Sabtu, 04 Februari 2012

Urgensi dan Perkembangan Tafsir Al-Qur'an


Oleh : Abdurrahman

Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Maka, untuk memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang menjadi alat untuk memahaminya, ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas, tekstual atau kontekstual serta pemahaman ayat lainnya. Secara sederhana tafsir adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
Pada masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung oleh beliau, sehingga setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat maka langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana kalamNya yang mulia:
بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
… keterangan-keterangan  (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. QS An-Nahl : 44.  
            Ayat ini menjadi dalil bagi tugas Rasulullah yaitu menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Hadits-hadits yang menyebutkan beliau memberikan penafsiran berbagai ayat Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat banyak jumlahnya, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Uqbah
bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah ta’ala :  وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Demikian juga hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Selanjutnya setelah Rasulullah wafat maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat Al-Qur’an segera ditanyakan kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat lainnya. Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an, karena ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya. Bahkan beberapa ayat merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, misalnya kalamNya:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. QS Al-Baqarah: 189.
            Dalam ayat ini sangat jelas sekali bahwa orang-orang yang bertanya dalam ayat ini adalah para shahabat Nabi. Sehingga penafsiran mereka tidak diragukan lagi. Periode berikutnya setelah para shahabat wafat, maka murid-murid mereka menggantikan posisi sebagai mufasir, di antara mereka adalah: 
1.      Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr di Makkah, keduanya berguru kepada Abdullah Ibnu 'Abbas.
2.      Muhammad bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam di Madinah, keduanya berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
3.      Al-Hasan Al-Bashriy dan Amir Al-Sya'bi di Irak berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Setelah berakhirnya tiga periode ini maka penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh generasi sesudahnya. Namun karena perkembangan zaman yang terus berubah, menyebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia dan munculnya berbagai persoalan baru yang belum pernah muncul pada masa sebelumnya maka penafsiran Al-Qur’an mengalami berbagai perkembangan. Hal ini disebabkan kontak budaya antara Islam dengan budaya lainnya.  
Perkembangan tafsir ada yang bersifat positif dan ada juga yang negatif. Perkembangan yang bersifat positif misalnya pentadwinan ilmu Tafsir yaitu penulisan secara sistematis ilmu tafsir dan tafsir-tafsir Al-Qur’an. Sedangkan perkembangan yang negative adalah penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan yang memalingkan makna sebenarnya dari Al-Qur’an, dalam hal ini penafsiran tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat yang telah shahih dari Rasulullah.
Jika pada periode awal penafsiran Al-Qur’an lebih banyak menggunakan riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah dan para shahabatnya,  maka periode setelahnya bermunculan tafsir Al-Qur’an dengan penggunaan akal dan rasio secara berlebihan. Metode yang digunakan oleh mereka dikenal dalam ilmu tafsir dengan metode tafsir bil ra’yi yaitu penafsiran dengan menggunakan akal dalam bentuk ijtihad yang dilakukan oleh para mufasir.   
Pada periode inilah corak tafsir berkembang dengan pesat sehingga bermunculan berbagai corak tafsir, di antara berbagai corak tafsir yang berkembang tersebut adalah corak Tafsir Falsafi, Tafsir Sufi, Tafsir Mu’tazili, Tafsir Syi’i dan Tafsir Ijtima’i. Dari segi metodologi berkembang pula metode tafsir Maudhu’i (tematik) yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan mendasarkan pada satu tema utama. Contoh corak tafsir seperti ini  misalnya Tafsir Tarbawi, Tafsir Fiqhi/hukmi, Tafsir Ilmi, Tafsir I’tiqadi  dan beberapa corak lainnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...