Sabtu, 12 Mei 2012

Peran Dewan Syariah Nasional

PERAN DEWAN SYARIAH NASIONAL-MUI  DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA LEMBAGA BISNIS SYARIAH/LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH[1]

Jaih Mubarok[2]
(Anggota BPH DSN-MUI)

A. Pendahuluan
Ilmu syariah dapat dikerangkakan menjadi tiga domain: 1) domain pembuatan hukum (aspek normatif syariah “diterjemhkan” ke dalam fikih, fatwa, dan qanun); 2) domain penerapan hukum (bagaimana hukum dijalankan); dan 3) domain penegakan hukum (bagaimana hukum ditegakan).[3]  
Menjelaskan peran[4] DSN-MUI pada prinsipnya harus menjelaskan perjuangan panjang umat Islam (baca: ormas Islam yang bernama MUI) dalam mengupayakan terjadinya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. MUI memiliki peran yang sangat penting dan sangat strategis dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai muamalah (bagian dari nilai-nilai Islam secara umum) dalam berbisnis. Peran penting dan strategis MUI dimaksud adalah fakta yang menunjukkan bahwa MUI menjadi pelopor dalam sosialisasi, internalisasi, dan memicu pertumbuhan lembaga bisnis syariah, baik lembaga keuangan syariah (bank dan nonbank) maupun lembaga bisnis lainnya.
Peran MUI dalam kontek pengembangan bisnis secara syariah  adalah: 1) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) guna melakukan kajian-kajian fikih mualamah dan menetapkannya menjadi fatwa agar masyarakat dan industri/lembaga bisnis memilki panduan dalam melakukan bisnis secara syariah; dari segi kerangka ilmu hukum, DSN-MUI merupakan institusi yang bertugas menjaga dan mengharmoniskan  nilai-nilai muamalah dengan nilai-nilai serta praktek bisnis (domain pembuatan hokum); 2) membentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan bekerjasama dengan Ikatan cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI); dari segi kerangka ilmu hukum, institusi ini merupakan penerapan hukum bisnis syariah pertama yang diharapkan memicu lahirnya institusi-institusi bisnis lainnya yang relatif sama; dan 3) membentuk Badan Arbitrase Muamalat yang kemudian diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (baca: Basyarnas); dari segi kerangka ilmu hukum, institusi ini merupakan institusi penegakan hukum bisnis syariah yang bersifat nonlitigasi.
Dalam paper ini sejatinya diulas mengenai peran dinamis MUI secara historis dan aktual dalam menumbuhkembangkan ekonomi syariah di Indonesia; akan tetapi, paper ini dibuat atas dasar kebutuhan panitia yang meminta penjelasan mengenai tiga hal: 1) peran DSN dan DPS dalam menjawab permasalahan hukum pada produk-produk LKS; 2) tantangan dan problematika penerapan fatwa-fatwa DSN di LKS; dan 3) peluang dan tantangan sarjana muamalah (?) untuk dapat berkiprah sebagai anggota DSN dan DPS. Oleh karena itu, substansi paper ini menc kup tiga hal tersebut. Dengan demikian, yang diulas dalam paper ini adalah hanya dua domain mualamah: 1) domain  muamalah secara normatif; dan 2) domain muamalah dari segi penerapannya. Sementara domain muamalah dari segi penegakannya diabaikan.


B. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI  
Kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dari sudut anggota-anggota Dewan Pengawas Syariah adalah institusi konsorsium; Para anggota DPS dari masing-masing perusahaan dapat disatukan dengan suatu konsorsium DPS di bawah naungan MUI dengan bekerjasama dengan pihak terkait; konsorsium tersebut dinamai  adalah DSN untuk tingkat nasional; sedangkan konsorsium taraf internasional telah dibentuk The Higher Shariah Supervisory Council oleh International Association Islamic Banks, yang berkedudukan di Kairo.[5]
Visi DSN-MUI adalah memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat; dan misinya adalah menumbuhkembangkan keuangan/bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa. [6]
Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI)  dalam rangka efesiensi koordinasi ulama guna menanggapi isu-isu yang berhububungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, DSN diharapkan berfungsi sebagai pendorong terwujudnya penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah.[7]
Susunan pengurus DSN-MUI yang paling mutakhir tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan Pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015, tetanggal 24 September 2010. Dalam lampirannya tergambar bahwa Pengurus DSN-MUI terdiri atas: 1) Pengurus Pleno DSN-MUI; dan 2) Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI.  
