Kamis, 02 Februari 2012

Tafsir Sufi


Oleh : AM Bambang Prawiro



Istilah “Tasawuf” merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu  disiplin ilmu tertentu, tasawuf juga dalam sejarah perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik. Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci atau menyusikan kalbu dan bermunajat kepada Allah.[1] Sebagian cendekiwan berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata “shuf” yaitu kain wol, ini dikarenakan sikap zuhud mereka sehingga selalu memakai pakaian yang terbuat dari kain wol. 
Menurut Al-Ghazali megemukakan pendapat Abu Bakar yang mengatakan bahwa Tasawwuf adalah budi pekerti barang siapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan suluk dengan nur (petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (Perintah) untuk melakukan beberapa akhlq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk nur dengan nur (petunjuk) imannya. Mahmud Amin al-Nawawi mengemukakan pendapat Al-Junaid al-Baqhdadi yang mengemukakan bahwa Tasawuf adalah memelihara( menggunakan) waktu . kemudian  berkata: seorang hamba tidak akan menekuni (amalan tasawwuf) tanpa aturan, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan ( dengan tuhannya)  tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepada tuhan-Nya). Sementara Al-Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma'ruf Al-Karakhy yang mengatakan tasawuf adalah mencari hakekat dan meninggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk (kesenangan duniawi).[2]
Harun Nasution mengemukakan bahwa kata tasawwuf berkaitan dengan empat hal  yaitu ashabus Suffah (orang-orang yang ikut nabi pindah ke Madinah), Shaf (barisan), Shophie (suci) dan Shuf (wol) semua itu bisa dihubungkan dengan tasawwuf. Ashabus Suffah ialah orang-orang muslim mekkah yang ikut Nabi hijrah kemadinah dan ia tidak mempunyai harta apapun terkecuali iman, mereka tidak punya rumah sehingga ia tidur di depan Masjid Madinah dengan memakai selimut.[3] Definisi yang lengkap secara istilah disebutkan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi yang berpendapat bahwa Tasawuf adalah transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya hati dan komunikasinya ruh.[4]
Dari beberapa pendapat yang ada maka pendapat yang menyatakan bahwa kata shufi berasal dari kata Shuf yaitu kain wol lebih mendekati kebenaran, baik segala bahasa ataupun pakaian yang biasa digunakan oleh para ahli tasawuf.  
Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunuya dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Dzahabi  membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu tidak dikenal istilah tasawuf.[5]
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun 150 H.
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran  yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. 
 Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan  kalam, sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf nadzari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf  nadzari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah taala. Berikut adalah ciri dari kedua kelompok tasawuf tersebut :
Tasawuf Teoritis, dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat.[6]
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur’an adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan.
Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam Ka’bah sebelum ia melawan pintunya”.[7]
Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”. Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah, Sebagai berikut:
وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. QS AL-Baqarah: 45
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nya lah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukaan selain eksistensi Allah sebagai raja yang Maha halus dan Maha Perkasa.
Tasawuf Praktis, yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari berbagai macam syahwat dan menghancurkan diri dalam taat kepada Allah. Imam Ahmad Ibn Sahl berkata, musuhmu itu ada empat:
1.      Dunia. Senjata (yang digunakan oleh) dunia (untuk memperdaya manusia) adalah hidup membaur dengan hidup sesama manusia dan penangkalnya adalah hidup menyendiri.
2.      Syaitan. Senjata syaitan adalah kenyang dan penangkalnya adalah lapar.
3.      Jiwa, senjata jiwa adalah tidur dan penangkalnya adalah tidak tidur pada malam hari.
4.      Hawa nafsu. Senjata hawa nafsu adalah banyak berbicara dan penangkalnya adalah diam.[8]
Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup, mereka  bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan di akhirat. Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: “Kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat demi ayat dalam al-Qur’an seperti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an), yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat dalam penafsiran yang disandarka kepada  Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau  sebagaimana sebagian yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Dari sini pula muncul berbagai tafsir dengan corak sufi. Di antara karya tafsir ulama sufi di bidang tafsir Al-Qur’an adalah  Tafsir al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H). Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fī Haqa’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
Corak tafsir sufi yaitu tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi  isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.[9]  Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi.
Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung empat tingkatan makna: dzahir, batin, hadd, dan matla’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah taala kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’ān kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.
Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti.[10]
Klaim sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusanNya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.[11]
Maka penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara dzahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi.
Tafsir sufi isyari ini bisa diterima dan diakui dengan beberapa syarat : Pertama, ada dalil syar`i yang menguatkan.  Kedua, tidak bertentangan dengan syariat/ rasio. Ketiga, tidak menafikan makna dzahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.[12] Selain itu beberapa ulama juga memberikan syarat-syarat tertentu mengenai corak tafsir sufi ini bisa diterima, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Qur’an.
