Senin, 28 Mei 2012

Islam Aboge : Harmoni Islam dan Tradisi Jawa



Oleh : Abdurrahman M
Dosen STAI Al-Hidayah Bogor

Abstrak
Islam masuk ke tanah Jawa  dalam keadaan penduduknya telah memiliki tradisi dan budaya yang berupa kepercayaan adanya kekuatan pada benda-benda tertentu (Dinamisme), adanya kekuatan pada arwah orang yang meninggal (Animisme) dan kepercayaan adanya kekuatan pada binatang-binatang (Totemisme). Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun, ia diyakini dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.  Maka ketika Islam datang, keyakinan dan kepercayaan ini melebur ke dalam budaya Islam. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Sinkretisme Islam, yaitu akulturasi budaya Islam dengan tradisi lokal. Di antara bentuk akulturasi budaya lokal (Jawa) dengan Islam adalah tradisi yang dianut oleh komunitas Islam Aboge di Jawa. Komunitas ini  melaksanakan tradisi-tradisi Jawa dengan dibumbui tradisi Islam, maka munculah Islam dengan cita rasa lokal (Islam Lokal).
Kekhasan dari komunitas  ini lainnya adalah masih digunakannya model Penanggalan Islam Jawa (Penanggalan Aboge (Alip Rebo Wage)) untuk menetapkan awal Ramadhan, Hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha. Penggunaan penanggalan ini mengakibatkan ibadah puasa, perayaan Idhul Fitri dan Idhul Adha yang mereka rayakan selalu berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Artikel ini membahas tentang akulturasi Islam dan budaya Jawa pada Komunitas Islam Aboge serta model penanggalan yang mereka gunakan. Dengan pendekatan studi etnografi, diharapkan menjadi jelas model akulturasi budaya ini serta model penanggalan Aboge.
Key Word : Islam Kejawen : Islam Aboge, Penanggalan Aboge (Alip Rebo Wage) dan Kearifan Lokal (local genius)
A.      Latar Belakang Masalah
Ada tiga pendapat tentang teori masuknya Islam ke Indonesia, Pendapat pertama menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada tahun 675 M, pendapat ini disebutkan oleh T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, ia menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah atau pada Abad Ke-VII M[1]. pendapat kedua menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad  Ke- XI M. Hal ini didasarkan pada penemuan makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 475 H (1082 M)[2]. Sementara pendapat ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia  pada abad  Ke- XIII M. Pendapat  ini disebutkan oleh R.A Kern, C. Snouck Hurgronje dan Schrieke.[3]
 Terlepas dari banyaknya pendapat tersebut, semua sejarawan sepakat bahwa ketika Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki budaya dan adat-istiadat sendiri. Adanya keyakinan dan kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Totemisme adalah salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Maka ketika Islam masuk ke Indonesia keyakinan-keyakinan dan budaya-budaya jawa tersebut merasup ke dalam tradisi Islam, sehingga terjadilah sinkretisme Islam.  Di antara bentuk pembauran (sinkretisme) antara Islam dengan budaya lokal lainnya adalah apa yang dilaksanakan oleh komunitas Islam  Aboge di Desa Ujungmanik Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Di beberapa wilayah di Jawa bagian selatan Jawa komunitas ini disebut dengan Islam Aboge, komunitas ini menyebar dari mulai Kabupaten Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap[4]. Di antara karakteristik dari komunitas ini adalah sifatnya yang tertutup dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap yang akan menjadi anggota harus melalui ritual khusus (Baingat).  Komunitas ini adalah salah satu dari bagian Islam Kejawen yang dalam istilah Clifford Geertz disebut Islam Abangan.[5] 
B.       Sejarah dan Asal-usul Islam Aboge
Istilah Islam Aboge mengacu pada komunitas yang menjadi generasi dari para santri Mbah Kyai Nurkasim. Mereka adalah generasi pertama yang membuka desa Ujungmanik (trukah) di bagian utara desa. Mbah Nurkasim sendiri adalah salah satu dari santri yang berasal dari sebuah pesantren di wilayah Pasir Luhur (masuk wilayah Banyumas). Dari sinilah muncul istilah santri Pasir, istilah ini terus berkembang hingga menjadi sebuah sebutan bagi komunitas Islam  Aboge. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ridhwan (2008) mengenai Islam Blangkon di Cilacap, pendiri dari komunitas Islam Blangkon berasal dari Desa Pasir Luhur yang merupakan bekas kekuasaan Kerajaan Pajajaran.[6] Maka ada benang merah antara komunitas Islam Aboge dan Komunitas Islam Blangkon, yaitu keduanya berasal dari satu pesantren yang sama yang terletak di Pasir Luhur. Sehingga ada kesamaan sumber dalam pola-pola keyakinannya. Selain itu paham ini juga terdapat di daerah Menganti, Adi­pa­la dan Kelurahan Kutawaru. 
Dari penelusuran data yang peneliti lakukan hingga ke Desa Cikakak Kecamatan Wangon ditemukan data bahwa di daerah ini istilah Santri atau Islam Pasir tidak dikenal, yang ada adalah istilah Islam Aboge.[7] Hal ini seperti disebutkan oleh kayim (ketua) Supandi, yang mengatakan bahwa penamaan ini (Islam Pasir) tidak benar. Sehingga mereka lebih senang disebut dengan Islam Aboge[8]
Dari wawancara dengan Bapak Abu Sujak diperoleh informasi bahwa Komunitas Islam Abogedi Desa Ujung Manik telah ada sejak awal berdirinya Desa Ujung Manik. Hal ini diperkuat oleh sesepuh desa ini, Bapak Madgaswin, katanya desa ini dibuka oleh dua orang tokoh agama yaitu Mbah Kyai Nurkasim dan Mbah Haji Husain. Kedua tokoh ini memiliki para pengikut yang terdiri dari murid-murid mereka atau lebih tepatnya santri-santri mereka.[9]
Mbah Haji Husain membuka desa (trukah) di sebelah barat desa, sementara Kyai Nurkasim di sebelah timur. Pada awalnya pemahaman keislaman di antara keduanya tidak jauh berbeda, namun ketika pemerintah Belanda  mewajibkan dan menetapkan keharusan mengikuti hari raya yang telah ditetapkan maka mulailah perbedaan dalam menetapkan hari raya ini berbeda.[10] Pihak Kyai Nurkasim bersikukuh tetap memegang penghitungan penanggalan Aboge sebagai penetapan awal Ramadhan, Syawal dan juga hari raya Idhul Adha. Sementara Haji Husain dan para santrinya memilih mengikuti ketetapan oleh pemerintah Belanda.
Namun pendapat ini sulit diterima karena perbedaan dalam hal tarekat juga bisa menjadi bahan analisa. Jama’ah Islam Aboge menjalani tarekat Syattiriyyah sementara penduduk desa Ujungmanik pada umumnya adalah pengikut tarekat Qadariyyah Naqsabandiyah. Bila kita runut lebih jauh  maka dua tarekat ini memiliki suluk tersendiri yang saling berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Di masyarakat Ujungmanik antara santri-santri Mbah Kyai Nurkasim dan Mbah Haji Husain adalah dua kubu yang berbeda, komunitas pengikut Mbah Kyai Nurkasim yang kini dikenal dengan Islam Abogebiasa disebut Islam aliran merah, sedangkan Mbah Haji Husain para pengikut Mbah Haji Husain dikenal dengan Islam aliran putih.[11]   
C.      Karakteristik Keagamaan
1.    Aqidah
Komunitas Islam Aboge di Desa Ujungmanik menyandarkan segala bentuk keyakinannya pada Islam dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ditilik dari segi aqidah Islam, komunitas ini telah mengalami penguatan khususnya di bidang keyakinan Islam, ini jika dibandingkan dengan komunitas Aboge di wilayah lainnya.[12]
Menurut Pak Supandi sebagai ketua (Kayim) komunitas ini, mereka tidak mau mengamalkan hal-hal yang mengarah kepada perbuatan musyrik seperti bersemedi untuk mendapatkan kekuatan, menyembelih untuk kuburan serta tidak melakukan hubungan khusus dengan alam jin. ”Saya menolak ketika ditawari tuyul” katanya antusias. Keyakinan semacam ini adalah salah satu dari bentuk ”evolusi” yang terjadi di tubuh jama’ah ini. Bisa jadi ini hanya semacam pembelaan diri, karena dari wawancara dengan Mbah Madgaswin yang mengatakan bahwa para pendahulu mereka (komunitas Islam Pasir) terutama yang menjadi Kayim pada komunitas ini sangat kental dengan dunia mistis. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kedigdayaan yang tidak bisa lepas dari dunia jin.[13] Dalam hal ini ada kontak dengan alam ghaib yang mereka laksanakan, misalnya melakukan tirakat di makam dengan niat bertemu dengan arwah Para leluhur.[14]        
Dalam bidang tarekat, Komunitas Islam Abogemengikuti Suluk Syekh Siti Jenar yaitu Tarekat Syatariyyah. Tarekat ini berkembang pesat di ”wilayah-wilayah merah” yaitu wilayah di Jawa, khususnya Jawa Tengah dengan mayoritas Islam Abangan. Tarekat ini menjadi salah satu karakter khusus yang ada pada mereka. Secara umum tarekat yang berkembang di desa Ujungmanik adalah Tarekat  Naqsabandiyyah Qadiriyyah. Maka bisa dipahami jika komunitas Islam Abogedianggap berbeda dengan sebagian besar tokoh agama di Ujungmanik.  Tarekat Syatariyyah yang dianut oleh Komunitas Islam Abogeadalah sebuah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15 M. Tarekat ini dinisbahkan kepada Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen salah seorang ahli antropologi,menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra. Ini berarti tarekat ini disebarkan oleh para Sufi yang menyebarkan pahamnya ke Indonesia. Hubungan antara satu komunitas dengan yang lainya dalam tarekat ini tidak saling berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “di antara tarekat yang ada.[15]
Dari penelusuran yang peneliti lakukan, model tarekat Syatariyyah yang dilaksanakan oleh Komunitas Islam Abogememiliki lelaku yang bersifat personal dan tertutup. Sebenarnya secara umum model-model tarekat yang ada di Indonesia juga tidak akan menceritakan bagaimana pengalaman Kasyaf yang mereka alami. Demikian juga pada tarekat Syatiriyah[16], mereka akan merahasiakan setiap pengalaman spiritual mereka. Dari wawancara mendalam dengan salah satu anggota jama’ah Tarekat Syatariyyah, disebutkan bahwa mereka memiliki model suluk dengan cara berdzikir dengan mengucapkan dengan La ilaha illa Allah  sebanyak 99 kali, selanjutnya menekan bola mata dengan kedua ibu jari. Dengan ini diharapkan mata dzahir kita tertutup dan mata hati kita terbuka, sehingga akan mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat, semisal melihat nabi dan bahkan melihat Allah ta’ala. Secara implisit anggota lainnya mengiyakan metode ini hanya tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat, ”Ya..... ora kaya kue carane” ”Ya... tidak sampai begitu caranya” kata Pak Abu Kasan. Maka komunitas Islam Abogemeyakini bahwa Allah ta’ala dapat ”dihadirkan” dalam saat-saat tertentu, yaitu ketika dzikir-dzikir tertentu dilafadzkan. Tidak hanya itu, dengan melakukan ritual tertentu seorang manusia dapat menyatu dengan Tuhan sebagai bentuk dari puncak spiritual tarekat mereka.
2.    Ibadah
Dalam masalah ibadah  ritual  komunitas Islam Abogetetap melaksanakan shalat wajib, berpuasa, pergi haji dan yang lainnya.  Di desa Ujungmanik sendiri anggota komunitas ini meyakini bahwa shalat adalah sebuah kewajiban, walaupun dalam praktiknya banyak di antara mereka yang tidak melaksanakannya. Terlebih para ”Pengikut” yang hanya mengikuti momen hari raya Islam Aboge, mereka cenderung tidak melaksanakan shalat dan puasa ramadhan. Ada yang menarik dari permasalahan ini, yaitu ketika ada anggota dari komunitas ini tidak shalat maka oleh pimpinannya dianggap biasa saja. Dari analisa peneliti hal ini dikarenakan basik pemahaman mereka yang lemah terhadap syariat Islam, sehingga menganggap bahwa tidak shalatpun tidak mengapa. Tidak hanya tetangga atau orang lain, bahkan keluarganya sendiri ketika tidak shalat dianggap sesuatu yang biasa dalam arti tidak dianggap sebagai dosa.
Dari wawancara yang dilakukan dengan Kayem Supandi sebagai pimpinan komunitas, ia menyatakan bahwa ”Jorna bae lah... sue-sue tulih gelem sembahyang” ”Biarkan saja nanti lama-lama juga mau shalat”. Apakah ini sikap toleransi, metode dakwah atau pemahaman yang dangkal terhadap syraiat? Peneliti lebih cenderung hal ini terjadi karena kurang pahamnya mereka terhadap syariat ini. Dari penelitian kelanjutan sebagai bentuk perbandingan adalah wawancara dengan Bapak Kayem Hadi Paryono yang mengatakan bahwa sebagian hampir seluruh anggota komunitas ini tidak pernah belajar di pesantren atau di tempat pendidikan formal yang lebih tinggi dari sekolah dasar (SD), bahkan ketua (Kayem) nya sendiri hanya belajar ilmu agama kepada beberapa kayem (guru agama) lokal yang notabene pemahamannya terhadap Islam masih kurang.[17]
Berkaitan dengan masalah fiqh ada beberapa hal di mana mereka berbeda pendapat dengan umat muslim pada umumnya, misalnya pada shalat jumat ketika jumlah mereka tidak sampai empat puluh orang maka mereka shalat jumn’atnya tidak sah sehingga setelah melaksanakan shalat jumat mereka juga melaksanakan shalat dhuhur. Masih berkaitan dengan shalat, masjid dan mushala mereka hanya mengumandangkan adzan sebanyak dua kali yaitu pada shalat shubuh dan shalat mahgrib hal ini karena shalat berjama’ah hanya dilaksanakan pada dua waktu tersebut saja. Dari pengamatan yang dilakukan hal ini terjadi karena kurang pahamnya mereka terhadap syariat shalat dan sikap meremehkan ibadah shalat ini. Selain itu dzikir-dzikir yang dilafadzkan setelah shalat juga didasarkan pada ijazah yang diwariskan secara turun-temurun. Masih di bidang ibadah, perbedaan model ibadah yang menjadi karakteristik dari komunitas ini adalah pada permasalahan puasa dan hari raya, khususnya dalam penetapan awal bulan dan tahun. Mereka selalu berbeda dalam hal perayaannyanya dengan masyarakat pada umumnya, hal ini karena mereka menggunakan pedoman penanggalan Aboge sebagai metode untuk menetapkan jatuhnya tanggal satu Ramadhan dan satu Syawwal dan awal bulan lainnya.
Sebenarnya tidak hanya awal bulan tapi seluruh tahun dalam masa satu tahun dan satu windu telah memiliki rumusan tersendiri.  Penanggalan Aboge adalah salah satu dari model penanggalan yang bersifat statis, maksudnya adalah penanggalan baku yang tidak akan berubah dikarenakan sistematikanya sudah jelas dan baku. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya mengalami  beberapa perubahan.     Penanggalan Aboge didasarkan pada penanggalan yang telah ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo di Kerajaan mataram Islam di Surakarta. Penanggalan ini adalah hasil akulturasi antara penanggalan Jawa dan Islam.
Selanjutnya model penanggalan ini menyebar ke seluruh daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Kerajaan Mataram, termasuk wilayah AbogeLuhur dan wilayah lainnya di sekitar Banyumas dan Cilacap. Menurut penuturan Kuncen Makam di Cikakak bahwa sesepuh model penanggalan ini disebarkan oleh Eyang Mustolih ke Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah sejak tahun 1288 H. Hal ini sebagaimana yang diyakini oleh komunitas Islam Blangkon di Banyumas dan Cilacap.[18]
Adanya akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam Penanggalan Aboge terlihat dari nama-nama bulan yang digunakan. Namun jika dilihat dari jumlah hari dalam satu bulan serta masih melekatnya istilah hari pasaran ini jelas merupakan budaya Jawa, istilah wage, kliwon, manis, paing dan pon adalah murni dari penanggalan Jawa. Pengaruh budaya Jawa yang masih kentara juga dapat dilihat ketika hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha jatuh pada hari Rebo Manis. Menurut mereka hari tersebut tidak boleh digunakan untuk berhari raya, karena hari itu bukanlah “hari baik” untuk berhari raya, sehingga hari raya yang jatuh pada hari tersebut akan diganti dengan hari berikutnya. Hal ini dikarenakan hari rebo manis adalah kantonge dina (Induk hari) sehingga tidak boleh dijadikan sebagai hari raya atau kegiatan bersenang-senang lainnya.[19]
Menurut Penanggalan Aboge sebulan terdiri dari 30 hari dan 29 hari . sebagaimana penghitungan tahun dalam masyarakat Jawa Kuno, kaum Aboge masih menggunakan dan menghitung tahun hanya delapan (8) tahun bertemu satu siklus dan diulangi lagi nama tahun dari awal yaitu : Alip, Eehe, Jim Awal, Jee, Dzal, Bee, Wawu, dan Jim akhir.  Dalam perhitungan tahun Jawa Islam (Penanggalan Aboge) permulaan tahun dimulai dengan Tahun Alip yang memiliki dua belas bulan dengan rumus-rumus sebagai berikut : 




