Senin, 02 April 2012

Tajdid Ushul Fiqh, Mungkinkah?

Oleh : Nuril Izza Muzakky
 
Secara ekplisit, segala bentuk usaha untuk merubah, mengganti dan mengembangkan Ushul Fiqh muncul akibat 'kecurigaan' dan 'opini negatif' terhadap para ulama. Mereka berasumsi, pendekatan (approach) metodologi penafsiran teks-teks agama semata-mata merupakan rekayasa pemikiran para ulama. Jika demikian, tidak menutup peluang untuk melakukan rekonstruksi terhadap teori-teori tersebut. Inilah faktor utama yang memotivasi mereka untuk melakukan inovasi dan rekonstruksi Ushul Fiqh yang dikemas dalam jargon “Tajdid”.

Jika masing-masing ilmu pengetahuan dan logika tidak rela kalau metodologi penafsiran teks tunduk dengan pembaharuan dan pengembangan, maka keputusan agama juga sama dengan keputusan ilmu pengetahuan dan logika. Bahkan sakralitas sabda agama akan kehilangan nilai religiusnya, dalam konteks ini, jika ia terang-terangan menentang keputusan ilmu pengetahuan dan logika.
Pendahuluan

Serring kali diskusi ilmiah antara beberapa pihak tidak mencapai kata sepakat dengan konklusi yang memuaskan. Faktor utamanya tidak lain adalah minimnya sikap patuh dan tunduk terhadap prosedur yang diatur dalam ilmu dialektika. Kepatuhan terhadap aturan main dialektika ilmiah menjadi harga mati yang harus dijalankan!

“Tajdid (Pembaharuan) Ushul Fiqh” adalah salah satu dari sekian banyak materi ilmiah yang diperdebatkan. Legalitas “Tajdid Ushul Fiqh” menjadi isu kontroversial yang tidak kunjung reda hingga saat ini. Sebagai langkah awal, perlu kiranya mengklarifikasi, apa konotasi makna "Tajdid" yang diingingkan oleh masing-masing panelis. Dengan ungkapan yang lebih sederhana dan gamblang, apa definisi “Tajdid Ushul Fiqh” yang ada dalam benak mereka?

Sebenarnya, Tidak jarang kita temukan jawaban terhadap pertanyaan di atas, namun dirasa kurang memuaskan lantaran pertanyaan tersebut dirasa belum siap untuk dilontarkan. Oleh karena itu, dan pada akhirnya, masing-masing panelis terperangkap ke dalam sikap "apologetik" dalam mempertahankan dan membela analisa mereka. Klaim-klaim segar mereka dengan segala variasinya bergerak ke arah yang berbeda. Berangkat dari dua garis paralel dengan start yang berlainan, finish pada tujuan yang berlainan pula.

Makna “Tajdid Ushul Fiqh”

Agar tidak terperangkap dalam kesalahan fatal dalam dialektika ilmiah, terlebih dahulu kami jelaskan makna ''Tajdid Ushul Fiqh".

Pertama, Kata "Tajdid" dapat diartikan dengan memperbarui disiplin metodologi Ushul Fiqh, memperbaiki celah-celah rancang bangunannya, memperkuat dalil-dalinya, mengisi kekurangan konsep-konsepnya, dan menghapus distorsi pemikiran yang dirasa telah melupakan dan mengabaikan urgensi Ushul Fiqh, serta menyegarkan kembali pemahaman Ushul Fiqh dengan cara menhidangankan tampilan isi yang lebih kompleks, menarik, dan mudah dimengerti.

Kedua, Kata "Tajdid" dapat diartikan sebagai upaya perubahan, penggantian konsep Ushul Fiqh dan pengembangan kaidah-kaidahnya dengan konsekuensi logis mengesampingkan ketentuan-ketentuan klasiknya.

Disadari atau tidak, mengekspresikan kata “Tajdid” dengan arti-arti di atas tidak luput dari manipulasi bahasa.

Sebagai bukti kongkretnya, Jika kata “Tajdid” diidentikkan dengan arti pertama, maka konsep “Tajdid” bukanlah ruang yang tepat untuk diperselisihkan dan diperdebatkan. Sebab arti tersebut merupakan bagian integral dari pesan yang disampaikan oleh Al-Mustafa Shallallahu ‘alaihi Wassalam:

إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدد لها دينها» ) رواه أبو داود والبيهقي والحاكم من حديث أبي هريرة

Adalah sangat ma’lum bahwa teori hukum Islam tunduk pada “Tajdid”, dalam pengertian ini, telah dikenal sejak awal berdirinya sampai sekarang. Keberagaman dokumentasi karangan dan tulisan dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh hanyalah bukti penopang eksistensi teori-teori tersebut dan sebagai upaya menkonsolidasikan kaidah-kaidahnya serta berpartisipasi aktif dalam pertimbangan isu-isu diskresioner (al-masail al-ijtihadiyah), dan sebagai penerang terhadap ide-ide para author klasik.

