Senin, 28 Mei 2012

Peradilan Islam : Dari Jahiliyah Ke Islamiyah




A.    Latar Belakang

Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.

B.     Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      peradilan Pra Islam (Masa Jahiliyah).
2.      peradilan Islam pada periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.
4.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA.
5.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA.
6.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib.
7.      Peradilan Islam pada Periode Daulah Bani Umayyah.
8.      Peradilan Islam pada periode Abasyiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[1]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib, Zuhayr ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Şayfi, Hājib ibn Zirārah, Qus ibn Sā`idah al-Iyādi, `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[2], serta Ummayah ibn Abu Şalt dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga. 
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.  





B.    

3
 
Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
1.      Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
            Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri[3]. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[4] Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

2.      Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār - dan dalam kesempatan berbeda - `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.

3.      Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[5]
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri’. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”[6]

4.      Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.[7]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[8] 
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[9] 
5.      Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.[10]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”[11]
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.

C.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar RA
Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”.

D.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .
Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.

E.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.


F.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً.





G.    Peradilan islam pada periode Dinasti Bani Umayyah.
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system
  1. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
a.       Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
b.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
c.       Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
  1. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.


  1. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi, 1984:167).
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1.      Pengadilan Al-Qadla
Kata Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
2.      Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami” (alhadits).
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.      Pengadilan Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.


H.    Peradilan Islam pada periode Dinasti Bani Abasyiah
Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai dengan pelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah. Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1.      Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan) kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun 132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (pada Dinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagi ke Bagdad pada masa Abu Ja’far al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi ke Samura (Surra man ro’aa artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid pada tahun 221 H.
2.      Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnya pengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnya Al-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Mu’tashim pada tahun 247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannya ibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh Al-Mu’tadid Billah pada tahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa ini posisi golongan Arab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada masa Al-Ma’mun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Mu’tashim, kemudian berlangsung pada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Mas’ud Al-Saljuki pada tahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turki dan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuh Al-Mu’tashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3.      Priode ketiga ditandai dengan berpindahnya Khalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatan Al-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnya Al-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifah sangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan ada pada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman modern.

Muculnya Mazhab-Mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi’i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi’ah, Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.

Penolakan Menjadi Hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama. Lantaran itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang sesungguhnya ada pada pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok palu sidang.
Atas dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sering benar merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi judul Al-Muwaththo’. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththo’ ini dijadikan pedoman dalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dan tidak membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasa enak hati apabila pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnya seperti pendapat Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Pembentukan Qadhil Qudhah / Qadhil Jama’ah.
Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil Jama’ah adalah dua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di Pemerintahan Bani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah pada masa sekarang ini semacam Ketua Mahkamah Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie sebagai Menteri Kehakiman.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.
Di masa Abbasiyah inilah peradilan dibentuk merupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil Qudhah yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, maka tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qadhil Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir, di Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing ada Qadhil Qudhah.
Istilah Qadhil Qudhah di Andalusia dari Pemerintahan Bani Umayyah adalah memakai istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Jama’ah ini adalah Qadhi yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah. Kepada para hakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-fasilitas yang meninggikan kepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan manusia ramai pada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang - penulis) dan kepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jam’ah pertama di Andalusia adalah Yahya bin Yazid At-Tajibi. Istilah Qadhil Jama’ah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat istilah yang sama sebelumnya.

Pakaian Qadhi
Sebelum diangkatnya Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah pada pemerintahan Bani Abbasiyah, para Qadhi memakai pakaian yang biasa dipakai oleh manusia pada umumnya, namun setelah pengangkatan Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah barulah ditetapkan para hakim itu memakai pakaian khusus. Pakaian khusus ini tidak diketahui apakah diambil dari Persia atau dari Romawi ataukah itu hasil buah pikiran Abu Yusuf. Hanya saja menurut Ibnu Khillikan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang pertama sekali memakai pakaian ulama secara khusus pada masa itu dan adalah pakaian manusia sebelum itu sama sebab pakaian tidak akan membedakan seseorang dengan orang lain. Menurut Al-Badhy bahwasanya pakaian yang telah ditetapkan Abu Yusuf itu bukanlah sebuah keharusan dan bersifat resmi. Di dalam penjelasan Abdullah bin Ahmad, bahwasanya para hakim itu memakai pakaian hitam pada hari senin dan kamis dan warna putih pada hari-hari lainnya.
Adapun di Andalusia sebagaimana disebutkan oleh Al-Khasani bahwasanya Qadhil Jama’ah Sa’id bin Sulaiman Al-Ghofaqi, para hakim bersidang di masjid dengan memaakai Jubah wol berwarna putih dan di kepalanya (Tidak ada petunjuk apa maknanya/) warna putih dan sejenis Jubah Putih. Sedangkan kenderaannya adalah Bughal (peranakan campuran kuda dan himar) yang cantik yang dihiasi dan dilengkapi dengan emas dan perak.

Tempat Persidangan
Tempat persidangan pengadilan pada masa Bani Abbasiyah diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang piutang.

Bidang Wewenang Hakim
Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang hakim pada masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan dengan keperdataan, akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash, hisbah, pemalsuan mata uang dan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Mesir di masa Al-Makmun dan juga Munzir bin Sa’id Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman An-Nashir dari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain dari menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan mana saksi yang tidak adil.

