Senin, 19 November 2012

Strukturalisme dan Fungsionalisme


I. Pendahuluan
Dalam dunia antropologi budaya, dan para pelaku didalamnya sudah barang tentu tidak asing lagi ketika dihadapkan dengan istilah paradigma. Pandangan/persepsi, kata yang bermakna sama ini juga marak kita jumpai dalam setiap permasalahan yang terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Setiap hari kita tentu memiliki banyak permasalahan, apapun permasalahan itu, manusia atau bukan, paradigma/pandangan akan selalu berperan di dalamnya. Tergambar jelas dari fenomena bagaimana sebuah respon kita berikan dari pandangan kita terhadap sesuatu atau permasalahan. Begitu banyaknya sikap dan perilaku yang kita tunjukkan untuk mengkondisikan kehidupan duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan kepada bawahan, penampilan orang lain, kebiasaan yang dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung bagaimana persepsi/anggapan/pandangan yang berada di benak/otak kepala kita masing-masing. Kita juga sering mendengar beberapa statement terkait dengan istilah paradigma yang mengatakan, “kita harus menjadi mahasiswa yang ber-paradigma kritis dan transformatif”, “kalau ingin maju, maka kita harus merubah paradigma kita”, dan masih banyak lagi kita jumpai dilain konteks, seperti dalam judul buku, makalah, dan bahkan terpampang besar dalam pamflet atau baliho sebagai tema besar dalam sebuah seminar atau agenda-agenda ilmiah lainnya.

Dari beberapa fenomena diatas terkait dengan istilah paradigma, kita bisa menyimpulkan bahwa paradigma mempunyai peran penting dalam berbagai aktifitas sehari-hari yang sangat relevan dengan keilmuan dan kebudayaan, seperti yang dikemukakan Thomas Kuhn bahwa paradigma adalah inti dari ilmu perngetahuan (the structure of sciencetific revolution).  dan untuk menentukan itu semua tentunya diperlukan kajian-kajian dan penelitian yang tidak mudah. Keterkaitan paradigma dengan kebudayaan dan kehidupan sehari-hari menjadikan istilah itu mempunyai arti yang luas. Mungkin juga itu menjadi salah satu faktor mengapa Thomas Kuhn mendevinisikannya dengan banyak arti. Akan tetapi bisa ditegaskan lagi bahwa paradigma adalah sebuah kerangka berfikir/pemikiran yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan[2]. Prof Ahimsa Putra memberikan sumbangan yang berarti terhadap pembicaraan mutakhir dalam antropologi budaya. Disamping pandangannya terhadap paradigma yang mempunyai 9 unsur Asumsi Dasar (anggapan), Nilai, Model (analogy/perumpamaan), Masalah, Konsep, Representasi/ Etnografi/ Penyajian, Metode Analisis, Hasil Analisis (Teori), Metode Penelitian. Beliau juga berhasil mengidentifikasi sketsa beberapa episode revulusioner dalam antropologi budaya telah menghasilkan 15 paradigma cukup mencerminkan betapa dinamis antropologi budaya sebagai cabang ilmu pengetahuan. (1) evolusionisme (evolusi kebudayaan), (2) diffusionisme (difusi kebudayaan), (3) partikularisme historis, (4) fungsionalisme (-struktural), (5) cross-cultural comparison (studi perbandingan), (6) analisis variable, (7) kepribadian kebudayaan, (8) tafsir kebudayaan (interpretive anthropology), (9) strukturalisme (Lévi-Strauss), (10) etnosains, (11)materialisme budaya, (12) materelialisme historis, (13) konstruksionisme (fenomenologi sosial), (14) actor oriented, dan (15) post-modernisme (Ahimsa Putra, 2008).

Dari seluruh paradigma dalam studi kebudayaan, ada beberapa paradigma yang tidak historis. Fungsionalisme, dan Strukturalisme adalah dua diantara beberapa paradigma tersebut. Mengapa dikatakan demikian? Sebuah penelitian budaya dengan menggunakan pendekatan sejarah atau historis, ternyata belum bisa diterapkan pada masyarakat yang sederhana atau belum mengenal tulisan, seperti yang dilakukan oleh Malinowski dan Brown. Dari situ muncul beberapa paradigma baru yang tidak historis tersebut, Fungsionalisme yang dibawa oleh Bronis Law Malinowski dan Strukturalisme oleh Lévi-Strauss. Akhirnya dengan segala pertimbangan, penulis bermaksud untuk membandingkan dua paradigma tersebut (Fungsionalisme Bronis Law Malinowski dan  Strukturalisme Lévi-Strauss), dan merumuskan beberapa permasalahan terkait dengan (1) kelebihan dan kekurangan dari kedua paradigma itu, dan (2) beberapa unsur perbandingan dari kedua paradigma.


II. Kerangka Teori
Dalam perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski ini, penulis menganalogikan paradigma sebagai kebudayaan. Menurut Kaplan dan Manners dalam memutuskan tentang dapat atau tidaknya fenomen kebudayaan diperbandingkan, gagasan tipe struktural, misalnya saja, menjadi sangat penting. Yang dimaksud tipe struktural disini adalah suatu klasifikasi fenomen yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi kita mendefinisikan ciri tersebut. Yang menjadi dasar penting disni adalah suatu bangunan (construct) semacam itu mengandung semacam teori. Alasannya, dalam tindakan kita memilih ciri penting dalam fenomen yang kita katakan “menentukan” itulah kita sedang menuju pada penyusunan teori. Alasan kedua, karena tidak ada klasifikasi fenomen yang mutlak maka tipe struktural bervariasi menurut masalah yang dikaji (Kaplan dan Manners, 11, 2002).

