Jumat, 07 September 2012

ETNOSAINS DAN ETNOMETODOLOGI: SEBUAH PERBANDINGAN


Penulis: Heddy Shri Ahimsa-Putra


Perkembangan pendekatan etnosains dan etnometodologi melalui perdebatan di kalangan ilmuwan sosial, khususnya kalangan antropolog dan sosiolog di Indonesia terus terjadi terbukti terus munculnya tulisan mengenai kedua pendekatan ini. Meski kedua pendekatan ini bukan sesuatu yang baru dalam antropologi dan sosiologi, tetapi dukungan dan kecaman di antara kalangan ilmuwan terhadap suatu pandangan menyangkut pendekatan ini, setidaknya  memunculkan dua sikap. Pertama, bagi para pendukung kedua pendekatan ini, muncul dan berkembangnya pendekatan ini dianggap sebagai suatu alternatif, atau bahkan menganggapnya bahwa pandangan merekalah yang benar, dan semua yang sebelumnya akan dianggap salah. Kedua, bahwa terdapat pula kalangan  yang tidak menghiraukan perdebatan meski berlangsung tajam dan hangat. Di Indonesia, keadaan yang terakhir ini terjadi pada kalangan ilmuwan sosial. Dalam konteks inilah artikel yang ditulis oleh  Heddy Shri Ahimsa-Putra ini menarik dan perlu disimak. Hal ini seperti dikemukakan oleh Redaksi melalui Catatan Redaksi pada bagian awal artikel ini. Menurut saya, penulis artikel ini tidak sekedar meramaikan perdebatan mengenai pendekatan etnosains dan etnometodologi yang telah ada,  namun ia juga sekaligus menunjukkan keberpihakannya pada pengembangan pemikiran teoritis dan metodologis disiplinnya untuk kemajuan ilmu itu sendiri.
Artikel yang ditulis dengan sangat padat ini, sesungguhnya berisi empat hal pokok. Pertama, penulis mengulas tentang asal-usul, asumsi dasar, dan konsep-konsep pendekatan etnosains dalam antropologi dan etnometodologi dalam sosiologi. Kedua, penulis melakukan perbandingan terhadap kedua pendekatan ini yang ditunjukkan melalui persamaan dan perbedaannya. Ketiga, menunjukkan berbagai kritik yang ditujukan pada pendekatan etnosains. Keempat, penulis dengan cermat mengemukakan gagasannya sendiri tentang pendekatan etnosains dan relevansinya dalam pembangunan Indonesia saat ini.
Oleh penulisnya, kerangka artikel ini secara sistematis meliputi uraian tentang: Etnosains, Etnometodologi, Data dan Analisis, dan Perbandingan. Sementara pada bagian terakhir artikelnya, penulis menunjukkan penilaiannya terhadap etnosains, sebagai suatu aliran yang diakuinya lebih akrab dengannya dibandingkan dengan etnometodologis, dalam konteks upaya membangun bangsa Indonesia. Terhadap yang terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa seorang Heddy Shri Ahimsa-Putra, yang meski memiliki keluasan wawasan, tetap menunjukkan sikap kehati-hatiannya dan secara cermat mengemukakan pandangan-pandangannya, khususnya menyangkut hasil-hasil analisis etnometodologi atas gejala sosial (hlm.129).  Keterbatasan inilah menyebabkan ia untuk tidak tidak terburu-buru mengemukakan penilaiannya terhadap sumbangsih etnometodologi dalam meneropong masyarakat Indonesia. Tentu saja ia tak ingin seperti Churchill (hlm.127) ataupun Psathas (hlm.128).
Etnosains dan Etnometodologi: Sejarah Perkembangan, Akar Pemikiran dan Penyebab Kelahirannya
Etnosains, yang dalam bahasa asalnya disebut dengan “Ethnoscience”, atau dalam istilah lain disebut pula dengan “The New Ethnography”, atau “Cognitive Anthropology” merupakan suatu metode etnografi dengan tipe yang khas, yang mulai berkembang sejak tahun 1960-an. Dikatakan khas, karena sebelum munculnya etnosains sebagai suatu perkembangan dalam aliran baru antropologi, antopologi  kognitif, telah dikenal beberapa metode etnografi yang dilakukan oleh antropolog. Pada bentuknya yang mula-mula, peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara khas disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci. Tipe penelitiannya  lebih bertujuan mendapatkan gambaran masa lalu suatu kelompok masyarakat (Spradley 2006:x).
