Selasa, 05 Juni 2012

Concept Of Rabbani Education

Oleh: Muhammad Sarbini


Pendahuluan
SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul dalam perspektif Islam disebut sebagai kelompok masyarakat sābiqun bi al-khairāt [1] (pemenang lomba kebaikan atau pencetak rekor kebaikan). SDM unggul yang nerupakan kelompok masyarakat sābiqun bi al-khairāt adalah sumber daya yang merefleksikan delapan karakter khusus yang dimilikinya, yaitu:
1.    Memiliki rasa takut kepada Allah Swt (al-khauf min Allah).
2.    Memiliki kekuatan iman (quwwah al-imān)
3.    Memiliki tauhid yang bersih (tajrīd al-tauhīd)
4.    Mengenal urgensi waktu dan umur (ma`rifah qīmah al-awqāt wa al-a`mār)
5.    Tekad yang jujur, cita-cita yang tinggi dan kemauan yang kuat.
6.    Semangat kompetitif dalam setiap kebaikan
7.    Hati yang bersih (salāmah al-shadr)
8.    Peniti jalan pendahulu mereka yang shalih.[2]
Adian Husaini dalam catatannya yang disampaikan dalam diskusi sabtuan di INSIST, 12 Juni 2010 M mengatakan bahwa inilah hakekat dari tujuan pendidikan, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M. Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”[3]
Tujuan pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir telah difahami oleh para pemikir sejak 600 tahun SM ini[4], pada tataran kebijakan dan aplikasinya di dunia pendidikan di Indonesia –menggunakan istilah Ibn Taimiyah-[5] masih bersifat `ilm al-yaqīn (informasi ilmiyah yang diyakini), belum sampai kepada `ain al-yaqīn (realita yang diyakini) apalagi sampai kepada haq al-yaqīn (perwujudan hakiki keyakinan).
Pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa.[6]
Ahmad Tafsir memaparkan bahwa pendidikan Indonesia dewasa ini memiliki 7 persoalan yang amat menonjol, yaitu:
Pertama, sistem pendidikan yang masih kaku. Suatu sistem yang terperangkap dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-cirinya yang dapat dilihat dengan mudah, yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.[7]
Kedua, Sistem pendidikan nasional telah diracuni oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk? Karena sistem kita tertutup. Manipulasi dana masyarakat banyak terjadi, baik untuk kepentingan organisasi politik atau kelompok atau kepentingan pribadi.
Ketiga, sistem pendidikan tidak berorientasi pada pemberdasyaan masyarakat. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti dengan praktik-praktik yang memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik. Rakyat tidak diperdayakan melainkan diperas. Mutu lulusan rendah.[8]
Keempat, Sistem pendidikan belum mengantisipasi abad ke-21.
Kelima, biaya pendidikan terlalu kecil.
Keenam, pendidikan masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak sanggup korupsi.
Ketujuh, daya saing lulusan memang belum tinggi.[9]
Menurut penulis ada problem dasar pendidikan yang lebih utama dilihat dari perspektif Islam, yaitu sekularisme dalam dunia pendidikan.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Sehingga realita masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi keterpurukan, setidaknya menurut kacamata Islamic worldview, yang ditandai oleh:
1.    Masih maraknya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal kesyirikan.
2.    Masih cukup dominannya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal bid`ah
3.    Kemaksiatan kolektif atau terbuka yang terbiarkan
4.    Kezaliman-kezaliman sesama yang sulit dicegah dan dihentikan.[10]


[1]     Qs. Fathir [35]: 32
[2]     Intisari dari Qs. Al-Mu`minun [23]:57-61. Baca: Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Freh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Saudi Arabia: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, Cet ke-3, Juz. I, hlm. 332-336
[5]     Khālid Abū Syādī, Rihlah al-Bahts `An al-Yaqīn, Thanthā: Dār al-Basyīr, 2006, Cet ke-1, hlm.13
[6]     Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Depok: Komunitas Nuun, 2011, hlm. 37
[7] Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, Dalam Buku “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009, Cet ke-1, hlm. 35
[8] Ibid, 36
[9] Ibid, 37-39
[10] DPP Hasmi, Tugas dan Tujuan, Bogor: Hasmi, 2010, cet ke-2, hlm. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...