Dengan menggunakan dasar tipe struktural yang bermakna construct atau bangunan, maka penulis mencoba mengkonstruk permasalahan dalam paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski ini menjadi beberapa unsur diantaranya, sejarah, devinisi, kelemahan, kelebihan, dan perbandingan di kedua paradigma tersebut. Adapun langkah-langkah yang di lakukan penulis adalah sebagai berikut.

Memaparkan sejarah bagaimana munculnya paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski, dengan mengumpulkan data selengkap-lengkapnya.
Mendevinisikan konsep paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski secara eksplisit menurut pemahaman penulis
Mencari kelemahan dan kelebihan dari paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski ini dan menyimpulkannya.
Kemudian membandingakan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski dan menyimpulkannya.
III. Pembahasan
Fungsionalisme Bronis Law Malinowski
Yang melatar belakangi lahirnya fungsionais adalah karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya,(evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk memperoleh data tersebut (Ahimsa-Putra, 2008). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga terdapat kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada teori tersebut. Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah (historical approach) dalam antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa, adanya keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis orang lain (Ahimsa-Putra, 2008). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa (termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di kehidupan sebelum mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu memang belum mengenal tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam bukunya “relegion of java” menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan makhluk halus sehingga mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan mungkin masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan slametan), dan itu dilakukan sejak dulu oleh leluhur mereka yang diyakini mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz, 1981).

Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa oleh Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow, Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat menarik perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat, 171, 2007). Dari ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia terapkan pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian yang berada di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat, 2007). Secara tidak langsung ia telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi, kemudian muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang tidak historis ini yakni Fungsionalisme.

Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan 1908, sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan dengan buku Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa-Putra, 2008).

Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya, menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 76, 2002). Fungsionalisme, menurut para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itu dalam budaya masyarakat Trobriand. Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni, (diktum metodologis), bahwa kita harus mengeksplorasi cirri sistemik budaya, artinya kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah memendang budaya sebagai sehimpun cirri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa kaitan yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisma sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya memiliki kebutuhan (mungkin dikatakan sebagai “kebutuhan sosial “ ala Radcliffe-Brown, atau diungkapkan dalam peristilahan biologis individual ala Malinowski) yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup.dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem besar itu atau sebagian tertentu darinya (Kaplan dan Manners, 77-78, 2002).

Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan sebuah kebudayaan. Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan sebagai berikut[3],

Manakala analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau persistensi struktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.
Penjelasan fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul ia jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual tertentu memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual itu menjadi bagian. Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan “solidaritas sosial” dan “memelihara sistem” itu. Kita melihat suatu masyarakat sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga pribuminya melaksanakan ritual. Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-kaitkan secara yang tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita berikan mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?
Analisis fungsional mempersoalkan pemeligaraan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus mempertimbangkan bobot kausal variebel-variabel tertentu. Artinya, haruslah ditentukan unsur, institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih “fungsional” daripada yang lain-lain.
Dari beberapa kelamahan diatas kemudian muncullah tanggapan-tanggapan terkait solusi yang menjadi jalan keluar dari kelemahan-kelemahan yang ada, dan deskripsi atas paradigma fungsionalisme ini.

Kaplan dan Manners mengatakan bahwa selama fungsi sosial yang sama itu dapat dilaksanakan oleh berbagai institusi, atau sepanjang institusi yang satu itu dapat melaksanakan berbagai fungsi, penjelasan semacam itu sangat sulit atau bahkan mustahil. Penjelasan fungsional tentang persistensi suatu institusi pun semakin persis sama muskilnya.
Suatu institusi atau kegiatan bedaya dikatakasn fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi. Dan yang menjadi masalah pokok ialah bahwa kita tidak dapat mengatakan kapan suatu institusi lebih bersifat fungsional dari pada disfungsional, bila hanya menggunakan tinjauan empirik sederhana.
Syarat minimalnya, untuk analisis fungsional yang memadai adalah, (1) suatu konsepsi tentang sistem, (2) daftar syarat fungsional untuk sistem itu, (3) definisi berbagai sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara, (4) pernyataan tentang kondisi eksternal sistem tersebut dan dengan demikian dapat di control, (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal dalam pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertahankannya agar berada dalam batas tertentu.
Jika minat kita tidak sekedar pada kronologi atau pengisahan sejarah alam, kita harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian. Disinilah perspektif fungsional dan perspektif evolusi hafus dikawinkan dengan perspektif historis. Seban hanya dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah kita baru dapat mulai merumuskan teori.
Strukturalisme Lévis-Strauss
Nama yang mungkin lebih akrab ditelinga kita dengan merk celana jeans ternama itu sesungguhnya adalah seorang antropolog berkebangsaan Prancis berketurunan Yahudi, lahir di Brussles, Belgia, pada tanggal 28 Nopember 1905, dari ayah bernama Raymond Lévi-Strauss dan Ibu Emma Levy (Ahimsa-Putra, 8, 2006)”. Lévi-Strauss memulai karirnya dibidang antropologi pada tahun 1934 silam. Sebenarnya minat utama Lévi-Strauss bukanlah Antropologi. Di masa mudanya dia lebih banyak membaca buku-buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927 Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbonne.

