Minggu, 02 September 2012

Pendayagunaan Zakat Produktif

Oleh : Abdurrahman MBP



Pendahuluan
Semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia ternyata membawa berbagai persoalan multi-dimensi bagi bangsa ini, untuk mengurangi atau jika bisa menghilangkan kemiskinan ini diperlukan usaha keras yang harus didukung oleh seluruh komponen bangsa. Dalam Islam salah satu dari usaha untuk mengurangi serta mengentaskan kemiskinan adalah dengan adanya syariat zakat yang berfungsi sebagai pemerataan kekayaan. Pendistribusian zakat bagi masyarakat miskin tidak hanya untuk menutupi kebutuhan konsumtif saja melainkan lebih dari itu, esensi dari zakat sendiri adalah selain untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya juga memenuhi segala kebutuhan hidupnya termasuk pendidikan, tempat tinggal dan sandang mereka. Dari sinilah pola pemberian zakat kepada para mustahiq tidak hanya bersifat konsumtif saja, namun dapat pula bersifat produktif.
Sifat distribusi zakat yang bersifat produktif berarti memberikan zakat kepada fakir miskin untuk dijadikan modal usaha yang dapat menjadi mata pencaharian mereka, dengan usaha ini diharapkan mereka akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Tujuan lebih jauhnya adalah menjadikan mustahiq zakat menjadi muzzaki zakat.
Lalu bagaimana pendayagunaan zakat bagi usaha produktif dalam syari'ah Islam? serta bagaimana aplikasinya dalam masyarakat?, makalah ini mencoba untuk membahasnya secara ilmiah dan rinci.
Salah satu ibadah ritual dalam Islam yang mempunyai dimensi ganda adalah zakat, pertama dimensi hubungan antara hamba dengan Allah Subhanahu Wa ta’ala (hablu minallah), kedua dimensi hablu minannas yaitu hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Dimensi terakhir inilah yang sangat penting bagi terciptanya masyarakat adil makmur dan sejahtera. Zakat adalah salah satu dari usaha untuk merealisasikan hal itu, pola pendistribusian kekayaan dari orang-orang kaya (muzakki) kepada orang-orang miskin sebagai mustahiq zakat menjadi satu metode efektif bagi pemerataan kekayaan. Mengenai para mustahiq zakat disebutkan dalam  QS At-Taubah ayat 60 Allah berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ  وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menyebutkan bahwa para mustahiq zakat adalah fakir, miskin, ‘Amilin, gharimin, ibnu sabil, muallafah qulubuhum, orang yang berada fi sabilillah serta pembebasan para budak ( riqab ).[1] Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah kondisi ekonominya, karena itu di antara tujuan diberikannya zakat adalah agar mereka dapat memperbaiki kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka pendistribusian zakat tidak cukup dengan memberikan kebutuhan konsumsi saja, model distribusi zakat produktif untuk modal usaha akan lebih bermakna, karena akan menciptakan sebuah mata pencaharian yang akan mengangkat kondisi ekonomi mereka, sehingga diharapkan lambat laun mereka akan dapat keluar dari jerat kemiskinan, dan lebih dari itu mereka dapat mengembangkan usaha sehingga dapat menjadi seorang muzakki.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas berkenaan dengan pendayagunaan zakat bagi usaha produktif, sehingga dengan makalah ini diharapkan semakin jelas bagaimana sandaran hukum dari masalah ini, begitu juga aplikasinya di tengah masyarakat.
Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif analisis di mana data-datanya bersumber dari literatur-literatur yang ada relefansinya dengan judul makalah, baik dalam bentuk kitab-kitab fiqh klasik, buku-buku para ulama kontemporer dan juga hasil dari pencarian tema terkait di internet, adapun tekhnik yang digunakan adalah dengan menginventarisir pendapat-pendapat para ulama klasik dan cendekiawan kontemporer, setelah data tersebut terkumpul langkah berikutnya dianalisa dan disimpulkan dari berbagai pendapat yang ada. Penelitian ini juga didukung oleh data-data terkini yang berasal dari penelitian lapangan yang telah dilakukan di Badan Amil Zakat (BAZ) Kabupaten Sukabumi. 