Sebagai imbasnya, jika kita komitmen dengan pengertian ini, maka isu kontemporer merekonstruksi pondasi Ushul Fiqh dengan slogan “Tajdid Ushul Fiqh” adalah usaha nihilistis yang sia-sia belaka, bahkan secara implisit memuat unsur penolakan terhadap jasa, upaya, dan kerja keras para inovator (mujaddid) yang notabene menjadi mata rantai generasi ilmuwan muslim terbaik hingga saat ini.

Jika demikian adanya, maka konotasi kata “Tajdid” dalam topik ini, bukanlah makna pertama, tetapi makna kedua. Sebab tidak ada arti ketiga untuk kata ini. Jadi, “Tajdid” dengan makna kedua inilah yang masuk dalam area perdebatan.
Legalitas “Tajdid” dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan dan Logika

Pertanyaan selanjutnya yang menanti kita adalah: jika “Tajdid” diartikan dengan makna kedua, yaitu mengupayakan penggantian, perubahan konsep Ushul Fiqh dan pengembangan kaidah-kaidahnya dengan konsekuensi logis mengesampingkan ketentuan-ketentuan klasiknya, legalkah konsep “Tajdid” baik secara ilmiah maupun logika? Kemudian siapkah kita menerima konsep tersebut jika diukur berdasarkan norma-norma agama?

Untuk menjawab dua pertanyaan besar ini, Akan saya ulas secara tegas konsep Ushul Fiqh sebagai tulang punggung kajian ilmiah ini.

Apa definisi ilmu Ushul Fiqh?

Beragam jawaban untuk pertanyaan ini banyak diperkenalkan dalam berbagai tulisan di bidang ini, akan tetapi ada an-nuqthoh al-liqâiyah (titik temu) dari keberagaman itu semua, bahwa ilmu Ushul Fiqh adalah pendekatan metodologi yang harus diikuti dalam penafsiran teks, atau dengan redaksi lain, Ushul Fiqh adalah tata bahasa dan ilmu pengetahuan yang harus diikuti dalam upaya menggali hukum dari sumber-sumbernya. Atau menjelaskan sumber-sumber hukum fiqh yang sudah mendapatkan legitimasi syari’at seperti Al-Quran, Sunnah, konsensus, analogi, dan seterusnya.

Kemudian metodologi-metodologi penafsiran teks-teks agama tersebut sebenarnya dibuat oleh para inovator (mujaddid) seperti Imam as-Syafi’i an sich, ataukah sudah ada sebelumnya? Sedangkan mereka hanya bertugas memerankan sekenario sebagai konseptor saja? Artinya, merekalah penemu pertama metodologi-metodologi tersebut, atau hanya sekedar memberi informasi penting tentang eksistensi pendekatan statis bahasa Arab dan kemudian menjadi disiplin ilmu yang stabil dalam penafsiran teks-teks?

Jika terbukti merekalah penemu metodologi-metologi tersebut, maka konsekuensi logis yang harus diterima dengan lapang dada adalah terbukanya pintu peluang bagi generasi setelah mereka untuk membuat terobosan dan aturan-aturan baru penafsiran teks yang lebih valid, relevan dengan zaman dan tentunya lebih maslahat. Sebab Islam tidak mengenal diskriminasi antara generasi satu dengan lainnya.

Namun sebaliknya, jika terbukti bahwa mereka hanya berperan sebagai konseptor yang patuh dan tergantung terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab dalam upayanya menginterpretasi teks-teks agama, setelah melalui persyaratan dan dinyatakan lulus uji kelayakan secara epistemologis, maka sudah hampir dipastikan, siapapun subjeknya tidak berhak untuk mengganti, merubah dan mengembangkan metodologi-metodologi tersebut. Sebab, jika generasi terdahulu saja tidak punya wewenang untuk intervensi di dalamnya apalagi generasi saat ini.

Menurut analisa penulis, siapapun tahu bahwa disiplin ilmu ini merupakan tata bahasa Arab, atau semacam aturan-aturan yang terikat erat dengan al-I’rab (ekspresi bahasa), al-bina’ (konstruksi kata) dan ad-dilalah (indikasi kata). Tidak satupun visioner dalam bahasa Arab berikut sejarahnya, sejak zaman pra-Islam sampai hari ini, dapat menuntun pola pikirnya untuk mengganti dan mengubah undang-undang semantik (dilalah) dan aturan-aturan I’rab (ekspresi bahasa) dan tarkib al-jumal (struktur kalimat).