Setelah menyelesaikan kedua studinya tersebut seiring berjalannya waktu ia mulai merasakan kebosanan dalam mengajar, dan lebih dari itu, ” I wanted to travel to see the world” (aku ingin berkelana melihat dunia) katanya. Semboyan inilah yang kemudian menjadikannya seorang tokoh antropolologi yang tersohor dengan karyanya Tristes Tropique setelah hijrah ke Brazil dan mengadakan ekspedisi pertamanya ke pedalaman Brazil serta mengunjungi berbagai suku indian yang boleh dibilang belum terjamah oleh peradaban Brazil. Dari situ kemudian muncul karya-karya lain yang semakin mendukung keeksistensiannya dalam dunia Antropologi seperti: artikel tentang orang Bororo (1936), The Elementary Structures of Kinship (1949), Anthropologie Structurale (1958), Anthropologie Structurale deux (1973), Totemisme, Savage Mind, karya monumental berupa tetralogi (The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, The Naked Man), The Way of The Mask, Myth and Meaning, The View from Afar, Anthropology and Myth, The Jealous Potter, dan The Story of Lynx (Ahimsa-Putra, 2006).

Munculnya paradigma fungsionalisme ternyata belum juga menjadi penyempurna sebuah paradigma teori kebudayaan, seperti paradigma-paradigma sebelumnya, fungsionalisme juga tidak lepas dari kritik dari para ilmuwan sosial, yang menganggap bahwa paradigma ini tidak dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perubahan masyarakat dan kebudayaan karena terlalu menekankan pada hubungan fungsional antar unsur dan keseimbangan sistem (Buckley, 1967; Ahimsa-Putra, 2008). Dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam paradigma fungsionalisme inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa paradigma baru, yang ternyata juga mengungkap bahwa gejala sosial-budaya tidak lagi hanya dipandang sebagai realitas empiris, tetapi juga sebagai wujud dari suatu kerangka berfikir kolektif, yang perlu diungkap isi dan strukturnya (Ahimsa-Putra, 2008). Salah satu diantara paradigma ini adalah Strukturalisme, paradigma yang mendapatkan inspirasi dari linguistik dan sastra ini, dibawa oleh C, Lévis-Strauss, seorang ahli antropologi dari Perancis, yang tersohor dengan karya sekaligus disertasinya tentang kekerabatan, yang diterbitkan pada tahun 1949, dan mendapat perhatian dari para ahli antropologi bahkan mencapai kalangan luar antropologi (Ahimsa-Putra, 2009).

Sangat berbeda dengan Fungsionalisme, yang berasumsi bahwa segala sesuatu itu mempunyai fungsi, dan para ilmuwannya bermaksud untuk mengungkap fungsi dari berbagai gejala sosial-budaya dalam masyarakat atau kebudayaan, paradigma Strukturalisme,  dalam hal ini Lévis-Strauss, telah berhasil mengungkap bahwa antara budaya dan bahasa mempunyai korelasi atau kesejajaran yang memungkinkan untuk digabungkan atau dibandingkan, yakni cara suatu masyarakat mengekspresikan pandangan mereka tentang waktu pada tataran kebahasaan dan kebudayaan. Dalam hal ini para ahli antropologi maupun ahli bahasa pada dasarnya berupaya menyusun sebuah struktur dengan satuan-satuan yang membentuknya. Oleh karena itu, dengan sendirinya korelasi yang kemudian tampak akan berada pada tingkat struktur, bukan pada pengulangan-pengulangan yang terjadi pada tingkat perilaku (Ahimsa Putra, 26, 2009).

Secara implisit skema teoritik Lévis-Strauss dalam paradigma strukturalisme bisa di petakan menjadi,

(Lévi-Strauss, Bahasa dan Kebudayaan)
Sebagaimana telah banyak dilakukan para ahli Antropolog Amerika Serikat, Lévi-Strauss menggunakan model-model linguistik untuk analisis dan deskripsi kebudayaan. Karena para ahli Antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan, baik hubungan yang timbal-balik, saling mempengaruhi, ataupun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan mempengaruhi bahasa, atau sebaliknya, bahasa mempengaruhi kebudayaan. Akan tetapi yang membedakan merekan dengan Lévi-Strauss adalah cara mereka menerapkan model-model linguistik dalam analisis tersebut, serta aliran linguistik yang telah mereka ambil sebagai sumber inspirasi untuk analisis mereka (Ahimsa-Putra, 23, 2006)”.