Pengurus Pleno DSN-MUI terdiri atas: 1)  Ketua (KH M.A. Sahal Mahfudh), 2) Ketua Pelaksana (KH Ma’ruf Amin), 3) wakil ketua (HM Din Syamsuddin, Umar Shihab, Muhammad Amin Suma, dan. H. Didin Hafiduddin); 4) sekretaris (HM Ichwan Sam), 5) wakil sekretaris (H. Zainut Tauhid Sa’adi dan H. Hasanudin); dan 6) anggota (sebanyak 36 orang).
Badan Pelaksana Harian DSN-MUI terdiri atas: 1) ketua (KH Ma’ruf Amin), 2)  wakil ketua (HM Anwar Ibrahim, H. Fatrhurrahman Djamil, dan Adiwarman A. Karim), 3) sekretaris (HM Ichwan Sam), 4) wakil sekretaris (Zainut Tauhid Sa’adi, H. Hasanudin, dan Kanny Hidaya), 5) bendahara (H. Nadratuzzaman Hosen), dan 6) tiga bidang atau kelompok kerja: a) Pokja Perbankan (Cecep Maskanul Hakim, Ikhwan A. Basri, Setiawan Budi Utomo, Ony Syahroni, dan M. Nahar Nahraowi), b) Pokja Asuransi dan Bisnis (Endy M. Astiwara, Aminudin Yakub,  Agus Haryadi, Amin Musa, dan Mohamad Hidayat), dan c) Pokja Pasar Modal dan Program (M. Gunawan Yasni, Muhammad Touriq, Iggi H. Achsien, Jaih Mubarok, dan Yulizar D. Sanrego).[8]  
Dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI) dijelaskan bahwa kedudukan DSN adalah: 1) sebagai bagian dari MUI. Dengan kata lain, ia merupakan perpanjangan tangan MUI dalam rangka turut serta mengembangkan lembaga keuangan syariah; dan 2) sebagai pembantu pihak-pihak terkait dengan lembaga keuangan syariah, seperti Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Unsur anggota DSN terdiri atas: 1) unsure ulama, 2) unsur pakar (ekonomi dan bisnis syariah), dan 3) praktisi bisnis syariah. Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi bisnis syariah dalam DSN, ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti yang sama dengan periode masa bakti 4 tahun;[9] ditegaskan bahwa dalam Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syari`ah, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, masa bakti pengurus DSN-MUI  adalah 4 tahun.[10]
Tugas-tugas DSN adalah: 1) menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; 2) mengeluarkan fatwa mengenai jenis-jenis kegiatan keuangan syariah; 3) mengeluarkan fatwa mengenai produk dan jasa keuangan syariah; dan 4) mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. [11]
Kewenangan-kewenangan DSN adalah: 1) mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing LBS/LKS dan menjadi dasar tindakan hukum pihak-pihak terkait; 2) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; 3) memberikan dan mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada LBS/LKS; 4) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter; 5) memberikan peringatan kepada LBS/LKS untuk memberhentikan penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; dan 6) mengusulkan kepada pihak otoritas yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan DSN diabaikan. [12] 
Mekasnisme kerja yang terdapat dalam keputusan MUI mengenai susunan pengurus DSN pada dasarnya merupakan lanjutan dari tugas dan wewenang DSN yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme kerja DSN terdapat tiga unsur yang diperhatikan: Pleno DSN, BPH-DSN, dan DPS.
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan pleno DSN adalah: 1) mengesahkan rancangan fatwa yang disusun oleh Badan Pelaksana Harian DSN; 2) melakukan rapat pleno--paling tidak--satu kali dalam tiga bulan atau apabila diperlukan; dan 3)  membuat laporan tahunan yang berisi pernyataan yang dimuat dalam annual report (laporan tahunan) mengenai LBS/LKS yang telah atau tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.[13]
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan Badan Pelaksana Harian DSN adalah: 1) menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk Lembaga Keuangan Syariah; 2) sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat satu hari kerja setelah menerima usulan atau pertanyaan, menyampaikan permaslahan tersebut kepada ketua; 3) ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota serta ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja setelah usulan atau pertanyaan itu ada, membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan pertanyaan atau usulan yang ada; 4) ketua Badan Pelaksana Harian membawa hasil pembahasan tersebut ke dalam rapat pleno DSN untuk mendapat pengesahan; dan 5) fatwa  DSN ditandatangani oleh ketua dan sekretaris DSN.[14]
Pokja-pokja BPH DSN dalam prakteknya sering  difungsikan sebagai Tim yang melakukan kajian terhadap berbagai dalil dalam berbagai kitab sebagai tahap awal penyusunan draft fatwa. Apabila permasalahan yang diajukan/dimintakan fatwa  menyangkut lintas Pokja, maka Tim kecil dibentuk yang berasal dari pokja-pokja yang ada untuk melakukan kajian. Apabila kajian terhadap dalil dan aqwal ulama dinilai sudah cukup, maka Tim yang bersangkutan merumuskan fatwa dengan mempertimbangkan konsistensi substansi (terutama disinkronkan dengan fatwa-fatwa yang sudah diputus/dietatpkan DSN). Hasil kajian disampaikan oleh Tim kepada BPH DSN untuk mendapatkan masukan (dilakukan sesuai kebutuhan); Tim melanjutkan kerjanya membuat draft fatwa dengan mengakomodir masukan-masukan dari BPH DSN (yang kemudian hasil perbaikan draft fatwa disampaikan lagi kepada BPH DSN); apabila sudah diyakini oleh BPH bahwa draft tersebut sudah layak dan dinilai memadai, maka BPH DSN mengambil alih hasil kerja Tim; yaitu BPH DSN mengundang Pengurus pleno untuk membahas dan mengesahkan draft fatwa menjadi fatwa.
