Kamis, 17 Mei 2012

Pendidikan Rabbaniyah Di Masa Rasulullah


Oleh : Abu Abdissalam

Rasulullah saw adalah guru dan pendidik seluruh manusia, bahkan guru dan pendidik terbaik seumur zaman. Rasulullah saw mendeklarasikan dirinya sebagai seorang mu`allim atau seorang guru yang merupakan tugas yang diembannya dari Allah Swt.[1] Rasulullah saw bersabda:
`Abdullāh Ibn 'Amr ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari salah satu kamarnya dan masuk ke dalam masjid. Lalu beliau menjumpai dua halaqah, salah satunya sedang membaca Al Qur`an dan berdo'a kepada Allah, sedang yang lainnya melakukan proses belajar mengajar. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: \"Masing-masing berada di atas kebaikan, mereka membaca Al Qur`an dan berdo`a kepada Allah, jika Allah menghendaki maka akan memberinya dan jika tidak menghendakinya maka tidak akan memberinya. Dan mereka sedang belajar, sementara diriku diutus sebagai pengajar, \" lalu beliau duduk bersama mereka. (Hr. Ibn Majah)[2]
Sebagai seorang murabbī bagi manusia, Rasulullah saw dibekali Allah swt dengan beberapa kompetensi, yang merupakan keharusan untuk dimiliki agar berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi-kompetensi ini dapat dibagi menjadi 5 jenis[3]:
1.    Kompetensi Nama
Rasulullah saw memiliki beberapa nama yang bukan hanya berfungsi sebagai tanda pengenal, tetapi di dalamnya terkandung sifat-sifat yang menunjukkan terpuji dan sempurnanya Rasulullah saw.[4]
Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad, al-Māhi yang maknanya dengankulah Allah menghilangkan kekafiran. Aku juga adalah al-Hāsyir, yang maknanya manusia dibangkitkan di atas telapak kakiku. Dan aku juga al 'Āqib.\" (Hr. Bukhari)[5]
Dalam sebuah hadis disebutkan:
"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.., \" (Al Fath: 8). Sama dengan ayat yang ada di dalam Taurat berbunyi: \"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan pelindung bagi orang-orang `Arab, kamu adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku, dan Aku menamaimu Al Mutawakkil (orang yang bertawakkal tinggi). Engkau bukan orang yang berperangai buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan sakhkhob (orang yang cerewet, berteriak keras-keras) di pasar.\" Dan beliau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan serupa akan tetapi beliau mema'afkan dan mengampuninya, dan Allah tidak akan mewafatkan beliau sampai beliau meluruskan Millah (dien) Nya yang bengkok, hingga manusia mengucapkan Lā Ilāha IllAllāh, sehingga dengannya beliau dapat membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai.\" (Hr. Bukhari)[6]
Nama lainnya adalah Ahmad, seperti diceritakan oleh Nabi `Isa as kepada kaumnya. Dia juga bernama al-`Āqib (yang datang belakangan), al-Hāsyir (yang menumpulkan) dan al-Māhi (yang menghapus). Nama al-Māhi, al-Hāsyir, al-Muqaffī, dan al-`Āqib telah ditafsirkan di dalam hadis Jubair Ibn Muth`īm.[7]
2.    Kompetensi Nasab
Kehormatan dan kebersihan nasab atau garis keturunan Rasulullah saw yang dilahirkan dari kabilah terhormat di Bangsa Arab dijelaskan langsung oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah swt memilih Kinānah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinānah, memilih Banī Quraisy dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Banī Hāsyim”. (Hr. Muslim)[8]
Nama Rasulullah saw secara lengkap keturunannya adalah Muhammad Ibn `Abdullāh Ibn `Abd al-Muththalib Ibn Hāsyim Ibn `Abd al-Manāf Ibn al-Qushai Ibn Kilāb Ibn Murrah Ibn Ka`ab Ibn Luay Ibn Ghālib Ibn Fihr Ibn Mālik Ibn al-Nadhar Ibn Kinānah Ibn Khuzaimah Ibn Mudrikah Ibn Ilyās Ibn Mudhar Ibn Nizār Ibn Ma`ād Ibn `Adnān.[9]
Abû Sufyān mengakui di hadapan Heraklius tentang ketinggian dan kemuliaan nasab Rasulullah saw, ketika ditanya: “Bagaimana nasabnya di kalangan kalian?”, Abû Sufyān menjawab: “Dia di kalangan kami memiliki nasab (yang baik)”, Heraklius berkata: “Begitulah para Rasul diutus pada nasab kaumnya”.[10]
