Kamis, 22 November 2012

Indonesia yang Islami dan Islam yang Indonesia

Oleh : Abdurrahman

Jika Islam adalah agama universal tentu ia akan memiliki satu perangkat hukum yang mampu menjawab seluruh tantangn zaman. Termasuk dalam hal ini ketika Islam harus berhadapan dengan sistem hukum dan budaya lainnya. Sebagai contoh ketika Islam masuk ke Indonesia sudah barang tentu terjadi dialog antara Islam dengan sistem hukum dan budaya di Indonesia. Kajian mengenai dialog Islam dan budaya Indonesia sudah banyak dilakukan, saya sendiri termasuk yang konsen di bidang itu. Minat saya kepada kebudayaan Idonesia membawa konsekuensi bahwa budaya Indonesia juga tidak kalah mulia jika disejajarkan dengan budaya dunia lainnya. Demikian pula dengan sistem hukum dan budaya yang ada dalam Islam. Tentu saja pemikiran ini didasarkan kepada paradigma budaya bukan menggunakan paradigma teologi.
Dari sini kemudian mucnul dalam benak saya bahwa ketika kita berasumsi bahwa Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamin maka ia akan bisa mengakomodir segala sistem hukum dan budaya dunia. Ini adalah konsekuensi logis, apalagi di tengah realitas masyarakat yang plural. Islam sebagai agama sudah selayaknya membuka diri untuk bisa menerima sistem hukum dan budaya lain di dunia ini. Dalam ranah teologis bisa jadi pemikiran ini akan ditolak dikarenakan akan mendistorsi Islam itu sendiri, namun dalam ranah sosial kemasyarakat hal ini adalah sesuatu yang logis. Asumsi dasarnya adalah ketika Islam muncul-pun sebenarnya ia sudah dihadapkan kepada pluralitas hukum dan budaya. Maka sangat wajar ketika Islam juga memiliki aturan-aturan dalam menghadapi pluralitas ini.
Dari sini ide dasar yang menjadi fokus disertasi saya dimulai, yaitu Islam pasti memiliki seperangkat hukum yang bisa dijadikan kaidah bagi penerimaan sistem hukum dan budaya dari luar. Ide-ide ini sebenarnya sudah sangat sering dilontarkan oleh para cendekiawan muslim, sebut saja Hasbi Ash-Shidiqi dengan ide Fiqh Indonesianya. Walaupun belum membaca sampai khatam buku-buku beliau namun saya bisa menangkap ide dasarnya bahwa beliau menginginkan adanya fiqh Indonesia yang selaras denga sistem hukum dan budaya bangsa Indonesia. Selama ini fiqh yang ada cenderung bercorak arab sentris sehingga terkadang akan sangat sulit diterapkan di Indonesia. Jika Hasbi berpolemik dengan Ahmad Hasan tentang hukum berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan maka saya juga berpikir bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang setiap hari pergi ke sawah harus mengenakan jilbab panjang atau menggunakan cadar. Tentu saja ini adalah pendapat gila yang akan banyak ditentang oleh orang-orang yang komitmen dengan Islam (untuk tidak menyebut kelompok Fundamentalis). Akan tetapi realitas di masyarkat memang demikian, sehingga apakah kita akan tetap berpegang teguh pada fiqh yang bernuansa timur tengah atau kita berusaha menggali fiqh dengan jati diri Indonesia? Semuanya dikembalikan kepada para pemikir Islam dan masyarakat juga akan menilai mana yang menurut mereka mudah dilakukan, semuanya kembali kepada kita.
Mudah-mudahan ide untuk mengislamkan Indonesia dan mengindonesiakan Islam ini bukan untuk merendahkan Islam, hal ini hanya dalam ranah pemikiran yang didasarkan pada realitas di masyarakat. Jika salah maka saya mohon ampun kepada Allah ta’ala (Astaghfirullah...) jika bermanfaat bagi masyarakat maka biarlah Allah yang akan membalasnya... Wallahu a’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...