Ada tiga pandangan dikalangan para ahli antropologi mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan, pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Ketiga, bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan, dapat diartikan dua hal yakni: dalam arti diakronis, bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya, dan material yang digunakan untuk membentuk bahasa dan kebudayaan mempunyai jenis yang sama yakni: relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Dari ketiga pandangan itu Lévi-Strauss memilih yang ketiga, menurutnya sebagian para ahli bahasa dan antropologi selama ini memandang fenomena bahasa dan kebudayaan dari perspektif yang kurang tepat, karena mereka menganggap ada hubungan kausalitas antar dua fenomena tersebut. Mereka masih terperangkap dalam penjara pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan, atau kebudayaan mempengaruhi bahasa?”. Pertanyaan semacam ini menurut Lévi-Strauss cukup menyesatkan. Perspektif yang tepat menurutnya adalah memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya mirip atau sama yang berasal dari “tamu tak diundang” yakni nalar manusia (human mind) dan bukan dari hubungan kausal, jadi  yang dikatakan Lévi-Strauss mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan disini adalah suatu kesejajaran-kesejajaran atau korelasi yang mungkin dan dapat ditemukan diantara keduanya dalam hal tertentu, sehingga seorang ahli bahasa bisa saja bekerjasama dengan ahli antropologi untuk membandingkan ekspresi dan konsep mengenai waktu pada tataran bahasa dan pada tataran sistem kekerabatan atau relasi antar individu (Ahimsa-Putra, 2006).

(Lévi-Strauss dan Linguistik Struktural)
Lévi-Strauss sangat tertarik dan menyetujui strategi analisis para ahli linguistik struktural, dan dari para ahli linguistik tersebut  yang kemudian pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh pada Lévi-Strauss adalah Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Troubetzkoy. Dari ketiga tokoh linguistik ini hanya, Roman Jakobson lah yang pernah dikenal secara langsung, darinya lah Lévi-Strauss kemudian banyak mendapat pengetahuan mengenai analisis struktural dalam linguistik yang kemudian memungkinkannya melakukan kristalisasi atas ide-idenya yang sebenarnya juga sudah bersifat structural.

Kita dapat menemukan lima pandangan dari de Saussure yang menjadi dasar dari strukturalisme Lévi-Strauss yakni: (1) Signified (tinanda) dan signifier (penanda) (2) form (bentuk) dan content (isi) (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran,tuturan) (4) syncronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis) (5) syntagmatic (sintagmatik) dan assosiative (paradigmatik) (Ahimsa-Putra, 34, 2006). Yang kemudian itu semua sangat mempengaruhi pemikiran Lévi-Strauss tentang hakekat ciri-ciri fenomena budaya. Berbeda dengan de Saussure, Jakobson dengan linguistik strukturalnya telah memberikan pelajaran kepada Lévi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan (order) yang ada ‘di balik’ fenomena budaya  yang begitu variatif serta mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya. Seperti pandangan Jakobson tentang fonem yang telah membantu Lévi-Strauss membuka cakrawala baru untuk menganalisis dan memahami sistem kekerabatan dan perkawinan ketika dua pemikiran ilmiah (evolusi dan fungsionalisme) tengah mendominasi dunia ilmu pengetahuan di barat dan kemudian juga mempengaruhi sistem kekerabatan dan variasinya (Ahimsa-Putra, 2006). Selain de Saussure dan Jakobson, Lévi-Strauss juga dipengruhi oleh pandangan ahli fonologi dari rusia , Nikola Troubetskoy, mengenai strategi kajian bahasa, yang berawal dari konsepsi Troubetzkoy mengenai fonem. Troubetzkoy berpedapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah belajar linguistik (Ahimsa-Putra, 58, 2006).

(Makna, Struktur dan Transformasi)
Struktur menurut Lévi-Strauss dalam buku ini adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa-Putra, 60, 2006). Atau mungkin kita bisa menyimpulkan struktur dalam konteks sastra/bahasa adalah model yang dibuat oleh ahli sastra/bahasa untuk memahami atau menjelaskan bahkan memaparkan suatu karya sastra/bahasa yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris karya sastra/bahasa itu sendiri. Dan model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan atau yang mempengaruhi satu sama lain. Seperti halnya struktur, Ahimsa-Putra mengatakan “transformasi disini juga berbeda dengan pengertiannya dengan yang umum diberikan pada kata ini, yaitu perubahan (Ahimsa-Putra, 61, 2006), mengapa begitu? Karena menurut beliau dalam konsep perubahan terkandung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu tertentu. Sedangkan transformasi disini diartikan sebagai aih-rupa atau malih dalam bahasa jawa ngoko. Artinya, dalam suatu transformasi yang berlangsung adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi. Lebih jelasnya dalam buku ini beliau juga mencontohkan transformasi tersebut pada model simbolis yang tampak sangat jelas dalam bahasa (Ahimsa-Putra, 62, 2006) yakni, saya akan pergi ke kota (indonesia), aku arêp lunga mênyang nêgara (jawa-ngoko), kula ajêng kesah têng nêgara (jawa-krama madya), dalem badhê kêsah dhatêng nêgari (jawa-krama inggil), I will go to the city (inggris). Empirisnya kalimat tersebut jelas-jelas berbeda namun mempunyai makna sama.

Lévi-Strauss dan Analisis Struktural

Analisis struktural sebagaimana yang telah terapkan Lévi-Strauss memang bukanlah hal yang baru dalam sebuah kajian kebudayaan, dan dia tidak pernah merasa sebagai pelopor didalamnya. Menurutnya hanya ada tiga orang yang dianggapnya sebagai tokoh strukturalisme tulen diprancis yakni, Benveniste, Dumezil dan dirinya sendiri, namun dari ketiga orang ini, Lévi-Strauss lah yang paing tekun menerapkan dan mengembangkan cara analisis struktural seperti, kekerabatan dan perkawinan, mitos, totemisme dan topeng, maka dialah tokoh strukturalis paling maju, paling konsisten, serta paling yakin dengan paradigma strukturalnya (Ahimsa-Putra, 2006).