3.    Kompetensi Khalq
Maksud dari arti khalqiyah adalah bentuk lahir atau fisik yang Allah Swt ciptakan dalam diri Rasulullah saw[11]. Dalam bentuk fisik dan lahir ini, kepribadian Rasulullah saw memiliki dua kesempurnaan dan kematangan, yaitu:
a.       Panca indera yang baik, anggota tubuh yang sempurna dan akal yang cerdas
b.      Bahasa yang lugas dan tegas serta wajah yang memikat[12]
4.                            Kompetensi Khuluq
Kata al-Khalqu, al-Khulqu dan al-Khuluqu pada dasarnya satu arti, akan tetapi kata al-khalqu lebih spesial pada gaya, bentuk dan gambar yang dapat terlihat oleh mata kepala, sedangkan al-Khuluq lebih spesial pada kekuatan dan karakter yang terlihat oleh mata hati.[13]
5.    Kompetensi Adab
Rasulullah saw diberikan anugerah besar oleh Allah swt dengan adab-adab yang amat tinggi. Semua kehidupan beliau dipenuhi dengan adab, yaitu menggunakan semua perkataan dan perbuatan yang terpuji serta memelihara diri dari semua jenis kesalahan.[14]
Rasulullah saw amat beradab kepada Allah swt, Pencipta, Pemilik dan Pengatur urusan semua alam semesta, juga dengan kalam-Nya atau kalimat-kalimat wahyu yang disampaikan kepada nya. Rasulullah saw amat beradab terhadap dirinya sendiri sebagai utusan Allah Swt. Rasulullah saw pun amat beradab kepada semua manusia dan seluruh alam semesta.[15]Sehingga, dalam semua perkataan dan perilaku Rasulullah saw ditemukan semua adab dan tata-krama.
Seluruh ilmuwan (al-`ulamā) bersepakat bahwa materi pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah saw berasal dari wahyu yang berbentuk Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt), yaitu al-Qur`ān serta tafsir dan penerapan Rasulullah saw terhadapnya yang dikenal dengan sunnah.[16]
            Dalam diskursus ilmu metodologi hukum (Ushūl al-Fiqh), materi-materi yang diajarkan Allah Swt sebagai al-Rab dijabarkan oleh Rasulullah saw dalam bentuk tiga hal: 1) memberikan penekanan dan penguat materi-materi wahyu yang terdapat dalam al-Qur`ān, seperti kewajiban shalat dan lain-lain, 2) memberikan penjelasan dan penafsiran materi-materi global wahyu yang terdapat dalam al-Qur`ān, seperti jumlah bilangan shalat, zakat dan lain-lain, serta 3) memberikan materi-materi tambahan yang tidak terdapat dalam wahyu al-Qur`ān yang sama kedudukannya sebagai wahyu.[17]
            Seluruh materi rabbāniyah ini diajarkan oleh Rasulullah saw dalam dua periode kehidupannya, yaitu periode Mekah (selama kurang lebih 13 tahun) dan periode Madinah (selama kurang lebih 10 tahun). [18]
            Jika dilihat dari tugas kenabian dan kerasulan yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur`ān [19], materi-materi pendidikan di masa Rasulullah saw terbagi dalam tiga rumpun berdasarkan tujuan materi masing-masing:
1.    Materi membaca ayat-ayat Allah Swt  (tilāwah al-ayāt)
Pengajaran al-Qur`ān al-Karīm dalam sejarah telah dimulai sangat awal sekali, yaitu setelah Bai`at al-`Aqabah pertama saat Mush`ab Ibn `Umair rda diutus oleh Rasulullah saw sebagai seorang duta guru ngaji al-Qur`ān untuk masyarakat Madinah serta mengajarkan pula hukum-hukum syari`ah. Karena itu pula, Mush`ab Ibn`Umair dikenal dengan julukan “al-Muqrī”.[20]
Ibn Syaibah dan al-Wāqidī meriwayatkan dalam hadits-hadis yang dikumpulkan oleh keduanya tentang hijrah Ibn Ummi Maktûm bahwa saat dia menuju Madinah untuk berhijrah setelah perang Badar, dia sempat singgah di sebuah rumah yang dikenal dengan nama “Dār al-Qurra”, yaitu rumahnya Makhramah Ibn Naufal.[21]
Sejarah jejak pengajaran al-Qur`ān di masa Rasulullah saw dapat ditunjukkan dalam dua bukti:
Pertama, para ahli membaca al-Qur`ān –sejak mula sejarah- telah menjadi sekte sosial yang cukup dikenal.