Cara membaca tabel ini adalah Tahun Alip dimulai dari bulan Muharam disingkat “ram” yang jatuh pada hari rebo (ji=Siji yaitu hari nama pertama hari dalam penanggalan Jawa) dan pada pasaran wage (nama pasaran pertama dalam penanggalan Jawa), karena itu ram berarti muharam, ji berarti hari rabu dan ji selanjutnya berarti wage. Dari tabel  ini dapat kita ketahui hari dan pasaran yang menjadi  awal hari pada tiap-tiap bulan dalam tahun Alip. Misalnya untuk untuk bulan syawal sekaligus penetapan hari raya, maka pada tahun Alip akan jatuh pada hari Rebo (Rabu) Kliwon hal ini karena rumus pada bulan Syawwal adalah Waljiro yaitu Syawal Siji Loro, bulan sawal jatuh pada hari rabu yang menjadi hari pertama (siji=ji) dan kliwon adalah pasaran kedua (loro=ro).
Untuk menetapkan awal Ramadhan pada tahun Alip maka menggunakan rumus Sanemro. Sa berarti bulan puasa atau Ramadhan Nem adalah enem (enam) yaitu hari ke enam dalam penanggalan Jawa dan Ro (loro=ro) yaitu dua yang menjadi pasaran  ke dua dalam penanggalan Jawa Islam. Rumus-rumus ini berlaku juga pada penetapan hari raya Idhul Adha dan bulan-bulan lainnya. Inilah penyebab komunitas Islam Abogetelah mengetahui kapan awal Ramadhan, hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha. Pada tahun-tahun berikutnya akan disesuaikan dan meneruskan dengan hari-hari sebelumnya.[20]
Hari-hari naas tersebut dipercayai sebagai hari yang pantang memulai suatu pekerjaan atau mengadakan perjalanan. Terdapat pula kepercayaan terhadap kualitas suatu hari dalam sebulan. Dewasa ini kepercayaan terhadap waktu, hari-hari baik dan buruk oleh anggota masyarakat, terutama masyarakat Ujungmanik masih dipegang teguh, meskipun dalam kenyataan hanya berlaku pada bidang-bidang kehidupan tertentu saja semisal memulai menanam padi, perkawinan, perjalanan jauh, melaut dan upacara adat lainnya.
Secara sosial kemasyarakatan komunitas Islam Aboge bergaul dengan anggota masyarakat lainnya, hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan keyakinannya mereka akan ”mantheng” dan tidak ada dialog padanya. Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa konflik antara komunitas Islam Abogedengan masyarakat di luar mereka. Walaupun konflik hanya terjadi dalam skala kecil namun bisa jadi akan menjadi api dalam sekam. Beberapa konflik internal pernah terjadi terutama konflik antara suami dan istri, kaitannya jika seorang laki-laki menikah dengan perempuan dari luar komunitasnya maka sang istri wajib untuk mengikuti komunitas ini sebagai mana suaminya.[21] Sebaliknya jika seorang perempuan anggota komunitas Islam  Aboge menikah dengan laki-laki di luar komunitas maka sang istri secara otomatis keluar dari komunitas ini dengan mengikuti sang suami. Dalam hal ini sang istri akan mengikuti keislaman sebagaimana sang suami demikian pula dalam puasa ramadhan dan berhari raya.  

