Kamis, 02 Februari 2012

Tafsir Falsafi


Oleh : Abdurrahman 

Penerjemahan buku-buku Yunani pada masa Daulah Abbasiyah ke dalam bahasa Arab membawa revolusi pemikiran dan keilmuan dalam dunia Islam. Munculnya kesadaran ilmiah sehingga mendorong berbagai penemuan dan kajian-kajian keilmuwan dalam berbagai bidang adalah salah satu akibat dari penerjemahan ini. Selain itu masuk juga ke dalam khazanah keilmuan Islam, ilmu Filsafat Yunani, bahkan ia menjadi satu cabang ilmu yang banyak dipelajari oleh para cendekiawan muslim. Sejak saat itulah ilmu filsafat menjadi satu metode tersendiri dalam memahami berbagai sendi syariat Islam, termasuk dalam penafsiran Al-Qur’an. Hasilnya adalah muncul ilmu tafsir falsafi yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat.    
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[1] Dengan kata lain bahwa Tafsir falsafi adalah tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan tafsir falsafi yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.[2]
Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang menerima corak tafsir ini.
Kelompok Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan.
Kelompok Kedua, mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[3]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa karakter dari corak tafsir falsafi adalah penggunaan ilmu filsafat sebagai penafsir Al-Qur’an. Cara yang ditempuh adalah dengan mena’wil teks-teks agama dan hakikat hukumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filsosofi. Ini berarti bahwa pemaknaan teks Al-Qur’an tunduk kepada pandangan filosof. Selain itu juga menggunakan metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosof.[4]
Di dalam corak tafsir ini, berbagai aliran filsafat menjadi variabel penting di dalam menafsirkan al-Quran. Pengertian filsafat tidak hanya membahas tentang metode berfirkir saja, melainkan lebih dari itu filsafat telah menjadi disiplin ilmu yang membicarakan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan keberadaan Tuhan.  
Ranah nuansa tafisr filsafat adalah mengungkap pandangan al-Quran secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun, proses yang dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap madzhab tertentu, yang sudah terbangun mapan dalam sejarah, tetapi lebih pada upaya menggali secara serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak tema-tema pokok, serta konteks-konteks di mana terma itu dipakai al-Quran.
Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ditemukan adanya ahli filsafat muslim yang menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Yang ada hanyalah pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh mereka yang menafsirkan Al-Qur’an secara terpisah dan dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[5]
Beberapa pendapat para filosof muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an dapat dilihat dalam karya Al-Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Sina. Al-Farabi menulis Fushus al-Hikam yang memuat beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan filosofis. Salah satunya adalah penafsirannya terhadap surat Al-Hadid ayat 3, Allah ta’ala berfirman :
هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَٱلْءَاخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
            Penafsiran Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato tentang kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dariNya. Allah adalah yang pertama dari segi adaNya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaanya bergantung padaNya. Telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain dariNya.[6]
Berkenaan dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ” artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, Al-Farabi menafsirkan dengan menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain dari wujudNya, tidak ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat yang Dhahir, dan tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala sesuatu yang dhahir seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang tersembunyi dari persembunyiannya.    
Beberpa ulama menolak model tafsir falsafi, mereka beralasan bahwa corak ini tidak sesuai dengan riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam, di antara ulama yang menolak hal ini adalah Fakru Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Demikian juga pendapat dari al-Dzahabi dalam kitabnya yang menukil pendapat al-Ghazali dan beberapa kelompok fuqaha lainnya.     


[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 182
[2] Muhammad  Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, tahun 2008 hal. 169-170
[4] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah : Bandung : PT Remaja Rosda Karya, tahun 2000, hal. 15.
[5] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wal Mufasirun, Juz II,  hal. 309
[6] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, hal. 16. Lihat pula Muhammad Husain Al-Dzahabi,   At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, Juz II hal. 310    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...