kepada pembawaan yaitu sesuatu yang ada pada jiwa, yang mudah diterima. Dan diantara fitrah manusia juga adalah menjauhi sesuatu yang sulit dan payah.”
Tasamuh syar’i berhubungan erat dengan prinsip keadilan yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dimana beliau telah mengorbankan jiwaya untuk dapat menterjemahkan hukum-hukum Islam ke dalam realitas. Mengenai hal ini Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya tonggak dan dasar syariat adalah hikmah dan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan semuanya bersifat adil, semuanya adalah rahmat, maslahat dan hikmah. Oleh karena itu, semua masalah yang keluar dari keadilan, ia akan masuk ke dalam kedhaliman, dari rahmat masuk kepada sebaliknya, dari maslahat kepada mafsadah (kerusakan), dari hikmah kepada sesuatu yang tidak berguna dan itu semua bukanlah syariat, walaupun syariat telah disisipi oleh berbagai takwil. Syariat adalah keadilan Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, Rahmat-Nya bagi semua makhluk-Nya, naungan-Nya di bumi dan hikmah petunjuk kepada-Nya dan kebenaran yang ada pada Rasulullah adalah petunjuk yang paling tepat dan paling jujur.”
Mengenai sifat tasamuh dan kemudahan telah ditetapkan dalam Islam dengan banyak dalil. Sebab Dihilangkannya Kesulitan dari Manusia dalam Taklif Syathibi berkata, “Ketauhilah bahwa kesulitan ditiadakan dari para mukallaf (manusia) karena dua hal:
Pertama; Takut terputus di tengah jalan, membenci ibadah, dan membenci taklif. Berdasarkan hal itu, maka maknanya adalah takut untuk memasukkan kerusakan kepada mukallaf, baik pada tubuhnya, atau akalnya, atau hartanya, atau kondisinya, hal itu karena Allah telah meletakkan syariat ini dengan memiliki sifat yang mudah, toleran dan lembut, dengannya Allah menjaga hati manusia, membuat mereka mencintai-Nya dan jika mereka melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan sifat toleransi dan kemudahan, maka mereka akan tercemari dengan sesuatu yang tidak membuat mereka ikhlas dalam berbuat.
Kedua: Takut adanya kekurangan ketika adanya persaingan fungsi yang berhubungan dengan seorang hamba dengan kaumnya. Seperti melaksanakan tugas untuk keluarga dan anaknya kepada pembebanan-pembebanan lain yang datang di tengah jalan. Barangkali dikarenakan adanya kesibukan dalam sebagian tugas, dia melupakan syariat dan memutuskan hubungan mukallaf dengan orang lain. Padahal seorang mukallaf diminta untuk melaksanakan tugas dan fungsi syariat secara bersamaan, tidak ada alasan untuk meninggalkannya karena dia harus melaksanakan hak Allah yang ada padanya.
Jika dia masuk pada suatu amal perbuatan yang sulit, mungkin dia akan memutuskan diri dari melaksanakan tugas lain, terutama melaksanakan hak-hak orang lain kepadanya. Dengan begitu maka ibadah atau amal perbuatannya telah memotong apa yang telah dibebankan Allah kepadanya, dan dia kurang dalam melaksanakannya sehingga dia akan tercela. Maksudnya adalah melaksanakan semua tugas syariat, tanpa ada satupun yang tertinggal karena sebab apapun.