Beberapa Orang Hakim di Satu Wilayah
Pada mula-mulanya di setiap daerah diangkat seorang hakim sesuai dengan mazhab yang paling dominan di daerah itu. Maka setelah pemerintahan Abbasiyah bertambah luas maka diangkatlah beberapa orang hakim pada satu wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang berkembang di daerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-hakim dari mazhab Jumhur yaitu hakim mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Pada masa ini, di samping adanya lembaga peradilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan Arbitrase Lembaga Tahkim) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga Tahkim ini dibenarkan dalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak mencontoh dan membentuk lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut dengan Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan.

Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Di dalam pengertian istilah, Tahkim adalah “Dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu”. Maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah daripada kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Oleh karena itulah maka Abu Yusuf tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Adapun bidang-bidang yang dapat ditahkim menurut Ibnu Qudamah adalah hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qazaf dan qishash. Dalam hal-hal ini penguasa saja yang dapat memutuskannya. Sedangkan menurut Ibnu Farhan dalam At-Tabshirat mengatakan bahwa, putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta, tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak atau menentukan keturunan. Adapun mengenai putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan sesuai dengan pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari Asy-Syafi’i. Akan tetapi menurut riwayat yang lain dari Asy-Safi’i, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan.

Wilayah Mazhalim
Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zaman dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secara zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori dan melaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan bahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kezaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
1.      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan.
2.      Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain.
3.      Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
4.      Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5.      Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zhalim.
6.      Memperhatikan harta-harta wakaf.
7.      Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya.
8.      Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
9.      Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti Jum’at, Hari Raya, Haji dan Jihad.
10.  Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan sebagai berikut :
1.      Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
2.      Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
3.      Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi Ahli Penulis).
4.      Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak.
5.      Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang yang diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan oleh ketua pengadilan mazhalim.

Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang amar ma’ruf nahyu ‘anil munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap. Tugas daripada lembaga ini adalah memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah. Selain itu lembaga ini bertugas mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. Dan terkadang lembaga ini memutuskan hal-hal yang perlu segera diselesaikan. Lembaga ini pertama kali dibentuk oleh Umar Bin Khattab, namun lembaga ini baru terkenal di masa Al-Mahdi pada Pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ketua lembaga hisbah harus mengangkat petugas-petugas hisbah di seluruh daerah yang masuk ke dalam kekuasaannya. Dia duduk di masjid sedang wakil-wakilnya itulah yang diperintah untuk mengamati keadaan yang berlaku di pasar dan di tempat-tempat yang harus diawasi. Orang yang diangkat menjadi muhtasib harus orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukum-hukum agama. Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa orang yang diangkat menjadi muhtasib tidak perlu seorang mujtahid tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan-perbuatan munkar yang disetujui oleh ulama.
Ketua lembaga hisbah bertugas menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar, dan membimbing masyarakat untuk memelihara kemaslahatan-kemaslahatan umum, mencegah penduduk membangun rumah-rumahnya yang menyebabkan sempitnya jalan-jalan umum atau meletakkan barang dagangan di tempat-tempat yang bisa menghalangi lalu lintas, serta mencegah buruh-buruh membawa bebanan di luar batas kemampuan dengan kenderaan-kenderaan yang memuat barang lebih daripada daya angkutnya (Semacam Satpol PP di Pekanbaru).
Tugas Ketua Lembaga Hisbah lainnya adalah memerintahkan kepada pemilik-pemilik rumah yang hampir rubuh supaya segera membongkar rumahnya agar jangan menimbulkan bencana bagi orang lain. Bahkan dia mempunyai kewajiban untuk memberi ajaran kepada guru-guru yang memukul muridnya lebih daripada patut dan dia harus pula bertindak terhadap tetangga-tetangga yang mengganggu hak-hak sesama tetangga. Masuk juga dalam bidang tugasnya adalah masalah penipuan dalam sukatan, takaran dan timbangan atau sesuatu penipuan dalam jual beli. Termasuk di dalamnya orang yang menangguh-nagguhkan pembayaran hutang (Pengawas Pasar Penulis).
Kesemua tugas-tugas tersebut di atas pada dasarnya adalah tugas utama lembaga hisbah yang tercakup dalam Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar ini adalah tugas pokok dari lembaga hisbah. Hanya saja bagaimana bentuk daripada Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar itu, sudah barang tentu akan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Secara umum Amar Ma’ruf itu terbahagi kepada tiga bahagian besar yaitu :
1.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT.
2.      Yang berhubungan dengan haq sesama manusia.
3.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT dan manusia sekaligus.
Sedangkan yang berkaitan dengan Nahi Munkar juga terbahagi kepada tiga bahagian besar sebagai berikut :
1.      Yang berhubungan dengan ibadat.
2.      Yang berhubungan dengan mahzhurat.
3.      Yang berhubungan dengan mu’amalat.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.      Pada Masa Pra islam (masa Jahiliyah), system peradilan masih berlum tertata bahkan bisa dikatakan belum ada. Karena pada masa ini apabila terjadi suatu perselisihan maka diselesaikan dengan memanggil penengah (arbitrator) untuk menyelesaikannya. Dan arbitrator tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah tidak terkonsep dengan suatu kepastian hokum. Karena Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut.
2.      Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
Diantara kebijakan-kebijakan Abu Bakar ialah:
a.       Pengiriman pasukan dibawah Pimpinan Usamah ke Romawi;
b.      Memberantas Pembangkang zakat;
c.       Perang Riddah dan pengumpulan Al-Qur’an;
d.      Perluasan wilayah ke Irak, Syiria, Hirab;
e.       Memerangi Nabi palsu;
f.       Kekuasaan bersifat sentralistik, legislatif, eksekutif dan yudikatif juga hukum dipegang langsung oleh khalifah, beliau wafat karena sakit dan mewasiatkan agar Umar menggantikan sepeninggalnya.
3.      Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim agung.
Diantara kebijakan-kebijakan Umar Bin Khattab ialah:
a.       Dalam bidang hukum bidang yudikatif sudah merupakan badan tersendiri terpisah dari kekhalifahan.
b.      Menyusun dewan-dewan (departemen) antara lain: Lembaga peradilan, lembaga konsultasi hukum, kepolisian, perbendaharaan negara, lembaga pajak, lembaga ketentraman dan pekerjaan umum, mendirikan Baitul Mal
c.        Mulai mengkodifikasi Al-Qur’an/menyatukan al-qur’an yang tercecer;
d.      Adanya penetapan Tahun Hijriyah (622 M).
4.      Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.
5.      Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim.
6.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
a.       Kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
b.      Pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1)      Pengadilan Al-Qadla.
Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat).
2)      Pengadilan Al-Hisbah.
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan.
3)      Pengadilan Al-Madzalim.
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).

