Rabu, 09 Mei 2012

Metode Ijtihad Shahabat


Oleh : Abdurrahman MBP

Ijtihad bukanlah kata yang asing bagi umat Islam, ia menjadi satu term dan metode dalam menggali hukum Islam. Sejak generasi awal umat Islam ijtihad telah dikenal dan dijadikan satu cara dalam menghasilkan satu hukum dalam syariat Islam. Hanya saja ijtihad yang dilakukan pada setiap generasi akan memiliki perbedaan-perbedaan sesuai dengan kondisi sosial di mana seorang muhtahid itu berada. Misalnya saja ijtihad yang dilakukan oleh cendekiawan di abad ini akan berbeda jauh dengan ijtihad yang dilakukan oleh para Imam Madzhab, demikian juga akan berbeda dengan ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi.
Sesungguhnya ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh para mujtahid sesudahnya. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa mereka hidup bersama dengan nabi dan hidup di bawah lindungan wahyu. Dalam hal ini ijtihad yang mereka lakukan seringkali mendapatkan justifikasi langsung dari Nabi atau bahkan dari Allah ta’ala.

Pemahaman shahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits
Pada dasarnya ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi adalah karena pemahaman mereka yang berbeda-beda terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perbedaan ini muncul karena beberapa sebab, misalnya pemaknaan bahasa teks yang memiliki makna ganda contohnya kata-kata quru’ dalam Al-Qur’an. Selain itu juga pemahaman mereka terhadap penafsiran dalam Al-Qur’an dengan menggunakan syair-syair Arab juga menjadi satu metode yang digunakan oleh para shahabat.
Perbedaan-perbedaan pemahaman dan pemaknaan para shahabat muncul pada beberapa ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang memiliki kata-kata khusus. Hal ini terjadi pada teks Al-Qur’an yang tidak memiliki penafsiran dari ayat lainnya atau sebuah hadits yang memiliki makna yang tidak diketahui oleh para shahabat, sehingga mereka mencari pada beberapa syair-syair Pra-Islam dan pendekatan bahasa serta sosial budaya pada waktu itu. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an para shahabat menafsirkan dengan ayat yang lainnya. Abdullah bin Abbas misalnya menafsirkan ayat “Dua kematian dan dua kehidupan” dalam QS Ar-Rum : 40 dengan merujuk QS Al-Baqarah : 28. Dalam perkembangan berikutnya metode ini dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lainnya atau dengan riwayat dari Nabi.
Adapun pemahaman shahabat terhadap hadits-hadits Nabi juga berbeda-beda sesuai dengan ukuran pemahaman mereka masing-masing. Dari sinilah muncul ijtihad yang bersumber dari pemahaman mereka terhadap hadits Nabi. Di antara peristiwa yang masyhur adalah tentang sabda nabi “Jangan ada yang shalat kecuali di perkampungan Bani Quraidzah”mendengar sabda ini sebagian shahabat menunda shalat mereka hingga sampai ke perkampungan bani Quraidzah, sementara sebagian yang lain melaksanakan shalat ketika masuk waktu walaupun belum sampai ke tempat yang disebutkan oleh Nabi tersebut.
Walaupun para shahabat Nabi melakukan ijtihad, namun ijtihad mereka akan senantiasa dikoreksi langsung oleh Nabi. Hal ini terjadi ketika beliau masih hidup, adapun ketika beliau wafat maka para shahabat melakukan ijtihad sesuai dengan tingkat keilmuan mereka masing-masing. Ranah ijtihad yang dilakukan para shahabat terjadi pada hal-hal yang bersifat hukum-hukum taklifi, adapun pada masalah I’tiqadi maka sudah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam secara sempurna.