Keringanan-Keringanan
Syariat Keringanan yang terjadi pada syariat disebabkan adanya penyebab. Keringanan-keringan ini terbagi menjadi beberapa jenis: Pertama: Penyebab-penyebab keringanan dalam berbagai ibadah dan yang lainnya. Para Ulama menetapkan bahwa terdapat tujuh sebab yang meringankan ibadah, yaitu:
1.      Bepergian, seperti memendekkan shalat, mengusap sepatu khuff lebih dari satu hari satu malam.
2.      Sakit, yang menjadi rukhshah-nya banyak seperti tayamum pada saat sulit menggunakan air.
3.      Lupa, seperti makan dan minum di bulan Ramadhan karena lupa.
4.      Ketidaktahuan, seperti tidak tahu bahwa berdehem itu membatalkan shalat.
5.      Kesulitan secara umum, seperti shalat dalam keadaan najis yang dibolehkan seperti darah luka, bisul, atau kusta.
6.      Keterpaksaan, seperti mengucapkan kata kafir, atau terpaksa meminum khamar.
7.      Kekurangan, ini juga termasuk jenis masyaqqah, karena jiwa ini dibuat untuk mencintai kesempurnaan, lalu disesuaikan dengan keringanan dalam taklif (pembebanan). Contohnya adalah seperti anak kecil dan orang gila yang tidak kena taklif, juga perempuan yang tidak kena taklif sebagian yang diwajibkan kepada lelaki seperti shalat berjamaah, shalat Jumat, berjihad, membayar jizyah, dan yang lainnya.

Kedua: Jenis-jenis keringanan syar’i:
Keringanan-keringanan syar’i terdapat tujuh jenis, yaitu:
1.      Takhfif Isqath (keringanan dengan meniadakan hukum), seperti tidak adanya shalat Jumat, puasa, haji, umrah, jihad atau yang lainnya dari berbagai ibadah karena alasan-alasan tertentu.
2.      Takhfif Tanqish (keringanan dengan mengurangi), seperti memendekkan shalat yang empat rakaat pada saat bepergian, pengurangan yang tidak mampu dikerjakan oleh orang sakit dalam shalat seperti mengurangi ruku’ dan sujud, atau yang lainnya pada batas tertentu yang mudah bagi dia.
3.      Takhfif Ibdal (keringanan dengan mengganti), seperti mengganti wudhu dan mandi dengan tayammum ketika air tidak ada, atau ketika sakit seperti menggantikan berdiri dengan duduk pada saat shalat.
4.      Takhfif Taqdim (keringanan dengan mendahulukan), seperti shalat jamak taqdim antara dua shalat, juga seperti mendahulukan zakat fitrah pada bulan Ramadhan.
5.      Takhfif Takhir (keringanan dengan mengakhirkan), seperti shalat jamak takhir antara dua shalat, juga seperti mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang bepergian, atau sakit.
6.      Takhfif Tarkhish (keringanan dengan rukhshah), atau dibolehkannya dengan rukhshah, seperti meminum khamar karena sangat haus, atau memakan makanan kotor untuk berobat.
7.      Takhfif Tagyir (keringanan dengan merubah), seperti merubah bentuk shalat yang biasa pada saat keadaan genting, pada saat berkecamuk perang, atau pada saat lari dari musuh. Seorang yang shalat saat itu tidak terikat dengan bentuk-bentuk dasar dari shalat seperti berdiri, ruku’, sujud dan menghadap kiblat. Cukuplah bagi dia isyarat . Hal ini akan dijelaskan pada saat membahas mengenai shalat khauf.

Mana Yang Lebih Baik, Mengambil Rukhshah Atau ‘Azimah?
Para ulama berbeda pendapat tentang tarajjuh (mengutamakan) mengambil rukhshah atau ‘azimah. Tetapi sebenarnya perbedaan mereka pada masalah-masalah parsial yang berhubungan dengan rukhshah dan ‘azimah saja, seperti mengqashar shalat dalam perjalanan, atau menjamak antara dua shalat, atau shalat Jumat dan shalat ied jika terjadi pada satu hari dan sebagainya. Perbedaan pendapat antara mereka dalam masalah-masalah di atas adalah dikarenakan perbedaan mereka dalam mencari asal masalah dan penyesuaiannya. Dalam hal ini, Syathibi menjelaskan masalah ini secara umum, membandingkan antara rukhshah dan ‘azimah. Lalu menyebutkan beberapa dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah, dan juga menyebutkan beberapa dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah.
