Rabu, 02 Mei 2012

PEREKONOMIAN ISLAM PADA MASA KESULTANAN BANTEN


Oleh: Rizanti Khairunisa


Kesultanan Banten terletak pada Provinsi Banten, Indonesia. Ibu Kotanya bernama Surosowan, Pulau Intan. Penduduk di daerah ini biasa menggunakan bahasa kesehariannya Jawa, Melayu, Arab dan Sunda.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddi[1]n ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[1]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[2]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[3] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[4] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[5]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[6]
Kesultanan Banten salah satu kerajaan maritim di Indonesia, yang mengandalkan perdagangan dalam  memenuhi perekonomiannya. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Kesultanan Banten ini menjadi jalur perdagangan yang ramai, bukan Nusantara saja cakupannya tapi ke Internasional juga.
Banten memiliki pelabuhan niaga internasional di Asia. Transaksi perdagangannya terjadi pada pagi dan malam hari. Terdapat tiga pasar yaitu pasar karangantu di  timur kota, pasar alun-alun, dan pasar di Pecinan. Negara atau Bangsa lain yang memasuki wilayah Banten dan melakukan perdagangan akan dikenakan pajak masuk yang memberikan keuntungan bagi Kesultanan Banten. Dengan demikian Kesultanan Banten mengalami kemajuan yang sangat cepat dan dapat memberikan kesejahteraaan bagi rakyatnya.  
Sumber perekonomiannya tak hanya dari perdagangan dan perlayanan saja, tetapi juga ada bercocok tanam di sawah dan kebun. Hal ini menyebabkan Kerajaan Banten[2]
[3]memperluas wilayahnya. Salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Banten adalah Lampung yang kemudian dijadikan sebagai tempat perkebunan lada. Semua yang dilakukan Kerajaan Banten bertujuan untuk memajukan kegiatan perekonomian sekaligus meningkatkan kemakmuran.
Sudah barang tentu, karena pada saat itu sistem pemerintahan dipusatkan di Masjid Agung Banten, maka hasilnya pun sebagian dikumpulkan di masjid tersebut, dari kesemuanya ini, peran Masjid Agung Banten sudah mempunyai tahap yang sangat penting sekali dalam hal pemberdayaan masyarakat Banten.
Keganjilan menyenafaskan masjid dan ekonomi segera terasa apabila kita memahami bahwa salah satu sifat masjid yang menojol dalam tanggapan muslim dewasa ini umumhya adalah kesucian, sedangkan ekonomi demikian duniawinya, sehingga kita tidak heran kalau mendengar bahwa dalam perdagangan orang berbohong dalam persaingan orang melakukan kezaliman, dalam perburuhan orang melakukan penindasan, dalam dunia perusahan orang melakukan intrik, dan melakukan lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam kapitalisme manusia memperalat manusia dan bangsa menjajah bangsa. Dalam situaisi beginilah nabi berkata : “Bagian yang paling dicntai oleh Allah dari sesuatu kota ialah masjid-masjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasar-pasarnya,”
Peranan masjid dalam bidang ekonomi memang bukan dalam wujud tindakan riil ekonomi, misalnya dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Peranannya terletak dalam bidang idiil atau konsep ekonomi, misalnya hubungan modal dan kerja majikan dan buruh, hutang piutang dan kontrak, jasa kapital dan tenaga, pembagian kekayaan, cara berjual-beli, ukuran dan takaran kegiatan serta bermacam-macam usaha yang lain.
Dasar dan prinsip-prisnip ekonomi telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Tetapi bermacam-macam kegiatan dan wujudnya tidak terdapat di dalamnya. Kenyataan dan wujud penghidupan selalu terus berubah, seirama dengan perubahan kebudayaan, karena bidang ekonomi itu adalah bidang utama kebudayaan. Sebab itu wujud dan kenyataan ekonomi selalu berubah dari zaman ke zaman dan dapat berbeda dari ruang ke ruang.
Dalam masyarakat lama dan terbelakang kehidupan ekonomi itu berpusat di pasar-pasar, tempat bertemunya produsen, distributor dan konsumen, ramailah dilakukan jual-beli. Supaya dalam jual-beli itu orang mengusahakan keuntungan dengan jalan halal, jadi berpokok pada takwa, maka didirikanlah masjid yang tidak jauh dari pasar. Pasar dan masjid berpandang-pandangan. Semua orang yang berusaha, dalam melakukan kegiatannya ia terpandang kepada masjid, yang mengingatkan takwa kepada mereka, sebagai awal dari amalan. Bila datang waktu shalat, mereka meninggalkan jual-beli untuk berhubungan dengan Tuhan menyegarkan takwa dalam diri.
