Selasa, 14 Agustus 2012

Kritik RUU Peradilan Agama

Oleh :  Hj. Aah Tsamrotul Fuadah *

Baru-baru ini sangat ramai dibicarakan di media-media massa dan media elektronik,  polemik mengenai nikah siri. Polemik ini timbul gara-gara diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun, dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini menimbulkan pro dan kontra. Pada umumnya mereka yang pro itu adalah para perempuan, karena RUU itu dimaksudkan untuk melindungi pihak perempuan dan anak-anak, sebab perempuanlah yang banyak dirugikan dengan nikah siri itu karena pernikahannya tidak legal menurut hukum negara, bahkan menurut salah seorang aktifis perempuan, Musdah Mulia misalnya mengatakan bahwa nikah siri itu kerap dijadikan ajang wisata seks, karena itu RUU tersebut dinilainya sebagai kemajuan. Sebaliknya pendapat yang kontra menilai RUU itu menggunakan logika terbalik dalam memandang kasus nikah siri sebagai masalah sosial, sebab sangat tidak logis dan aneh kalau nikah siri dihukum, tetapi perzinaan, fee sex, dan kumpul kebo dianggap bagian dari HAM karena suka sama suka. Hasyim Muzadi menilai bahwa pemidanaan nikah siri yang diatur dalam RUU tersebut adalah sebagai langkah yang tidak benar,  cukup sanksi administrasi saja untuk mereka. Harusnya yang lebih dahulu dipidanakan itu yang melakukan hubungan seks di luar nikah. Menurutnya RUU tersebut mengandung agenda tersembunyi untuk melegalkan mereka yang melakukan seks bebas, tapi  malah menyalahkan yang nikah[1].

Rancangan Undang-Undang  (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan tersebut akan menyebabkan perubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Salah satu perubahannya adalah tentang sanksi pidana bagi pelaku perkawinan baik sanksi pelanggaran maupun  kejahatan. Ketentuan pidana yang dimaksud tercantum dalam pasal 143 sampai pasal 150 RUU  dengan ketentuan : Pasal 143 tentang Pelaksanaan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, pasal 144 tentang Perkawinan mut’ah, pasal 145 tentang perkawinan poligami tanpa izin pengadilan, pasal 146 tentang perceraian  tidak di depan sidang Pengadilan, pasal 147 tentang perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya, pasal 148 tentang pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah, pasal 149  tentang siapapun yang bertidak seolah-olah sebagai Pencatat Perkawinan atau wali hakim, pasal 150 tentang siapapun  yang bukan wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Sedangkan pada pasal 151 dinyatakan bahwa  pasal 143, pasal 145, pasal 146 dan pasal 148 merupakan tindak pidana pelanggaran, sedangkan pasal 144, pasal 147, pasal 149 dan pasal 150 dinyatakan sebagai tindak pidana kejahatan.
Sanksi yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana tersebut ada yang berupa pidana denda, pidana kurungan dan atau pidana penjara. Hal tersebut karena tindak pidana dalam pasal-pasal tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana  pelanggaran dan tindak pidana kejahatan,[2] sedangkan proses penindakannya berdasarkan pada laporan dari masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, setelah melalui penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Jika melihat Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 26 menyebutkan bahwa, Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya , bahwa unsur agama tidak dilibatkan dalam menyatakan  sebuah perkawinan, oleh karenanya perkawinan hanya bisa dilihat dari sisi keperdataan dan bersifat sekuler. Batasan perkawinan tersebut berbeda dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan, yang pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.  Ketentuan tesebut menggambarkan dengan tegas bahwa unsur agama tidak dapat dipisahkan dari keabsahan suatu perkawinan. Dengan kata lain perkawinan di Indonesia merupakan perkawinan yang tidak sekuler.
Benar, bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan adanya sanksi pidana bagi pelanggarnya padahal sanksi tesebut dapat ditentukan karena undang-undang adalah produk  wakil rakyat,  sehingga logis jika di dalam Undang-undang tersebut diatur sanksi pidana, yang berarti rakyat menghendakinya.
Jika kita berpikir positif bahwa nikah bukan semata-mata mengikat hubungan antara satu orang laki-laki dan perempuan, tapi menimbulkan konsekwensi yang sangat luas tidak hanya pada pelaku pernikahan tersebut, melainkan juga pada anak-anak akibat perkawinan, keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan demikian pernikahan tidak dianggap selesai dengan hanya terjadinya akad nikah, tetapi sejalan dengan perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia khususnya dan di dunia muslim pada umumnya, maka pencatatan perkawinan merupakan pembaharuan hukum Islam demi tertibnya administrasi keluarga dan kependudukan. Hal ini penting karena hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah dan dipandang sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam.


*Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung

[1]  http://karodalnet.blogspot. Com/2010/ruu-nikah-siri.html
[2].Tindak pidana pelanggaran tercantum dalam pasal 143, 145 dan pasal 146 pelaku dikenakan pidana   penjara enam bulan dan atau  denda sebanyak-banyaknya Rp 6000.000,- .Sedangkan pasal 147 pelaku dikenakan pidana penjara satu tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 12.000.000,- Untuk tindak pidana kejahatan yang tercantum pada pasal 144, 149 dan pasal 150 pelaku dipidana penjara tiga tahun, dan pada pasal 147 pelaku dipidana tiga bulan. Lihat Rancangan Undang-Undang Perkawinan Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang PerkawinanTahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...