PENDAYAGUNAAN ZAKAT
1.  Definisi
Pendayagunaan mempunyai kata dasar daya dan guna kemudian diberi awalan pe dan akhiran an, menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa kata daya berarti kemampuan melakukan sesuatu dan kata guna yang berarti manfaat sehingga kata pendayagunaan berarti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat, bisa pula bermakna peningkatan kegunaan atau memaksimalkan kegunaan.[2]
Adapun Zakat menurut etimologi berasal dari akar kata زكا – زكاء  (zaka – zakaa) yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah, kata yang sama yaitu   زكى (zaka) bermakna menyucikan atau membersihkan.[3] Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy  makna zakat menurut bahasa berasal dari kata  نام  (nama) yang berarti Kesuburan, طهرة (thaharah) berarti kesucian dan بركة (barakah) yang berarti keberkatan, atau dikatakan تزكية و  التطهير   (tazkiyah dan tathir) mensucikan.[4] Dari pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat secara bahasa bisa bermakna tumbuh dan berkembang atau bisa bermakna menyucikan atau membersihkan. Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa bisa berarti (الصلاح   ) Ash-Shalahu yang berarti kebersihan.[5]
Sedangkan menurut terminology (syara’) zakat adalah sebuah aktifitas (ibadah) mengeluarkan sebagian harta atau bahan makanan utama sesuai dengan ketentuan Syariat yang diberikan kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu dengan kadar tertentu.[6]
2. Dasar Hukum
         Di antara dalil yang menjadi dasar hukum bagi pendistribusian zakat adalah Firman Allah Subhanahu wata'ala dalam QS At-Taubah ayat 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat berikutnya adalah dalam QS Ar-Rum ayat 38.
فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang beruntung
Adapun dalil dari As-Sunnah atau Hadits adalah sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dalam sebuah haditsnya :
عَنْ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُما: أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى لْيَمَنِ ـ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ ـ وَفِيْهِ: "إنَّ الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمِ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فُقَرَائِهِمْ". مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Nabi saw. pernah mengutus Muadz ke Yaman , Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu, dan dalam hadits itu beliau bersabda : Sesungguhnya Allah telah memfardhukan atas mereka sedekah (zakat) harta mereka yang di ambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. HR  Bukhary dan Muslim, dengan lafadz Bukhary.[7]
عن سالم بن عَبْدِ الله بن عُمر عَنْ أَبيه رضي الله عنُهم أنَّ رسولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم كانَ يُعْطي عُمَرَ بن الخطاب العْطاءَ فيقولُ أَعْطِه أَفْقَر منّي، فَيَقُول: "خُذْهُ فَتَمَوّلْهُ أَوْ تَصَدَّقْ به، وما جاءَكَ مِنْ هذا المال وأَنْت غير مشرفٍ ولا سائلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لا فلا تُتْبِعه نَفْسك" رواهُ مسلمٌ.
Dari Salim bin Abdullah bin 'Umar dari bapaknya ( Umar bin Khatab ) mudah-mudahan Allah meridhoi mereka, bahwasanya Rasulullah pernah memberikan Umar bin Khatab suatu pemberian, lalu Umar berkata " berikanlah kepada orang yang lebih fakir dari saya, lalau Nabi bersabda "Ambilah dahulu, setelah itu milikilah ( kembangkanlah ) dan dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutukannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu. HR Muslim.
Ayat dan hadits di atas memberikan tuntunan kepada kita mengenai cara mengambil zakat dan pendistribusiannya, yaitu diambil dari golongan orang-orang yang kaya dan diserahkan kepada golongan-golongan yang miskin,  secara rinci orang-orang yang berhak mendapatkan zakat adalah :
  1. Orang-orang Faqir. Yaitu orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang mereka perlukan.
  2. Orang-orang Miskin, mereka adalah orang yang mempunyai harta akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 
  3. Para pengurus zakat. Yaitu para ‘amilin yang mengurus pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
  4. Muallaf (orang yang baru masuk Islam). Hal ini bertujuan untuk melunakan hati mereka agar mereka damai dalam Islam.