D.      ISLAM  ABOGE : HARMONI ISLAM DAN TRADISI JAWA
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, komunitas Islam  Aboge melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan dasar kepercayaan terhadap para leluhur. Kepercayaan yang telah mereka anut bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, maka sulit bagi mereka untuk meninggalkannya. Hal ini banyak dipahami oleh para da’i dan mubaligh yang menyebarkan Islam ke wilayah ini, maka dilakukanlah berbagai cara agar Islam dapat diterima oleh penduduk pribumi walaupun dalam beberapa hal tampak melenceng dari Islam. Beberapa bentuk akulturasi budaya yang terdapat pada komunitas Islam Abogeadalah upacara ritual yang merupakan kolaborasi antara budaya dan kepercayaan terdahulu yang dibumbui dengan nilai-nilai Islam, di antara akulturasi budaya tersebut adalah :
1.    Selametan ibu hamil
Selametan ini dilakukan pada seorang perempuan yang hamil dan mencapai usia kandungan empat bulan dan tujuh bulan usia kandungan. Ciri khas dari selametan ini adalah dibuatnya ”Lepet”, yaitu beras ketan yang dimasak dan dimasukan ke dalam daun kelapa yang dililitkan sehingga membentuk makanan tradisional yang unik. Tradisi ini secara historis berasal dari kebudayaan Pemujaan terhadap dewa-dewa yang berada di bawah dewa Yin dan Yang. Masih terkait dengan kehamilan bahwa ketika seorang perempuan hamil maka ia harus menggantungkan gunting atau pisau kecil agar bayi yang berada dalam kandungannya terjaga dari kejahatan makhluk halus. Kepercayaan adanya pengganggu bagi bayi yang masih dalam kandungan berasal dari keperayaan animisme dan dinamisme. Selain adanya uba rampe berupa sesajen dan pemberian Uthuk (anak ayam) kepada dukun bayi.  Nilai-nilai Islam dalam selametan  ini adalah diadakannya Kepungan yaitu mengundang para tetangga untuk makan-makan pada malam harinya. Dengan menghadirkan seorang kayem maka berbagai do’a, tahlil, tahmid dan tasbih dilantunkan sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan kepada Gusti Allah.    
2.    Ritual Kelahiran bayi
Kelahiran seorang bayi menjadi momen yang mendapat perhatian khusus dalam budaya Jawa. Ketika seorang perempuan melahirkan, ari-ari (plasenta) yang disebut sadulur pancer  segera dimasukan ke dalam kelapa hijau atau sebuah kendi yang terbuat dari tanah. Selanjutnya ari-ari tersebut diletakan di dekat pintu agar saudara tua dari sang jabang bayi agar dapat leluasa keluar rumah. ari-ari  tersebut diberi lampu serta beberapa jenis bunga dan bubur merah puitih. Mereka berkeyakinan bahwa saudara dari bayi yang baru lahir masih berada di sekitarnya. Model perawatan ari-ari yang dilaksanakan oleh komunitas Islam Abogedan ritual yang berkaitan dengan kelahiran seorang bayi adalah murni budaya Jawa. Bentuk akulturasi budaya dalam ritual ini adalah dicukurnya rambut bayi pada hari ketujuh. Adalah prosesi ini tentu tidak dikenal adanya aqiqah, pada generasi belakangan baru dikenal adanya aqiqah ini. Namun demikian, penetapan hari ketujuh dan pemberian nama adalah salah satu tradisi Islam. Sehingga sebagaimana dalam prosesi ngupati dan keba, dalam ritual pemberian nama sendiri dilakukan kepungan dengan mengundang para tetangga untuk makan-makan bersama dan memberi nama dan mendoakan bayi terrsebut.
3.    Perayaan Khitan/ Sunat  
Khitan adalah tradisi Islam yang telah diterima secara luas oleh masyarakat Jawa. Sebelum datangnya Islam,  masyarakat Jawa tidak mengenal adanya khitan, maka tradisi Islam ini membaur dengan tradisi Jawa hingga terciptalah ritual perayaan khitan bagi anak laki-laki. Budaya mengkhitankan anak saat ini menjadi sebuah pesta yang syarat dengan budaya Jawa. Pelaksanaan khitan pada komunitas Islam Abogedilaksanakan ketika seorang anak laki-laki telah menginjka baligh, biasanya antara umur 10-14 tahun. Perayaan ini dilakukan dalam bentuk syukuran yaitu kepungan dengan mengundang para tetangga untuk makan bersama dan memanjatkan tasbih, tahmid dan tahlil. Jika orang tua anak adalah orang terpandang maka pengantin sunat dinaikan ke kuda dengan dirias dengan busana Arab berupa jubah putih panjang dan sorban. Pengantin Sunat diarak keliling kampung dengan menaiki kuda atau delman. Menurut mereka hal ini dilakukan untuk menyenangkan anak. Bagi anak laki-laki yang hanya satu-satunya dalam keluarga maka dalam proses khitan wajib dilaksanakan ritual tertentu dengan nanggap (mengadakan) pertunjukan wayang kulit. Namun tradisi ini saat ini mulai ditinggalkan karena mahalnya biaya menyewa wayang kulit.[22] Dalam beberapa perayaan khitanan sering dilakukan acara khatam Al-Qur’an bagi anak yang dikhitan tersebut. Acara perayaan khitan sendiri sangat meriah sebagaimana perayaan pernikahan. Pada perayaan ini ada pemimpin pesta yang mengetuai acara tersebut di samping yang menyediakan berbagai sesajen tertentu.  
4.    Perayaan Pernikahan
Perayaan pernikahan adalah momen besar yang menjadi ciri khas budaya Jawa. Walaupun di beberapa kebudayaan juga dilaksanakan namun nilai-nilai yang terkandung pada upacara pernikahan Jawa sangat komplek dan mengandung banyak akulturasi budaya. Baik budaya Islam, Jawa ataupun kepercayaan lainnya. Akulturasi budaya yang terjadi dalam perayaan pernikahan ini adalah adanya akad pernikahan yang syah secara Islam dan prosesi pernikahan yang mengikuti budaya Jawa. Di antara bentuk akulturasi budaya tersebut adalah : penyatuan prosesi akad nikah dan pesta pernikahan yang dilaksanakan dalam satu paket, sehingga seolah-olah tidak syah kalau pernikahan hanya dilakukan di depan petugas Kantor Urusan Agama (KUA). Penyatuan ini mencerminkan bahwa antara Islam dan budaya jawa tidak terjadi pertentangan karena dapat dilaksanakan secara beriringan, ini menurut pendapat mereka.     
5.    Ritual Kematian (Tahlilan)
Selanjutnya akulturasi Islam dan budaya Jawa yang masih laksanakan oleh Komunitas Islam Abogeadalah perayaan selametan atau tahlilan setelah kematian seseorang. Upacara kematian yang dilakukan di desa Ujungmanik adalah dumulai dari hari ke-3, 7, 40, 100 dan satu tahun atau khaul setelah kematian. Dalam tradisi Islam yang berkembang di Timur Tengah dan wilayah lainnya tidak terdapat ritual tahlilan ini. Demikian pula di wilayah selian pulau Jawa semisal Sumatera dan yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa ritual ini adalah asli budaya Jawa. Bila kita lacak sejarah dari ritual tahlilan, maka akan kita dapatkan bahwa ritual ini berasal dari keyakinan Tuhan Yang dari dataran China.[23] Dimana kepercayaan ini tersebar ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Ke Jawa. Maka setelah sekian lama kepercayaan ini berkembang ia menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa. Ditambah lagi dengan kedatangan agama Hindu dan Budha yang memperkokoh ritual ini.[24]       Maka ketika Islam masuk ke Jawa budaya ini begitu kuat hingga tidak mungkin untuk menghilangkannya. Sehingga para da’i hanya menyematkan nilai--nilai Islam ke dalam budaya ritual kematian tersebut. Penamaannya sendiri kini menjadi ”Tahlilan” yang secara bahasa berarti membaca kalimat tahlil la Ilaha Illallah.
6.        Pemujaan terhadap Makam/Kuburan 
Penghormatan terhadap arwah leluhur adalah bagian dari tradisi Jawa yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidu[pan sehari-hari. Hal ini tidak saja didasari pada kewajiban untuk berbuat baik kepada orang yang dituakan, namun lebih dari itu adalah keyakinan bahwa para leluhur dapat memberikan bantuan kepada anak cucunya. Hal ini bisa terjadi baik ketika dia masih hdiup atupun sudah meninggal dunia. Berbanding lurus dengan ritual setelah  kematian,  penghormatan terhadap para leluhur yang sudah meninggal adalah sebuah tradisi yang tidak bisa diusik lagi. Walaupun mereka telah memeluk Islam namun, pemahaman bahwa arwah orang yang sudah meninggal dunia dapat kembali ke tempatnya dan memberikan pertolongan kepada anak cucunya. Oleh karena itu pembangunan berbagai makam dan kuburan-kuburan adalah salah satu bentuk manifestasi dari penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Pada komunitas Islam Aboge ditandai dengan penghormatan terhadap leluhur mereka, terutama yang telah menyebarkan Islam Abogedan mewariskannya kepada mereka. Menurut Kayem Supandi komunitas ini selalu melaksanakan ziarah ke makam Mbah Nurkasim di desa Cikakak, Wangon sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah membuka desa Ujungmanik sekalgus menyebarkan Islam di wilayah ini.[25]
Makam para leluhur yang sering disebut Petilasan pada masyarakat Ujungamnik dikenal dengan sebutan  Panembahan. Dari observasi yang dilakukan ada sekitar sepuluh panembahan yang berada di desa ini. Panembahan adalah kuburan yang dianggap memiliki kekuatan tertentu karena pemilik kuburan adalah orang-orang terhormat, sakti atau terpandang. Dari beberapa panembahan yang ada, saat ini yang masih terawat adalah Panembahan Cipacul, Panembahan Langlang Alun, Penembahan Nusa Cething, Panembahan Baya Ragas, Panembahan Polosuro Polosari, Jatikusumo, Jati Marong dan yang lainnya. Membahas tentang panembahan maka tidak lepas dari dupa dan sesajen. Pada komunitas Islam Abogepembakaran kemenyan dan sesajen sangat kental. Apalagi pada saat ziarah kubur atau ritual tertentu. Sesajen dan pembakaran kemenyan (dupa) dilakukan pada momen-momen tertentu  terutama pada saat upacara perayaan semisal pernikahan, khitanan dan yang lainnya. Bentuk sesajen sendiri beraneka ragam, jika malam jum’at diletakan bubur merah putih dan air putih di sebelah rumah. Sedangkan pada acara pernikahan sesajen berupa satu ekor ayam jantan yang dimasak, bubur merah putih dan beberapa Jajan pasar. Tidak lupa bakaran kemenyan, rokok, kopi, teh dan kelapa hijau.
Tradisi ziarah kubur, memuliakan para leluhur yang shalih dan mendoakan mayit adalah tradisi Islam, namun ketika bertemu dengan budaya Jawa maka terciptalah akulturasi budaya, sehingga ziarah kubur yang dimaknai oleh orang Jawa akan berbeda dengan ziarah kubur yang dimaknai orang Islam di wilayah lainnya. Demikian pula  penghormatan terhadap leluhur dalam Islam sangat ditekankan, namun jika sampai pada bentuk meminta-minta kepada arwah para leluhur agar memberikan pertolongan kepada orang yang masih hidup maka ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.  
8. Idhul Fitri, Idhul Adha dan Salambekti