7.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abasyiah.
a.       Pemerintahan Bani Abbasiyah mempunyai perhatian yang sangat besar dalam bidang peradilan dan itu ditandai dengan banyaknya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan seperti pengangkatan Qadhil Qudhah, Lembaga Tahkim, Wilayatul Mazhalim dan Wilayatul Hisbah.
b.      Akibat perhatiannya yang sangat besar terhadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintahan Bani Abbasiyah sering mengintervensi keputusan-keputusan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang berkompeten menolak menjadi hakim.
c.       Pengangkatan hakim-hakim pada mulanya satu orang setiap daerah yang diangkat dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun karena berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka hakimpun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
d.      Para hakim yang diangkat sangat toleran dalam bidang mazhab dan apabila yang berperkara tidak semazhab dengannya maka dia menyerahkan perkaranya kepada hakim lain yang semazhab dengan pihak yang berperkara. Dengan demikian maka semua perkara dapat diselesaikan dengan baik, tanpa ada perlawanan dari masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qasimi, Dzafir, Nizhamu al-Hukmi fi al-Syar’iyati wa Tarikhu al-Islami, (Daru Nakhorus, t.t).

Ash-Shiddiqie, Tengku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001).

Ibnu Urnus, Mahmud bin Muhammad, Tarikh al-Qodho’ fi al-Islami, (Mesir : Al-Ahlu al-Syar’I al-Qahiriyah, t.t).

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005).

Mazkur, Muhammad Salam, Al-Qodho’u fi Al-Islami, (Beirut : Darun Nahdhah Al-Arabiyah, t.t).

Mukhtar, Hasan, Al-Tanzhimul Qadho’I fi Al-Mamlakati al-Arabiyati al-Su’udiyati fi Qowa’idi al-Syar’iyati al-Islamiyati Wa Nizhamu al-Sulthoni al-Qodho’iyati, (Riyadh : Al-Mamlaktu al-Arabiyati al-Su’udiyati, 1406 H).





[1] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.

[2] Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 252
[3] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم

[4] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
 “وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل وإلى محمد رسول الله”  

[5] Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[6] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.
[7] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331. 
[8] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[9] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ « يَا كَعْبُ ». فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[10] HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله.قال: أفلا جعلته فوق الطعام حتى يراه الناس.من غشنا فليس منا.
[11] Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52
vvvv
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.

B.     Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      peradilan Pra Islam (Masa Jahiliyah).
2.      peradilan Islam pada periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.
4.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA.
5.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA.
6.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib.
7.      Peradilan Islam pada Periode Daulah Bani Umayyah.
8.      Peradilan Islam pada periode Abasyiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[1]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib, Zuhayr ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Şayfi, Hājib ibn Zirārah, Qus ibn Sā`idah al-Iyādi, `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[2], serta Ummayah ibn Abu Şalt dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga. 
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.  





B.    

3
 
Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
1.      Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
            Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri[3]. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[4] Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

2.      Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār - dan dalam kesempatan berbeda - `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.

3.      Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[5]
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri’. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”[6]

4.      Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.[7]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[8] 
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[9] 
5.      Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.[10]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”[11]
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.

C.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar RA
Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”.

D.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .
Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.

E.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.


F.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً.





G.    Peradilan islam pada periode Dinasti Bani Umayyah.
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system
  1. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
a.       Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
b.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
c.       Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
  1. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.


  1. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi, 1984:167).
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1.      Pengadilan Al-Qadla
Kata Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
2.      Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami” (alhadits).
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.      Pengadilan Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.


H.    Peradilan Islam pada periode Dinasti Bani Abasyiah
Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai dengan pelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah. Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1.      Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan) kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun 132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (pada Dinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagi ke Bagdad pada masa Abu Ja’far al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi ke Samura (Surra man ro’aa artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid pada tahun 221 H.
2.      Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnya pengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnya Al-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Mu’tashim pada tahun 247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannya ibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh Al-Mu’tadid Billah pada tahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa ini posisi golongan Arab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada masa Al-Ma’mun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Mu’tashim, kemudian berlangsung pada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Mas’ud Al-Saljuki pada tahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turki dan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuh Al-Mu’tashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3.      Priode ketiga ditandai dengan berpindahnya Khalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatan Al-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnya Al-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifah sangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan ada pada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman modern.