Pertama: Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah:
Pertama, ‘Azimah adalah hukum asal yang tetap, yang disepakati dan pasti kebenarannya. Sedangkan Rukhshah walaupun pemberian hukumnya pasti, tetapi dia bersifat zhanni dalam penerapannya, karena rukhshah berdiri di atas masyaqqah (kesulitan), dan masyaqqah tidaklah pasti, berbeda-beda pendapat antara satu orang dengan yang lainnya, dan berbeda antara satu keadaan dengan yang lainnya. Kemungkinan penerapan rukhshah dalam realitas dapat dikatakan tidak ada jika dinisbatkan kepada ‘azimah, dengan begitu ‘azimah lebih kuat daripada rukhshah.
Kedua, Mengambil rukhshah dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak melaksanakan ‘azimah dalam ibadah. Sedangkan mengambil ‘azimah itu membiasakan kuat dan sabar dalam beribadah, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Jika seseorang telah terbiasa mengambil rukhshah, maka dirasa sangat sulit baginya untuk melaksanakan ‘azimah, sehingga dia berusaha untuk keluar dari ‘azimah.
Ketiga, Asal dari tasyri’ adalah taklif (pembebanan) dan dalam taklif ada suatu beban dan kesulitan bagi seorang hamba. Merupakan hikmah Allah bahwa pembebanan tersebut disesuaikan dengan kemampuan manusia dan kebiasaannya. Jika muncul suatu kesulitan yang sangat pada sebagian orang, atau pada kondisi tertentu, ‘azimah tidak keluar dari tujuan Allah semula, tidak juga mempengaruhi pelaksanaannya. Hukum asal tetap pada ‘azimah, tidak keluar darinya kecuali karena sebab yang sangat kuat.

Kedua: Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah:
Pertama, Asal hukum ‘azimah adalah qath’i dan hukum dibolehkannya mengambil rukhshah juga qathi’i. Asy-Syâri’ yaitu Allah telah menjalankan hukum zhanni dalam tingkatan hukum seperti qath’i. Barangsiapa yang ber-zhann (berperasangka) adanya sebab suatu hokum, maka sebab tersebut harus dijadikan sebagai suatu i’tibar hukum. Juga karena dalil qath’i telah menunjukkan bahwa dalil-dalil zhanni dalam furu’ syariat seperti dalil-dalil qath’i.
Kedua, Bahwa asal hukum rukhshah walaupun bersifat parsial, tetapi jika dinisbatkan pada ‘azimah ia tidak terpengaruh, karena ia dianggap sebagai suatu pengecualian dari ‘azimah, atau ia adalah termasuk takhshish (pengkhususan) yang umum atau taqyid (pengikat) yang mutlak. Yang khusus tentu lebih didahulukan daripada yang umum dan hukum yang muqayyad (terikat) lebih didahulukan daripada yang mutlak, juga yang umum tidak akan berlalu (pudar) dengan terlepasnya sebagian dari bagian-bagiannya.
Ketiga, Banyak terdapat dalil yang menjelaskan tentang diangkatnya kesulitan dari umat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “…Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al-Hajj:78) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman yang artinya, “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al-Baqarah:185) Berdasarkan hal di atas, maka agama ini dinamakan sebagai agama yang hanafiah samhah, karena terdapat kemudahan .