Perayaan Idhul Fitri dan Idhul Adha yang dilaksanakan oleh komunitas Islam Abogebebeda dengan yang dilaksanakan pada umumnya umat Islam. Pada perayaan Idhul Fitri ritual yang pertama kali dilakukan adalah dengan membuat dian (lampu pijar) yang berjumlah lima atau tujuh buah dalam satu  galah bambu besar. Bambu tersebut dibuat horizontal yang pada kedua ujungnya tertutup untuk menahan minyak tanah agar tidak tumpah. Selanjutnya lampu pijar tersebut diletakan di depan rumah, beberapa sesajen yang berupa bunga dan bubur merah putih ditempatkan pada sebuah piring kecil dan daun pisang, lalu diletakan di bawah lampu pijar tersebut.
Selanjutnya setelah maghrib tiba dikumandangkan takbir secara bersama-sama di masjid dan mushala. Kumandang takbir pada awalnya dilakukan oleh anak-anak dan pemuda-pemuda, sedangkan  kaum bapaknya menyetorkan zakat fitrah kepada kayem sebagai amil zakat. Pada komunitas Islam Pasir, pengumpulan zakat dilakukan di rumah ketua (kayem) sehingga malam itu kediaman kayem sangat ramai. Tradisi yang ada adalah setelah para bapak memberikan zakat fitrahnya mereka tidak langsung pulang, akan tetapi mereka mebikmati hidangan makanan yang disediakan oleh kayem tersebut. Biasanya hidangan berupa becek (masakan daging kambing, ayam atau daging lainnya). 
Bila kaum bapak memberikan zakat fitrahnya kepada kayem, maka kaum ibu akan memberikan zakat fitrah bagi anak-anak mereka yang masih bayi dan dibawah umur lima tahun kepada dukun bayi.  Kegiatan ini dilakukan di rumah para dukun bayi, dari  mulai masuk waktu dhuhur hingga menjelang maghrib, para ibu berduyun-duyun mendatangi  kediaman dukun bayi. Pada komunitas Islam Abogedukun bayinya adalah Satinem. Sebagaimana kaum bapaknya, kaum ibu juga datang dengan membawa zakat fitrah  untuk dirinya dan juga untuk anaknya. Di kediaman dukun bayi sendiri disediakan makanan dan jamu buatan sang dukun bayi.
Sebagaimana diketahui sebagian warga walaupun mereka membayar zakat dan merayakan Idhul Fitri  namun sebagian mereka tidak melaksanakan puasa sehingga hidangan dan jamu yang disediakan oleh oleh Sang Dukun bayi juga mereka nikmati. Selanjutnya ketika malam makin larut para bapak menggantikan anak-anak dan anak muda yang mengumandangkan takbir di masjid atau mushola. Takbiran  ini berlangsung hingga pagi hari. Sebagian jama’ah menyediakan teh atau kopi dan makanan kecil bagi orang-orang yang mengumandangkan takbir.
Pagi harinya mereka berbondong-bondong mendatangi masjid Baitus Salim, kumandang takbir masih terdengar hingga sholat ’Idh dilaksanakan. Sebagaimana komunitas Islam Aboge lainnya, komunitas Islam Abogeketika berangkat ke masjid juga membawa makanan yang disiapkan untuk acara kepungan di masjid setelah shalat Idhul Fitri selesai. Shalat Idhul Fitri yang dilaksanakan komunitas ini sebagaimana kaum muslimin pada umumnya, setelah selesai maka ritual selanjutnya adalah salambetiSalambeti saling meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Proses salamberti dimulai dengan suara puji-pujian dan shalawatan yang dikumandangkan secara bersama-sama. Selanjutnya Kayem berdiri tepat di samping mihrab dan diikuti oleh para pini sepuh (orang tua), mereka bersalam-salaman secara bergantian, kemudian disusul oleh masyarakat pada umumnya yang saling bersalam-salaman.
Seluruh jama’ah sholat Idhul Fitri saling bersalam-salaman dan membentuk lingkaran di dalam masjid, jika tidak muat dilanjutkan di halaman masjid dan di jalan raya. Walaupun anggota dari Komunitas Islam Abogehanya sekitar 100 kepala keluarga namun jika lebaran tiba masyarakat sekitar yang bukan termasuk komunitas inipun ikut bergabung dalam salambeti ini. Hal inilah yang mengakibatkan barisan dari salam-salaman ini membludak hingga ke jalan raya. Semua tumpah ruah laki-laki dan perempuan, tua dan muda semua saling bersalaman. ”Siki wektune nggo njaluk pangapura”, (Sekarang saatnya meminta maaf) kata salah satu dari jama’ah.
Walaupun mereka sudah bersalaman di masjid, namun acara salambeti tetap saja berlangsung. Mereka berkeliling rumah-demi rumah untuk berislaturrahmi dan memohon maaf dari penghuni rumah. Biasanya rumah yang didatangi adalah rumah para orang tua dan orang-orang yang dituakan, semisal kayem, kepala desa, kyai  dan yang lainnya. Ketika warga masyarakat melakukan salambeti maka Kayem Supandi dan beberapa jama’ah laki-laki anggota komunitas Islam Abogemasih tetap berada di masjid untuk melakukan ritual berikutnya yaitu babaran, yaitu melakukan salambekti seara lebih khusus dan khusyu’ yang dimulai dari para tetua dan kayem. Adapun prosesinya adalah sebagai berikut : Kayim sebagai to­koh ketua komunitas Islam Abogeduduk diikuti para se­sepuh dan tokoh agama se­tempat. Dengan cara duduk se­tengah sujud, sungkeman pun dimulai. Satu per satu me­reka yang merasa dirinya le­bih muda melakukan tradisi sungkeman. ”Intinya yang muda minta ma­af kepada yang tua. Karena hari inilah saat yang paling tepat untuk kembali ke fi­trah”[26].
Setelah selesai ritual salambeti selanjutnya Pak Kayem Supandi memimpin do’a keselamatan agar seluruh anggota jama’ah dan kaum muslimin umumnya selalu berada dalam lindungan Gusti Alloh. Tidak lupa dalam doanya terselip tawasul kepada orang-orang soleh terdahulu, terutama para pendiri desa Ujungmanik dan khususnya nenek moyang yang berada dalam garis Islam Pasir. Akhirnya ritual ditutup dengan menghidangkan tumpeng dan nasi yang dilengkapi dengan lauk-pauk semisal daging ayam, sayur mie goring dan yang lainnya. Walaupun makanan yang tersedia cukup enak namun sebagian jama’ah yang hadir hanya makan sedikit saja, sisanya dibawa pulang sebagai brekat (Makanan setelah selamatan).
Ucapan saling memaafkan pun sebagian besar diterapkan dalam bahasa krama inggil. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut : “Allohumma shali ‘ala sayidina Muhammad wa ‘ala ali sayidina Muhammad, Pak/bu Kulo ngatureken sedoyo lepat kulo, kulo tiang enem kathak lepate nyuwun ngapunten kali bapakae. (Pak/Bu Saya memohon maaf atas kesalahan saya, saya yang masih muda banyak kesalahannya maka saya mohon maaf kepada bapak/ibu). Maka pihak yang menerima ucapan tersebut juga menjawabnya dengan bahasa Jawa krama atau terkadang bahasa Jawa ngoko :  Allohumma shali ‘ala sayidina Muhammad wa ‘ala ali sayidina Muhammad, Ya pada-pada, aku wong tua mbok ana lupute ya njaluk pangapura”(Ya sama-sama, saya sebagai orang tua kalau ada kesalahannya juga minta maaf).   
Walaupun sebagian dari warga Aboge tidak berpuasa namun di hari raya ini semuanya bergembira, maka pada beberapa kesempatan diadakanlah pentas ebeg  (kuda lumping) sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat.
A.      Penanggalan Alip Rebo Wage (Aboge) Pada Komunitas Islam Pasir
Bauran Islam dan budaya Jawa yang menjadi ciri khas dari komunitas ini adalah penggunaan Penanggalan Aboge. Kalender ini didasarkan pada perhitungan hari, bulan dan tahun yang telah disusun secara sistematis. Pada awalnya penyusunan sistem kalender ini adalah atas perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai pemegang tertinggi kerajaan Mataram waktu itu. Dengan berjalannya waktu terjadi modifikasi dan beberapa penyesuaian, sehingga model penanggalan ini sedikit berbeda dengan apa yang telah ditetapkan pada awalnya oleh Sri Sultan.
Proses penetapan penanggalan ini didasarkan pada kebutuhan umat Islam Jawa akan adanya kepastian waktu dalam menentukan berbagai perayaan, semisal Idhul Fitri, Idhul Adha dan awal Ramadhan. Selanjutnya model penanggalan ini menyebar ke seluruh wilayak kekuasaan Mataram termasuk ke wilayah Banyumas dan Cilacap waktu itu. Sistem penanggalan ini sampai ke wilayah Banyumas dan Cilacap dibawa oleh Eyang Mustolih, tepatnya di  Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebagaimana disebutkan oleh Juru Kunci Makam di Desa Cikakak bahwa model penanggalan Aboge telah ada di desa ini  sejak tahun 1288 H. Hal ini ditandai dengan berdirinya Masjid Saka Tunggal di wilayah tersebut yang hingga kini masih dikeramatkan oleh kalangan Islam Aboge.
Dari hasil wawancara dengan Pak Madgaswin sebagai sesepuh desa Ujungmanik bahwa tarekat yang dilaksanakan oleh komunitas Islam Abogeadalah kelanjutan dari tarekat Syaikh Siti Jenar yang disebarkan oleh seorang ulama bernama Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang.[27] Namun pendapat ini dibantah oleh Ustadz Amiruddin Kadar yang menyatakan bahwa kalau mereka mengikuti tarekatnya Syaikh Siti Jenar itu bagus, tarekat mereka berbeda dan tidak sesuai dengan suluknya Syaikh Siti Jenar.[28] Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut Pak Warsidi sendiri sebagai anggota adri komunitas Islam Abogemenyatakan bahwa tarekat yang dijalankannya memang dekat dengan model tarekat Syaikh Siti Jenar.  
Sebagaimana disebutkan,  penanggalan Aboge yang digunakan oleh Komunitas Islam Abogeadalah bentuk akulturasi antara penanggalan Jawa dan penanggalan hijriyah Islam. Dari nama-nama yang digunakan jelas sekali ia berasal dari bulan-bulan dalam tahun hijriyah. Namun jika dilihat dari jumlah hari dalam satu bulan serta masih melekatnya istilah hari pasaran ini jelas merupakan budaya Jawa. Pengaruh Jawa yang masih kentara juga dapat dilihat ketika hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha jatuh pada hari Rebo Manis (hari Rabu dan Pasaran Manis), menurut mereka hari tersebut bukanlah hari yang baik untuk berhari raya, sehingga hari raya yang jatuh pada hari tersebut akan diganti dengan hari berikutnya. Walaupun dalam prakteknya hari rebo manis  tidak peranah ada dalam system kalender ini.  
Dalam menentukan masuknya awal tahun dan awal bulan, penanggalan Aboge didasarkan pada rumus Aboge yang merupakan singkatan dari Alip Rebo Wage, yaitu Alip adalah hitungan tahun awal yang harus jatuh pada hari rebo dan waktu pasaran wage. Dalam setiap tahun ada dua belas bulan yang diistilahkan sesuai dengan jatuh awal harinya. Misalnya tahun Alip : Maka bulan pertama dimulai dengan bulan muharam disingkat ram, pada hari rabu diistilahkan ji dan hari pasaran wage diistilahkan ji menjadi ramjiji. Hal ini berlaku untuk seluruh bulan yang ada sebanyak dua belas bulan. Dalam delapan tahun yang memiliki nama berbeda, penanggalan Aboge memiliki dua belas bulan yang dapat disingkat sesuai dengan akhir potongan suku katanya, berikut istilah-istilah yang digunakan : Muharam = ram ,  Sapar = par, Mulud = lud, Robingul Akhir = Ngu khir, Jumadil Awal = Ju wal, Jumadil Akhir = Ju khir, Rajab = Jab, Ruwah = Wah, Puasa = Sa, Sawal = Wal, Dzulqangidah = Dah, Dzulhijjah = Jah
Selanjutnya urutan hari dan pasaran diurutkan sesuai dengan awal harinya, berikut tabelnya :
No
Hari
Istilah
1
Rebo
Ji
2
Kemis
Ro
3
Jemuah
Lu
4
Setu
Pat
5
Ahad
Ma
6
Senen
Nem
7
Selasa
Tu
No
Hari
Istilah
1
Wage
Ji
2
Kliwon
Ro
3
Manis
Lu
4
Paing
Pat
5
Pon
Ma
No
Hari
Istilah
1
Siji
Ji
2
Loro
Ro
3
Telu
Lu
4
Papat
Pat
5
Lima
Ma
6
Enem
Nem
7
Pitu
Tu