Kedua, para ahli membaca al-Qur`ān ini memiliki rumah-rumah khusus tempat mereka mempelajarinya.[22]
Bahkan, dengan bahasa yang sangat jelas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk mengambil ilmu membaca al-Qur`ān dari empat orang sahabat yang dikenal, yaitu:
 “Ambillah oleh kalian al-Qur`ān dari empat orang: `Abdullāh Ibn Mas`ûd, Sālim, Mu`ādz dan Ubay Ibn Ka`ab”. (Hr. Bukhāri)[23]
2.    Materi penyucian hati (tazkiyah al-nafs)
Sedangkan artikulasi al-tazkiyah dari dimensi istilah syar`i (terminologis agama), menurut Ahmad Farīd (seorang ulama kontemporer yang sangat konsern dengan pendidikan jiwa) adalah:    
 “Maksud tazkiyah al-nufûs adalah mensucikan dan mengharumkannya, sehingga jiwa selalu siap memperkenankan Tuhannya serta beruntung di dunia dan akhiratnya, sebagaimana Allah Swt berfirman [Sungguh beruntung orang yang mensucikan (mentazkiyah) jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya] (Qs. Al-Syams [91]: 9-10)”.[24]
Materi-materi yang diajarkan Rasulullah saw untuk mentazkiyah jiwa-jiwa sahabatnya menurut hasil kajian para ulama adalah:
a.    Materi Tauhid dan Akidah Keimanan
1)   Seluruh ulama sīrah nabawiyyah –berdasarkan hasil penelitian Muhammad Amhazûn- bersepakat bahwa sejak di Makkah, Rasulullah saw menanamkan materi-materi tauhid dan akidah keimanan kepada manusia. Materi-materi tersebut meliputi: Men-tauhid-kan Allah swt dalam rubûbiyah-Nya, Men-tauhid-kan Allah swt dalam ulûhiyah-Nya, Dua pondasi dasar dibangunnya keta`atan pengabdian kepada Allah swt, yaitu: a) tidak beribadah kecuali kepada Allah swt, dan b) tidak beribadah kecuali dengan syari`atNya yang disampaikan melalui lisan rasulNya. Tauhid mencakup perkataan dan perbuatan, Men-tauhid-kan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatNya. serta Beriman kepada al-yaum al-akhīr (hari akhirat)[25]
b.    Materi Ibadah
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang terkait dengan masalah shalat. Bahkan shalat menjadi pencegah perbuatan keji dan munkar.  (Hr. Al-Nasāi)[26]
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah shaum. (Hr. Muslim)[27]
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah zakat.  (Hr. Muslim)[28]
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah haji. (Hr. Muslim)[29]
c.    Materi Akhlak dan Adab
Materi akhlak di masa Rasulullah saw berisi pada dua bahasan utama yaitu: (a) menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji (al-akhlāq al-mahmûdah), dan (b) membuang akhlak-akhlak tercela (al-akhlāq al-madzmûmah).
