Senin, 17 Desember 2012

Belanda Delegitimasi Hukum Islam

Oleh: Cipto Sembodo, M.A


Akhir kekuasaan VOC awal abad ke-19 M. menandai suatu titik balik hukum Islam di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda mulai mempertanyakan dan berangsur-angsur memperlemah eksistensi dan akhirnya men-delegitimasi hukum Islam. Seperti dijelaskan pada paragraf di bawah ini, dalam konteks inilah lahir debat-debat teoretis mengenai keberlakuan hukum Islam. Dan, dalam rangkain ini pula politik hukum pemerintah Belanda melahirkan berbagai aturan dan ketetapan baru yang mendelegitimasi hukum Islam.

Debat Teoretis dan Upaya Delegitimasi
Meski begitu, sepanjang abad ke-19 M. sebenarya masih kuat dianut pendapat dikalangan ilmuwan dan pemerintah Belanda bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam bagi masyarakat Islam. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823-1868) dan Lodewijk Willem Cristian van den Berg (1845-1927). Lebih jauh, van den Berg, yang tinggal di Indonesia tahun 1870-1887, kemudian merumuskan berlakunya hukum Islam tersebut dalam teori receptio in complexu.

Sepanjang abad 19 M juga lahir berbagai Stb.dan resolusi gubernur  jenderal yang berisi pengakuan terhadap eksistensi hukum Islam. Dapat dicatat secara berturut-turut diantaranya Stb. November 1808, Stb. No. 22 tahun 1820, Resolusi gubernur jenderal 3 Juni 1923 dan Resolusi gubernur jenderal 7 Desember 1935. Puncaknya adalah dibentuknya Pengadilan Agama (Priesterrad-pengadilan pendeta) pada 1882 di setiap wilayah Landraad (Pengadilan Umum), memalui Stb No. 152.

Memasuki abad 20 sejalan dengan makin seringnya pemberontakan, kecurigaan pemerintah kolonial-pun makin meningkat kepada masyarakat Muslim. Teori receptio in complexu makin dikritik. Hal itu didorong sebelumnya oleh nasehat Van Vollen Hoeven (diabadikan menjadi nama perpustakaan di Belanda), kemudian dilanjutkan oleh Snouck Hurgronje dan murid-muridnya yang berpendapat bahwa hukum Islam sebenarnya tidak berlaku di tengah-tengah masyarakat Nusantara.

Berdasarkan penelitiannya di Aceh tahun 1893-1894, Snouck Hurgronje berkesimpulan bahwa yang berlaku hanyalah unsur-unsur tertentu dari hukum Islam yang sudah menjadi bagian dari adat kebiasaan di beberapa daerah tertentu. Pemikiran Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai teori receptie. Karena itu pula, pasal 132 (2) IS yang menyatakan bahwa hukum Islam akan berlaku jika telah diterima (gerecepted) oleh hukum adat seringkali disebut pasal receptie.

Dicabutlah Compedium Freijer dengan Stb No. 55 tanggal 3 AGUSTUS 1928. Sejak saat itu, maka berakhirlah berlakunya Hukum perkawinan Islam yang tertulis. Begitu pula hukum waris Islam, dicabut keberlakuannya pada 17 Februari 1913 dengan STB 354. Akibat dicabutnya Compedium Freijer itu maka berarti tidak ada lagi ketetapan yang secara khusus mengatur hukum perkawinan Islam dan hukum waris Islam bagi orang-orang Indonesia maupun bagi umat Muslim.

Sejak saat itu hingga lahirnya UU No. 2 tahun 1946, perkawinan diatur menurut golongannya. (1)Bagi orang Eropa berlaku KUHP (BW). (2)Bagi orang Arab dan Timur Asing (yang bukan Tionghoa) berlaku adat mereka. (3)Bagi orang Tionghoa berlaku secara umum KUHP, kecuali pencatatan dan prosesi pra-nikah. (4)Bagi pribumi berlaku adat mereka, plus bagi orang kristen berlaku undang-undang perkawinan kristen jawa, minahasa dan ambon. (5)Bagi orang selain itu, berlaku perkawinan campuran.

Selain membagi-bagi menjadi beberapa golongan atas dasar ras, seperti disebut di paragraf di atas, tampak kentara sekali upaya mengadu-domba antar sesama anak negeri dan mempertentangkan sistem hukumnya. Teori receptie inilah sesungguhnya yang mengawali pendekatan konflik antara sistem hukum di Indonesia. Perbedaan antara Islam dan adat dipertegas oleh pemerintah kolonial dalam politik hukum dan kebijakan legislatifnya. Hukum Islam kemudian dipertentangkan sedemikan rupa vis a vis adat menjadi hubungan konflik yang seolah-olah tak terselesaikan.

Untuk memperkuat argumen ilmiah dan melegitimasi teori receptie Snouck Hurgronje ini, lantas dikembangkan terminologi “adatrecht”. Dibuatlah disiplin baru bernama “adatrecht” --kini menjadi “hukum adat”-- untuk menonjolkan secara sistematis dan ilmiah isu adat versus hukum Islam. Disiplin baru inilah yang dikembangkan lebih jauh oleh Ter Haar. Selain itu, kedudukan hukum Islam secara hirarkis ditempatkan di posisi ke tiga setelah hukum Hindia Belanda dan  adat. Metode devide et impera seperti inilah yang secara efektif diterapkan pemerintah kolonial untuk melemahkan hukum Islam.

Sumber : http://publik-syariah.blogspot.com/2011/03/belanda-delegitimasi-hukum-islam.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...