Pengaruh tradisi Islam dalam system penanggalan ini adalah sebutan untuk nama-nama bulan. Pada asalnya bulan pertama dalam tradisi Jawa adalah Suro, Penanggalan Aboge tidak menggunakan istilah Suro, tapi mereka menggunakan istilah Muharam. Demikian pula bulan-bulan lainnya, hanya bulan Mulud dan Puasa yang dipengaruhi tradisi Jawa. Pada penanggalan hijriyah bulan puasa disebut bulan Ramadhan, demikian pula bula Mulud disebut dengan Jumadil Awwal. Walaupun dalam prakteknya terkadang dua nama ini juga digunakan.  
Dalam satu bulan jumlah hari dalam system penanggalan Aboge terdiri dari 30 dan 29 hari. Sebagaimana penghitungan tahun dalam masyarakat Jawa kuno, kaum Aboge juga masih menggunakan dan menghitung tahun hanya delapan (8) tahun bertemu satu siklus dan diulangi lagi nama tahun dari awal yaitu : Alif, Eehe, Jim Awwal, Jee, Dal, Bee, Wawu, dan Jim Akhir. Dalam perhitungan tahun ini dimulai dengan tahun Alif yang memiliki dua belas bulan dengan rumus-rumus sebagai berikut :
No
Singkatan
Bulan
Hari
Pasaran
1
Ramjiji
Muharam
Rebo
Wage
2
Parluji
Sapar
Jemuah
Wage
3
Ludpatma
Mulud
Setu
Pon
4
Ngukhirnemma
Robingul Akhir
Senen
Pon
5
Diwaltupa
Jumadil Awal
Selasa
Paing
6
Dikhirropat
Jumadil Akhir
Kemis
Paing
7
Jablulu
Rajab
Jemuah
Manis
8
Wahmalu
Ruwah
Ahad
Manis
9
Sanemro
Puasa
Senen
Kliwon
10
Waljiro
Sawal
Rebo
Kliwon
11
Dahroji
Dzulqoidah
Kemis
Wage
12
Jahpatji
Dzulhijjah
Setu
Wage
Dari setiap bulan dapat kita ketahui hari yang menjadi awal bulan tersebut, misalnya untuk bulan Syawal sekaligus penetapan hari raya, maka pada tahun Alif akan jatuh pada hari Rebo (Rabu) Kliwon. Demikian juga untuk menetapkan hari raya Idhul Adha dan puasa. Pada tahun-tahun berikutnya akan disesuaikan dengan hari-hari sebelumnya.[29]
Rumus-rumus yang diberlakukan dalam tahun-tahun berikutnya adalah sebagai berikut : Untuk tahun Eehe maka awal bulan dan awal tahun meneruskan tahun sebelumnya, selengkapnya dapat dilihat pada table berikut ini :