Berbeda dengan etnografi modern yang dipelopori oleh A.R.Radcliffe-Brown dan B. Malinowski, etnografi yang umum dijalankan pada masa kini, yang tidak terlalu memandang penting hal-ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Perhatian utamanya adalah pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, tentang way of life masyarakat tersebut (Spradley 2006:x-xi).
Jika dalam etnografi modern, bentuk dan sosial budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti, maka dalam etnografi baru (etnosains) bentuk tersebut dianggap sebagai susunan yang terdapat dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut. Tugas dan cara peneliti mengoreknya keluar lalu mendeskripsikannya adalah khas metode dari etnosains (Spradley 2006:xii).
Penelusuran terhadap akar pemikiran etnosains dalam antropologi bermula dari definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Ward Goudenough. Menurutnya, budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Budaya adalah satu bentuk hal-ihwal yang dimiliki manusia dalam pikirannya (mind), model yang digunakan untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal-ihwal tersebut (Goudenough 1957 dalam Spradley 2006:xii-xiii).
Definisi Goudenough ini banyak dipengaruhi oleh kajian-kajian linguistik. Dalam perkembangan selanjutnya definisi ini kemudian dioperasionalkan oleh pengikut antropologi kognitif dalam penelitian-penelitian etnografinya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku, dan emosi. Karena itu, objek kajian antropologi (kognitif) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia.
Penggunaan definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Goudenough tersebut, ternyata memunculkan implikasi terhadap masalah-masalah antropologis (hlm:108). Meski mengacu pada satu definisi kebudayaan yang sama, namun perbedaan penekanan masing-masing kelompok melahirkan tiga golongan, yang sekaligus berpengaruh dalam penekanan analisisnya terhadap suatu masyarakat. Kelompok pertama dalam etnosains lebih menekankan pada upaya mengungkap model-model yang digunakan masyarakat untuk mengklasifikasikan   lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.pada akhirnya akan mengungkap prinsip-prinsip yang digunakan anggota masyarakat yang menjadi landasan perikaku mereka. Karenanya, peneliti akan terkesan pada beberapa istilah-istilah seperti barang rongsokan, kertas, plastik, koran, karton, dan sebagainya (hlm.118). Melalui suatu wawancara dalam etnosains, lalu diperoleh suatu bentuk kategorisasi-kategorisasi menurut masyarakat yang diteliti.
Kelompok kedua lebih mengarahkan perhatiannya pada rule atau aturan-aturan. Masih tetap menggunakan kategorisasi-kategorisasi seperti pada kelompok pertama, tetapi lebih banyak ditujukan pada kategori-kategori sosial yang dipakai dalam interaksi sosial (hlm.108). Mengikuti Goudenough deskripsi tentang aturan-aturan yang menyangkut berbagai interaksi sosial akan membawa pada pengkajian konsep kedudukan dan peranan. Hubungan sosial menyangkut hubungan antara dua pihak yang dibatasi oleh serangkaian hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain. Metode descriptive semantics dengan menggunakan Guttman Scale digunakan untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban dalam berbagai hubungan sosial dalam masyarakat. Etnografi Goudenough yang diperoleh melalui penelitiannya yang mewawancarai salah satu warga masyarakat Truk, seperti dikutip penulis artikel ini, sangat membantu kita dalam memahami model kategorisasi salah satu warga yang mendiskripsikan masyarakatnya secara luas (hlm.108,120-121).
Kelompok ketiga menekankan pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau sub-kultur tertentu, lalu mengusahakan mengungkapkan tema-tema budaya (cultural themes) yang ada di dalamnya. Meski kelompok pertama dan kedua juga mempelajari tentang makna, tetapi pada kelompok ketiga ini cara pengungkapan  maknanya lebih eksplisit.
Etnometodologi adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008) bahwa pentingnya etnometodologi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi, etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua, etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de recherche), suatu sikap intelektual baru (Coulon 2008:v).
Sebagai suatu pendekatan, etnometodologi bermula dari filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Husserl. Fenomenologi transendental dibedakan dari fenomenologi eksistensial. Persamaan keduanya terdapat pada perhatian mereka yang bertemu mengenai kesadaran (consciousness). Pada dasarnya, usaha fenomenologis adalah menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul, tanpa memperhatikan benar atau salahnya kesadaran tersebut. Pandangan ini sekaligus menjadi salah satu landasan etnometodologi (hlm.111).