Peserta rapat pleno DSN-MUI memberikan masukan baik dari segi dalil, aqwal ulama, maupun pertimbangan manfaat-madharat apabila fatwa tersebut disetujui atau ditolak; mustafti dan pihak terkait (pihak BI atau Kementerian Keuangan) juga diundang untuk hadir guna memberikan kontribusi terhadap draft fatwa; draft fatwa yang dipandang layak kemudiah disahkan menjadi fatwa dengan catatan harus diperbaiki dengan memperhatikan masukan-masukan dari pleno dan pihak-pihak terkait. Fatwa yang sudah disahkan dikembalikan lagi kepada BPH untuk dilengkapi dengan mengakomodir masukan-masukan peserta rapat pleno, yang kemudian dibahas kembali di dalam rapat BPH sampai akhirnya disepakati bahwa fatwa tersebut dinilai legkap; kemudian dilengkapi dengan atribut lainnya (seperti penomoran) dan ditandatangani oleh Ketua dan sekretaris; pihak sekretariat kemudian diamanahi untuk menyebarluaskannnya kepada khalayak melalui media, termasuk media elektronik.[15]
Fatwa-fatwa  DSN-MUI merupakan respon yang berupa titik-temu antara nilai-nilai muamalah Islami  dengan pranata bisnis; ketentuan-ketentuan fatwa merupakan hasil ijtihad  mufti secara kolektif yang didukung oleh pakar ilmu  lain yang relevan guna menjelaskan dan memastikan agar para mufti menerima dan memahami/mengerti informasi mengenai obyek yang akan ditetapkan hukumnya dari segi syariah secara akurat dan benar. Oleh karena itu, proses penyusunan fatwa dilakukan dengan proses pengkajian secara berulang-ulang dan didiskusikan secara konstruktif dengan meminta informasi dari pihak regulator, pelaku usaha/pebisnis, pihak asosiasi, dan pihak-pihak terkait lainnya.[16]
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DPS adalah: 1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya; 2) DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; 3) DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya kepada  DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; dan 4) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.[17]
Bagian terakhir dari Pedoman DSN-MUI adalah pembiayaan DSN. Dalam bagian tersebut dikatakan bahwa: 1) DSN memperoleh dana opersional dari bantuan pemerintah (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat; 2) DSN menerima dana iuran bulanan dari setiap Lembaga Keuangan Syariah yang ada; dan 3) DSN mempertanggungjawabkan keuangan atau sumbangan kepada MUI.[18]
Dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN–MUI) ditetapkan mengenai: 1) kedudukan dan status DSN-MUI; 2) keanggotaan, hak dan kewajiban DSN-MUI; 3) tata tertib kerja DSN-MUI; 4) fungsi dan tugas DPS; dan 5) keuangan DSN-MUI.
Pertama, kedudukan; DSN-MUI berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia dan merupakan bagian integral (tidak terpisahkan) dari Majelis Ulama Indonesia; dan satusnya adalah bahwa DSN merupakan satu-satunya institusi yang berwenang dan mempunyai tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa LBS/LKS serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga bisnis syariah di Indonesia.
Kedua, keanggotaan, hak dan kewenangan DSN: 1) anggota DSN terdiri dari ulama, pakar dan praktisi yang terkait dengan perkonomian dan muamalah serta memiliki akhlak karimah; 2) anggota DSN ditunjuk dan dianggakt oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun; 3) setelah jangka waktunya habis anggota tersebut dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali pada periode berikutnya; 4) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DSN dioperasionalkan oleh BPH DSN; 5) anggota DSN berhak mendapatkan bantuan transport rapat; dan 6) anggota BPH DSN berhak mendapat bantuan transport bulanan.