No
Singkatan
Bulan
Hari
Pasaran
1
Rammama
Muharam
Ahad
Pon
2
Partuma
Sapar
Selasa
Pon
3
Ludjipat
Mulud
Rebo
Paing
4
Ngukhirlupat
Robingul Akhir
Jemuah
Paing
5
Diwalpatlu
Jumadil Awal
Setu
Manis
6
Dikhirpatlu
Jumadil Akhir
Setu
Manis
7
Jabturo
Rajab
Selasa
Kliwon
8
Wahroro
Ruwah
Kemis
Kliwon
9
Saluji
Puasa
Jemuah
Wage
10
Walmaji
Sawal
Ahad
Wage
11
Dahnemma
Dzulqoidah
Senen
Pon
12
Jahjima
Dzulhijjah
Rebo
Pon
 Istilah-istilah bulan yang digunakan adalah sebagai awal dimulainya bulan baru, hal ini digunakan untuk memudahkan dalam mengingatnya. Tahun-tahun berikutnya akan terus berlanjut hingga selesai pada tahun terakhir yaitu tahun Jim Akhir. Dengan system ini penetapan Ramadhan, Idhul Fitri dan Idhul Adha dalam penanggalan Aboge sangat mudah, apalagi dengan perkembangan tekhnologi komputer dapat dengan mudah dalam menetapkan tanggal-tanggal penting dalam Islam. Sebagai contoh misalnya tahun 2010 adalah tahun Dal maka Awal ramadhan, Idhul Fitri dan Idhul Adha akan dengan mudah kita ketahui. Berikut adalah table untuk Tahun Dal :
No
Singkatan
Bulan
Hari
Pasaran
1
Rampatlu
Muharam
Setu
Manis
2
Parnemlu
Sapar
Senen
Manis
3
Ludturo
Mulud
Selasa
Kliwon
4
Ngukhirroro
Robingul Akhir
Kemis
Kliwon
5
Diwalluji
Jumadil Awal
Jemuah
Wage
6
Dikhirluji
Jumadil Akhir
Jemuah
Wage
7
Jabnemma
Rajab
Senen
Pon
8
Wahjima
Ruwah
Rebo
Pon
9
Saropat
Puasa
Kemis
Paing
10
Walpatpat
Sawal
Setu
Paing
11
Dahlulu
Dzulqoidah
Jemuah
Manis
12
Jahtulu
Dzulhijjah
Selasa
Manis
Dari table ini dapat diketahui bahwa awal ramadhan untuk tahun 2010 jatuh dengan istilah Saroma yaitu Sa adalah Puasa, Ro adalah Loro yaitu hari kedua yaitu kamis dan Pat = papat yaitu pasaran ke empat paing.
Pada dasarnya model penanggalan Aboge bersifat statis, dalam arti tidak pernah terjadi perubahan hingga saat ini. Namun menurut Bapak Sujarmin HP penanggalan Aboge ini sebenarnya telah mengalami perubahan sebanyak dua kali perubahan, hanya ia menyatakan bahwa perubahan untuk saat ini sangat tidak dimungkinkan karena tidak adanya system pemerintahan yang berhak untuk mengubahnya.[30]
Perubahan yang terjadi adalah variasi dari system penanggalan ini, jika pada komunitas Islam Abogesebutan sangat kental dengan logat Islam bagian selatan yang ngapak, maka pada lingkungan dengan bahasa jawa bandek akan terdapat beberapa perbedaan. Misalnya mneurut Ranggawarsita, untuk menentukan 1 Sura pada tahun-tahun berikutnya hafalannya sebagai berikut. Ekatpon, artinya di tahun Ehe jatuh pada malam Akat (Minggu) Pon. Walmahpon di tahun Jimawal jatuh pada malam Jemuah (Jumat) Pon. Jesoing di tahun Je jatuh pada malam Selasa Pahing. Daltugi, di tahun Dal jatuh malam Sabtu Legi. Bemisgi, di tahun Be jatuh pada malam Kamis Legi. Wunenpon di tahun Wawu jatuh pada malam Senin Pon. Kirmahge di tahun Jimakir sebagaimana yang sekarang akan terjadi, jatuhnya 1 Sura pada malam Jemuah (Jumat) Wage.
Variasi lainnya dikemukakan oleh Koesmin, yang berpendapat bahwa penentuan dalam penanggalan Aboge untuk setiap awal tahun dapat dilakukan dengan cara penentuan tanggal satu setiap bulan-bulan berikutnya, dengan mendasarkan kepada perhitungan awal Rojiji. Artinya bulan Suro siji-siji (satu-satu). Satu-satu di sini menunjukkan angka pedoman urutan perhitungan satu untuk hari Rabu dan satu berikutnya untuk pasaran Wage. Untuk bulan Sapar, hafalan Parluji. Artinya, bulan Sapar tanggal satunya jatuh pada hitungan telu siji (Jumat Wage). Bulan Mulut memakai Mupatmo (papat lima) jatuh Sabtu Pon. Bakdomulut menggunakan Banemo (enem lima) jatuh Senin Pon. Jumadiawal dengan pedoman Walpipat (pitu papat) jatuh Selasa Pahing.
Kemudian Jumadilakir hitungannya Kiropat (loro papat) Kamis Pahing. Rejeb memakai Jeblulu (telu telu) Jumat Legi. Sementara itu Ruwah dengan Wahmolu (limo telu) Minggu Legi. Untuk Poso, Ponemro (enem loro) Minggu Kliwon. Sawal, Sajiro (siji loro) Rabu Kliwon. Sedangkan Dulkaidah menggunakan Dahroji (loro siji) Kamis Wage, dan Besar dengan hitungan Sarpatji (papat siji) Sabtu Wage. Untuk jelasnya, urutan hari, satu sampai tujuh terdiri atas Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, Senin, dan Selasa. Kemudian urutan pasarannya, satu sampai lima adalah Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon.Tidak jauh berbeda dengan model-model penanggalan Aboge yang berkembang di beberapa wilayah di Jawa, model Penanggalan Aboge yang dijadikan pedoman adalah sebagai berikut :
1.     Pada tahun Alip maka diawali dengan dengan hari rebo wage.
2.     Pada tahun Eehe diawali dengan Ahad Pon
3.     Pada tahun Jim Awal diawali dengan Jemuah Pon
4.     Pada tahun Jee diawali dengan Selasa paing
5.     Pada tahun Dal diawali dengan Setu legi
6.     Pada tahun Bee diawali dengan Kemis Legi
7.     Pada tahunWawu diawali dengan Senen Kliwon
8.     Pada tahun Jim Akhir diawali dengan Jemuah Wage
Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
No
Nama Tahun
Awal Hari
Akhir Hari
Ket.
Hari
Pasaran
Hari
Pasaran

