Sabtu, 09 Juni 2012

Gaji Da’i…


Oleh : Abu Abdussalam


Dienul Islam yang merupakan pintu gerbang kebahagiaan dan keselamatan diasaskan pada 2 konsep dasar : yaitu syahadat tidak ada Ilah (yang diibadahi secara hak) kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Kalimat "rasul Allah" bagi Muhammad saw merupakan manath ad  dien yang terkandung dalam firman Allah ta’ala :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. 3:19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari dien selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)
Dengan demikian, dien Al Islam merupakan suatu risalah yang mengindikasikan bahwa para utusan Allah – termasuk Muhammad r di dalamnya – itu membawa suatu risalah tertentu. Sebuah risalah, apapun bentuk risalah tersebut – menurut Dr. Farid bin Al Hasan Al Anshari – memiliki 4 unsur :
1. Al Mursil (Pihak yang mengutus) yaitu pihak yang berwenang  mengirimkan risalah.
2. Al Mursal Ilaih (Pihak yang menerima) yaitu pihak yang dikehendaki oleh risalah tersebut.
3. Ar Rasul (Utusan) yaitu pihak yang diberi amanah membawa risalah dari pihak yang mengutus untuk disampaikan Kepada pihak yang dikehendaki oleh risalah.
4. Al Khithab Al Mursal (Isi Risalah) yaitu isi berita yang dibawa oleh utusan dari pihak yang mengutus.[1]
Kedudukan Muhammad r sebagai utusan yang bertanggung jawab menyampaikan risalah tersebut tidak memiliki perbedaan asasi dengan manusia lainnya. Perbedaan asasi beliau dalam hal ini terletak pada pihak yang mengutusnya yaitu Allah I, Zat satu-satunya yang Maha mencipta, memiliki dan menata seluruh alam semesta serta pada isi risalah yang diembannya yaitu Kalamullah yang berisi seluruh unsur kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan dan kemashlahatan bagi manusia dan kemanusiaan, bahkan bagi seluruh alam semesta. Dalam hal ini Allah I mengingatkan :
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah:"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku:"Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu adalah Ilah Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". (QS. 18:110)
Kedudukan yang diemban oleh Muhammad r, Rasul Allah ini diwujudkan dalam bentuk dakwah dan tarbiyah yang matin (kokoh) dan mutawashilah (berkesinambungan) dalam proyeksi tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (pensucian jiwa) dan ta`lim (mengajarkan Kitab dan hikmah) yang digambarkan oleh Allah I dalam firmanNya :
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 62:2)
Pada dasarnya dakwah Islamiyah – menurut Abu Ridho – merupakan proses al-tahawwul wa al-taghayur (transformasi dan perubahan) dari yang tidak baik ke arah yang baik dan dari yang baik ke arah yang lebih baik hingga terbangun kehidupan individu dan kemasyarakatan yang Islami. Dalam konteks internal ummat, dakwah dimaksud adalah upaya melakukan perubahan ke arah perbaikan umat, keselamatan masyarakat, dan kemajuan bangsa dan negaranya serta memastikan nilai-nilai Islam menajadi warna seluruh dimensi kehidupan serta terciptanya suasana lingkungan (domestik dan publik) yang Islami.
Proses transformasi itu meliputi perubahan dari ketidaktahuan pada yang haq menjadi tahu, dari tahu menjadi gagasan atau konsep, dari konsep menjadi sebuah aktivitas atau amal yang melahirkan kemanfaatan, bukan hanya pada pelakunya tetapi juga pada kemanusiaan sejagat. Selanjutnya aktivitas dan amal itu mengantarkan pada pencapaian tujuan suci da`wah, yaitu memperoleh ridha Allah I. [2]
Akan tetapi fenomena yang muncul terkadang mengaburkan prinsip-prinsip ideal yang terkandung dalam dakwah tersebut. Misalnya – sebagaimana yang ilustrasikan oleh Dr. Setiawan Budi Utomo - ada semacam pameo yang sering beredar di bulan Ramadhan, di kalangan para da`i, kiai, mubalig, ustadz, dan penceramah apapun julukannya, bahwa bulan suci Ramadhan merupakan bulan penuh berkah dan bulan panen kebajikan. Namun pengertian dan konotasi hal itu khash di kalangan sementara pendakwah atau mubaligh yang lebih diplesetkan yang cenderung menjadi "kesempatan mengejar omzet dan target materi" di balik aktivitas dakwah dan ceramah. Sehingga pengertiannya berubah menjadi bulan penuh berkah order dan bulan panen kebajikan (khairat) berupa panen "amplop". Sementara yang dipahami oleh masyarakat awam, umat, dan para jamaah adalah bulan penuh berkah berupa pahala, rahmat, dan maghfirah yang berlimpah dan berlipat sehingga perlu peningkatan mobilisasi ibadah.