Berikut ini adalah karya-karya Lévi-Strauss dalam penjelajahan strukturalnya dengan mitos-mitos. Kisah Oedipus[4], ahli strukturalis ini, menganalisis mitos Oedipus dengan cara yang sungguh-sungguh strukturalis dalam penggunaan model linguistic. Ia menyebut satuan-satuan mitos dengan “mytheme” yang di organisasikan dalam oposisi biner seperti satuan-satuan linguistik dasar. Pertentangan umum yang mendasari mitos Oedipus ada antara dua pandangan tentang asal-usul manusia; (1) bahwa mereka lahir dari tanah; (2) mereka lahir dari persetubuhan. Berbagai mytheme dikelompokkan pada salah satu antithesis ini antara (1) penilaian berlebih ikatan hubungan keluarga (Oedipus mengawini ibunya; Antigone menguburkan kakaknya secara melawan hukum); (2) kurang menilai pertalian keluarga (Oedipus membunuh ayahnya; Eteocles membunuh abangnya). Lévi-Strauss tidak tertarik kepada perturutan naratif, tetapi tertarik kepada pola struktural yang memberikan arti kepada mitos. Ia mencari struktur fonemik mitos itu. Ia percaya bahwa model linguistik ini akan mengungkap struktur pikiran manusia yang dasar, struktur yang menguasai cara manusia membentuk semua lembaganya, ilmu pengetahuannya

Kisah Asdiwal dan anaknya si Waux, yang diringkas Lévi-Strauss dari buku F.Boas, dan dirterjemahkan oleh Ahimsa-Putra[5] dari buku Lévi-Strauss Structural Anthropology II. Dalam analisis ini, bagian-bagian yang kecil dari ceritera yang mungkin tampak sepele, tidak dapat diabaikan, karena seringkali bagian-bagian tersebut punya arti penting dalam proses memahami dan menafsirkan kembali ceritera itu. Lévi-Strauss melihat bahwa dalam dongeng tersebut terdapat beberapa tataran (order) fakta, yakni: .(1) peta fisik dan politik negeri Tsimshian, karena disitu disebutkan nama tempat-tempat dan kota-kota yang memang ada; (2) kehidupan ekonomi atau matapencaharian orang-orang Tsimshian, yang menentukan pola migrasi-migrasi besar musiman mereka diantara lembah Skeena dan sungai Nass, serta merupakan konteks dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Asdiwal; (3) oganisasi-organisasi sosial dan keluarga, karena disitu terdapat kisah tetang perkawinan, perceraian, status janda, hubungan antara seseorang dengan ipar-iparnya, dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan denganhal-hal tersebut, seperti perburuan, persaingan, dan tolong-menolong; (4) kosmologi orang Tsimshian, yang tampak pada peristiwa kunjungan Asdiwal ke langit dan ke dunia bawah tanah, yang semuanya merupakan kisah mitologis, bukan pengalaman nyata (Ahimsa-Putra, 115-116, 2009).

Dan analisis Lévi-Strauss atas ratusan mitos-mitos di Indian Amerika Selatan, dimulai dari sebuah mitos orang Indian Bororo di Brazil Tengah, yang terirorinya di masa lalu mencapai daerah hulu sungai Paraguay hingga lembah Araguaya. Didasarkan atas persamaan antara mitos dan musik, Lévi-Strauss menyebut mitos Bororo ini dengan istilah “The Bird-Nester’s Aria” (Burung-burung Nuri dan Sarang Meerka). Mitos ini merupakan mitos kunci atau mitos yang menjadi awal perjalanan besar Lévi-Strauss menelusuri ratusan mitos lainnya di Amerika. Adapun judul mitos-mitos lainnya adalah, Bororo “Asal-muasal air, perhiasan, dan ritus penguburan”, Bororo “Asal-muasal penyakit”, Tucuna “Keluarga yang berubah menjadi harimau-harimau”, Tucuna “Harimau yang memakan anak-anaknya”, (Ahimsa-Putra, 2009).

Strukturalisme yang dikembangkan Lévi-Strauss sangat berbeda dengan strukturalis yang dikembangkan tokoh-tokoh strukturalis lain seperti, Emile Drukheim, A.R.Radcliffe-Brown, Talcott Parsons dan Robert Merton, yang lebih dikenal dengan aliran Fungsionalisme-Struktural, Jean Piaget (Analisis Struktural dalam Psikologi) meskipun ada beberapa kesamaan pandangan didalamnya. Meskipun Lévi-Strauss pernah mengatakan bahwa Strukturalismenya banyak diilhami oleh pandangan dari Karl Marx dan Sigmund Freud (psikoanalisis), tapi perbedaannya cukup besar dengan Antropologi Struktural yang telah dikembangkannya karena dalam Struktural Lévi-Strauss banyak dipengaruhi oleh ilmu bahasa (linguistik) didalamnya (Ahimsa-Putra, 2006). Dan bagi Lévi-Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu system simbolik atau konfigurasi system perlambangan. Lebih lanjut, untuk memahami sesuatu perangkat lambing budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan system keseluruhan tempat system perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Lévi-Strauss berbicara tentang fenomen kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan referen atau arti lambing secara empirik. Yang ia perhatikan adalah pola-pola formal (Kaplan dan Manners,239, 2002).

