Senin, 07 Mei 2012

Macam-macam Mashlahat


Oleh : Imam Yazid, MA

Mashlahat yang ingin dicapai itu bisa terbagi kepada beberapa macam berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Amir Syarifuddin menguraikannya sebagai berikut:[1]
1.    Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah ada tiga macam:
a)  Mashlahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia tidak memiliki arti bila lenyap salah satu saja dari lima pokok yang mesti dipelihara itu. Segala usaha yang menjamin terpeliharanya lima pokok itu adalah mashlahat dalam tingkat dharuri, karena itu Allah memerintahkan pelaksanaan usaha itu. Setiap hal yang menyebabkan kemusnahan atau kerusakannya adalah keburukan, karena itu Allah melarangnya. Dengan demikian Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang zina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b)  Mashlahah Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang tingkat kebutuhan manusia padanya tidak berada pada tingkat dharuri. Ia tidak secara langsung memenuhi kebutuhan dasar lima pokok yang lima tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Misalnya dalam bidang ibadah diberi keringanan qashar shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar diatas.
c)  Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia. Misalnya dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.
2.    Dari segi keserasian dan kesejalanan ( المناسب ) anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, mashlahah terbagi kepada tiga macam:
a)  Mashlahah Mu’tabarah ( المصلحة المعتبرة ), yaitu kemaslahatan yang diperhitungkan oleh Syari’. Maksudnya ada petunjuk dari Syari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk pada adanya kemaslahatan yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung-tidak lansungnya petunjuk terhadap kemaslahatan tersebut, mashlahah terbagi dua:
1)    Munasib Muatstsir ( المناسب المؤثر ), yaitu ada petunjuk langsung dari Syari’ yang memperhatikan kemaslahatan itu.
2)    Munasib Mulaim ( المناسب الملائم ),  yaitu tidak ada petunjuk langsung dari Syari’ baik dalam bentuk nash atau Ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap kemaslahatan tersebut, namun secara tidak langsung petunjuk itu ada.
b)  Mashlahah Mulghah ( المصلحة الملغاة ), yaitu kemaslahatan yang ditolak. Kemaslahatan ini dianggap baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh kemaslahatan itu. Misalnya syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual pada siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (Muttafaq Alaih). Yahya ibn Yahya Al-Laits (Ahli fiqh Maliki di Andalusia), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa Spayol yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasul diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini disebut mashlahah mulghah.[2]
c)  Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة ), yaitu sesuatu yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah mu’tabarah, sebagaimana mereka juga sepakat dalam menolak mashlahah mulghah. Adapun penggunaan metode mashlahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan di kalangan ulama.
Wahbah al-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan mashalih mursalah, berikut syarat-syarat tersebut:[3]
1.    Maslahat tersebut harus sesuai dengan tujuan syariah, tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
2.    Maslahat tersebut harus bisa diterima oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat secara pasti, bukan hanya berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya penerapan maslahat tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan menghindarkan dari bahaya.
3.    Maslahat yang dihasilkan harus berlaku umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan oleh individu atau kelompok tertentu. Hal ini karena hukum syara’ diterapkan untuk seluruh umat manusia. Dari sini, tidak sah penerapan kemaslahatan yang hanya berlaku bagi pemimpin, keluaga dan orang dekatnya saja.
Banyak sekali contoh penggunaan mashlahah mursalah, terutama dalam melayani dan mengurus masyarakat. Misalnya adalah peraturan lalu lintas, keberadaan lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.[4] Adanya cara berijtihad dengan mashlahah mursalah ini menyebabkan hukum Islam bisa menampung permasalahan baru namun tidak kehilangan identitasnya. Dengan kata lain, hukum Islam akan mengarahkan kehidupan masyarakat kepada prnsip-prinsip umumnya di satu sisi dan di sisi lain akan menyerap kenyataan-kenyataan dan perubahan-perubahan yang sifatnya kondisional yang terus terjadi sepanjang masa.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hh. 348-354.
[2] Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 87.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-islami, juz ii (Damaskus: Dar al-Fikri, 1986), h. 799-800.
[4] A. Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2010), h. 87.

2 komentar:

  1. Dharuriyah al-Sittah, agama, jiwa, harta, keturunan, akal, dan kehormatan. Bagaimana menurut akhi...

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...