Dan tentunya, fenomena seperti itu juga muncul di bulan-bulan ramai kegiatan keagamaan dan volume permintaan ceramah seperti bulan syawwal (dengan seremonial halal bi halal), bulan maulid Nabi r. (Rabi`ul Awwal yang molor sampai satu atau dua bulan setelahnya), bulan haji (Dzulhijjah yang di awali satu bulan sebulan dan sesudahnya melalui manasik, walimah shafar sampai syukuran kedatangan yang berlanjut memasuki bulan Muharram dengan seremonial perayaan tahun baru Islam). Demikian pula bulan Rajab (dengan peringatan Isra Mikraj).
      Selain itu, pameo lain juga beredar di hari Jumat seperti yang dilontarkan seorang kawan mengenai pesan surah Al Jumuah yang memang diartikan secara terbalik oleh sementara khatib, yaitu "Apabila dipanggil untuk shalat jumat maka bersegeralah kepada dzikrullah dan bergegaslah meninggalkan aktivitas bisnis". Hal ini konon justru berlaku terbalik bagi para khatib, yakni apabila telah menjelang shalat jumat maka para khatib bergegas menuju panggilan profesi "bisnis khotbah jumat".
Fenomena sosial para dai dan mubaligh seperti itu kemudian memunculkan berbagai pertanyaan yuridis fiqih maupun etika dakwah, yaitu bolehkan seorang khatib atau pemberi ceramah menerima amplop, upah, honor, atau uang transpor ? Bagaimana kalau yang diterimanya itu lebih besar dari uang transpor yang sebenarnya ia keluarkan ? Bagaimanakah posisi niat dakwah terhadap imbalan materi yang diambil melalui dakwahnya ? Bagaimana sikap dai bila disodori amplop ? Mengurangi keikhlasan atau tidak ? Apakah dai atau mubalig yang memiliki motivasi dan pertimbangan materi di samping risalah dakwahnya tersebut etis menurut kode etik dakwah dan apakah diperbolehkan menurut syariah ? Bagaimana solusi dan jalan keluarnya yang bijak dengan pertimbangan kondisi sosial ekonomi yang ada ? Dapatkah dakwah diposisikan sebagai profesi yang menjadi mata pencaharian para dai dan mubalig ? Bolehkah ilmu agama dikompensasikan dengan imbalan materi, apakah tidak sama dengan menjualbelikan ayat ? Bagaimanakah reposisi independensi amar makruf dan nahi munkar dai bila menerima amplop dari klien dan mad`u-nya yang sangat beragam ?
Secara prinsip memang boleh saja seorang dai, mubalig, khatib, dan penceramah menerima amplop atau honor, sebagaimana difatwakan oleh Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam Fatawa Mu`ashirah-nya. Hal itu sama halnya seperti guru, imam, muadzin, dan lain-lain yang oleh pendapat para ulama klasik diperbolehkan untuk mendapatkan honorarium dengan disertai harapan agar mereka melaksnakan tugas dan fungsi mereka dengan amanat serta ikhlas demi Allah, bukan sekedar mengejar imbalan uang.[3]
Memang bila dilihat dari segi tinjauan fiqih bahwa upah atau imbalan atas profesi ataupun jasa dakwah berupa penyampaian ilmu dan penyadaran agama secara langsung dengan pesan verbal, baik melalui mimbar masjid, podium ruangan yang tanpa maupun disiarkan oleh media elektronik dan cetak merupakan salah satu bentuk ujrah (sewa atau upah); yang dibayarkan untuk jasa profesi yang diperbolehkan oleh para ulama. Hal tersebut tak ubahnya seperti profesi guru, kontraktor, konsultan, dokter dan sebagainya yang terikat dengan kesepakatan, baik tertulis dan dinyatakan secara lisan maupun yang berlaku secara konvensional berdasarkan adat kebiasaan, sebagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab fiqih klasik seperti Al Bada`i, IV/174, Takmilah Fathul Qadir, VII/200, Tabyin Al Haqaiq, V/133. Pembahasan tentang ujrah dan ijarah tersebut juga diklasifikasikan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili menjadi ijarah (sewa) atas barang maupun sewa atas jasa profesi orang yang keduanya diperbolehkan oleh syariah selama obyek sewanya baik dan halal (al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IV/766).