Pada akhlak-akhlak terpuji, Rasulullah saw mengajarkan akhlak-akhlak sebagai berikut[30]: Sabar, Tawakkal, Adil, Kasih sayang, Malu, Jujur, Derma, Rendah hati
Pada akhlak-akhlak tercela Rasulullah saw melarang akhlak-akhlak sebagai berikut:Dzalim, Hasad, Menipu, Ujub dan Tertipu, Lemah dan Malas.
d.   Materi Doa dan Zikir
Dalam Pendidikan rabbaniyah di masa Rasulullah saw, materi-materi dalam rumpun tazkiyah adalah materi-materi yang tidak terpisah satu dengan lainnya, karena di rumpun inilah materi-materi pembentukan karakter rabbāniyah berpusat dan berputar. Rasulullah saw mengajarkan aqidah keimanan melalui ibadah, akhlak atau adab dan do`a, mengajarkan ibadah melalui aqidah keimanan, akhlak atau adab dan doa, mengajarkan akhlak atau adab melalui aqidah keimanan, ibadah dan doa, serta mengajarkan doa melalui aqidah keimanan, ibadah, akhlak atau adab.[31]
Rasulullah saw mengajarkan bahwa salah satu syarat diterimanya doa seorang hamba adalah memakan makanan yang halal, karena Allah swt adalah Zat Yang Maha Thayyib (baik), sehingga tidak menerima satu doa yang dipanjatkan kepada-Nya kecuali dari orang yang thayyib dan yang memiliki perilaku yang thayyib.[32]
3.    Materi ta`līm al-Kitāb dan al-hikmah
Rasulullah saw mengaitkan semua peristiwa sejarah, alam dan sosial kemasyarakatan dengan dasar-dasar keimanan kepada yang gaib, ibadah dan akhlak yang mulia. Rasulullah saw mengajarkan bahwa peristiwa kusuf (gerhana matahari) dan khusuf  (gerhana bulan) terkait dengan keagungan dan kekuasaan Allah swt, bukan karena takhayyul kematian seseorang atau mistik karena ada peristiwa bencana dan lain-lain..\"[33]

Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
1.    Pendekatan Hikmah (Kebijaksanaan).
Dalam pendekatan hikmah, Rasulullah saw menerapkan metode pendidikan yang sangat memperhatikan unsur-unsur dasar antara lain:
a.    Memperhatikan tadarruj (tahapan) pembelajaran.[34]
b.    Menjaga etika berkomunikasi dan mengajak berbicara setiap orang sesuai dengan kadar pemikiran mereka..[35]
c.    Menjaga maslahat dan menolak mudarat..[36]
d.   Menjaga Aulawiyāt (prioritas).[37]
e.    Menjaga waktu. Rasulullah saw sangat memperhatikan waktu mengajar dan belajar agar tidak membosankan para sahabatnya.[38]
f.     Menjaga Perencanaan dan Manajemen pendidikan.[39]
2.    Pendekatan Mau`idzah Hasanah (Nasehat yang Baik)
a.       Metode Kisah
b.      Metode Dharb al-Amtsāl
c.       Metode Targhīb dan Tarhīb
d.      Metode Uswah atau Qudwah
e.       Metode Tafakkur dan Tadabbur atau Tadzakkur.
f.       Metode Soal-Jawab
g.      Metode Amr Ma`rûf dan Nahi Munkar
h.      Metode Ta`wīd (Pembiasaan)
i.        Pendekatan Jidal Bi al-Lati Hiya Ahsan (Diskusi Terbaik)
Dalam menjalankan misi pendidikan, untuk melihat tingkat atau kadar penguasaan sahabat terhadap materi pelajaran, Rasulullah saw juga mengevaluasi sahabat-sahabatnya. Dengan mengevaluasi sahabat-sahabat, Rasulullah saw mengetahui kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam menjalankan tugas.[40]
Unsur-unsur muhasabah yang dijalankan oleh Rasulullah saw berada di seputar indikator iman dan kufur, di mana dengan indikator-indikator iman seseorang dapat meraih derajat kemuliaan dan dengan indikator kufur seseorang mendapatkan derajat kehinaan.