Muculnya Mazhab-Mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi’i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi’ah, Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.

Penolakan Menjadi Hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama. Lantaran itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang sesungguhnya ada pada pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok palu sidang.
Atas dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sering benar merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi judul Al-Muwaththo’. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththo’ ini dijadikan pedoman dalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dan tidak membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasa enak hati apabila pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnya seperti pendapat Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Pembentukan Qadhil Qudhah / Qadhil Jama’ah.
Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil Jama’ah adalah dua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di Pemerintahan Bani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah pada masa sekarang ini semacam Ketua Mahkamah Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie sebagai Menteri Kehakiman.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.
Di masa Abbasiyah inilah peradilan dibentuk merupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil Qudhah yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, maka tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qadhil Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir, di Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing ada Qadhil Qudhah.
Istilah Qadhil Qudhah di Andalusia dari Pemerintahan Bani Umayyah adalah memakai istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Jama’ah ini adalah Qadhi yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah. Kepada para hakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-fasilitas yang meninggikan kepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan manusia ramai pada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang - penulis) dan kepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jam’ah pertama di Andalusia adalah Yahya bin Yazid At-Tajibi. Istilah Qadhil Jama’ah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat istilah yang sama sebelumnya.

Pakaian Qadhi
Sebelum diangkatnya Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah pada pemerintahan Bani Abbasiyah, para Qadhi memakai pakaian yang biasa dipakai oleh manusia pada umumnya, namun setelah pengangkatan Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah barulah ditetapkan para hakim itu memakai pakaian khusus. Pakaian khusus ini tidak diketahui apakah diambil dari Persia atau dari Romawi ataukah itu hasil buah pikiran Abu Yusuf. Hanya saja menurut Ibnu Khillikan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang pertama sekali memakai pakaian ulama secara khusus pada masa itu dan adalah pakaian manusia sebelum itu sama sebab pakaian tidak akan membedakan seseorang dengan orang lain. Menurut Al-Badhy bahwasanya pakaian yang telah ditetapkan Abu Yusuf itu bukanlah sebuah keharusan dan bersifat resmi. Di dalam penjelasan Abdullah bin Ahmad, bahwasanya para hakim itu memakai pakaian hitam pada hari senin dan kamis dan warna putih pada hari-hari lainnya.
Adapun di Andalusia sebagaimana disebutkan oleh Al-Khasani bahwasanya Qadhil Jama’ah Sa’id bin Sulaiman Al-Ghofaqi, para hakim bersidang di masjid dengan memaakai Jubah wol berwarna putih dan di kepalanya (Tidak ada petunjuk apa maknanya/) warna putih dan sejenis Jubah Putih. Sedangkan kenderaannya adalah Bughal (peranakan campuran kuda dan himar) yang cantik yang dihiasi dan dilengkapi dengan emas dan perak.

Tempat Persidangan
Tempat persidangan pengadilan pada masa Bani Abbasiyah diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang piutang.

Bidang Wewenang Hakim
Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang hakim pada masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan dengan keperdataan, akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash, hisbah, pemalsuan mata uang dan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Mesir di masa Al-Makmun dan juga Munzir bin Sa’id Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman An-Nashir dari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain dari menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan mana saksi yang tidak adil.

Beberapa Orang Hakim di Satu Wilayah
Pada mula-mulanya di setiap daerah diangkat seorang hakim sesuai dengan mazhab yang paling dominan di daerah itu. Maka setelah pemerintahan Abbasiyah bertambah luas maka diangkatlah beberapa orang hakim pada satu wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang berkembang di daerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-hakim dari mazhab Jumhur yaitu hakim mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Pada masa ini, di samping adanya lembaga peradilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan Arbitrase Lembaga Tahkim) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga Tahkim ini dibenarkan dalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak mencontoh dan membentuk lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut dengan Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan.

Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Di dalam pengertian istilah, Tahkim adalah “Dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu”. Maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah daripada kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Oleh karena itulah maka Abu Yusuf tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Adapun bidang-bidang yang dapat ditahkim menurut Ibnu Qudamah adalah hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qazaf dan qishash. Dalam hal-hal ini penguasa saja yang dapat memutuskannya. Sedangkan menurut Ibnu Farhan dalam At-Tabshirat mengatakan bahwa, putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta, tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak atau menentukan keturunan. Adapun mengenai putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan sesuai dengan pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari Asy-Syafi’i. Akan tetapi menurut riwayat yang lain dari Asy-Safi’i, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan.

Wilayah Mazhalim
Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zaman dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secara zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori dan melaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan bahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kezaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
1.      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan.
2.      Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain.
3.      Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
4.      Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5.      Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zhalim.
6.      Memperhatikan harta-harta wakaf.
7.      Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya.
8.      Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
9.      Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti Jum’at, Hari Raya, Haji dan Jihad.
10.  Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan sebagai berikut :
1.      Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
2.      Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
3.      Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi Ahli Penulis).
4.      Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak.
5.      Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang yang diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan oleh ketua pengadilan mazhalim.

Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang amar ma’ruf nahyu ‘anil munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap. Tugas daripada lembaga ini adalah memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah. Selain itu lembaga ini bertugas mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. Dan terkadang lembaga ini memutuskan hal-hal yang perlu segera diselesaikan. Lembaga ini pertama kali dibentuk oleh Umar Bin Khattab, namun lembaga ini baru terkenal di masa Al-Mahdi pada Pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ketua lembaga hisbah harus mengangkat petugas-petugas hisbah di seluruh daerah yang masuk ke dalam kekuasaannya. Dia duduk di masjid sedang wakil-wakilnya itulah yang diperintah untuk mengamati keadaan yang berlaku di pasar dan di tempat-tempat yang harus diawasi. Orang yang diangkat menjadi muhtasib harus orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukum-hukum agama. Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa orang yang diangkat menjadi muhtasib tidak perlu seorang mujtahid tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan-perbuatan munkar yang disetujui oleh ulama.
Ketua lembaga hisbah bertugas menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar, dan membimbing masyarakat untuk memelihara kemaslahatan-kemaslahatan umum, mencegah penduduk membangun rumah-rumahnya yang menyebabkan sempitnya jalan-jalan umum atau meletakkan barang dagangan di tempat-tempat yang bisa menghalangi lalu lintas, serta mencegah buruh-buruh membawa bebanan di luar batas kemampuan dengan kenderaan-kenderaan yang memuat barang lebih daripada daya angkutnya (Semacam Satpol PP di Pekanbaru).
Tugas Ketua Lembaga Hisbah lainnya adalah memerintahkan kepada pemilik-pemilik rumah yang hampir rubuh supaya segera membongkar rumahnya agar jangan menimbulkan bencana bagi orang lain. Bahkan dia mempunyai kewajiban untuk memberi ajaran kepada guru-guru yang memukul muridnya lebih daripada patut dan dia harus pula bertindak terhadap tetangga-tetangga yang mengganggu hak-hak sesama tetangga. Masuk juga dalam bidang tugasnya adalah masalah penipuan dalam sukatan, takaran dan timbangan atau sesuatu penipuan dalam jual beli. Termasuk di dalamnya orang yang menangguh-nagguhkan pembayaran hutang (Pengawas Pasar Penulis).
Kesemua tugas-tugas tersebut di atas pada dasarnya adalah tugas utama lembaga hisbah yang tercakup dalam Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar ini adalah tugas pokok dari lembaga hisbah. Hanya saja bagaimana bentuk daripada Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar itu, sudah barang tentu akan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Secara umum Amar Ma’ruf itu terbahagi kepada tiga bahagian besar yaitu :
1.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT.
2.      Yang berhubungan dengan haq sesama manusia.
3.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT dan manusia sekaligus.
Sedangkan yang berkaitan dengan Nahi Munkar juga terbahagi kepada tiga bahagian besar sebagai berikut :
1.      Yang berhubungan dengan ibadat.
2.      Yang berhubungan dengan mahzhurat.
3.      Yang berhubungan dengan mu’amalat.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.      Pada Masa Pra islam (masa Jahiliyah), system peradilan masih berlum tertata bahkan bisa dikatakan belum ada. Karena pada masa ini apabila terjadi suatu perselisihan maka diselesaikan dengan memanggil penengah (arbitrator) untuk menyelesaikannya. Dan arbitrator tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah tidak terkonsep dengan suatu kepastian hokum. Karena Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut.
2.      Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
Diantara kebijakan-kebijakan Abu Bakar ialah:
a.       Pengiriman pasukan dibawah Pimpinan Usamah ke Romawi;
b.      Memberantas Pembangkang zakat;
c.       Perang Riddah dan pengumpulan Al-Qur’an;
d.      Perluasan wilayah ke Irak, Syiria, Hirab;
e.       Memerangi Nabi palsu;
f.       Kekuasaan bersifat sentralistik, legislatif, eksekutif dan yudikatif juga hukum dipegang langsung oleh khalifah, beliau wafat karena sakit dan mewasiatkan agar Umar menggantikan sepeninggalnya.
3.      Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim agung.
Diantara kebijakan-kebijakan Umar Bin Khattab ialah:
a.       Dalam bidang hukum bidang yudikatif sudah merupakan badan tersendiri terpisah dari kekhalifahan.
b.      Menyusun dewan-dewan (departemen) antara lain: Lembaga peradilan, lembaga konsultasi hukum, kepolisian, perbendaharaan negara, lembaga pajak, lembaga ketentraman dan pekerjaan umum, mendirikan Baitul Mal
c.        Mulai mengkodifikasi Al-Qur’an/menyatukan al-qur’an yang tercecer;
d.      Adanya penetapan Tahun Hijriyah (622 M).
4.      Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.
5.      Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim.
6.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
a.       Kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
b.      Pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1)      Pengadilan Al-Qadla.
Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat).
2)      Pengadilan Al-Hisbah.
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan.
3)      Pengadilan Al-Madzalim.
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).