Metode Ijtihad Shahabat
Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat didasarkan kepada beberapa konsep yang telah dicontohkan secara eksplisit dan implisit oleh Nabi, diantaranya adalah penggunaan Ra’yu, Istishlah, Qiyas dan ijma’ (Kesepakatan bersama). Penggunaan ra’yu atau akal pada masa shahabat terjadi pada peristiwa-peristiwa yang belum terjadi sebelumnya. Demikian juga pada permasalahan yang mengalami perkembangan sehingga diperlukan adanya satu hokum baru sebagai jawaban dari permasalahan yang berkembang tersebut. Ra’yu atau pendapat para shahabat seringkali didasarkan pula pada kondisi social yang terjadi di masyarakat, misalnya ijtihad Umr bin Khattab yang tidak memberikan harta zakat kepada Mualaf, sebelumnya juga Abu bakr menafsirkan kata kalalah dengan seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris baik anak ataupun orang tua. Pendapat Abu Bakar ini didasarkan pada pemahamannya terhadap ayat tersebut, tentu ini adalah hasil dari ijtihadnya sendiri.
Penggunaan metode mashlahah digunakan oleh para shahabat pada hal-hal yang tidak ada nash yang mengatur hal tersebut. Maksud dari mashlahah adalah kebaikan yang ada pada suatu masalah yang tidak dissebutkan dalam teks wahyu. Metode ini sering juga disebut dengan istilah istishlah. Ciri dari metode ini adalah kemashlahatan yang harus ditegakkan untuk kepentingan seluruh umat Islam. Sebagai contoh tindakan yang dilakukan oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an karena beliau menganggap ini sebagai tindakan yang mendatangkan kemashlahatan bagi seluruh umat Islam. Demikian pula beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagi pengganti kekhalifahan beliau, walaupn hal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi. Peristiwa besar yang sangat fenomenal dan didasarkan kepada mashlahat umat adalah kebijakan dari Utsman bin Affan membakar mushaf yang tidak sesuai dengan mushaf ini, tindakan ini dilakukan agar umat Islam tidak berpecah belah dan berbeda-beda dalam kitab sucinya.
Penggunaan Qiyas dalam ijtihad para shahabat dilakukan atas dasar persamaan peristiwa yang terdapat teks-nya dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dengan membandingkan antara dua peristiwa tersebut. Penggunaan Qiyas oleh para shahabat didasarkan pada jawaban Nabi atas pertanyaan Umar bin Khattab mengenai seseorang yang mencium istrinya dalam keadaan berpuasa. Maka nabi menyatakan dengan “bagaimana jika engkau berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa?” dari hadits ini sebagian besar shahabat memahami bahwa penggunaan analogi (qiyas) dibenarkan oleh Islam.
Selanjutnya metode pendekatan dalam berijtihad yang dilakukan oleh para shahabat adalah dengan ijma’ yaitu kesepakatan yang terjadi di antara sebagian besar mereka. Pendekatan ini didasarkan pada firman Allah ta’ala dalam QS An-Nisaa : 59 yang bermakna bahwa setiap kesepakatan umat Islam maka menjadi satu hukum tersendiri. Para ulama menempatkan ijma menjadi sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menempatkannya di atas Qiyas dan Istishlah. Di antara syarat penting dalam suatu ijma’ adalah kesepakatan yang terjadi di antara shahabat, misalnya kesepakatan mereka mengangkat Abu bakar sebagai khalifah pengganti Nabi. Demikian juga kesepakatan umat untuk tidak membagikan tanah dari penaklukan.

Antara Tekstual dan kontekstual
Jika kita menelisik karakteristik ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat maka tanpak bahwa ada dua madzhab yang digunakan dalam proses ijtihad mereka, yaitu ijtihad dengan menggunakan pendekatan naqli dan ijtihad dengan pendekatan aqli. Pendekatan naqli yaitu lebih mengutamakan riwayat dari pada logika, sementara pendekatan aqli lebih mengedepankan logika (akal) daripada wahyu. Kedua metode ini memiliki pengaruh yang sangat kuat pada masa-masa sesudahnya. Para shahabat yang lebih mengutamakan naqli diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Ubay bin ka’ab dan beberapa shahabat lainnya. Masa-masa berikutnya para pengikut metode ini dikenal dengan istilah ahli hadits yang dimotori oleh Imam Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal. Sementara Umar bin khattab, Abdullah bin Mas;ud dan Muadz bin jabbal lebih dikenal dengan pendekatan logikanya, sehingga pada masa berikutnya muncul istilah ahli ra’yu yang dipelo;ori oleh Abu Hanifah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...