Selasa, 22 Mei 2012

Kemajuan Politik Daulah Abbasiyah


Oleh : Ahmad Zaki

Sebenarnya jika dilihat watak politik dinasti Abbasiyah, tidak jauh berbeda dengan dinasti Umayyah, yaitu absolutisme atau pemerintahan yang mutlak di tangan khalifah dan bersifat tidak terbatas.[1] Pengambil alihan tradisi ini berlangsung sejak masa awal pembentukan dan perkembangan dinasti Abbasiyah. Salah satu simbol absolutisme itu adalah kehadiran “tukang jagal” dan pengawal para penguasa yang selalu siap dengan pedangnya untuk mengeksekusi orang-orang yang menolak perintah dan kemauan khalifah. Selain itu “pembersihan etnis” umayyah juga semakin menegaskan citra absolutisme ini. Namun yang paling jelas adalah prinsip suksesi atau pergantian kepemimpinan yang bersipat monarki. Secara praktis, pemimpin yang berkuasa akan menunjuk sebagai penggantinya seorang anak anak saudara yang dia anggap cakap dan tepat. Sistem monarki ini di praktikan pertama kali dalam Islam oleh Muawiyah yang menurut para sejarawan di adopsi dari tradisi Persia dan Byzantium.
Namun tentunya hal ini bukanlah indikator kemajuan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Namun yang menjadi indikator kemajuan dalam bidang administrasi dan politik adalah adanya peran atau sosok Wazir (perdana menteri) yang tugasnya banyak dipengaruhi oleh tradisi Persia.[2] Kewenangan seorang Wazir sangatlah luas. Ia mengordinasi dan mengawasi semua departemen-departemen yang ada dalam pemerintahan. Wazir dalam hal ini adalah tangan kanan khalifah. Ketika keluarga Barmak menguasai jabatan ini, ia berhak mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah dan hakim, tentunya atas persetujuan khalifah.[3]
Jabatan Wazir pada masa awal dipercayakan kepada keluarga Barmak yang dalam pemerintahan Abbasiyah memegang peranan penting. Selain wazir, jabatan penasihat khalifah serta sebagai pendidik keluarga istana pernah dipegang oleh keluarga ini. Namun pada masa Harun al-Rasyid hubungan istana dengan keluarga Barmak ini berubah tragis. Mereka menjalani hukuman yang berat yaitu hukuman mati. Kebijakan Harun melenyapkan keluarga Barmak ini dilatarbelakagi oleh[4] :
1.      persaingan merebut popularitas politis di mata rakyat
2.      dominasi keluarga Barmak terhadap unsur-unsur ekonomi dan pendapatan daerah serta ada indikasi penyimpangan (korupsi).
3.      keberpihakan mereka terhadap kelompok Syi’ah
4.      persaingan antar etnis Arab dan Persia
5.      campur tangan mereka dalam tiap wewenang khalifah, sehingga khalifah meresa kebijakannya dilangkahi.