7.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abasyiah.
a.       Pemerintahan Bani Abbasiyah mempunyai perhatian yang sangat besar dalam bidang peradilan dan itu ditandai dengan banyaknya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan seperti pengangkatan Qadhil Qudhah, Lembaga Tahkim, Wilayatul Mazhalim dan Wilayatul Hisbah.
b.      Akibat perhatiannya yang sangat besar terhadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintahan Bani Abbasiyah sering mengintervensi keputusan-keputusan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang berkompeten menolak menjadi hakim.
c.       Pengangkatan hakim-hakim pada mulanya satu orang setiap daerah yang diangkat dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun karena berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka hakimpun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
d.      Para hakim yang diangkat sangat toleran dalam bidang mazhab dan apabila yang berperkara tidak semazhab dengannya maka dia menyerahkan perkaranya kepada hakim lain yang semazhab dengan pihak yang berperkara. Dengan demikian maka semua perkara dapat diselesaikan dengan baik, tanpa ada perlawanan dari masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qasimi, Dzafir, Nizhamu al-Hukmi fi al-Syar’iyati wa Tarikhu al-Islami, (Daru Nakhorus, t.t).

Ash-Shiddiqie, Tengku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001).

Ibnu Urnus, Mahmud bin Muhammad, Tarikh al-Qodho’ fi al-Islami, (Mesir : Al-Ahlu al-Syar’I al-Qahiriyah, t.t).

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005).

Mazkur, Muhammad Salam, Al-Qodho’u fi Al-Islami, (Beirut : Darun Nahdhah Al-Arabiyah, t.t).

Mukhtar, Hasan, Al-Tanzhimul Qadho’I fi Al-Mamlakati al-Arabiyati al-Su’udiyati fi Qowa’idi al-Syar’iyati al-Islamiyati Wa Nizhamu al-Sulthoni al-Qodho’iyati, (Riyadh : Al-Mamlaktu al-Arabiyati al-Su’udiyati, 1406 H).





[1] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.

[2] Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 252
[3] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم

[4] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
 “وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل وإلى محمد رسول الله”  

[5] Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[6] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.
[7] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331. 
[8] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[9] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ « يَا كَعْبُ ». فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[10] HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله.قال: أفلا جعلته فوق الطعام حتى يراه الناس.من غشنا فليس منا.
[11] Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52
vvvvv
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.

B.     Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      peradilan Pra Islam (Masa Jahiliyah).
2.      peradilan Islam pada periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.
4.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA.
5.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA.
6.      Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib.
7.      Peradilan Islam pada Periode Daulah Bani Umayyah.
8.      Peradilan Islam pada periode Abasyiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[1]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib, Zuhayr ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Şayfi, Hājib ibn Zirārah, Qus ibn Sā`idah al-Iyādi, `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[2], serta Ummayah ibn Abu Şalt dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga. 
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.  





B.    

3
 
Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
1.      Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
            Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri[3]. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[4] Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

2.      Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār - dan dalam kesempatan berbeda - `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.

3.      Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[5]
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri’. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”[6]

4.      Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.[7]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[8] 
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[9] 
5.      Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.[10]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”[11]
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.

C.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar RA
Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”.

D.    Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .
Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.

E.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.


F.     Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً.





G.    Peradilan islam pada periode Dinasti Bani Umayyah.
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system
  1. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
a.       Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
b.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
c.       Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
  1. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.


  1. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi, 1984:167).
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1.      Pengadilan Al-Qadla
Kata Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
2.      Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami” (alhadits).
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.      Pengadilan Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.


H.    Peradilan Islam pada periode Dinasti Bani Abasyiah
Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai dengan pelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah. Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1.      Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan) kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun 132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (pada Dinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagi ke Bagdad pada masa Abu Ja’far al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi ke Samura (Surra man ro’aa artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid pada tahun 221 H.
2.      Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnya pengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnya Al-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Mu’tashim pada tahun 247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannya ibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh Al-Mu’tadid Billah pada tahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa ini posisi golongan Arab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada masa Al-Ma’mun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Mu’tashim, kemudian berlangsung pada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Mas’ud Al-Saljuki pada tahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turki dan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuh Al-Mu’tashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3.      Priode ketiga ditandai dengan berpindahnya Khalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatan Al-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnya Al-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifah sangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan ada pada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman modern.

Muculnya Mazhab-Mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi’i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi’ah, Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.

Penolakan Menjadi Hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama. Lantaran itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang sesungguhnya ada pada pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok palu sidang.
Atas dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sering benar merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi judul Al-Muwaththo’. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththo’ ini dijadikan pedoman dalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dan tidak membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasa enak hati apabila pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnya seperti pendapat Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Pembentukan Qadhil Qudhah / Qadhil Jama’ah.
Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil Jama’ah adalah dua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di Pemerintahan Bani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah pada masa sekarang ini semacam Ketua Mahkamah Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie sebagai Menteri Kehakiman.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.
Di masa Abbasiyah inilah peradilan dibentuk merupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil Qudhah yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, maka tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qadhil Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir, di Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing ada Qadhil Qudhah.
Istilah Qadhil Qudhah di Andalusia dari Pemerintahan Bani Umayyah adalah memakai istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Jama’ah ini adalah Qadhi yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah. Kepada para hakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-fasilitas yang meninggikan kepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan manusia ramai pada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang - penulis) dan kepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jam’ah pertama di Andalusia adalah Yahya bin Yazid At-Tajibi. Istilah Qadhil Jama’ah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat istilah yang sama sebelumnya.