Lévi-Strauss, dengan paradikma strukturalisme-nya telah mendapat banyak pujian dari kalangan ilmuwan dan kebudayaan. Seperti Leach yang menyebut Lévi-Strauss sebagai “pendiri strukturalisme sejajar dengan Sartre sebagai pendiri eksistensialisme (Kaplan dan Manners, 237, 2002). Merupakan analogi yang sangat tepat, karena filsafat eksistensialisme sendiri usianya jauh lebih tua dari Sartre, tapi meskipun demikian pendekatan Sartre yang unik terhadap eksistensialismelah yang membuatnya menonjol diantara para pengguna istilah itu dalam masa sebelumnya. Kaplan dan Manners pun dengan tegas menyebutkan bahwa sikap teoritik yang telah dibahas dalam bukunya (Teori Budaya), tak satupun yang dapat diidentifikasikan dengan karya satu orang sedekat identifikasi “strukturalisme” dengan karya-karya tulis Claude Lévi-Strauss. Lévi-Strauss memang memberikan sumbangan besar terhadap paradigma strukturalisme kontemporer, terbukti pada pokok tulisan para struturalis lain sekurang-kurangnya dalalm antropologi kelihatannya memang terutama mengomentari, memberi catatan kaki, atau mengelaborasikan gagasan yang pertamakalinya dilontarkan oleh Lévi-Strauss. Dia bukan hanya tegak sebagai pemimpin karismatik dari strukturalisme kontemporer, melainkan juga tampaknya jelas-jelas menjadi pemegang kata akhir mengenai mana yang “asli dan abash” dan mana pula yang “semu dan palsu” dalam hal teori strukturaisme. Dengan demikian, bicara tentang strukturalisme berarti bicara tentang strukturalisme Prancis; dan bicara tentang strukturalisme Prancis sama dengan berbicara mengenai skema teoritik Lévi-Strauss (Kaplan dan Manners, 238, 2002).

Namun begitu, paradigma strukturalisme Lévi-Strauss tidak ubahnya sebuah perkembangan dan revolusi dari paradigma-paradigma sebelumnya, yang juga masih ada kelemahan-kelemahan dalam konsep teoritiknya. Dari banyaknya komentar dan keragaman eksegesis yang berakumulasi beberapa tahun terakhir ini bahwa hal-hal yang terimbau oleh karya Lévi-Strauss tidaklah mudah diringkas maupun di pahami. Gagasannya sering sangat abstrak da lincir (elusif), sedangkan gaya pernyajiannya sendiri acapkali menyulitkan. Seperti dikemukakan Leach bahwa, Lévi-Strauss memilih dan merangkai kata-katanya secara amat cermat dan jelimet sehingga dalam bahasa aslinya sering terkandung sifat puitik, dalam arti bahwa suatu kalimat mungkin dapat memiliki semacam ambiguitas harmonis dibalik dan di atas hal yang tampak diungkapkan di permukaan (Kaplan dan Manners, 247, 2002) sehingga menimbulkan berbagai pendapat dan kesimpulan/inferensi, dan makna/tafsir yang berbeda-beda dari dari setiap orang tentang pemahaman dan pemikiran Lévi-Strauss tersebut. Kelemahan lain terdapat pada kesulitan dalam bagan teori Lévi-Strauss yang menyangkut transformasi logis yang digunakannya untuk berpindah dari kaidah structural dasar ke variasi penempilan kultural. Transformasi itu cenderung sangat khusus dan sewenang atau idiomistik serta sulit atau malah mustahil direplikasikan oleh antropolog lain. Jika pun kita asumsikan bahwa prosedur trasnformasi itu dapat diungkap secara lebih cermat, masih akan ada kesulitan menghubungkan model formal Lévi-Strauss dengan jenis materi dan soal empirik yang biasanya digarap oleh antropolog. Dalam karyanya yang berjudul The Savage Mind juga terkesan tidak ada kejelasan dimanakah ujung penalaran Lévi-Strauss dan dimana pula pangkal penalaran warga pribumi, atau: apa hubungan antara penalaran ini dengan dunia empirik (Kaplan dan Manners, 250, 2002).