Secara teknis urusan pemerintahan dalam Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi beberapa departemen : 1) Diwan al-Rasa’il (Kearsipan) 2) Diwan al-Kharaj (perpajakan), 3) Biro Keuaangan (untuk menggaji PNS, Militer dan Pensiunan) 4) Diwan al- Jaysh (militer). Kemudian untuk mengordinasi tugas depertemen, wazir mengangkat sekretaris masing-masing depertemen. Untuk mengontrol departemen, al-Mahdi mulai memperkenalkan lembaga-lembaga pengawas. Diantaranya adalah 1) Diwan al-Zimam yang mengawasi keuangan, 2) Diwan al-Tauqi yang mengawasi kearsipan, 3) Diwan al-Nazhar fi al-Mazhalim yang mengawasi pengadilan, atau sebanding dengan pengadilan tingkat banding. Selain itu juga ada Biro Pos yang pada masa Umayyah telah ada, namun atas saran penasihat dari keluarga Barmak, Yahya, layanan pos didasarkan atas pola baru. Selain itu juga ada Kepolisian (Diwan al-Syurthah).[5]
Bila ditelusuri dengan seksama kemajuan administrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah didukung oleh minimal 2 faktor. Pertama, tingkat ekonomi yang mapan, kedua pengaruh orang-orang Persi yang terlibat dalam jabatan-jabatan penting. Kedua faktor tersebut mempunyai kekuatan yang sama dalam mempengaruhi kemajuan sistem administrasinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, peran orang-orang keturunan bangsa Persia tersebut semakin mendominasi hampir sebagian besar jabatan penting Dinasti Abbasiyah. Sehingga masa Dinasti Abbasiyah sering disebut dengan masa “Persianisasi” atau “masa lenyapnya supremasi bangsa arab”[6].
Sedangkan bisa dilihat dari bentuk administrasinya, pada Dinasti Abbasiyah ini mempunyai 2 corak. Satu sisi, merupakan kelanjutan dari sistem administrasi yang sudah ada pada masa Umayyah. Sisi yang lain merupakan penyempurnaan sistemnya. Maka muncullah istilah wazir --sebagaimana yang telah disebutkan diatas-- yang diadopsi dari sistem pemerintahan imperium sasanid (Persi Kuno).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Lamanya Durasi Waktu Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana dikemukakan diatas, masa kejayaan klan atau dinasti Abbasiyah adalah pada periode pertama.[7] Yaitu pada masa Abu al-Abbas, Abu Ja'far al-Manshur,  al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).  Dalam catatan sejarah diinformasikan bahwa setelah masa al-Mutawakkil, para khalifah Abbasiyah adalah khalifah-khalifah yang lemah dan berkuasa secara de jure dan simbolik sebagai pemersatu umat (pemimpin spiritual) saja, sedangkan yang berkuasa secara de facto adalah tentara-tentara yang berasal dari Persia (bani Buwaihiyah) dan Turki (bani Saljuk). Merekalah yang mengangkat, memberhentikan, menyiksa dan bahkan membunuh khalifah.
Namun ada satu ganjalan pertanyaan besar, jika yang berkuasa secara de facto atau secara penuh mengendalikan pemerintahan adalah dua dinasti yang pernah menganeksasi abbasiyah, kenapa mereka tidak memproklamirkan diri sebagai khalifah, atau menunjuk keturunan mereka (bani Buwaih atau bani Seljuk) sebagai khalifah, padahal mereka mempunyai kuasa penuh secara politis sampai-sampai merekalah yang mengangkat, memberhentikan, menyiksa dan bahkan membunuh khalifah dari bani Abbas?
Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh faktor keyakinan yang dianut masyarakat pada waktu itu yang didasarkan pada teks hadis yang terjemahnya kurang lebih berbunyi :”dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini orang Quraish selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja” (Hadis riwayat Bukhari). Atau yang  tentang keharusan seorang pemimpin dari suku Quraisy (al-A’imatu min Quraisy-Hadis riwayat Ahmad).[8] Pengaruh keyakinan yang berdasar pada pemahaman tekstual terhadap hadis inilah yang nampaknya mereka (bani Buwaih dan bani Seljuk) tidak berani memproklamirkan diri sebagai khalifah, karena bertentangan dengan keyakinan. Selain itu juga dapat menimbulkan konfrontasi atau resepsi yang negatif dari masyarakat.
Selain itu ada juga faktor yang nampaknya mempengaruhi panjang masa Daulah Abbasiyah. Menurut Philip K. Hitty, adalah karena adanya dinasti-dinasti kecil yang “loyal” di sekeliling Bagdad yang berfungsi sebagai “Negara Penyangga”, dimana ketika ada serangan dari pihak luar, maka sebelum penyerang tersebut masuk Bagdad, harus berhadapan dengan dinasti-dinasti kecil tersebut, sehingga Bagdad sebagai pusat pemerintahan relatif aman.
Ada juga faktor lain yang dapat diajukan disini, yaitu bahwa pemerintahan dapat meredam atau meminimalisir atau bahkan melenyapkan usaha-usaha yang mengarah pada “kudeta” atau pemberontakan dari dalam atau masyarakat Bagdad, dengan cara mengayomi kepentingan-kepentingan masyarakat. Namun faktor terakhir ini masih harus dibuktikan validitasnya.


[1] Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Conscience and History in A World Civilization, (Chicago: t.p., 1974), hlm. 281
[2] Hitti, History…, hlm. 397
[3] Ibid
[4] lihat latar belakang penumpasan keluarga Barmak oleh Harun al-Rasyid dalam Ibn Khaldun, Muqadimah…., hlm. 23-25
[5] Ibid., hlm. 401-403
[6] Jurjy Zaidan, History of Islamic Civilization, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), h. 142.
[7] Lihat Diagram 2 tentang masa keemasan Dinasti Abbasiyah dalam lampiran di makalah ini.
[8] Lihat analisis mengenai kedua hadis ini dalam Nizal Ali, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CeSAD YPI al-Rahmah, 2001), hlm. 85-91; menurut Nizal Ali hadis ini lebih tepat dipahami secara kontekstual dengan pendekatan sosiologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...