Tarjih
Syathibi tidak mentarjih pendapat satu dengan yang lainnya, dalam hal ini dia berkata, “Jika dikatakan bahwa hasil akhir dari yang lalu adalah memaparkan dalil-dalil yang saling bertentangan, yaitu membuat paradok masalah tersebut. Apakah ada jalan keluar atau tidak? Jika dikatakan, “Ya ada,” itu diserahkan kepada pendapat para Mujtahid. Dalil yang disampaikan di sini hanyalah bersifat argumentatif dari masing-masing kelompok tanpa harus men-tarjih salah satu dari keduanya. Pen-tarjih-annya tetap diserahkan kepada Mujtahid, sehingga dia akan men-tarjih salah satu dari keduanya secara mutlak, Atau men-tarjih satu dari yang lainnya pada kondisi tertentu dan men-tarjih satu kelompok lain pada kondisi yang lain, sesuai dengan kondisi.”Artinya bahwa masalah ini dikembalikan kepada ijtihad seseorang dalam menentukan masyaqqah dan haraj (kesulitan). Hal seperti ini terjadi pada masalah-masalah juz’i (parsial). Beginilah yang selama ini dilakukan oleh para Jumhur Ulama dalam menentukan rukhshah masalah furu’ fikih. Sebagian mereka men tarjih ‘azimah dan yang lain men-tarjih rukhshah. Ini terjadi pada setiap masalah (furu’) fikih.
Syaikh Khudhari berkata, “Setiap Mukallaf adalah seorang faqih (ahli fikih) untuk dirinya dalam menentukan pengambilan (rukhshah atau ‘azimah). Tidak ditemukan batasan syariat sehingga seseorang diharuskan untuk bersikap tertentu. Penjelasannya bahwa sebab rukhshah adalah masyaqqah (kesulitan) dan masyaqqah berbeda-beda sesuai dengan kuat dan lemahnya ‘azimah dan sesuai dengan perbuatan itu sendiri. Tidak semua manusia sama dalam menanggung masyaqqah.
Kalau masalahnya seperti itu, maka tidak ada ketentuan yang khusus dan tidak ada batasan dalam masyaqqah yang dapat diterapkan kepada semua manusia. Untuk itu, Allah telah menetapkan sebagiannya dengan berdasarkan zhann (prasangka) sebagai hikmahnya. Maka ditentukanlah perjalanan (as-Safar) karena dia lebih dekat dari prasangka masyaqqah, dan membiarkan ketentuan lain kepada ijtihad, seperti sakit.” Sedangkan mencari-cari rukhshah dengan tujuan agar mudah dan gampang, atau menghindar dari taklif, menurut para imam madzhab itu adalah tidak boleh. Tidak ada satu imam madzhab pun yang membolehkan talfiq (berpaling) seperti ini.
Pada akhir pembahasan ini, saya katakan bahwa suatu tindakan, terkadang mencakup penjelasan tentang rukhshah pada satu sisi dan terkadang mencakup penjelasan tentang ‘azimah pada sisi yang lain. Ia adalah ‘azimah jika dilihat dari sisi permintaan untuk melakukan, karena semua hukum syariat adalah ‘azimah-’azimah Allah (Kehendak Allah) dan rukhshah adalah bentuk kemudahan untuk seorang mukallaf. Sebagai contoh adalah tayamum. Ia adalah rukhshah untuk kemudahan bagi seorang hamba pada saat tidak dibolehkannya menggunakan air. Ia juga adalah ‘azimah karena seorang hamba di-taklif-kan (dibebankan) untuk itu, lalu hamba tersebut harus bertayamum sebagai bentuk ibadah kepada Allah pada saat air tidak ada, atau pada saat tidak dapat menggunakan air.
Inilah penjelasan perbedaan para ulama dalam menyesuaikan masalah-masalah furu’. Barangsiapa yang melihat dari sisi permintaan untuk dilakukan maka ia adalah ‘azimah, dan barangsiapa yang melihat dari sisi bentuk kemudahan maka ia adalah rukhshah. Dari fasal ini, jelaslah bagi kita bahwa rukhshah adalah lawan dari ‘azimah, ia adalah bentuk kemudahan dari ‘azimah dan rukhshah terkadang mempunyai hukum yang diminta (wajib), terkadang mempunyai hukum sunnah, atau bahkan yang lainnya. Wallahu A’lam. Sumber : http://muhammadhabibi.student.umm.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...