Minggu, 26 Agustus 2012

Paradigma Tauhid Bagi Pengembangan SDM Syariah


Oleh : Abu Fathi Arijulmanan

Paradigma Tauhid adalah landasan bagi penumbuhkembangan karakter insan muslim dalam segala sendi kehidupan, termasuk didalamnya  pengelolaan sumberdaya insani.  Hal ini sangat mendasar karena sebuah konsep tanpa landasan yang kokoh maka dia akan menjadi sesuatu yang rapuh “termakan” atau terpengaruh oleh variabel-variabel lainnya.
Paradigma Tauhid dalam hal ini adalah berbicara tentang Aqidah Islamiyah.   Definisi Aqidah mengacu pada Lisaanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur dan Mu’jamul Wasiith yang dikutip oleh Yazid Jawas, Aqidah menurut bahasa berasal dari kata “al-‘Aqdu yang berarti ikatan, at-Tautsiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-Ihkamu artinya mengokohkan/menetapkan, dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat.    Sedangkan menurut istilah adalah iman yang teguh dan pasti,yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.[1]
Sehingga dalam penjelasan yang lebih luas , dikemukakan bahwa Aqidah Islamiyah adalah : Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban bertauhid (Tauhid Rububiyyah,Tauhid Uluhiyah dan Asma’ dan Shifat Allah) dan taat kepada-Nya,beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,Kitab-kitab-Nya,hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang  sudah shahih tentang Prinsip –prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yanmg ghaib,beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafus Shalih,serta seluruh berita-berita qath’i (pasti),baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Quran dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafus Shalih[2]
Dengan acuan terhadap definisi Aqidah sebagaimana telah dijelaskan dimuka, maka tatkala manajemen sumberdaya insani adalah juga bagian dari aktifitas seorang muslim yang terkait dengan kehidupan didunia dan diakhirat , maka pemahaman terhadap aqidah menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam penjelasan lain, disebutkan bahwa tatkala seorang muslim melakukan aktivitas kehidupannya termasuk didalamnya adalah dengan bekerja menjadi karyawan, makan sesungguhnya dia juga sedang berada dalam aktivitas untuk mempersiapkan bekal bagi kehidupan sesudah mati, tanpa melupakan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap dirinya,terhadap sesama manusia dan terhadap alam lingkungannya sebagai khalifah Allah SWT dimuka bumi.  
Seorang muslim yang bekerja pun akan senantiasa mempertimbangkan akibatnya pada hari kemudian, artinya  menurut dalil ekonomii, orang akan membandingkan manfaat dan biaya (benefit-cost) dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai sekarang dari hasil yang akan dicapai pada masa mendatang.  Hasil kegiatan mendatang ini adalah semua yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah mati.[3].


[1]Yazid bin Aabdul Qadir Jawas, “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Bogor : Pustaka At-Taqwa, 2004, Cetakan Pertama, h. 1

[2]Yazid bin Abdul Qadir Jawas , op.cit, hal 2

[3]Ahmad M Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta : Media Dakwah, 1404/1984, hal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...