1
Alip
Rebo
Wage
Rebo
Kliwon
2006
2
Eehe
Ahad
Pon
Ahad
Wage
2007
3
Jim Awwal
Jemuah
Pon
Jemuah
Wage
2008
4
Jee
Selasa
Paing
Selasa
Pon
2009
5
Dal
Setu
Legi
Setu
Paing
2010
6
Bee
Kemis
Legi
Kemis
Paing
2011
7
Wawu
Senen
Kliwon
Senen
Legi
2012
8
Jim Akhir
Jemuah
Wage
Jemuah
Kliwon
2013

Jika tahun Jim Akhir telah berakhir maka dimulai lagi dari tahun Alif dengan rumus yang sama, maka di sini tidak akan pernah terjadi perubahan. Adapun awal bulan maka hanya melanjutkan dari bulan-bulan sebelumnya, misalnya pada tahun Alif dimulai pada rebo wage dan berakhir pada rebo kliwon maka pada tahun Eehe akan melanjutkan dari hari tersebut yaitu hari Ahad pon, begitu seterusnya.
Penggunaan singkatan yang diambil dari awal kata sangat memudahkan untuk menghapal nama-nama bulan tersebut. Selain itu karena sifatnya yang statis maka dengan mudah dapat dipelajari dan dihapalkan. Misalnya untuk tahun Alip, berikut adalah hari pada awal bulan dan singkatannya :
No
Teori
Bulan
Hari
Pasaran
Ket.
1
Ram Ji Ji
Muharam
Rebo
Wage

2
Par Lu Ji
Sapar
Jemuah
Wage

3
Lud Pat Ma
Mulud
Setu
Pon

4
Ngu Khir Nem Ma
Robingul Akhir
Senen
Pon

5
Dzu Wal Tu Pat
Jumadil Awwal
Selasa
Pahing

6
Dzi Khir Ro Pat
Jumadzil Akhir
Kemis
Pahing

7
Jab Lu Lu
Rajab
Jemuah
Manis/legi

8
Wah Ma Lu
Ruwah
Ahad
Manis/legi

9
Sa Nem Ro
Puasa
Senen
Kliwon

10
Wal Ji  Ro
Syawal
Rebo
Kliwon

11
Dah Ro Ji
Dzulqa'dah
Kemis
Wage

12
Jah Pat Ji
Dzulhijjah
Setu
Wage




Dengan perincian ini menjadi jelas model penanggalan Aboge yang dipedomani oleh Komunitas Islam Abogedi Ujungmanik. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada lampiran penelitian ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pada dasarnya sistem penanggalan Aboge sudah mengalami beberapa perubahan (dinasakh) yang seharusnya sudah menjadi Asapon, sebab tahun Jawa sudah mengalami tiga kali perubahan tahun yaitu, anjumgi (tahun Alip mulai pada hari Jum'at Legi: ini berlaku hingga tahun 1674), Kemudian Akawon (tahun Alip mulai pada hari Kamis Kliwon: ini berlaku mulai tahun 1675 hingga tahun 1748). Lalu Aboge (tahun Alip mulai pada hari Rabu Wage: ini berlaku mulai tahun 1749 hingga tahun 1866).  Setelah itu sejak tahun 1867 hingga sekarang semua tahun Alip mulai pada hari Selasa Pon (prinsip Asapon) Kedua, sedangkan secara teoritis ghalibiyyah Penanggalan Aboge adalah termasuk hisab Urfi, dan hisab Urfi sebenarnya tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadhan). Sedangkan secara teoritis ghalibiyah yang dapat untuk dipergunakan untuk masalah ibadah, adalah hisab hakiky baik hisab hakiky taqribi, atau tahqiqi maupun hisab hakiki kontemporer, Sebab menurut sistem ini umur bulan Sya'ban tetap yakni 29 hari sedangkan bulan Ramadhan juga tetap 30 hari.