2.      Penafsiran itu diperkuat oleh dalil Syara’ yang lain.
3.      Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau ratio.
4.      Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam Al-Alusy.
 Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Tafsir Sufi Nadzari, Tafsir Sufi al-Nadzari  adalah tafsir sufi yang  dibangun untuk mempromosikan  dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadzari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’. 
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nadzari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadzari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.  Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya:
Pertama, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka.  Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
Kedua,  yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah:
وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ
Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ketiga, surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ
Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada di lehernya”.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan  orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis Nabi, “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.” Untuk memperkuat tafsiran itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat 17 dari surat Al-Anfal:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِىَ ٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَآءً حَسَنًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ
Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan tapi Allah yang melemparkannya.” 
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimasi atas pahamnya. Al-Dzahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, Al-Dzahabi  kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya diantaranya yaitu Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). manusia  untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga  adalah Hamba. 
Selanjutnya Al-Dzahabi  secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran Nadzary yang dapat diringkas sebagai berikut : Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadzari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Dzahabi  memberikan contoh tafsir al-nadzari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran  Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam : 
وَرَفَعْنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا
Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.
Menurut Al-Dzahabi  penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafadz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang). Kedua, di dalam tafsir al-Nadzari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nadzari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nadzari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nadzari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara dzahir.
Tafsir Sufi Isyari, Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang dzahir dan batin. Makna dzahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa  penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat dzahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran  yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yu atau akal.
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “Isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib, bahwa  setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna; zahir, batin, had dan matla’. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah Al-Muhasibi dan Ibnu al-‘Arabi  memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang dzahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya. 
 Baik makna dzahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin),  yang berasal dari Allah.   Oleh karena itu dulisme lahir-batin  dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah  al-Ruh al-Ma’nawi.                 Contoh penafsiran isyari  yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
فَلَا تَجْعَلُوا۟ لِلَّهِ أَندَادًۭا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Al-Tastary  menafsirkan “andadan” yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya. 
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “Apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang” 
Al-Dzahabi  memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut : Pertama, Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Kedua, dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin. Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para  sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menaggapi persoalan ini,  perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dmainkan oleh para  fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin.  Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamh-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz  Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban,  adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.[13]
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar zakat yang ditujukan pada  delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan  tujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.        
Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.


[1] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, hal. 13.
[2] A. Mustofa,  Akhlak Tasawwuf,  Bandung:  Pustaka Setia,  tahun 2010, hal. 202
[3] Abudin Natta, Akhlak Tasawwuf, Jakarta : Rajawali Pers, tahun 2009, hal. 197
[4] Muhammad Husain Al-Dzahabi,   At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tahun 200, hal. 250.
[5] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, hal. 251.
[6] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hlm. 55.
[7] Ibid., hlm. 56
[8] Ibid,  hal. 57
[9] M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid II, hlm. 346
[10] Tawfiq b. Amir, Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 15-17
[11] Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54
[12] Ibid., hlm. 377
[13] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra’, Beirut, 1983, hlm. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...