Namun, jika kita kembangkan kepada wacana pembahasan yang lebih luas, masalah ini tidak akan sesederhana itu karena mencakup berbagai dimensi dan aspek, terutama jika dai, mubalig, dan penceramah itu menerima langsung order maupun "amplop" dari "klien" atau mad`u, maka hal itu kembali kepada kepribadian dai dan mubalig sesuai dengan kadar keikhlasan dan keimanannya yang akan berpengaruh kepada integritas dan independensinya dalam menyampaikan ilmu dan kebenaran tanpa dipengaruhi oleh imbalan materi. Kuncinya memang niat, sebagaimana Rasulullah r sabdakan, "Sesungguhnya amal itu nilainya bergantung pada niatnya." (HR Bukhari dan Muslim). Beliau sebutkan bahwa dua faktor penting yang sangat berpotensi mempengaruhi niat ikhlas seseorang adalah dunia dan perempuan yang bertarung melawan motivasi mencari ridha Allah dan cinta Rasul-Nya. Meskipun aktivitas belajar dan mengajar Al Qur`an (ilmu agama) dikategorikan Nabi r sebagai profesi yang paling mulia, namun bila niatnya melenceng dan cenderung kepada motivasi materi, justru akan dijauhkan dari surga (Imam Nawawi dalam Riyaadhush shalihin : 671).
Di samping itu, yang perlu diwaspadai dan diperhatikan kembali oleh para dai, apakah sebenarnya posisi amplop atau uang yang disodorkan kepadanya dilihat dari berbagi konteks dan situasinya, terutama dari perorangan kepada perorangan, dari lembaga yang terkait dengan posisi rentan kolusi yang dimiliki dai. Dalam hal ini, amplop yang ditawarkan tersebut dapat menjelma dalam berbagai bentuk, baik sebagai hadiah penghargaan, pengganti transpor, imbalan atau upah jasa, honorarium profesi, suap halus melalui pemanggilan ceramah, setoran wajib kepada tokoh. [4]
Perlu dicermati bahwa di dalam Islam, da`wah merupakan kewajiban syar`i (agama) dan ijtima`i (sosial) yang mesti ditegakkan. Hal ini telah ditegaskan dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan sabda nabi Muhammad r yang menjelaskan kewajiban berda`wah, baik sebagai kewajiban individual ataupun sebagai kewajiban kolektif. Firman Allah yang mengisyaratkan kewajiban berda`wah yang ditujukan pada setiap individu muslim antara lain :
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 16:125)…
Sedangkan firman Allah yang dinilai sebagai perintah da`wah yang harus dijalankan secara kolektif  antara lain :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104) [5]
                  Untuk itu jalan keluar yang mungkin dapat diterima secara logika dan hukum dapat diambil melalui sampel yang dikemukakan oleh syekh Rasyid Ridha setelah meriwayatkan pendapat para ulama tentang tafsir surah at-Taubah : 60, dimana beliau menjelaskan, "Di antara alokasi penyaluran infak (zakat) fi sabilillah yang terpenting pada saat ini adalah menyiapkan kader-kader mubalig yang berdakwah ke wilayah kafir melalui koordinasi organisasi Islam secara profesional yang mampu membiayai dan menjamin kebutuhan finansial mereka, untuk mengimbangi gerakan misionaris, dan zending yang mengirimkan dan membiayai para dai mereka untuk secara Allah swt  out dan profesional menyiarkan agama mereka." (Tafsir al-Manar, 506). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadits Nabi r yang menyatakan bahwa sebaik-baik imbalan yang diterima adalah dari pengajaran kitabullah. (Op.Cit : 110) 
                  Sebagai salah satu sarana da`wah yang esensial, jama`ah / organisasi dakwah dapat mensinergikan semua potensi ummat dalam spesialisasi yang utuh dan terpadu bagi masing-masing individu da`i yang tergabung di dalamnya. Bahkan dalam sejarah perkembangan Islam, spesialisasi di medan da`wah ini merupakan keniscayaan kemanusiaan dan thabi`at keagamaan. Saat Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa`ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid dan `Amr bin Ash memerdekakan Syam, Mesir dan Irak, saat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali memimpin politik dan memberdayakan kehidupan umat, terdapat Mu`adz bin Jabal, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang bertugas mendidik, memberi fatwa dan mentarbiyah umat, ada Abu Hurairah, Anas dan Aisyah yang menghafal dan meriwayatkan hadits, terdapat Abu Dzar dan Abu Darda yang menjadi penasehat jiwa untuk umat dan para pejabat. Mereka saling berta`awun dan tidak saling memburukkan…mereka saling bekerjasama bukan saling menghancurkan. Bahkan Adnan bin Muhammad Ali `Ar`ur menyatakan bahwa " Dien kita adalah dien Spesialisasi dan ta`awun, bukan dien kegalauan dan kekacauan". [6]
