Kamis, 22 November 2012

Fiqih Indonesia : Telaah Pemikiran Hukum Islam Indonesia Hasbi As-Shiddieqy


Adapun pengaruh yang dominan dalam pemikiran Hasbi As-Shiddieqy tentang Fiqih Indonesia ada beberapa hal diantaranya: Pertama, secara tinjauan sejarah bahwa pemikiran hokum islam yang mencoba memadukan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan {adat} kedalam rumusan hukum islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan para pemikir hukum islam fase awal yakni fase islam baru masuk Indonesia, para pemikir hukum masa lalu telah mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas didalam ijtihad hukum yang mereka lakukan. Meskipun tidak sampai memunculkan seorang mujtahid mustaqil. Kedua, polarisasi khilafiyah antar golongan yang telah menghilangkan prioritas kerja fikir umat islam terkait bagaimana merumuskan garis-garis pemikiran hokum islam dalam kerangka developmentalisme. Keadaan kontra produktif seperti ini telah mengantarkan pemikiran hokum islam jatuh pada titik terendah dalam kualitas pengembangan  dan pemberdayaannya yang menjadikan perkembangan hokum islam di Indonesia menjadi letih-lesu dan kehilangan orientasi.

Situasi dan realita seperti itulah yang menyebabkan Hasbi terdorong diri untuk menggagas Fiqih Indonesia. Sekitar tahun 1940-an menulis artikel pertamanya yang diberi judul “ Memoedahkan Pengertian Islam “ dalam artikelnya tersebut dia menyatakan betapa pentingnya pengambilan ketetapan fiqih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia, agar fiqih tidak menjadi barang asing dan diberlakukan seperti barang antic. Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hokum islam di Indonesia yang tidak mempunyai arah yang jelas. Menurutnya pengkultusan terhadap pemikiran hokum islam yang telah ada perlu ditinjau ulang dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran hokum islam yang terasa tidak  relevan dan asing harus segera dicarikan alternative baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktekkan di Indonesia.

Hingga interval waktu yang cukup lama, tepatnya hingga tahun 1948, gagasan fiqih Indonesianya tidak mendapatkan respon yang positif dari masyarakat, kemudian dia menulis artikel kembali yang berjudul “ Menghidupkan Hukum Islam Dalam Masyarakat ” yang dimuat dalam majalah aliran islam, ia mencoba mengangkat kembali ide besarnya tersebut. Dalam tulisannya tersebut ia menyatakan eksistensi hokum islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman.  Menurutnya, hokum islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khusunya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bias berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid {ulama lokal} dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi dan kreatifitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternative fiqih baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanent dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya upaya ini akan menghasilkan produk hokum yang relative lebih baik disbanding apabila dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.

Nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hokum islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad yang baru. Dasar-dasar hokum islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, urf dan prinsip “ perubahan hokum karena perubahan masa dan tempat ”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada paradigma ini, dalam konteks pembangunan semesta seperti sekarang ini, gerakan penutupan ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.

Puncak pemikirannya tersebut terjadi pada tahun 1961, ketika dalam satu acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makana dan definisi fiqih Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “ Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman ”, Hasbi secara tegas mengatakan: “Maksud untuk mempelajari syari’at islam di universitas-universitas islam sekarang ini, supaya fiqih atau syari’at islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hokum-hukum di tanah air tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian kita sendiri. Sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang me-Mesir-kan fiqihnya.

Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.

Fiqih yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagiannya adalah  fiqih hijaz. Fiqih yang terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di hijaz. Atau fiqih mesir, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di  mesir. Atau fiqih hindi, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di India.

Selama ini, kita velum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan fiqih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqih hijazi, fiqih misri atau fiqih ‘iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”

Menurutnya salah satu factor yang menyebabkan ulama negeri ini belum mampu melahirkan fiqih yang berkepribadian Indonesia adalah terlalu fanatic terhadap mahzab yang dianut olh umat islam. Menyadari ketidakmungkinan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, maka ia mengajak kalangan perguruan tinggi islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat meneruskan proyek fiqh Indonesia. Memang dalam merealisasikan fiqih Indonesia diperlukan kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, ketika harus melewati tahap pertama, yaitu melakukan refleksi histories atas pemikiran hokum islam pada masa awal perkembangannya. Mempertimbangkan tradisi {adat} setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hokum islam baru adalah suatu hal yang penting. Syari’at islam menganut asas persamaan, sebagai konsekuensinya semua urf dari setiap masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hokum, tidak hanya urf dari masyarakat arab saja. Secara singkat pemikiran hasbi berlandaskan pada konsep bahwa hokum islam {fiqih} yang diberlakukan untuk umat islam Indonesia adalah hokum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hokum adapt yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tidakl bertentangan dengan syara’.

Menurutnya pemikiran hokum islam harus berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan dan kemanfaatan serta sadd ad-dzari’ah. Kesemuanya itu menurutnya, merupakan prinsip gabungan yang dipegang oleh para imam mahzab, khususnya aliran madinah dan kuffah dan telah terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam merealisasikan fiqih Indonesia, dia mengingatkan pentingnya pendekatan sejarah yang kritis misalnya, ia menawarkan metode analogi-deduktif {satu model istimbat hokum yang pernah dipakai abu hanifah} untuk membahas satu permasalahan yang belum ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Metode ini mengharuskan seseorang untuk berijtihad secara mandiri. Sedangkan dalam masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, metode perbandingan {komparasi} menjadi hal yang pertama yang ditempuh. Metode ini mengkonsekuensikan perlunya memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang lain daris eluruh aliran hokum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih mana yang lebih cocok dan lebih dekat dengan kebenaran, serta didukung dengan dalil yang kuat {tarjih}. Untuk memudahkan mengaplikasikan metode tersebut ia menyarankan perlunya menggunakan pendekatan social-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan penemuan hokum islam.

Salah satu hasil ijtihad ijtihadnya yang paling popular adalah fatwa tentang memperbolehkannya jabat tagan antara laki-laki dan perempuan, ini berbeda dengan fatwa majlis tarjih muhammadiyah dan ahmad hasan dari persis yang mengharamkan jabat tagan antara laki-laki dan perempuan. Alasan yang dia gunakan diantaranya adalah hokum haram terhadap hal tersebut dilandaskan pada qiyas, dalam pandangannya mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’I, baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah. Disamping itu pertimbangan yang dia gunakan adalah jabat tangan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘urf [kebiasaan] yang sudah sekian lama hidup dan telah menjadi tradisi dimasyarakat Indonesia.*

*By Muriqul Haqqi (Tulisan ini telah diterbiitkan pada buletin Nomos SMJ Syari’ah STAIN Ponorogo edisi April 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...