[1]     Muhammad Ibn `Abdullāh al-Duwesy, al-Mudarris wa Mahārāt al-Taujīh, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet ke-4, hlm. 22
[2]     Muhammad Ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Bāb Fadhl al-`Ulamā wa al-Hats `alā Thalab al-`Ilm, Juz. I, hlm. 88, Nomor: 229
[3]     Disarikan dari beberapa sumber, antara lain: 1) Rasyīd Manshûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008, Cet ke-1, hlm. 63-78, 2) Muhammad Ibn `Īsā al-Tirmidzī, al-Syamāil al-Muhammadiyah wa al-Khashāish al-Mushthafawiyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. 3) Shālih Ibn `Abdullāh Ibn Humaid dan `Abd al-Rahmān Ibn Muhammad Ibn `Abd al-Rahmān Ibn Mallûh, Mausû`ah Nadhrah al-Na`īm Fī Makārim Akhlāk al-Rasûl al-Karīm, Jeddah: Dār al-Wasīlah, 2004, Cet ke-3, Juz. I, hlm. 415-447, 4) Aidh al-Qarni dan Manshur Ibn Nashir al-`Awaji, Edisi Indonesia: Muhammad Sang Idola Dilengkapi Dengan Penjelasan Tentang Mukjizat-Mukjizat Nabi saw, Penerjemah: Najib Junaedi, Surabaya: eLBA, 2006, Cet ke-1, 5) Shafiy al-Rahmān al-Mubārakfûrī, al-Rahīq al-Makhtûm, Riyād: Dār al-Muayyid, 1995, dan 6) `Alī al-Hasanī al-Nadwī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Damaskus: Dār al-Qalam, 2004, Cet ke-2
[4]     Muhammad Ibn Abû Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma`ād Fī Hadyi Khair al-`Ibād, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994, Cet ke-27, Juz. I, hlm. 86
[5]     Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Ya`tī Min Ba`dī Ismuhu Ahmad, hlm. 1023, Nomor: 4896
[6]     Ibid, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Inna Arsalnāka Syāhidan wa Mubasysyiran wa Nadzīran, hlm. 1008, Nomor: 4838
[7]     Ibid
[8]     Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābûrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār Ibn Hazm, 1998, cet ke-1, hal. 1249 Nomor Hadis: 2276
[9]     Muhammad Ibn Ismāīl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi, 2007, Kitab Manāqib al-Anshār; Bāb Mab`ats al-Nabi saw, hal. 777
[10]    Yahyā bin Ibrāhim al-Yahyā, Madkhal Li Fahm al-Sīrah, Madinah: Dār al-Khudairī, 1420, cet ke-1, hal. 71
[11]    `Iyādh Ibn Mûsā Ibn `Iyādh al-Yahshabi, al-Syifā Bi Ta`rīf Huqūq al-Mushthafā, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabi, 1984, Juz. I, hal. 81
[12]    Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Li al-Nabi Muhammad saw, Iskandaria, Dār al-Imān, 2008, cet ke-1, hal. 65
[13]    Ahmad al-Thûkhī dan Ahmad Mushthafā, al-Silsilah al-Dzahabiah Fī al-Akhlāq al-Islāmiyah, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 2000, Cet ke-1, Juz I, hal. 19
[14]    Ahmad al-Thukhi dan Ahmad Mushthafa, al-Silsilah al-Dzahabiah Fi al-Akhlak al-Islamiyyah, hlm. 114
[15]    Ibid, 115-116
[16]    Ahmad Salam, Mā Anā `Alaihi wa Ashhābī; Dirāsat Fī Asbāb Iftirāq al-Ummah wa Muqawwimāt Wihdatiha al-Syar`iyyah wa al-Kauniyyah Min Khilāl Hadīts al-Iftirāq, Beirut: Dār Ibn Hazm, 1995, cet ke-1, hal. 84
[17]    Muhammad Ibn Husen Ibn Hasan al-Jīzāni, Ma`ālim Ushûl al-Fiqh `Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamā`ah, Dammām, Dār Ibnu al-Jauzī, 1428, Cet ke-6, hal: 119