  5. Untuk memerdekakan budak. Yaitu seseorang pada zaman dulu yang ingin memerdekakan diri mereka sendiri sebagai budak, atau uang zakat tersebut digunakan untuk memerdekakan budak, hal ini karena Islam menolak adanya praktek perbudakan.
  6. Gharimin (orang-orang yang berhutang). Mereka adalah orang-orang yang pailit dikarenakan perusahaannya bangkrut, tertimpa musibah yang mengakibatkan menumpuknya hutang yang harus dibayarkan.
  7. Ibnu Sabil  ( Orang yang dalam perjalanan ), yaitu setiap kaum muslimin yang dalam perjalanan dan kehabisan perbekalan, tentunya perjalanan ini bukan untuk bermaksiat kepada Allah. 
  8. Fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah). Pengertian fi sabilillah para ulama berpendapat mereka yang sedang berjihad di jalan Allah, namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang sedang berjuang mencari ilmu atau sekolah yang mempelajari ilmu agama.[8]
Para Ulama telah Ijma' bahwa kedelapan asnaf tersebut adalah para mustahiq zakat, walaupun dalam pendistribusiannya sebagian ulama ada yang berpendapat harus dibagikan secara merata seperti Imam Syafi'i namun sebagian ulama lain berpendapat bahwa zakat tidak harus diberikan kepada semua asnaf tersebut.[9] Khalifah Umar bin Khatab pada masa pemerintahannya tidak memberikan zakat kepada muallaf, dan hal ini tidak dipermasalahkan oleh sahabat Nabi lainnya sehingga menjadi ijma'.[10] 
Dalam perkembangannya para mustahiq zakat tersebut mengalami beberapa perubahan dan pengembangan pemikiran. Sjechul Hadi Permono memberikan beberapa pengembangan dari para mustahiq zakat, beliau menukil pendapat dari Shawki Isma’il Shehatah yang menyatakan bahwa bagian untuk fakir miskin dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang mengurusi santunan kepada fakir miskin serta untuk kepentingan umum yang berupa pelayanan umum.[11] Ini berarti bisa saja dana zakat bagi fakir miskin digunakan untuk membuat balai pengobatan cuma-cuma ataupun rumah sakit yang dikhususkan bagi kelompok fakir miskin. Sedangkan mengenai riqab yaitu hamba sahaya karena saat ini telah tidak ada lagi perbudakan maka untuk asnaf ini bisa dipindahkan kepada para tawanan perang Muslim atau juga untuk membantu Negara muslim yang ingin lepas dari perbudakan dan penjajahan Negara lain, hal ini tentu sesuai dengan makna riqab yang menghilangkan segala bentuk perbudakan.[12] Sementara makna fi sabilillah dikembangkan oleh Sahri Muhammad dengan jalan iman dan ilmu / tekhnologi yaitu jalan untuk kemaslahatan agama dan masyarakat umum.[13] Demikian juga mustahiq-mustahiq zakat yang lain, walaupun jumlahnya tetap delapan asnaf namun interpretasinya semakin berkembang. 
Begitulah dengan berubahnya waktu ternyata alokasi bagi para mustahiq zakat berkembang, namun hal ini tidaklah mengurangi manfaat dari zakat bahkan akan semakin terasa manfaatnya ketika kita bisa memberdayakannya.
Adapun pola penyaluran harta zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dapat digunakan dengan dua cara yaitu : 
a.   Zakat Konsumtif
b.  Zakat Produktif
Zakat konsumtif yaitu zakat yang diberikan kepada mustahiq untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, tempat tinggal meneruskan perjalanan dan lain-lain. Fungsi ini adalah asal dari fungsi zakat yaitu memberikan zakat untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti zakat fitrah yang memang diberikan untuk konsumsi fakir miskin selama hari raya. Dalilnya adalah firman Allah ta'ala dalam QS Al-Baqarah ayat 273 :
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
Ayat di atas menceritakan tentang orang-orang miskin yang tidak suka meminta-minta kepada manusia, kepada mereka diberikan zakat untuk kebutuhan mereka dalam bentuk zakat konsumtif.
Adapun zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada fakir miskin berupa modal usaha atau yang lainnya yang digunakan untuk usaha produktif yang mana hal ini akan meningkatkan taraf hidupnya, dengan harapan seorang mustahiq akan bisa menjadi muzakki jika dapat menggunakan harta zakat tersebut untuk usahanya. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi, dimana beliau memberikan harta zakat untuk digunakan shahabatnya sebagai modal usaha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Didin Hafidhuddin[14] yang berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ketika Rasulullah memberikan uang zakat kepada Umar bin Al-Khatab yang bertindak sebagai amil zakat seraya bersabda :
"خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ".   رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Ambilah dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutukannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu. HR Muslim.[15]
Kalimat فَتَمَوَّلْهُ   (fatamawalhu)  berarti mengembangkan dan mengusahakannya sehingga dapat diberdayakan, hal ini sebagai satu indikasi bahwa harta zakat dapat digunakan untuk hal-hal selain kebutuhan konsumtif, semisal usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Hadits lain berkenaan dengan zakat yang didistribusikan untuk usaha produktif adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya :
أن رسولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لم يكون شيئا علي اللإسلام إلا أعطاه, قال : فأتاه رجل فساله, فامر له بشاء كثير بين جبلين من شاء الصدقة, قال : فرجع إلي قومه فقال : يا قوم أسلموا فإن محمد يعطي عطاء من يخشى الفاقة ! رواه أحمد بإسناد صحيح
Bahwasanya Rasulallah tidak pernah menolak jika diminta sesuatu atas nama Islam, maka Anas berkata "Suatu ketika datanglah seorang lelaki dan meminta sesuatu pada beliau, maka beliau memerintahkan untuk memberikan kepadanya domba (kambing) yang jumlahnya sangat banyak yang terletak antara dua gunung dari harta shadaqah, lalu laki-laki itu kembali kepada kaumnya seraya berkata " Wahai kaumku masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad telah memberikan suatu pemberian yang dia tidak takut jadi kekurangan !" HR. Ahmad dengan sanad shahih.[16]    
Pemberian kambing kepada muallafah qulubuhum di atas adalah sebagai bukti bahwa harta zakat dapat disalurkan dalam bentuk modal usaha. 
Pendistribusian zakat secara produktif juga telah menjadi pendapat ulama sejak dahulu. Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Al-Khatab selalu memberikan kepada fakir miskin bantuan keuangan dari zakat yang bukan sekadar untuk memenuhi perutnya berupa sedikit uang atau makanan, melainkan sejumlah modal berupa ternak unta dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.[17] Demikian juga seperti yang dikutip oleh Sjechul Hadi Permono yang menukil pendapat Asy-Syairozi yang mengatakan bahwa  seorang fakir yang mampu tenaganya diberi alat kerja, yang mengerti dagang diberi modal dagang, selanjutnya An-Nawawi dalam syarah Al-Muhazzab merinci bahwa tukang jual roti, tukang jual minyak wangi, penjahit, tukang kayu, penatu dan lain sebagainya diberi uang untuk membeli alat-alat yang sesuai, ahli jual beli diberi zakat untuk membeli barang-barang dagangan yang hasilnya cukup buat sumber penghidupan tetap.[18]
Pendapat Ibnu Qudamah seperti yang dinukil oleh Yusuf Qaradhawi mengatakan “Sesungguhnya tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin….”[19] Hal ini juga seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi yang membawakan pendapat Asy-Syafi’i, An-Nawawi, Ahmad bin Hambal serta Al-Qasim bin Salam dalam kitabnya Al-Amwal, mereka berpendapat bahwa fakir miskin hendaknya diberi dana yang cukup dari zakat sehingga ia terlepas dari kemiskinan dan dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara mandiri.[20]
Secara umum tidak ada perbedaan pendapat para ulama mengenai dibolehkannya penyaluran zakat secara produktif. Karena hal ini hanyalah masalah tekhnis untuk menuju tujuan inti dari zakat yaitu mengentaskan kemiskinan golongan fakir dan miskin.    
3.  Pendayagunaan Zakat bagi Mustahiq Zakat               
Di antara mustahiq zakat yang berhak untuk menerima zakat produktif adalah kaum fakir, miskin, Amil zakat[21] serta para Muallaf[22]. Namun yang lebih diutamakan dari mereka adalah golongan fakir dan miskin. Selain mereka hanya mendapatkan zakat konsumtif atau keperluan tertentu saja seperti ibnu sabil, fi sabilillah, gharimin dan hamba sahaya. Tabel di bawah ini menjelaskan tentang distribusi mustahiq yang dapat memperoleh zakat produktif :