Berbagai kritik yang tajam, ketat, dan teliti diatas, ternyata tidak lantas membuat para pengkritik sendiri kehilangan respek atau rasa kagum terhadap paradigma strukturlisme Lévi-Strauss, karena bagaimanapun juga manfaat dari paradigma itu sungguh banyak mempengaruhi konsep antropologi. Maybury-Lewis mengatakan bahwa pandangan-pandangan Lévi-Strauss telah berhasil membuka perspektif-perpektif baru dalam analisis mitos, Mary Douglas juga berpendapat, analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss telah mampu mengungkap acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu. Dimata Yalman, Lévi-Strauss juga telah berhasil memperlihatkan bagaimana pemikiran masyarakat pemilik mitos-mitos tersebut ternyata tidak berkeliaran bebas begitu saja, tetapi terus menerus disalurkan lewat pola-pola tertentu. Thomas, Kronenfeld dan Konenfeld juga mengakui bahwa beberapa pendapat Lévi-Strauss tentang makna mitos Asdiwal memang masuk akal dan seringkali menarik. Ahimsa-Putra dalam bukunya juga mengatakan, bahwa analisis struktural Lévi-Strauss tidak hanya menarik dan penting dalam perspektifnya, tetapi juga dalam metodenya. Paradigma struktural Lévi-Strauss telah memungkinkan para ahli antropologi dan mitologi memandang mitos dengan cara yang berbeda, dank arena itu pula memungkinkan mereka menampilkan makna-makna mitos yang baru, yang berbeda dengan yang sudah-sudah (Ahimsa-Putra, 2009).

IV. Perbandingan
Dari sekian gamblang penjelasan tentang dua paradigma diatas (Fungsionalisme dan Strukturalisme), jelas ada perbedaan diantara keduanya dalam konsep teoritik. Meskipun wujud perbedaan itu bukanlah sebuah rekonstruksi tapi lebih tepatnya adalah sebuah reformasi dari paradigma sebelumnya. Perbedaan diantara keduanya adalah sebuah perbandingan yang menunjukkan kelebihan dan kelemahan masing-masing paradigma.    Fungsionalisme berpendapat bahwa, kesatuan psikis itu berarti bahwa kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan apa pun, manakala pikiran manusia diharapkan pada seperangkat keadaan lingkungan fisik serta kultural, ia akan memberikan reaksi, pemecahan atau penanggulangan yang pada intinya sama. Sedangkan Lévi-Strauss agaknya berpendapat bahwa kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan bagaimanapun, sifat-sifat logis dalam pikiran manusia adalah demikian rupa hingga tatakerjanya memiliki kesamaan yang fundamental.

Akan tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat semu belaka. Alasannya, pada dasarnya Lévi-Strauss tentunya sepaham dengan para pendahulunya dari abad kesembilan belas itu bahwa muatan reaksi, pemecahan atau penanggulangan itu akan berbeda menurut keadaan lingkungan keseluruhan. Akan tetapi menurut Lévi-Strauss, dan jelas berbeda dengan pendapat teoriwan abad kesembilan belas, muatan tanggapan itu relatif tidak penting; satu-satunya solah ialah proses mental atau pola logis-formal dari tanggapan itu. Bagaimanapun halnya, pikiran manusia merupakan sesuatu yang terprogram. Apakah pikiran itu terdapat dalam suatu matriks budaya industri-atomik-kapitalistik atau dalam lingkungan pemburu-peramu di padang Australia Tengah, tatakerja pikiran manusia sama belaka adanya. Begitulah maka perbedaan antara Lévi-Strauss dengan antropolog abad kesembilan belas sama sekali tidak menyangkut tatakerja hakiki pikiran manusia, melainkan hanya sehubungan dengan soal akibat yang terindra dan merupakan hasil kerja pikiran manusia dalam situasi lingkungan tertentu. Lévi-Strauss tidak berminat pada perbedaan institusi maupun artefak yang menandai berbagai kelompok manusia. Antropolog abad kesembilan belas dan juga kebanyakan antropolog kontemporer menaruh perhatian pada cara “lingkungan” mempengaruhi pikiran manusia yang “tunggal dan sama” itu (Kaplan dan Manners, 246, 2002).

V. Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan analisis atas perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

Kelebihan dan kelemahan masing-masing paradigma.
Untuk kelebihan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski penulis berpendapat, bahwa kelebihan dan kelemahan masing-masing akan terlihat ketika dibandingkan dengan paradigma sebelumnya karena sebuah paradigma baru itu muncul ketika paradigma sebelumnya sudah tidak cocok untuk di terapkan pada sebuah permasalahan. Atau ketika paradigma itu dikritik, Maka paradigma baru tersebut jelas lebih bagus dari yang sebelumnya, misalnya paradigma Fungsionalisme muncul karena paradigma Sejarah Kebudayaan dianggap sudah tidak cocok lagi, dan seterusnya.

Fungsionalisme Bronis Law Malinowski

Kelebihan,

Fungsionalisme bukan bukan hanya sinonim bagi ilmu sosia saja, tapi ia sinonim dengan semua ilmu.
Fungsionalisme mempunyai kaidah yang besifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni dictum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk sistem yang bulat.
Dengan asumsi bahwa segala sesuatu itu mempunyai fungsi, maka dengan fungsi inilah paradigma ini bisa menjelaskan keberadaan sesuatu dalam sebuah kebudayaan.
Kelemahan

Penjelasan fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul ia jelaskan.
Analisis fungsional mempersoalkan pemeliharaan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan struktural.
Fungsionalisme terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.