Pakaian Qadhi
Sebelum diangkatnya Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah pada pemerintahan Bani Abbasiyah, para Qadhi memakai pakaian yang biasa dipakai oleh manusia pada umumnya, namun setelah pengangkatan Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah barulah ditetapkan para hakim itu memakai pakaian khusus. Pakaian khusus ini tidak diketahui apakah diambil dari Persia atau dari Romawi ataukah itu hasil buah pikiran Abu Yusuf. Hanya saja menurut Ibnu Khillikan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang pertama sekali memakai pakaian ulama secara khusus pada masa itu dan adalah pakaian manusia sebelum itu sama sebab pakaian tidak akan membedakan seseorang dengan orang lain. Menurut Al-Badhy bahwasanya pakaian yang telah ditetapkan Abu Yusuf itu bukanlah sebuah keharusan dan bersifat resmi. Di dalam penjelasan Abdullah bin Ahmad, bahwasanya para hakim itu memakai pakaian hitam pada hari senin dan kamis dan warna putih pada hari-hari lainnya.
Adapun di Andalusia sebagaimana disebutkan oleh Al-Khasani bahwasanya Qadhil Jama’ah Sa’id bin Sulaiman Al-Ghofaqi, para hakim bersidang di masjid dengan memaakai Jubah wol berwarna putih dan di kepalanya (Tidak ada petunjuk apa maknanya/) warna putih dan sejenis Jubah Putih. Sedangkan kenderaannya adalah Bughal (peranakan campuran kuda dan himar) yang cantik yang dihiasi dan dilengkapi dengan emas dan perak.

Tempat Persidangan
Tempat persidangan pengadilan pada masa Bani Abbasiyah diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang piutang.

Bidang Wewenang Hakim
Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang hakim pada masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan dengan keperdataan, akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash, hisbah, pemalsuan mata uang dan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Mesir di masa Al-Makmun dan juga Munzir bin Sa’id Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman An-Nashir dari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain dari menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan mana saksi yang tidak adil.

Beberapa Orang Hakim di Satu Wilayah
Pada mula-mulanya di setiap daerah diangkat seorang hakim sesuai dengan mazhab yang paling dominan di daerah itu. Maka setelah pemerintahan Abbasiyah bertambah luas maka diangkatlah beberapa orang hakim pada satu wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang berkembang di daerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-hakim dari mazhab Jumhur yaitu hakim mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Pada masa ini, di samping adanya lembaga peradilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan Arbitrase Lembaga Tahkim) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga Tahkim ini dibenarkan dalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak mencontoh dan membentuk lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut dengan Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan.

Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Di dalam pengertian istilah, Tahkim adalah “Dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu”. Maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah daripada kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Oleh karena itulah maka Abu Yusuf tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Adapun bidang-bidang yang dapat ditahkim menurut Ibnu Qudamah adalah hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qazaf dan qishash. Dalam hal-hal ini penguasa saja yang dapat memutuskannya. Sedangkan menurut Ibnu Farhan dalam At-Tabshirat mengatakan bahwa, putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta, tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak atau menentukan keturunan. Adapun mengenai putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan sesuai dengan pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari Asy-Syafi’i. Akan tetapi menurut riwayat yang lain dari Asy-Safi’i, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan.

Wilayah Mazhalim
Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zaman dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secara zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori dan melaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan bahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kezaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
1.      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan.
2.      Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain.
3.      Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
4.      Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5.      Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zhalim.
6.      Memperhatikan harta-harta wakaf.
7.      Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya.
8.      Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
9.      Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti Jum’at, Hari Raya, Haji dan Jihad.
10.  Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan sebagai berikut :
1.      Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
2.      Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
3.      Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi Ahli Penulis).
4.      Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak.
5.      Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang yang diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan oleh ketua pengadilan mazhalim.

Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang amar ma’ruf nahyu ‘anil munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap. Tugas daripada lembaga ini adalah memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah. Selain itu lembaga ini bertugas mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. Dan terkadang lembaga ini memutuskan hal-hal yang perlu segera diselesaikan. Lembaga ini pertama kali dibentuk oleh Umar Bin Khattab, namun lembaga ini baru terkenal di masa Al-Mahdi pada Pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ketua lembaga hisbah harus mengangkat petugas-petugas hisbah di seluruh daerah yang masuk ke dalam kekuasaannya. Dia duduk di masjid sedang wakil-wakilnya itulah yang diperintah untuk mengamati keadaan yang berlaku di pasar dan di tempat-tempat yang harus diawasi. Orang yang diangkat menjadi muhtasib harus orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukum-hukum agama. Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa orang yang diangkat menjadi muhtasib tidak perlu seorang mujtahid tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan-perbuatan munkar yang disetujui oleh ulama.
Ketua lembaga hisbah bertugas menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar, dan membimbing masyarakat untuk memelihara kemaslahatan-kemaslahatan umum, mencegah penduduk membangun rumah-rumahnya yang menyebabkan sempitnya jalan-jalan umum atau meletakkan barang dagangan di tempat-tempat yang bisa menghalangi lalu lintas, serta mencegah buruh-buruh membawa bebanan di luar batas kemampuan dengan kenderaan-kenderaan yang memuat barang lebih daripada daya angkutnya (Semacam Satpol PP di Pekanbaru).
Tugas Ketua Lembaga Hisbah lainnya adalah memerintahkan kepada pemilik-pemilik rumah yang hampir rubuh supaya segera membongkar rumahnya agar jangan menimbulkan bencana bagi orang lain. Bahkan dia mempunyai kewajiban untuk memberi ajaran kepada guru-guru yang memukul muridnya lebih daripada patut dan dia harus pula bertindak terhadap tetangga-tetangga yang mengganggu hak-hak sesama tetangga. Masuk juga dalam bidang tugasnya adalah masalah penipuan dalam sukatan, takaran dan timbangan atau sesuatu penipuan dalam jual beli. Termasuk di dalamnya orang yang menangguh-nagguhkan pembayaran hutang (Pengawas Pasar Penulis).
Kesemua tugas-tugas tersebut di atas pada dasarnya adalah tugas utama lembaga hisbah yang tercakup dalam Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar ini adalah tugas pokok dari lembaga hisbah. Hanya saja bagaimana bentuk daripada Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar itu, sudah barang tentu akan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Secara umum Amar Ma’ruf itu terbahagi kepada tiga bahagian besar yaitu :
1.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT.
2.      Yang berhubungan dengan haq sesama manusia.
3.      Yang berhubungan dengan haq Allah SWT dan manusia sekaligus.
Sedangkan yang berkaitan dengan Nahi Munkar juga terbahagi kepada tiga bahagian besar sebagai berikut :
1.      Yang berhubungan dengan ibadat.
2.      Yang berhubungan dengan mahzhurat.
3.      Yang berhubungan dengan mu’amalat.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.      Pada Masa Pra islam (masa Jahiliyah), system peradilan masih berlum tertata bahkan bisa dikatakan belum ada. Karena pada masa ini apabila terjadi suatu perselisihan maka diselesaikan dengan memanggil penengah (arbitrator) untuk menyelesaikannya. Dan arbitrator tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah tidak terkonsep dengan suatu kepastian hokum. Karena Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut.
2.      Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
Diantara kebijakan-kebijakan Abu Bakar ialah:
a.       Pengiriman pasukan dibawah Pimpinan Usamah ke Romawi;
b.      Memberantas Pembangkang zakat;
c.       Perang Riddah dan pengumpulan Al-Qur’an;
d.      Perluasan wilayah ke Irak, Syiria, Hirab;
e.       Memerangi Nabi palsu;
f.       Kekuasaan bersifat sentralistik, legislatif, eksekutif dan yudikatif juga hukum dipegang langsung oleh khalifah, beliau wafat karena sakit dan mewasiatkan agar Umar menggantikan sepeninggalnya.
3.      Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim agung.
Diantara kebijakan-kebijakan Umar Bin Khattab ialah:
a.       Dalam bidang hukum bidang yudikatif sudah merupakan badan tersendiri terpisah dari kekhalifahan.
b.      Menyusun dewan-dewan (departemen) antara lain: Lembaga peradilan, lembaga konsultasi hukum, kepolisian, perbendaharaan negara, lembaga pajak, lembaga ketentraman dan pekerjaan umum, mendirikan Baitul Mal
c.        Mulai mengkodifikasi Al-Qur’an/menyatukan al-qur’an yang tercecer;
d.      Adanya penetapan Tahun Hijriyah (622 M).
4.      Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.
5.      Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim.
6.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
a.       Kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
b.      Pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1)      Pengadilan Al-Qadla.
Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat).
2)      Pengadilan Al-Hisbah.
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan.
3)      Pengadilan Al-Madzalim.
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).

7.      Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abasyiah.
a.       Pemerintahan Bani Abbasiyah mempunyai perhatian yang sangat besar dalam bidang peradilan dan itu ditandai dengan banyaknya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan seperti pengangkatan Qadhil Qudhah, Lembaga Tahkim, Wilayatul Mazhalim dan Wilayatul Hisbah.
b.      Akibat perhatiannya yang sangat besar terhadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintahan Bani Abbasiyah sering mengintervensi keputusan-keputusan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang berkompeten menolak menjadi hakim.
c.       Pengangkatan hakim-hakim pada mulanya satu orang setiap daerah yang diangkat dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun karena berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka hakimpun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
d.      Para hakim yang diangkat sangat toleran dalam bidang mazhab dan apabila yang berperkara tidak semazhab dengannya maka dia menyerahkan perkaranya kepada hakim lain yang semazhab dengan pihak yang berperkara. Dengan demikian maka semua perkara dapat diselesaikan dengan baik, tanpa ada perlawanan dari masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qasimi, Dzafir, Nizhamu al-Hukmi fi al-Syar’iyati wa Tarikhu al-Islami, (Daru Nakhorus, t.t).

Ash-Shiddiqie, Tengku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001).

Ibnu Urnus, Mahmud bin Muhammad, Tarikh al-Qodho’ fi al-Islami, (Mesir : Al-Ahlu al-Syar’I al-Qahiriyah, t.t).

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005).

Mazkur, Muhammad Salam, Al-Qodho’u fi Al-Islami, (Beirut : Darun Nahdhah Al-Arabiyah, t.t).

Mukhtar, Hasan, Al-Tanzhimul Qadho’I fi Al-Mamlakati al-Arabiyati al-Su’udiyati fi Qowa’idi al-Syar’iyati al-Islamiyati Wa Nizhamu al-Sulthoni al-Qodho’iyati, (Riyadh : Al-Mamlaktu al-Arabiyati al-Su’udiyati, 1406 H).





[1] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.

[2] Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 252
[3] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم

[4] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
 “وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل وإلى محمد رسول الله”  

[5] Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[6] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.
[7] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331. 
[8] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[9] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ « يَا كَعْبُ ». فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[10] HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله.قال: أفلا جعلته فوق الطعام حتى يراه الناس.من غشنا فليس منا.
[11] Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...