Ketiga, kewengan DSN-MUI adalah: 1) mengeluarkan dan mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga bisnis syariah dengan memperhatikan pertimbangan dari BPH DSN; 2) mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS dan dijadikan dasar tindakan hokum pihak terkait; 3) mengeluarkan fatwa yang menjadikan landasan bagi pihak regulator (antara lain Bank Indonesia dan Bapepam LK); dan 4) memberikan peringatan kepada lembaga Bisnis Syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa DSN-MUI.
Keempat, tata tertib kerja DSN; 1) DSN menyelenggarakan rapat pleno sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam tiga bulan atau pada waktu yang dianggap perlu; 2) materi, waktu, dan tempat rapat ditentukan oleh BPH DSN dengan persetujuan ketua dan sekretaris DSN; 3) surat undangan rapat disampaikan kepada anggota DSN sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum rapat dilaksanakan; dan 4) surat undangan rapat ditandatangani oleh ketua dan sekretaris DSN.
Rapat pleno yang diselenggarakan oleh DSN dimaksudkan untuk: 1) menetapkan, mengubah, dan mencabut berbagai fatwa dan pedoman kegiatan LKS; 2) mensahkan atau mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau pertanyaan mengenai suatu produk atau jasa LKS; dan 3) materi rapat pleno disiapkan dan diajukan oleh BPH-DSN.
Kegiatan-kegiatan DSN lainnya antara lain adalah: 1) menerbitkan laporan tahunan secara reguler disertai pernyataan secara resmi bahwa LBS/LKS yang bersangkutan telah/tidak memenuhi ketentuan syariah/fatwa DSN; 2) memberikan saran-saran pengembangan LBS/LKS kepada direksi dan/atau komisaris mengenai operasional LBS/LKS yang bersangkutan; 3) menerima usulan dan pertanyaan mengenai status hukum suatu produk/jasa LBS/LKS yang ditujukan langsung kepada sekretariat DSN untuk diteruskan/disampaikan kepada ketua BPH-DSN; 4) ketua BPH-DSN bersama dengan para ahli membuat memorandum yang berisi hasil penelaahan dan pembahasan suatu usul/pertanyaan yang kemudian menjadi materi utama dalam rapat pleno DSN guna dijadikan fatwa; dan 5) membentuk DPS sebagai wakil DSN pada LBS/LKS yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa DPS dibolehkan merangkap jabatan sebanyak-banyaknya 2 (dua) LKS pada lokasi yang sama dengan alamat yang berbeda.


[1] Paper disaampaikan dalam acara Seminar dan Workshop Review Kurikulum Program Studi Muamalah (HUkum Bisnis Islam) yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 29-31 Maret 2012 di Surabaya.
[2]Jaih Mubarok lahir di Bogor, 17 September 1967;  Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung; nyantri di Pesantren Darussalam Ciamis; S1 Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) SGD Bandung; S1 Fakultas Ekonomi Universitas Ars Internasional (sekarang Universitas BSI) Bandung; S2 Pascasarjana IAIN  (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; S2 Ilmu Hukum (PK Hukum Bisnis) Universitas Djuanda Bogor; dan S3 Pascasarjana IAIN  Syarif Hidayatullah Jakarta; telah riset di bidang syariah dan hukum bisnis, sebagian telah dipublikasi sekitar dua puluh buku; di antaranya tentang Fatwa DSN-MUI; sekarang aktif mejadi anggota BPH DSN-MUI.