No
Asnaf
Produktif
Non-Produktif
Keterangan
1
Fakir
V
V

2
Miskin
V
V

3
Amil
V
V

4
Muallaf
V
V

5
Riqab
-
V

6
Gharimin
-
V

7
Ibnu Sabil
-
V

8
Fi Sabilillah
-
V


Pada tabel terlihat bahwa kelompok fakir dan miskin menjadi prioritas dalam menerima zakat produktif, sehingga kepada merekalah diberdayakan zakat jenis ini. Adapun mengenai amilin dan muallaf pada asalnya mereka juga dapat diberikan harta zakat dalam bentuk ini, namun hal ini akan disesuaikan dengan keadaan zaman apakah memang diperlukan atau tidak. Berbicara mengenai pendistribusian bagi fakir dan miskin maka seberapa besar hak atau bagian mereka dalam zakat ?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu harus kita perhatikan beberapa kebijakan dalam rangka pemberdayaan zakat sebagai langkah awal, di antara kebijakan tersebut adalah, Pertama kebijakan yang bersifat umum, yaitu segala daya dan upaya dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya dengan distribusi yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial ekonomi dari zakat. Kebijakan kedua yaitu pendayagunaan per mustahiq zakat, maksudnya adalah bahwa interpretasi dan pengembangan pada tiap mustahiq dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemaslahatan ummat.[23]  
Sayid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah, mengatakan bahwa hendaklah ia ( fakir miskin ) diberi zakat sebesar jumlah yang dapat membebaskannya dari kemiskinan kepada kemampuan, dari kebutuhan kepada kecukupan untuk selama-lamanya.[24] Senada dengan hal ini Hasbi Asy-Shiddiqy juga mengatakan bahwa pemberian kepada fakir miskin haruslah dapat memenuhi kehidupan mereka dan bisa dijadikan modal usaha.[25] 
Mengenai zakat produktif  yang diberikan kepada fakir miskin maka dapat  berupa alat-alat untuk usaha, modal kerja atau pelatihan keterampilan. Yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian dan sumber hidupnya. Menurut M.A. Manan dalam “ Effects of Zakat Assessement and Collection on the Re-distribution of income in Contemporary Muslim Caountries “ seperti dikutip oleh Sjechul Hadi Permono, mengatakan bahwa dana zakat dapat didayagunakan untuk investasi produktif, untuk membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharan kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial yang lain, yang dipergunakan semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin diharapkan bisa meningkat sebagai hasil dari produktivitas mereka yang lebih tinggi.[26]
Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  zakat dapat disalurkan kepada para mustahiq zakat dari golongan fakir dan miskin dalam bentuk zakat produktif yang berupa modal usaha ataupun alat-alat untuk menjalankan usaha. Demikian juga penyaluran dapat berupa pelatihan-pelatihan serta keterampilan-keterampilan agar mereka dapat bekerja, sekaligus dana zakat juga dapat digunakan untuk pembangunan pabrik-pabrik yang mempekerjakan para fakir miskin.[27]
Pendayagunaan zakat selain memberdayagunakan para mustahiq zakat juga dapat dilakukan dengan langkah lain, sebuah pendapat menarik dilontarkan oleh Sahri Muhammad, beliau menggagas tentang adanya Bank Zakat, yaitu sebuah lembaga yang menjadi perantara antara muzzaki dan mustahiq, yang fungsinya sama dengan bank. Adapun ciri khusus dari Bank Zakat adalah :
1.      Tugas utama Bank Zakat adalah menghimpun dana zakat, infak dan sedekah dan ditujukan kepada obyek-obyek zakat yang telah ditentukan. 
2.      Bank Zakat beroperasi semata-mata untuk mengembangkan dana zakat, infak dan sedekah.
3.      Bank Zakat menyalurkan dana pinjaman tanpa bunga baik para mustahiq zakat yang memerlukan modal usaha.[28]
Bila kita lihat ide di atas, saat ini Bank Zakat tersebut dapat digantikan posisinya dengan badan amil zakat ataupun lembaga amil zakat yang keduanya memang bergerak pada pengelolaan zakat infak dan sedekah. Hanya saja ide Bank Zakat lebih pada ingin menggantikan posisi bank-bank konvesional yang ada saat ini, sehingga fungsi-fungsinya dapat dicover oleh Bank Zakat.
Ide pemberdayaan zakat lainnya dikemukakan oleh Sjechul Hadi Permono yang mengutip pendapat beberapa ahli ekonomi muslim mereka menawarkan adanya sistem Surplus Zakat Budget, penjabarannya adalah jumlah total penerimaan zakat lebih besar daripada jumlah total distribusi zakat. Artinya tidak semua dana zakat yang terkumpul dibagikan, namun hanya sebagian dan sisanya menjadi tabungan yang merupakan sumber pembiayaan proyek-proyek produktif. Hal ini dilakukan karena jika zakat disalurkan secara konsumtif terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan inflasi, demikian menurut pengamatan Akram Khan. Dengan adanya surplus zakat budget  ini diharapkan dapat mengurangi permintaan dalam ekonomi sehingga dapat mengurangi tingkat harga.[29] Ide ini juga menawarkan adanya Zakat Serificate. Untuk menggantikan serah terima uang tunai, maka dana zakat oleh lembaga amil zakat dapat diinvestasikan dalam industri-industri untuk menyediakan pekerjaan bagi fakir msikin, agar mereka mendapatkan pekerjaan tetap sehingga mempunyai kehidupan yang wajar. Keuntungan dari industri-industri ini dapat dibagikan kepada fakir miskin ataupun gharimin dalam bentuk deviden tahunan. Pada periode-periode tingkat harga membumbung tinggi, deviden-deviden itu tidak dibagikan dalam bentuk uang tunai, tetapi sebaliknya sertifikat zakatlah yang dibagikan dan baru dapat diuangkan atas kehendak holder (pemilik) setelah berjalan waktu 3 – 6 bulan. Dengan cara ini permintaan dalam bidang ekonomi dapat diperkecil dalam suatu masa yang pendek, sehingga tidak menimbulkan fluktuasi harga.[30]
Kedua ide di atas jika kita padukan maka akan tercipta sebuah badan atau lembaga yang mengurusi masalah zakat secara integral, dimana idealnya adalah mencontoh Baiutl Mal pada zaman keemasan Islam. Saat ini badan amil zakat dan lembaga amil zakat menjadi alternatif, diharapkan fungsi-fungsi dari baitul mal dapat terwakili, selain itu yang tidak kalah penting adalah seyogyanya lembaga amil zakat meluruskan niatnya karena Allah dan dengan ikhlas ingin mengentaskan para mustahiq zakat dari jurang kemiskinan.
Skala prioritas haruslah menjadi perhatian amil zakat, jika dana yang terkumpul hanya sedikit maka prioritas utama adalah mustahiq yang sangat membutuhkan terutama dalam bentuk zakat konsumsi, sedangkan jika dana yang terkumpul lebih dari cukup maka dapat digunakan untuk seluruh asnaf atau untuk investasi produktif yang melibatkan kelompok fakir miskin serta hasilnya dapat mereka manfaatkan, selain itu juga dapat dipergunakan untuk program pengentasan kemiskinan dengan menyalurkan zakat untuk usaha produktif baik dalam bentuk modal usaha, alat-alat usaha, pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan lain-lain.  