Strukturalisme Lévi-Strauss

Kelebihan,

Maybury-Lewis mengatakan bahwa pandangan-pandangan Lévi-Strauss telah berhasil membuka perspektif-perpektif baru dalam analisis mitos.
Mary Douglas juga berpendapat, analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss telah mampu mengungkap acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu.
Dimata Yalman, Lévi-Strauss juga telah berhasil memperlihatkan bagaimana pemikiran masyarakat pemilik mitos-mitos tersebut ternyata tidak berkeliaran bebas begitu saja, tetapi terus menerus disalurkan lewat pola-pola tertentu.
Thomas, Kronenfeld dan Konenfeld juga mengakui bahwa beberapa pendapat Lévi-Strauss tentang makna mitos Asdiwal memang masuk akal dan seringkali menarik.
Ahimsa-Putra dalam bukunya juga mengatakan, bahwa analisis struktural Lévi-Strauss tidak hanya menarik dan penting dalam perspektifnya, tetapi juga dalam metodenya. Paradigma struktural Lévi-Strauss telah memungkinkan para ahli antropologi dan mitologi memandang mitos dengan cara yang berbeda, dank arena itu pula memungkinkan mereka menampilkan makna-makna mitos yang baru, yang berbeda dengan yang sudah-sudah.
Kelemahan,

Karya Lévi-Strauss tidaklah mudah diringkas maupun di pahami. Gagasannya sering sangat abstrak da lincir (elusif), sedangkan gaya pernyajiannya sendiri acapkali menyulitkan.
Lévi-Strauss memilih dan merangkai kata-katanya secara amat cermat dan jelimet sehingga dalam bahasa aslinya sering terkandung sifat puitik, dalam arti bahwa suatu kalimat mungkin dapat memiliki semacam ambiguitas harmonis dibalik dan di atas hal yang tampak diungkapkan di permukaan, sehingga menimbulkan berbagai pendapat dan kesimpulan/inferensi, dan makna/tafsir yang berbeda-beda dari dari setiap orang tentang pemahaman dan pemikiran Lévi-Strauss tersebut.
Kelemahan lain terdapat pada kesulitan dalam bagan teori Lévi-Strauss yang menyangkut transformasi logis yang digunakannya untuk berpindah dari kaidah structural dasar ke variasi penempilan kultural. Transformasi itu cenderung sangat khusus dan sewenang atau idiomistik serta sulit atau malah mustahil direplikasikan oleh antropolog lain.
B. Perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski.

Fungsionalisme berpendapat bahwa, kesatuan psikis itu berarti bahwa kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan apa pun, manakala pikiran manusia diharapkan pada seperangkat keadaan lingkungan fisik serta kultural, ia akan memberikan reaksi, pemecahan atau penanggulangan yang pada intinya sama. Sedangkan Lévi-Strauss agaknya berpendapat bahwa kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan bagaimanapun, sifat-sifat logis dalam pikiran manusia adalah demikian rupa hingga tatakerjanya memiliki kesamaan yang fundamental.
Menurut Lévi-Strauss muatan tanggapan itu relatif tidak penting (berlawanan dengan fungsionalisme); satu-satunya solah ialah proses mental atau pola logis-formal dari tanggapan itu. Bagaimanapun halnya, pikiran manusia merupakan sesuatu yang terprogram. Apakah pikiran itu terdapat dalam suatu matriks budaya industri-atomik-kapitalistik atau dalam lingkungan pemburu-peramu di padang Australia Tengah, tatakerja pikiran manusia sama belaka adanya.
Lévi-Strauss tidak berminat pada perbedaan institusi maupun artefak yang menandai berbagai kelompok manusia. Sedang antropolog (fungsionalisme) abad kesembilan belas dan juga kebanyakan antropolog kontemporer menaruh perhatian pada cara “lingkungan” mempengaruhi pikiran manusia yang “tunggal dan sama” itu.
Perbedaan antara Lévi-Strauss dengan antropolog abad kesembilan belas sama sekali tidak menyangkut tatakerja hakiki pikiran manusia, melainkan hanya sehubungan dengan soal akibat yang terindra dan merupakan hasil kerja pikiran manusia dalam situasi lingkungan tertentu.




Daftar Pustaka
 Ahimsa-Putra, H.S. 2008 “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Ahimsa-Putra, H.S.

2009                 “Strukturalisme Lévis-Strauss Mitos dan Karya Sastra”, Kepel Press, Yogyakarta.

Geertz, Clifford.
1981                 “Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa” Pustaka Jaya, Jakarta Pusat.
Kaplan, David dan A. Manners, Robert.
2002                 “Teori Budaya” Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Koentjaraningrat.
2007                 “Sejarah Antropologi I” Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Selden Rahman
1991                 “Panduan membaca Teori Sastra Masa Kini” Terj. Gadjah Mada University Press.
[1] . Makalah ini ditulis oleh Ahans Mahabie, S. S, untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Teori Budaya, Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2010.
[2] . Diambil dari perkuliahan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Teori Budaya, Sekolah Pascasarjana Kajian Timur Tengah Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, senin 19 oktober 2009, pukul 15.45-17.15 WIB
[3] . faktor-faktor tentng kelemahan pada paradigma fungsionalisme ini diambil penulis dari buku “Teori Budaya” karangan Kaplan dan Manners.
[4] . Selden Rahman, “Panduan membaca Teori Sastra Masa Kini” Terj. Gadjah Mada University Press, 1991. Hal, 60-61
[5] . diterjemahkan oleh Prof. Dr. Heddy Shry Ahimsa-Putra dalam bukunya “Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra” Kepel Press Yogyakarta, 2009.

Sumber : http://hanslovers.wordpress.com/2010/06/18/antara-strukturalisme-dan-fungsionalisme/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...