Referensi :
A.D. Elmarzdedeq, Parasit Aqidah, Yayasan Ibnu Ruman : Bandung. tt.
Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 286.
Al-Taftazani, Abul Wafa al-Ghanimi, Sufi dari Zaman Ke Zaman, Bandung: Pustaka, 1997.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001.
Dawanas N, Djoni dan Purwanto. Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal-Seminar Ilmu Falak di Planetarium dan Observatorium. Jakarta. 1994.
Denny, Frederick Mathewson, “Ritus Penguburan” dalam John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1996.
Doyodipuro,  Ki Hudoyo,  Horoskop Jawa Misteri Pranata Mangsa, Dahara Prize : Semarang, 2002
Elliade, Mircea, “Hakikat yang Sakral” dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, Jakarta : 1996.
Herusatoto, Budiono,  Banyumas : Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, LKiS : Yogyakarta, 2008.
John R. Bowen, “Agama Rakyat di Asia Tenggara” dalam sub “Penyembuhan” pada John L. Esposito (ed), The Oxford Enxyclopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1996.
Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Budaya, Rineka Cipta : Jakarta cet. VIII tahun 2002.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
MC, Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa,  Penerbit Narasi : Yogyakarta, 2010
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya : Bandung, 2006.
Nasr, Sayyed Hossein, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1994.
Rahyono, FX, Kearifan Budaya Dalam Kata, Penerbit Wedatama Widya Sastra : Jakarta, 2009
Ridhwan, Islam Blangkon : Studi Etnografi Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, dalam Jurnal Istiqro’, Departemen Agama Republik Indonesia-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Volume 07, Nomor 1, 2008,
Romdon, Ajaran Antologi Aliran Kebatinan, PT Rajagrafindo Persada :   Jakarta, cet. 1 Tahun 1996.
Santosa, Imam Budi, Nasihat Hidup Orang Jawa, Penerbit Diva Press : Jogjakarta, 2010
Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K. : Djakarta, 1955.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Sholihin, Muhammad, Ritual Kematian Islam Jawa, Penerbit Narasi : Yogyakarta, 2010
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor, 2001.
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana : Jakarta, 2006.
Suryanegara, Mansur, Api Sejarah 1 dan 2.  Salamadani, Bandung : 2009.  
Uways, Abdul Halim,  Fiqh Statis dan Dinamis, Pustaka Hidayah : Bandung, 1998.
Van Bruinessen, Martin, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan : Bandung, 1996.




[1] Lihat Prof. DR. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, Jakarta : 1996. Lihat pula Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah.  Salamadani, Bandung : 2009.  
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001, hal. 193.
[3] Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K. : Djakarta, 1955. Jilid I hal. 155.  
[4] Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.
[5] Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
[6] Ridhwan, Islam Blangkon : Studi Etnografi Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, dalam Jurnal Istiqro’ Volume 07, Nomor 1, 2008, Departemen Agama republic Indonesia-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. Hal. 9.  
[7] Wawancara dengan Bapak Sopani Kuncen Makam Eyang Mustolih di Desa Cikakak, Wangon, Banyumas pada September 2010
[8] Wawancara dengan Bapak Supandi, Kayim (Ketua) Jama’ah Islam Abogepada September 2010
[9] Wawancara dengan Pak Madgaswin Oktober  2010
[10] Wawancara dengan Pak Madgaswin September 2010
[11] Wawancara dengan Ust. Amirudin Kadar pada Desember 2010
[12] Sebagai perbandingan Jama’ah Islam Aboge di Wonosobo dan Banyumas masih menjadikan ritual semedi sebagai salah satu bentuk peribadahan mereka. 
[13] Wawancara dengan Bapak Madgaswin pada September 2010.
[14] Wawancara dengan Bapak Abu Sujak, tokoh Islam di Ujungmanik pada September 2010
[15] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan : Bandung, hal. 16
[16] Sebagaimana disebutkan oleh bapak Warsidi mengenai model tarekat Syatiriyyah.
[17] Wawancara dengan Kayem Hadi Paryono. Pada September  2010
[18] Ridwan, Islam Blangkon (studi etnografis karakteristik keberagamaan masyarakat Kabupaten Banyumas dan Cilacap). STAIN Purwokerto.
[19] Wawancara dengan Juru Kunci Makam Cikakak pada September 2010
[20]Wawancara dengan Bapak Warsidi (Pidin)
[21] Dituturkan oleh Ibu Tuniyah yang menikah dengan Bapak Kasan.
[22] Wawancara dengan Ibu Muntasiyah paad Desember 2010
[23] A.D. Elmarzdedeq, Parasit Aqidah, Yayasan Ibnu Ruman : Bandung. tt.
[24] Muhammad Sholikhin,  Ritual Kematian Islam Jawa, Penerbit Narasi : Yogyakarta, 2010. Hal. 156
[25] Wawancara dengan Kayem Supandi pada Sepetember 2010
[26] Sebagaimana disebutkan oleh kepala Desa Ujungmanik bapak Supardan pada Lebaran 2010
[27] Wawancra dengan Pak Madgaswin pada September 2010
[28] Wawancara dengan tokokh muda Ujungmanik Ust. Amirudin Kadar pada Desember 2010
[29] Wawancara dengan Bapak Warsidi (Kaki Pidin) tokoh desa Ujungmanik
[30] Wawancara dengan Bapak Sujarmin HP Tokoh intelektual desa Ujungmanik

1 komentar:

  1. Assalamu’alaikum wr wb salam kenal Abdurrahman M, saya H Bakri Syam dari pakanbaru riau, setelah saya simak paparan di atas tampaknya perhitungan Islam ABOGE ada persamaan dengan perhitungan rasullulah saw, tetapi ada perbedannya yg saya ketahui diantaranya : 1) tahun 1 bukan huruf Alif tetapi huruf Ha. 2) sebab mulai membilang dari nol. uruf tahu yg ke 7 bukan jin 3 tetapi urufnya Dal 4 . yg mau saya tanyakan ,apa dasar perhitungan / landasannya kok dapat ketetapan seperti itu, dari saya seperti ini :
    ” Telah berkata Rasulullah SAW:
    “Aku lihat dimalam Israk denganku akan sej umlah kalimat di tiang Arasy sebagai berikut : “Allahul Hadi” satu kali, “Hudallah” lima kali, “Jamalul Fi’li” tiga kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali, “Dinullah” empat kali, “ Badi ussamawati walArdhi” dua kali, “Wailun liman asha” enam kali
    , “Dinullah” empat kali, “Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali, “Jamalul fi’li” tiga kali, “Hudallah” lima kali, “Wailun Liman asha” enam kali, “allahul hadi” satu
    kali,“Ba’di’ussamawati” dua kali ,“Dinullah” empat kali,“Hudallah” lima kali, Zara’allahu Zar’an bilabazrin” tujuh kali,“Allahul Hadi” satu kali “Jamalul Fi’li”tiga kali.”
    Berkata Rasulullah SAW:
    “Ambil olehmu awal kalimat yang delapan pertama menjadi huruf Tahun dan awal kalimat yang sebanyak dua belas kedua menjadi huruf Bulan, maka himpunlah huruf tahun dengan huruf bulan, artinya jumlahkanlah, maka mulailah membilang dari hari Rabu atau Kamis , dan dihari mana sampai bilangan, maka hari itu adalah awal bulan itu
    ”, dan Rasulullah SAW berkata:

    “Takwim adalah jalanku, selain puasa Ramadhan”.

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...