ZAKAT BAGI USAHA PRODUKTIF
Usaha produktif adalah setiap usaha yang dapat menghasilkan keuntungan ( profitable ), mempunyai market yang potensial serta mempunyai managemen yang bagus, selain itu bahwa usaha-usaha tersebut adalah milik para fakir miskin yang menjadi mustahiq zakat dan bergerak di bidang yang halal. Usaha-usaha seperti inilah yang menjadi sasaran zakat produktif.
Dalam pendistribusiannya diperlukan adanya lembaga amil zakat yang amanah dan kredibel yang mampu untuk me-manage distribusi ini. Sifat amanah berarti berani bertanggung jawab terhadap segala aktifitas yang dilaksanakannya terkandung didalamnya sifat jujur. Sedangkan professional adalah sifat mampu untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan modal keilmuan yang ada.[31]
Pola pendistribusian zakat produktif haruslah diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran dari program ini tidak tercapai. Beberapa langkah berikut menjadi acuan dalam pendistribusian zakat produktif :
1.      Forecasting yaitu meramalkan, memproyeksikan dan mengadakan taksiran sebelum pemberian zakat tersebut.
2.      Planning, yaitu merumuskan dan merencanakan suatu tindakan tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk tercapainya program, seperti penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat produktif, menentukan tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain.
3.      Organizing dan Leading, yaitu mengumpulkan berbagai element yang akan membawa kesuksesan program termasuk di dalamnya membuat peraturan yang baku yang harus di taati.
4.      Controling yaitu pengawasan terhadap jalannya program sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres atau menyimpang dari prosedur akan segera terdeteksi.[32]
Selain langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam penyaluran zakat produktif haruslah diperhatikan orang-orang yang akan menerimanya, apakah dia benar-benar termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir miskin, demikian juga mereka adalah orang-orang yang berkeinginan kuat untuk bekerja dan berusaha. Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa seleksi bagi para penerima zakat produktif haruslah dilakukan secara ketat, sebab banyak orang fakir miskin yang masih sehat jasmani dan rohaninya tetapi mereka malas bekerja. Mereka lebih suka menjadi gelandangan daripada menjadi buruh atau karyawan. Mereka itu tidak boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi sedekah ala kadarnya, karena mereka telah merusak citra Islam. Karena itu para fakir miskin tersebut harus diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi latihan-latihan keterampilan yang sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi modal kerja yang memadai.[33] 
Setelah mustahiq penerima zakat produktif ditetapkan selanjutnya adalah Amil zakat harus cermat dan selektif dalam memilih usaha yang akan dijalankan, pemahaman mengenai bagaiamana mengelola usaha sangat penting terutama bagi Amil mengingat dalam keadaan tertentu kedudukannya sebagai konsultan / pendamping usaha produktif tersebut. Di antara syarat-syarat usaha produktif dapat dibiayai oleh dana zakat adalah :
  1. Usaha tersebut harus bergerak dibidang usaha-usaha yang halal. Tidak diperbolehkan menjual belikan barang-barang haram seperti minuman keras, daging babi, darah, symbol-symbol kesyirikan dan lain-lain. Demikian juga tidak boleh menjual belikan barang-barang subhat seperti rokok, kartu remi dan lain sebagainya.
  2. Pemilik dari usaha tersebut adalah mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin yang memerlukan modal usaha ataupun tambahan modal.
  3. Jika usaha tersebut adalah perusahaan besar maka diusahakan mengambil tenaga kerja dari golongan mustahiq zakat baik  kaum fakir ataupun miskin.
Setelah usaha yang akan dijadikan obyek zakat produktif ditentukan maka langkah berikutnya yaitu cara penyalurannya. Mengenai penyalurannya dapat dilakukan dengan model pinjaman yang “harus” dikembalikan, kata harus di sini sebenarnya bukanlah wajib, akan tetapi sebagai bukti kesungguhan mereka dalam melakukan usaha.
Yusuf Qaradhawi menawarkan sebuah alternatif bagaimana cara menyalurkan zakat kepada fakir miskin, beliau mengatakan seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi bahwa orang yang masih mampu bekerja / berusaha dan dapat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara mandiri, seperti pedagang, petani, pengrajin, tetapi mereka kekurangan modal dan alat-alat yang diperlukan, maka mereka itu wajib diberi zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri seterusnya. Dan mereka bisa juga ditempatkan di berbagai lapangan kerja yang produktif yang didirikan dengan dana zakat.[34]     
Setelah proses penyaluran selesai, maka yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap mustahiq yang mendapatkan zakat produktif tersebut, jangan sampai dana tersebut disalah gunakan atau tidak dijadikan sebagai modal usaha. Pengontrolan ini sangat penting mengingat program ini bisa dikatakan sukses ketika usaha mustahiq tersebut maju dan dapat mengembalikan dana zakat tersebut. Karena hal inilah yang diharapkan, yaitu mustahiq tersebut dengan usahanya akan maju dan berkembang menjadi mustahiq zakat.
Model pengawasan terhadap bergulirnya dana zakat produktif dapat pula berupa pendampingan usaha, semacam konsultan yang akan mengarahkan para mustahiq dalam menjalankan usahanya. Model pendampingan ini juga hendaknya tidak hanya terfokus kepada usaha yang dikelolanya, melainkan juga dapat mendampingi dan memberikan input dalam hal spiritual mustahiq. Diadakannya kelompok-kelompok pertemuan antar mustahiq penerima zakat produktif dengan pengelola zakat dapat dijadikan momen untuk memberikan tausiah keagamaan, jadi selain untuk mengentaskan kemiskinan keduniaan sekaligus mengentaskan mereka dari kemiskinan spiritual. 
Bagaimana aplikasi penyaluran dana zakat produktif  pada masyarakat yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil zakat di Indonesia? Berikut beberapa contoh nya :
Di antara contoh pendistribusian zakat yang bersifat produktif adalah yang telah dilaksanakan oleh BAZKAF PT. Telkom Indonesia dimana mereka memasukan dua unsur produktif dalam penyaluran zakatnya :
a.       Investasi dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan bentuk pemberdayaan SDM yaitu berupa pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan beasiswa.
b.      Modal kerja usaha.[35]  