Selalu mereka diuji, apakah mereka lebih mementingkan pasar daripada masjid. Mereka lalu diingatkan akan hadis, bahwa Tuhan mencintai masjid dan membenci pasar. Apabila muslim itu memberikan makna bahwa masjid telah kehilangan fungsi dan peranannya dalam kehidupan ekonomi maka berakhirlah kontrol dan tuntunan masjid dalam kegiatan masyarakat muslim.
Karena itu masjid tetap memainkan perannya dalam kehidupan ekonomi, dengan terwujudnya peranan masjid dalam bidang ekonomi, maka pernyataan dan wujud kehidupannya dapat berubah-ubah dan beragam sekali tetapi selama masjid memainkan peranannya, selama itu pula ia luangkan asas dan prinsip-ptinsip itu kepada Islam.
Peran masjid dalam bidang ekonomi, ekonomi yang dimaksud dalam hal ini bukan praktek tetapi ide ekonomi. Yang di bina dan dipelihara oleh masjid ialah pola cita dan konsep-konsep ekonomi, melalui khotbah Jum’at, tabligh, musayawarah, penerangan, dan penghayatan, masjid memberi petunjuk kepada masyarakat supaya mengasakan kehidupan dan praktek ekonomi pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang di ulas dan di tafsirkan oleh ijtihad. Segi-segi ekonomi itu misalnya : hubungan modal dan kerja, hutang piutang, makna riba dalam tingkat-tingkat dan bentuk-bentuk ekonomi.
Dengan dijalinnya Ukhuwah Islamiyah antara jama’ah ekonomi masjid, masing-masing membersihkan niat mereka, sebab seorang saudar tidak akan merugikan saudranya, bahkan berusaha supaya sama-sama senang.
Sebagaimana Masjid Agung Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, telah menjalankan perannya dalam bidang ekonomi dengan sangat baik. Karena dengan adanya Masjid Agung Banten, para pedagang baik yang berasal dari dalam maupun luar Banten, memahami dengan benar arti masjid dan kaitannya dengan ekonomi. Setiap pedagang yang ingin melakukan penipuan, pengurangan dan lain sebagainya yang akan merugikan konsumen, mereka terpandang oleh takwa, karena dihadapan mereka adalah masjid, oleh karenanya Masjid Agung Banten yang oleh Sultan Maulana Yusuf dijadikan sebagai pusat peribadatan umat Islam, selalu menyampaikan dalam tiap khutbahnya, agar di antara sesama umat Islam tidak saling merugikan, dengan kata lain masjid dengan ekonomi adalah salah satu pendukung terjalinnya ukhuwah islmiyah di antara sesama.
Dengan jelasnya peran Masjid Agung Banten dalam bidang ekonomi yaitu satu sama lain memberikan ide ekonominya untuk memperbaiki perekonomian ke arah yang lebih maju lagi. Konsep ini berlaku sampai kepada ekonomi dunia, karena para pedagang-pedagang asing yang datang ke Banten untuk berdagang selalu diingatkan oleh prinsip ekonomi yang dijalankan di Banten, sebagai salah satu pusat perekonomian yang pada saat itu berkembang.
Demikianlah hubungan masjid dengan kehidupan ekonomi, ia adalah pusat dari Addin, bukan hanya pusat dari agama saja. Ekonomi adalah bagian dari Islam, jelasnya bagian dari kebudayaan sekalipun ekonomi bersifat duniawi, kehidupan ekonomi muslim bertaut dengan masjid.
Perekonomian Kerajaan Banten sudah mengalami kemajuan sejak zaman Sultan Maulana Yusuf dan Sultan Hasanudin. Puncak kejayaan perekonomian makin berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Abulfath’ atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Hal tersebut karena Sultan Ageng Tirtayasa merupakan pemimpin yang cerdas, pandai berdiplomatik, dan menguasai bisnis sehingga beliau mampu menarik perhatian bangsa Eropa dan bangsa lainnya untuk melakukan hubungan dagang dengan Kerajaan Banten. Negara-negara tersebut antara lain, Turki, Arab, India, Cina, Spanyol, Portugis, Melayu, Gujarat, dan sebagainya. Hingga pada tanggal 22 Juni 1956 Belanda merasa terpanggil untuk singgah di Banten, dari persinggahan itulah akhirnya Belanda tertarik untuk menguasai perekonomian Banten yang merupakan penghasil rempah dan lada. Belanda melakukan monopoli perdagangan sekaligus memblokade pelabuhan niaga yang dimiliki Banten, hal tersebut tentunya menimbulkan kesengsaraan rakyat di bidang perekonomian hingga akhirnya menuntut Sultan Ageng Tirtayasa dan rakyatnya untuk melakukan perlawanan demi mendapatkan kesejahteraan Banten seperti semula. Sumber utama www.wikipedia.com



2 Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
 [2]  Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat.
3Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
4 Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...