Senin, 23 April 2012

Hukuman Mati Bagi Koruptor Dalam Perspektif Fiqh Islam



Oleh : Abdurrahman



A.    Latar Belakang Masalah
Kasus Korupsi di Indonesia kian menggila, sementara proses penegakan hukum berjalan lambat bahkan hanya seperti sandiwara. Putusan-putusan pengadilan terhadap para pelaku korupsi juga sepertinya banci dan membela yang bayar. Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan jumlah perkara kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian pada tahun 2011 ini meningkat drastis. Pada 2010 lalu, polisi hanya menangani 585 perkara. Angka tersebut melonjak mencapai 1.323 perkara pada tahun ini. "Ada kenaikan sekitar 55,78 persen," ujar Kapolri saat memberikan keterangan pers refleksi akhir tahun kinerja Kepolisian di Mabes Polri, Jakarta.
Jumlah kerugian negara akibat tindak pidana juga meningkat 258,39 persen menjadi Rp. 2,007 triliun. Pada tahun lalu, nilai kerugian hanya sekitar Rp 560,348 miliar. Berdasarkan penelitian ICW, sepanjang 2011 terdapat 45 terdakwa kasus korupsi divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Tanah Air. Menurut Fahmi, hal mendasar yang menyebabkan korupsi meningkat pada 2011, adalah kegagalan bangsa Indonesia membenahi partai politik yang memiliki tangan-tangan di eksekutif dan legislatif.
Melihat fakta bahwa tindakan korupsi semakin merajalela maka diperlukan adanya hukuman yang dapat memberikan efek jera bagi para koruptor. Munculnya wacana menghukum mati para koruptor di Indonesia kian merebak, sebetulnya sudah lama wacana ini beredar, namun karena terbentur oleh berbagai persoalan hukum maka kepastian hukuman mati bagi koruptor masih dalam batas wacana. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pernah menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. "Undang-undang sudah mengatur. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya," katanya.
Bhatara Ibnu Reza, Koordinator Riset HAM Imparsial, berpendapat lain. Menurutnya, hukuman mati melanggar HAM karena menghilangkan hak untuk hidup yang termasuk dalam rumpun utama hak-hak dasar manusia. "Dalam konstitusi kita, hak untuk hidup ini juga dijamin dalam Pasal 28 (i) UUD 1945," tegas Bhatara yang dihubungi oleh National Geographic Indonesia. Hal ini, lanjutnya, selaras dengan Piagam Hak asasi Manusia PBB (Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena itu, penghilangan hak untuk hidup dengan cara apa pun berarti bertentangan dengan UU.
Di lain pihak, Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam mayoritas masih belum mampu menerapkan hukuman yang membuat jera koruptor. Di bidang fiqh Islam, para cendekiawan masih berkutat pada apa hukuman dalam Islam bagi para koruptor. Padahal jika kita cermat mempelajari hukum Islam maka kita akan dapat kaidah-kaidah hukum yang dapat menjerat para koruptor hingga bisa dikenakan hukuman mati. Bagaimana sebenarnya hukuman mati bagi koruptor? Apa dasar memberikan hukum amti bagi koruptor dalam Islam? Sebuah pembahasan menarik yang layak untuk dijadikan penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...