Sementara BAZ Kabupaten Sukabumi menyalurkan dana zakat yang bersifat produktif kepada para fakir miskin yang lemah kondisi ekonominya dalam bentuk modal usaha yang dengan beberapa variasi program yaitu :
1.      Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Zakat
2.      Bantuan Modal usaha Kecil (BMUK)
3.      Bantuan Modal Pertanian dan Peternakan
4.      Qordul Hasan untuk PNS yang kesulitan pinjaman
5.      Penguatan BMT
Program ini ditujukan bagi pengembangan ekonomi produktif di kalangan keluarga miskin. Bentuknya dalam bentuk bantuan permodalan bergulir dan bimbingan usaha, sehingga diharapkan dengan bantuan tersebut sasaran dapat melakukan usaha sendiri secara mandiri dan berpenghasilan tetap untuk keluar dari jerat kemiskinan. Kalau bisa menjadikan usaha ekonomi lemah ini menjadi seorang muzzaki. Program ini juga bisa berbentuk pelatihan usaha, Enterpreuneur School dll.
Adapun prosedurnya adalah bagi para penerima Dana Zakat harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dan mengisi formulir permohonan serta akta perjanjian, hal ini diambil sebagai tanda kesungguhan bagi penerima dana mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya sekitar 30 % dana tidak kembali.
Mengenai Enterpreuneur School bisa dalam bentuk Short Course (Kursus singkat) wirausaha bagi siapa saja yang berminat namun diutamakan dari golongan dhuafa dan fakir miskin yang mempunyai keinginan untuk maju dan berkembang. Program ini akan terus berlanjut hingga usaha tersebut benar-benar berdiri dan tugas BAZ adalah mendampingi dan membantu dalam hal manajerial dan pengembangannya.
BAZ DKI Jakarta juga melakukan terobosan baru dalam penyaluran zakat produktif ini, dengan menyalurkan modal usaha, langkah pertama yang dilakukan adalah modal usaha yang diberikan itu harus dikembalikan dalam waktu tertentu untuk disalurkan lagi kepada mustahiq berikutnya, yaitu merupakan pinjaman modal tanpa bunga selama satu tahun, sebagai pendidikan untuk meningkatkan kehidupan yang layak, demikian seperti dikutip oleh  Sjechul Hadi Permono.[36] 