Untuk itulah dibutuhkan siyasatud dakwah yang merupakan istiglalul amsal li mashodiril quwwah, suatu upaya mendayagunakan secara maksimal seluruh potensi dan kekuatan dakwah, internal maupun eksternal – personal maupun meterial untuk mencapai sasaran-sasaran dakwah. Berdasarkan visi jamaah di atas, seorang mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya baik pribadi, keluarga maupun ummat.
Seorang yang bersifat Ihsan dalam mengidarohi dakwahnya, baik dalam wazhifah masiriyah maupun wazhifah tanzhimiyah; niscaya akan meraih amal yang muntijah (produktif) dunia dan akhirat. Ihsan dalam mengidarohi dakwah antara lain meliputi;
a.       Ihsan dalam perencanaan dakwah termasuk di dalamnya: menentukan target dan tujuan dakwah berupa proyeksi jangka panjang atau pendeknya berdasarkan nizham jamaah. Membuat aturan dan sistem yang memudahkan pelaksanaan dakwah di berbagai bidang kehidupan dengan melibatkan seluruh elemen jamaah terkait. Membuat program-program dakwah yang aplikatif dalam medan da’wah.
b.      Ihsan dalam pengorganisasian dakwah. Meliputi ihsan dalam menyelenggarakan loqaal-loqaal tanzhimiyah di berbagai peringkatnya. Menepati waktu-waktu kedatangannya, berpartisipasi secara aktif baik dari segi ruhiyah maupun fikriyah dalam syura. Membagi-bagi tugas dalam struktur dakwah, memberikan penugasan yang memungkinkan orang-orang giat bekerja dalam dakwah.
c.       Ihsan dalam operasionalisasi dakwah : termasuk di dalamnya melaksanakan dakwah dengan sebaik-baiknya dalam berbagai peringkat, sesuai dengan tuntunan minhaj yang telah ditentukan. Berhubungan  dengan mad’u dan du’at lain secara baik berdasarkan prinsip ukhuwah islamiyah.
d.      Ihsan dalam memutaba’ahi dan mengevaluasi da’wah meliputi kontrol pelaksanaan dakwah secara tepat dan memberikan kegairahan untuk meningkatkan kualitas amal. Kontrol terhadap keuangan jamaah secara baik sehingga dapat mengefektifkan pengalokasian dana dakwah.
e.       Ihsan dalam melibatkan para pendukung dakwah, baik keluarga maupun masyarakat. Menempatkan manusia sesuai kedekatannya dengan dakwah dan jama’ah. [7] (H. Hilmi Aminuddin, 2003 : 117-126)
Pembentukan sosok tubuh perubah (dalam hal ini berbentuk organisasi dakwah) yang kuat, yang sanggup mengadakan perubahan total dan mempertahankan hasil dari perubahan itu serta meneruskannya menuju kepada kesempurnaan berarti merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan pula. Bagian-bagian dari sosok ini adalah personal (manusia) tandzim (sistem) dan harta (sarana).[8] (Dawatuna : )Di sinilah keterkaitan masalah da`wah dan hukum yang tekandung dalam fiqh muamalah menjadi sesuatu yang tidak dapat dilepaskan, karena di antara faktor-faktor produksi yang merupakan bagian integral dari suatu fungsi ekonomik diantaranya adalah tenaga kerja (manusia), modal (harta) dan organisasi (tandzim), di samping tanah. Memang dalam Islam ini merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya sebagai suatu syumuliyah dan takamul ajaran-ajaran Islam, bahkan Dr As Sayyid Muhammad Nuh mencantumkan Asy Syumul dan takamul disertai tawazun merupakan salah satu dari qaedah dan titik tolak dakwah yang amat urgen. [9]
Dari pandangan inilah seorang da`i yang melakukan dakwah dalam suatu lembaga atau organisasi memiliki 2 fungsi : sebagai da`i yang harus memiliki bekal dakwah dan metodologi dakwah serta sebagai pekerja yang akan terkait dengan berbagai konsekwensi kerja seperti bentuk kerjanya (job description), batas waktu kerja (timing), besar gaji / upahnya (take home pay) serta berapa besar tenaga / keterampilan yang harus dikeluarkannya (skill). Dengan begitu, pekerjaan (dakwah) tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika hukum syara` memperbolehkan menggunakan pekerja, maka hukum syara` ikut menentukan pekerjaannya, jenis, waktu, upah tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh seorang pekerja sebagai kompensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik (yang halal) dari orang tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia curahkan. [10]