[18]    Lihat: Akram Dhiyā al-`Umurī, al-Sīrah al-Nabawiyyah Muhāwalah Li Tathbīq Qawā`id al-Muhadditsīn Fi Naqd al-Riwāyat al-Sīrah al-Nabawiyyah, Juz. I hal. 129
[19]    Lihat: Qs. Al-Jumua`ah [62]:2
[20]    `Abd al-Malik Ibn Hisyām al-Mu`āfirī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Saudi Arabia: Dār al-Bayān al-Hadītsah, 2001, cet ke-1, Juz II, hal. 52
[21]    Yûsuf Ibn Umar al-Numairī Ibn `Abd al-Bar al-Qurthubī, al-Istī`āb Fī Ma`rifah al-Ashhāb, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabī, 2000, cet ke-2, Juz II, hal. 250-251
[22]    Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah, Mesir: Dār al-Salām, 2002, cet ke-1, hal. 181
[23]    Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Hal. 1055, No Hadis: 4999
[24]    Ahmad Farīd, Tazkiyah al-Nufûs, Iskandaria: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2005, cet ke-1, hal. 4
[25]    Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah, hal. 21-34
[26]    Ahmad bin Syu`aib al-Nasāī al-Khurāsānī, Sunan al-Nasāī, Kitāb al-Shalāt, Bāb al-Muhāsabah `ala al-Shalāt, Beirut: Maktabah al-Mathbû`at al-Islāmiyyah, 1986, Juz. I, hal. 250, No Hadis: 461
[27]    Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, Kitāb al-Shiyām, Bāb Fadhl al-Shiyām, hal. 580, No Hadis: 1151
[28]    Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bāb Qabûl al-Shadaqah Min al-Kasb al-Tahyyib wa Tarbiyyatuhā, hal. 506, No Hadis: 1014
[29]    Ibid, Kitāb al-Haj, Bāb Fī Fadl al-Haj wa al-`Umrah wa Yaum `Arafah, hal. 704, No Hadis: 1350
[30]    Ahmad Mu`ādz Haqqī, al-Arba`ûn Hadītsan Fī al-Akhlāk Ma`a Syarhihā, Riyād: Dār Thuwaiq, 1993, hal. 14-104
[31]    Sayyid Sa`īd `Abd al-Ghanī, Haqīqat al-Walā wa al-Barā Fi Mu`taqad Ahl al-Sunnah wa al-Jamā`ah, Iskandaria: Dār al-Īmān, 2006, hlm. 136
[32]    Rāsyid Ibn Husain al-`Abd al-Karīm, Al-Durūs al-Yaumiyah Min al-Sunan wa al-Ahkām al-Syar`iyyah, Riyād: Dār al-Shumay`ī, 2002, Cet ke-2, hlm. 79
[33]    Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Kusūf, Bāb al-Shalāt Fī Kusūf al-Syams, hlm. 212, Nomor: 1042
[34]    `Ali Ibn Nafī` al-`Ulyāni, Ahammiyah al-Jihād Fī Nasyr al-Da`wah al-Islāmiyyah Wa al-Rad `Alā al-Thawāif al-Dhāllah Fīh, Riyād: Dār Thayyibah, 2003, Cet ke-4, hlm. 136-144
[35]    Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-`Ilm Bāb Man Hakshsha Bi al-`Ilm Qauman Duna Qaumin Karāhiyah an Lā Yafhamû, Hal : 42
[36]    Ibid, Bāb Man Taraka Ba`dha al-Ikhtiyār Makhāfah An Yaqshur Fahm Ba`dhi al-Nās `Anhu Fayaqa`û Fī Asyad Minhu, Nomor: 126
[37]    Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bab Wujûb al-Zakāt, hlm. 283, Nomor: 1395
[38]    Ibid, Kitab al-`Ilm, Bab Ma Kana al-Nabi saw Yatakhawwaluhum Bi al-Mau`idzah wa al-`Ilm Kay La Yanfiru, hlm. 30,Nomor: 68
[39]    Mazin Ibn `Abd al-Karim al-Freh, al-Raid Durus Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Juz. III, hlm. 59-62
[40]    Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, hlm. 179  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...