Rabu, 31 Oktober 2012

Kampung Naga : Awal Perkenalan

Oleh : Abu Aisyah


Mendengar nama Kampung Naga, terpikir dalam benak saya adalah satu kampung yang dihuni oleh seekor Naga atau minimal memiliki dongeng tentang Naga, seekor ular raksasa dengan empat kaki berkuku tajam dan semburan api dari mulutnya. Namun dari beberapa literatur yang saya baca dan hasil bertanya dengan beberapa teman yang berasal dari wilayah Jawa Barat khususnya wilayah Bandung, Sumedang, Tasik, dan Garut diketahui ternyata Kampung Naga adalah sebuah kampung adat yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan hingga kini masih tetap eksis memegang teguh adat istiadatnya.
Dari berita-berita yang saya dapatkan dalam bentuk potongan-potongan yang tidak utuh menjadikan rasa penasaran saya muncul untuk mengetahui lebih jauh tentang Kampung Naga. Rasa penasaran ini semakin terpatri dalam hati ketika saya mulai terjun ke dunia penelitian kurang lebih lima tahun lalu. Kebetulan obyek penelitian saya berkenaan dengan akulturasi Islam dan budaya lokal. Penelitian pertama saya mengenai Akulturasi Islam dan Budaya Jawa, kemudian Seren Taun Guru Bumi : Harmoni Islam dan Budaya Sunda, Kampung Urug : Dialog Islam dan Sunda Wiwitan, Bedug sebagai Media Informasi dan Komunikasi Masyarakat Pasundan, dan beberapa penelitian yang berkenaan dengan hubungan Islam dengan budaya lokal khususnya Jawa dan Sunda.
Dari beberapa penelitian tersebut, saya memiliki azzam untuk dapat meneliti seluruh komunitas adat yang ada di Tatar Sunda pada khususnya dan wilayah lainnya di seluruh Indonesia pada umumnya. Tentu saja pertimbangan geografis menjadi alas an kenapa memilih wilayah Pasundan. Hal ini pulalah yang semakin menguatkan keinginan saya untuk datang ke Kampung Naga guna mengetahui keunikan adat istiadatnya.
Pucuk Dicinta Ulampun Tiba, sebuah pepatah yang sangat sesuai dengan keadaan saya saat itu. Kebetulan saya mengajukan proposal penelitian untuk mengikuti Short Course Metodologi Etnografi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia dan Alhamdulillah, Proposal tersebut diterima dan saya bisa mengikuti short course tersebut kemudian akhirnya bisa mengunjungi Kampung Naga.
Kunjungan saya untuk pertama kalinya ke Kampung Naga adalah dalam rangka survey lapangan sebagai persiapan tugas akhir short course. Berangkat dari Tasikmalaya dengan teman-teman peserta short course menjadikan kunjungan perdana ini membawa kesan sangat mendalam. Pertama kali menginjakkan kaki di area parkir Kampung Naga saya disambut oleh para pemandu wisata dengan pakaian dan ikat kepala khas Kampung Naga, mereka sangat ramah dan memiliki dialek khas yang menambah minat saya terhadap Kampung Naga. Baru berjalan beberapa langkah, sebuah Tugu Kujang Pusaka berdiri kokoh menyambut setiap tamu yang datang. Sempat terbersit dalam benak saya kenapa harus Tugu Kujang Pusaka? Pertanyaan itu saya simpan dan menjadi PR untuk ditanyakan kepada para pemangku adat di Kampung Naga.
Kesan pertama mengunjungi Kampung Naga begitu menggoda, oleh karena itu tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk mengambil tema penelitian tentang Perayaan Hari Raya Idhul Adha di Kampung Naga. Tema ini saya pilih karena dekatnya waktu penelitian dengan hari raya tersebut serta pertimbangan bahwa hari raya Idhul Adha adalah hari raya yang berasal dari khazanah budaya Islam. Pertanyaan yang akan menjadi fokus penelitian adalah bagaimana perayaan hari raya Idhul Adha di Kampung Naga? Apakah sama dengan perayaan di wilayah lainnya? Apakah terjadi akulturasi dalam perayaan ini? Namun setelah melakukan wawancara dengan para pemangku adat di Kampung Naga serta diskusi dengan teman-teman short course akhirnya saya menambahkan tema penelitian tersebut dengan perayaan ritual Hajat Sasih lengkapnya adalah Studi Etnografi Perayaan Hari Raya Idhul Adha dan Hajat Sasih di Kampung Naga.
Namun lagi-lagi setelah wawancara dan meminta pendapat dari Kuncen Kampung Naga serta masukan dari pembimbing penelitian Prof. DR. Heddy Shri Ahimsa, MA, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan penelitian hanya pada Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Beberapa pertimbangan kenapa saya mengambil tema ini adalah karena Ritual Hajat Sasih merupakan ritual kuno yang telah dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga secara turun-temurun sejak awal berdirinya kampung ini.
Jika mengutip pendapat Bapak Ade Suherlin sebagai Kuncen Kampung Naga maka sesungguhnya ritual Hajat Sasih telah dilaksanakan jauh sebelum kedatangan Islam. Maka ketika Islam masuk ke Kampung Naga dan masyarakat Kampung Naga menerima Islam, ritual ini masih tetap dipertahankan. (Wawancara dengan Kuncen Kampug Naga Bapak Ade Suherlin)  Dari pertemuan antara Islam dan budaya lokal inilah kemudian terjadi dialog, akulturasi dalam bentuk saling memberi dan menerima sehingga terjadi satu harmoni di antara keduanya.
Harmoni yang terjadi antara Islam dan budaya lokal didasarkan pada sifat dari keduanya yang terbuka dalam menerima budaya asing. Islam sebagai agama universal memiliki sifat senantiasa adoptif dengan kondisi sosial kebudayaan manusia kapan saja dan di mana saja. Sehingga ketika Islam dihadapkan pada sistem budaya yang jauh berbeda dengan induk semangnya, ia memberikan tempat bagi budaya tersebut untuk mengisi ruang-ruang yang selaras dengan esensi dari ajarannya. Pemberian ruang gerak bagi budaya lain juga tercermin dalam Kaidah Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam yang dikenal dengan asas “Al-Adah Muhakammah” yaitu Adat kebiasaan bisa dijadikan bagian dari hukum Islam. (As-Suyuti : 1989). Budaya lokal di Kampung Naga yang dalam hal ini adalah budaya Sunda juga memiliki sifat yang sama, ia dengan mudah menerima unsur kebudayaan lain selama selaras dengan nilai-nilai dasar yang dimiliknya.
Dari wawancara yang saya lakukan dengan Punduh Adat Kampung Naga diperoleh informasi bahwa Ritual Hajat Sasih dilaksanakan sebanyak enam kali dalam satu tahun. Di antaranya adalah setelah pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha, penetapan kedua hari raya tersebut di Kampung Naga didasarkan kepada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Penetapan ini didasarkan pada nilai filosofi yang mereka anut yaitu Darigama, nilai filosofi ini adalah berupa ketaatan terhadap hukum-hukum yang dibuat oleh pemerintah. (Wawancara dengan Punduh Kampung Naga Bapak Maun). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...