Aturan penafsiran teks-teks dalam ilmu ushul fiqih, merupakan bagian integral (juz’un laa tajazza’) dari aturan-aturan ini. Ad-dilalah–misalnya-dengan segala jenisnya, seperti dilalah al-mafhum/the implied meaning (arti tersirat) dan dilalah al-mantuq/the expreesed meaning (arti tersurat) yang menjadi salah satu kajian Ushul Fiqh, tidak lain merupakan bagian dari kaidah-kaidah bahasa Arab itu sendiri.

Secara ekplisit, segala bentuk usaha untuk merubah, mengganti dan mengembangkan Ushul Fiqh muncul akibat 'kecurigaan' dan 'opini negatif' terhadap para ulama. Mereka berasumsi, pendekatan (approach) metodologi penafsiran teks-teks agama semata-mata merupakan rekayasa pemikiran para ulama. Jika demikian, tidak menutup peluang untuk melakukan rekonstruksi terhadap teori-teori tersebut. Inilah faktor utama yang memotivasi mereka untuk melakukan inovasi dan rekonstruksi Ushul Fiqh yang dikemas dalam jargon “Tajdid”.

Namun, asumsi ini tidak mungkin muncul dan tidak selayaknya muncul dari seseorang yang yakin bahwa Allah lah satu-satunya hakim. Hukum, baik yang bersifat taklifi/charging law (hukum pembebanan) maupun wadh’i/corelatif law (hukum korelatif), merupakan manivestasi dari khithâb atau firman Khaliq dengan makhlunya. Asumsi serupa juga tidak sepantasnya keluar dari siapapun yang yakin bahwa sumber-sumber hukum agama merupakan ekstraksi (rangkuman) dari kitab Allah SWT.

Jika terbukti demikian, tidak ada lagi pembenaran untuk melakukan inovasi dan rekonstruksi Ushul Fiqh di bawah slogan “Tajdid”.

Di pihak lain, Konotasi kata “Tajdid” juga tidak tepat jika dikorelasikan dengan studi tentang isu-isu kontroversial yang sudah melewati proses tarjih al-aqwal (mengunggulkan sebagian pendapat), sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ulama-ulama kontemporer belakangan ini. sebab statement-statement kontroversial tersebut sebenarnya sudah ditemukan sebelumnya, sehingga pelakunya pun tidak berhak untuk menyandang gelar mujaddid.

Sebagai contoh: para ilmuwan berbeda pendapat tentang arti kata ‘am, apakah bersifat asumtif (dhonni) atau definitif (qath’i). Mazhab Hanafi berpendapat bersifat definitif, dan madzhab lain cenderung mengatakan bersifat asumtif; hanya sekedar dugaan. Jika kita menjumpai ulama kontemporer yang mentarjih madzhab Hanafi, layakkah ia menyandang gelar mujadid??? Jika demikian, tentunya mazhab Hanafi lebih patut menerima gelar mulia ini.

Dalam pandangan kaum minoritas (aqoliyyat) pengusung “Tajdid” ini, kelahiran ilmu Ushul Fiqh sarat dengan nilai sosio-hisatoris, kondisi ekonomi dan politik yang meliputinya.  Tuduhan ini tidak sepenuhnya benar, sebab secara aksiomatis (badihi), disiplin ilmu ini muncul akibat kebutuhan terhadap interpretasi teks-teks Al-Quran dan Sunnah. Karena bahasa yang digunakan Allah dalam khitab-Nya kepada manusia adalah bahasa Arab, maka sangat bergantung pada kaidah-kaidah percakapan dan aturan-aturan semantik (dilalah) yang berlaku di kalangan bangsa Arab dalam komunikasi mereka.

Jadi, kronologi kelahiran ilmu Ushul Fiqh bukan sebagai respon atas tekanan sosial, kondisi ekonomi atau politik, sebagaimana munculnya ilmu bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf, juga bukan dalam rangka merespon faktor-faktor ini.
    
Selain itu, kondisi-kondisi yang sedemikian rupa, sejak awal Islam sangatlah berpotensi mengalami perubahan dan perkembangan, namun realitanya, kita tidak melihat dan mendengar satupun dari para sarjana Ushul Fiqh yang mengusung “Tajdid”. Bahkan secara historis, kaidah-kaidah dan aturan-aturan disiplin ilmu ini tercatat lulus dari inovasi dan rekonstruksi. Sebagaimana tata bahasa Arab yang senantiasa eksis sampai saat ini tanpa sedikitpun mengalami pembaharuan dan perkembangan. Kita juga tidak pernah mendengar bahwa studi tentang isu-isu kontroversial (al-masail al-khilafiyah) merupakan bagian dari “Tajdid”. Demikianlah jawaban ringkas untuk pertanyaan pertama.