[3]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000), hlm. 175-185; pada buku ini dijelaskan mengenai proses hukum yang terdiri atas: 1) pembuatan hukum; dan 2) penegakan hukum. Dalam Naskah Akademis: Money Laundering (Jakarta: Mahkamah Agung RI. 2006) digambarkan mengenai tiga domain: 1) domain pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang; 2) domain penerapan undang-undang tentang anti pencucian uang; dan 3) domain penegakan undang-undang tentang anti pencucian uang. Meskipun tidak sepenuhnya sama, kerangka berpikir ilmu syariah ini dikenalkan sebagai upaya pengembangan ilmu syariah; sebab fikih, fatwa, dan qanun dapat dimasukkan pada domain pembuatan hukum; kontrak-kontrak syariah di LBS/LKS dapat dimasukkan ke dalam domain penerapan hukum; dan penyelesaian sengketa bisnis secara syariah baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi termasuk dalam domanin penegakan hukum. Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dalam kuliah umum yang disampaikan dalam acara Dies Natalis ke-39 UIN Sunan Gunung Djati, mengungkapkan hal-hal berikut: Pertama, hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas elemen: 1) kelembagaan (institutional), 2) kaidah aturan (instrumental), dan 3) perilaku subyek hukum yang menjalankan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan (elemen subyektif dan kultural). Kedua, ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup: 1) kegiatan pembuatan hukum (law making), 2) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), 3) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjucating) atau penegakan hukum dalam artian sempit (law enforcement), 4) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education), dan 5) pengelolaan informasi hukum (law information management). Lima kegiatan tersebut dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara: 1) fungsi regulasi dan legislasi,  2) fungsi eksekutif dan administratif, dan 3) fungsi yudikatif dan yudisial.  Lihat Jimly Asshiddiqie, "Pembangunan Sistem Hukum Nasional: Hukum Islam dan Integrasi Pendidikan Hukum," Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-39 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 9 April 2007, hlm. 1-2. Dengan demikian, proses hukum muamalah yang mencakup: pembuatan, penerapan dan penegakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lima proses hukum seperti yang dijelaskan Jimly Asshiddiqie. Peraturan Mahakamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah salah satu domain law making dalam konteks penegakan hukum Islam.
[4]peran (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Peran paling sedikit mencakup tiga hal: 1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat individu dalam masyarakat; peranan dalam arti ini meupakan rangkaian peraturan yang membimbing individu dalam kehidupan kemasyarakatan; 2) peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; dan 3) peranan juga dapat diartikan sebagai perikelaku  individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1987), cet. ke-3, hlm. 221; dan Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan (Bandung: PT Alumni. 2008), cet. ke-1, hlm. 31-32. 
[5]Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi‘i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam  (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1992), hlm. 14.
[6] http:/www.Batatsa.com/?p=120; diakses  tanggal 12 Maret 2012.
[7] Konsideran (bagian b) Surat Keputusan MUI Nomor Kep-98/MUI/III/ 2001 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional Masa Bakti 2000-2005.
[8]Lampiran Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan Pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015, tetanggal 24 September 2010. 
[9] Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin III).
[10] Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah  (Jakarta: Bank Indonesia. 1999), hlm. 22.
[11]Dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI), III, ditetapkan bahwa masa bakti kepengurusan DSN MUI adalah 4 tahun; akan tetapi, dalam surat keputusan MUI tergambar bahwa masa bakti pengurus DSN-MUi adalah 5 tahun; lihat antara lain Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan Pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015, tetanggal 24 September 2010. 
[12]  Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI).
[13] Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin V, A).
[14] Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin V, B).
[15]Langkah-langkah penerbitan fatwa DSN-MUI dirincikan sebagai berikut: pertama, masalah yang diajukan oleh industri/regulator/ masyarakat  ke BPH DSN-MUI dilakukan kajian oleh Kelompok Kerja/Pokja yang relevan dengan melakukan langkah-langkah: 1) case hearing dengan pemohon, 2) klarfikasi dengan pihak terkait, 3) draft formulasi masalah, 4) konfirmasi para pihak, dan 5) formulasi masalah; kedua, formulasi masalah disampaikan oleh Pokja kepada BPH DSN-MUI yang selanjutnya dilakukan: 1) kajian hokum yang berupa: a) analisis dalil/adillah, dan b) analisis terhadap aqwal ulama, 2) industry and regulatory hearing, 3) draft formulasi solusi, 4) konfirmasi kepada regulator, 5) formulasi solusi/draft fatwa; dan ketiga, draft fatwa dari BPH DSN-MUI disampaikan kepada  Pleno DSN-MUI untuk diadakan sidang pleno dengan rangkaian kegiatan: 1) presentasi draft fatwa oleh BPH DSN-MUI, 2) tanggapan pleono (umum dan khusus), 3) penyempurnaan draft fatwa, 4) harmonisasi dengan fatwa dan regulasi lain, dan 5) persetujuan fatwa. Lihat H.M. Ichwan Sam dkk (Tim Penyunting), Tanya Jawab Seputar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: DSN-MUI. 2011), hlm. 19-20.      
[16]Unsur-unsur fatwa adalah: 1) Mustafti (peminta/pemohon fatwa), 2) Mufti/pihak otoritatif yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan opini/fatwa, 3) as’ilah/pertanyaan atau permasalahan yang diajukan agar mendapkan fatwa; dan 4) ajwibah/fatwa/ketetapan yang berupa pendapat mufti yang merupakan solusi atas hal-hal yang dipertanyakan.  
[17]Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI).
[18]Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin VI). Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum MUI (K.H.M. Sahal Mahfudh) dan Sekretaris Umum (H.M. Din Syamsuddin) tertanggal 30 Maret 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...