3 komentar:

  1. DAFTAT SEKOLAH/PESANTREN MANHAJ SALAF:

    1. MA’AHAD RAHMATIKA AL-ATSARI SUBANG
    RAYA DAYEUHKOLOT SAGALAHERANG, SUBANG
    TEL : 0260-7481974
    http://www.mahadrahmatika-alatsari.com

    2. SD ISLAM MAFAZA
    JL. BANDAR II UJUNG NO. 44, JAKARTA UTARA 14230
    TEL : 021-43903030
    E-MAIL : mafazajakarta@yahoo.com ; yayasan@mafazajakarta.com

    https://groups.yahoo.com/neo/groups/assunnah/conversations/topics/58486

    3. PESANTREN MINHAJ SHAHABAH
    KAMPUNG SUKAMAJU RT.001/RW.011, DESA SUKAMANTRI
    KEC. TAMANSARI, KAB. BOGOR
    TEL : 0251-8486112
    http://www.minhajshahabah.com

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikumwr wb : sy sngat berterimakasih atas tulisan ini, mhn shre yaa :)

    BalasHapus
  3. alhamdulillah dengan tulisan ini saya tidak merasa bersalah atas pemberian amplop ke para khotib yang bertugas di masjid baitussalam kampus sttj, terima kasih yaaa

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...