Legalitas “Tajdid” dalam Perspektif Agama

Pertanyaan berikutnya, legalkah “Tajdid” dalam perspektif agama?
Anda mungkin melihat bahwa jawaban untuk pertanyaan kedua ini secara aksiomatis muncul dalam benak pikiran, sebagai imbas dari jawaban untuk pertanyaan pertama.

Islam dengan segala bentuk aspeknya, adalah buah dari ilmu pengetahuan. Doktrin-doktrin agama Islam, persepsi tentang alam semesta dan kehidupan manusia adalah hasil riil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang kami maksud bukanlah ilmu pengetahuan Barat yang dalam terminologi mereka disebut dengan “Science” atau “sains”. Yang dimaksud adalah pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan dalil atau bukti, sebagaimana telah dipaparkan oleh sarjana ilmu Ushul Fiqh.

Jika masing-masing ilmu pengetahuan dan logika tidak rela kalau metodologi penafsiran teks tunduk dengan pembaharuan dan pengembangan, maka keputusan agama juga sama dengan keputusan ilmu pengetahuan dan logika. Bahkan sakralitas sabda agama akan kehilangan nilai religiusnya, dalam konteks ini, jika ia terang-terangan menentang keputusan ilmu pengetahuan dan logika.
Argumentasi ini juga didukung firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ:

? مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا ? [الأحزاب : 33/23]

Secara eksplisit, ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memuji orang-orang yang komitmen dengan perjanjian dan tidak melakukan perubahan terhadap hukum syari’at. Implikasinya, Allah mengutuk mereka yang melanggar perjanjian dan merubah syari’at-Nya dengan dalih pembaharuan.

Jika masih ada yang sanksi, bahwa pesan implisit ayat di atas hanya berlaku dalam ranah pembaharuan di bidang hukum fiqh, bukan teori hukum fiqhnya, sedankan topik kajian ini lebih dikosentrasikan pada pembaharuan kaidah-kaidah ushuliyyah dan menganalisa ulang sumber-sumber hukum Islam, mungkinkah simplifikasi (penyederhanaan) atau bahkan penambahan terjadi dalam ranah teori hukum Islam?
    
Maka Jawabannya: bahwa keraguan tersebut laksana seseorang yang terhalang menjalankan aktivitas yang berkaitan dengan sistem sosial atau ekonomi, kemudian ia ingin memiliki akses ke sana, lalu ia berjalan sekuat tenaga mencari undang-undang hukum yang dengannya mampu membantu dia mengatasi rintangan tersebut dan mendapatkan impiannya.

Dalam hal ini, Ushul Fiqh memiliki peran dan tugas yang sama dengan undang-undang tersebut. Ia (Ushul Fiqh) berhasil membuka kunci untuk akses ke teks dan konteks yang dikehendaki. Sehingga, tidak mungkin disembunyikan lagi bahwa ending dari isu “Tajdid” tidak lain adalah upaya pembuangan makna yang terkandung dalam teks dan melekatkan makna lain atau hukum lain dalam posisinya.

Penutup
Kesimpulan akhir, kami mengajak para peneliti dan ilmuan untuk lebih serius memperhatikan an-nuqthah al-manhajiyah (titik metodologi) yang sering diabaikan dalam ilmu dialektika.

Sengaja kami tidak mengkaji topik diskusi “Tajdid” dengan makna pertama, yang berarti memperbarui disiplin metodologi Ushul Fiqh, memperbaiki celah-celah rancang bangunannya, memperkuat dalil-dalinya, mengisi kekurangan konsep-konsepnya, dan menghapus distorsi pemikiran yang dirasa telah melupakan dan mengabaikan urgensinya, serta menyegarkan kembali pemahaman Ushul Fiqh dengan cara menghidangankan tampilan isi yang lebih kompleks, menarik dan mudah dimengerti. Sebab, sekali lagi kami tegaskan bahwa pembaharuan,--dalam pengertian ini--merupakan sesuatu yang diperlukan bahkan dianjurkan. Dan tidak layak masuk dalam area perdebatan.
Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam semesta. Wallahu A’lam.

Oleh : Nuril Izza Muzakky, koordinator Ushul fiqh Community Ahgaff Yaman.

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...