Landasan kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude. Oleh Husserl, natural attitude disebut juga commonsense reality. Melalui konsep ini, Ego berada dalam situasi tertentu menggunakan penalaran yang bersifat praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari (hlm.112). Sementara itu, konsepsi Schutz bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial. Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses interaksi sosial (hlm.114).
Berdasarkan upaya perbandingan yang telah dilakukan oleh penulis dalam artikel ini, maka terdapat empat persamaan antar pendekatan etnosains dan etnometodologi yaitu: Pertama, Keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua, keduanya sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga, baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing. Keempat, bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi. Pemberian makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk menemukan “basic features (essence, perhaps) of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).
Dalam konteks kemajemukan masyarakat dan budaya Indonesia, sumbangsih perspektif etnosains sangat sesuai untuk diterapkan dalam upaya membangun bangsa ini. Melalui pendekatan ini, penelitian tentang suatu kelompok masyarakat akan mampu mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebiasaan yang ada pada masyarakat yang akan dibangun. Meski penulis mengakui bahwa etnosains sebagai bukan satu-satunya perspektif yang dapat turut mensukseskan pembangunan, namun pengetahuan mengenai sistem ide suatu masyarakat sangat penting bagi perencana pembangunan. Jika  kita menginginkan suatu upaya pembangunan yang manusiawi dan secara etika menghargai  pandangan-pandangan dan sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi sasaran  pembangunan, maka perspektif etnosains tidak bisa diabaikan, demikian ditegaskan Heddy Shri Ahims-Putra dalam artikelnya tersebut.
Mengakhiri tinjauan artikel ini, saya ingin mengemukakan beberapa pandangan saya terkait dengan artikel ini. Bahwa kelebihan artikel ini dapat ditinjau dari dua aspek: aspek teknis penulisan dan aspek substansinya. Pada aspek teknis penulisan, termasuk di dalamnya cara penyajian yang sistematis dan runut menyangkut asumsi dasar kedua pendekatan, disajikan lebih awal daripada uraian lainnya. Sementara perbandingan diantara keduanya yang menghasilkan kekhususan dan titik temu keduanya, dan sajian data (setengah fiktif) dan metode analisisnya, disajikan kemudian. Melalui cara penyajian ini, pembaca dapat memperoleh manfaat berupa kemudahan dalam memahami kedua pendekatan yang sedang dibahas karena uraian dimulai dari pandangan teoritis, lalu melihat bagaimana operasionalisasi kedua pendekatan tersebut dalam realitas.
Kelebihan secara substansial yang dimiliki oleh artikel ini karena menyajikan perdebatan diantara kedua pendekatan, dan keberpihakan masing-masing pihak mengenai pandangan-pandangannya. Kekayaan referensi yang ditunjukkan penulisnya memberi bobot yang bermakna bagi artikel ini. Tanggapan atas beberapa kritik yang ditujukan pada etnosains dihadapi penulisnya dengan mengemukakan argumen-argumen logis dan penjelasan singkat tetapi langsung pada jantung persoalannya. Hal ini bisa kita jumpai dalam menunjukkan kekeliruan Pfohl dalam menilai Goudenough, dimana penulis menunjukkan kealfaan Pfohl mencermati dua macam etnosains: yaitu etnografi etnosains dan etnologi etnosains menurut Warner (hlm.127).
Keunggulan lain yang dimiliki oleh artikel ini adalah pengutipan berbagai pendapat atau pandangan atas suatu permasalahan dari sumber aslinya. Hal ini menunjukkan orisinalitas pustaka sekaligus meminimalisir kekeliruan dalam memahami pandangan dari penulis aslinya. Sepanjang tulisan kita menemui banyak kutipan langsung dari sumber-sumber yang relevan. Hal ini tentu sangat baik. Hanya saja, pengutipan langsung dari sumber yang dirujuk tanpa diikuti penafsiran oleh penulis artikel akan menyulitkan bagi sebagian kalangan. Kesulitan yang mungkin dihadapi adalah masalah penguasaan bahasa dan upaya menjaring makna dari pernyataan melalui bahasa tadi, yang semuanya dikutip langsung dalam Bahasa Inggris.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jilid XII Nomor 2. Hlm.103-133
Coulon, A. 2008. Cetakan Ketiga. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Diterbitkan atas kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.
Spradley, J.P. 2007. Edisi Kedua. Metode Etnografi. (diterjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana

Sumber : Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, Jakarta: LIPI 1985, hlm.103-133. Ditinjau oleh: Andi Sumar Karman (Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Antropologi FIB, UGM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...