KESIMPULAN                   
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah :
1.      Mustahiq zakat yang telah disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60 terdiri dari delapan asnaf, kepada merekalah zakat didistribusikan.
2.      Interpretasi baru yang merupakan pengembangan dari delapan asnaf mustahiq zakat adalah langkah yang bagus sebagai suatu cara untuk mengoptimalkan fungsi zakat.
3.      Pendayagunaan zakat dapat dilaksanakan dengan pengembangan terhadap delapan asnaf, misalnya zakat untuk fakir miskin dapat dimanfaatkan untuk fasilitas umum bagi mereka, seperti balai pengobatan cuma-cuma, klinik bersalin gratis, pembuatan pabrik yang mempekerjakan merka dan lain-lain.
4.      Selain pendistribusian zakat secara konsumtif  dapat juga digunakan model pendistribusian secara produktif yaitu memberikan uang zakat kepada fakir miskin dalam bentuk modal usaha, atau berbentuk alat-alat untuk usaha yang dapat mereka gunakan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
5.      Dalam aplikasinya lembaga amil zakat harus cermat dalam menyalurkan zakat produktif ini, penelitian tentang penerima zakat kemudian jenis usaha produktif  harus mendapat perhatian lebih. Setelah itu managemen yang amanah dan profesional turut memberikan kontribusi bagi kesuksesan program ini.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh 'ala Madzahibul Arba'ah Juz I, Darul Ihya At-turats Al-'Araby cet : VII,  Beirut, Libanon, 1986
Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, BAZISKAF  PT Telekomunikasi Indonesia, Jakarta. 1996.
Anonimus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi III cet. II Jakarta, 2002
Anonimus, Holy Qur’an (Versi 6.50) / Program Kitab Suci Al-Qur’an, Perusahaan Software Sakhr / Perusahaan Al-Alamiah, Republik Arab Mesir. 1997      
As-San’any, Subulus Salam  Syarah Bulughul Maram, Juz II cet : I.
Jum’iyah Ihyau Turots Al-Islamy Kuwait, 1997
A.Hassan  (Penerjemah), Bulughul Maram min Adilatil Ahkam li Ibni Hajar Al-Asqolani. Diponegoro, Bangil Jawa Timur. 1991
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Cet. II. Gema Insani Press, Jakarta, 2002
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib, Damaskus. 1999
Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995
Shaleh Al-Fauzan, Mulakhas Al Fiqh, Juz II, Darul Ibnu Al-Jauzi, Saudi Arabia, KSA.  2000
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Darul Fikr : Beirut. 2005
Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional.. 2005
T.M. Hasbi Ash-Shidiqi, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987
Yusuf Qaradhawi, Kiat sukses Mengelola Zakat. Media Dakwah, Jakarta, 1997
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalam Al-Manan, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, 2003


[1] Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalam Al-Manan, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, 2003, hal. 459-460.
[2] ---, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Edisi III cet. II 2002, hal. 242 
[3] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, hal. 577.
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal. 24.
[5] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Cet. II. Gema Insani Press, Jakarta. hal. 7
[6] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, BAZISKAF PT TELKOM Indonesia, 1997, hal. 30.
[7] Abu Bakar Muhammad, Tereamahan  Subul As-Salam II, Al-Ikhlash : Surabaya, 1991, hal. 479.
[8] Shalih Al-Fauzan, Mulakhas Al-Fiqh, Darul Ibnu Haitsam, Kairo, 2003, hal. 219-221.
[9] Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh 'ala madzahibul arba'ah Juz I, Darul Ihya At-turats Al-'Araby,  Beirut, libanon, cet : VII 1986. hal. 626
[10] .Shalih Al-Fauzan, Mulakhas Al-Fiqh hal. 220
[11] Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992 hal. 60.
[12] Ibid, hal. 72
[13] Sahri Muhammad, Zakat dan Infak, Al-ikhlas, Surabaya, 1982, hal. 28.
[14] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 133
[15]Abu Bakar Muhammad (Penerjemah) Terjemahan Subulus Salam II. hal. 588
[16] Imam Asy-Syaukani, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib, Damaskus.tahun 1999, Hal. 77.
[17] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Penerbit PT. Gunung Agung Jakarta, cet. VII 1997 hal. 246
[18] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58-59.
[19] Yusuf Qaradhawi ( Asmuni SZ : Penerjemah ), Kiat Sukses mengelola Zakat, Media Da’wah, Jakarta 1997, hal. 69-70.
[20] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah,  op. cit. hal. 246
[21] Imam As-San'ani, Subulus Salam  Syarah Bulughul Maram, Juz II cet : I. Jum’iyah Ihyau Turats Al-Islamy Kuwait
[22] Imam Asy-Syaukani, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib, Damaskus.
[23] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit hal. 42 - 56
[24] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah,  hal. 106
[25] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal. 168
[26] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 61-62.
[27] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah,  op. cit. hal. 249
[28] Sahri Muhammad, Zakat dan Infak, hal. 85-86.
[29] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 49-51.
[30] Ibid, hal. 51
[31] Lihat Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 129
[32] Anton Ath-Thoilah, Managemen, Fakultas Syari’ah IAIN, Bandung 1994, hal. 43-46
[33] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, hal. 247
[34] ibid, hal. 248.
[35] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, op.cit hal. 57.
[36] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...