Senin, 03 Desember 2012

Zakat Untuk Usaha Produktif


Oleh : Abdurrahman MBP, MEI

Usaha produktif adalah setiap usaha yang dapat menghasilkan keuntungan ( profitable ), mempunyai market yang potensial serta mempunyai managemen yang bagus, selain itu bahwa usaha-usaha tersebut adalah milik para fakir miskin yang menjadi mustahiq zakat dan bergerak di bidang yang halal. Usaha-usaha seperti inilah yang menjadi sasaran zakat produktif.
Dalam pendistribusiannya diperlukan adanya lembaga amil zakat yang amanah dan kredibel yang mampu untuk me-manage distribusi ini. Sifat amanah berarti berani bertanggung jawab terhadap segala aktifitas yang dilaksanakannya terkandung didalamnya sifat jujur. Sedangkan professional adalah sifat mampu untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan modal keilmuan yang ada.[1]
Pola pendistribusian zakat produktif haruslah diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran dari program ini tidak tercapai. Beberapa langkah berikut menjadi acuan dalam pendistribusian zakat produktif :
1.      Forecasting yaitu meramalkan, memproyeksikan dan mengadakan taksiran sebelum pemberian zakat tersebut.
2.      Planning, yaitu merumuskan dan merencanakan suatu tindakan tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk tercapainya program, seperti penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat produktif, menentukan tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain.
3.      Organizing dan Leading, yaitu mengumpulkan berbagai element yang akan membawa kesuksesan program termasuk di dalamnya membuat peraturan yang baku yang harus di taati.
4.      Controling yaitu pengawasan terhadap jalannya program sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres atau menyimpang dari prosedur akan segera terdeteksi.[2]
Selain langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam penyaluran zakat produktif haruslah diperhatikan orang-orang yang akan menerimanya, apakah dia benar-benar termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir miskin, demikian juga mereka adalah orang-orang yang berkeinginan kuat untuk bekerja dan berusaha. Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa seleksi bagi para penerima zakat produktif haruslah dilakukan secara ketat, sebab banyak orang fakir miskin yang masih sehat jasmani dan rohaninya tetapi mereka malas bekerja. Mereka lebih suka menjadi gelandangan daripada menjadi buruh atau karyawan. Mereka itu tidak boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi sedekah ala kadarnya, karena mereka telah merusak citra Islam. Karena itu para fakir miskin tersebut harus diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi latihan-latihan keterampilan yang sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi modal kerja yang memadai.[3] 
Setelah mustahiq penerima zakat produktif ditetapkan selanjutnya adalah Amil zakat harus cermat dan selektif dalam memilih usaha yang akan dijalankan, pemahaman mengenai bagaiamana mengelola usaha sangat penting terutama bagi Amil mengingat dalam keadaan tertentu kedudukannya sebagai konsultan / pendamping usaha produktif tersebut. Di antara syarat-syarat usaha produktif dapat dibiayai oleh dana zakat adalah :
  1. Usaha tersebut harus bergerak dibidang usaha-usaha yang halal. Tidak diperbolehkan menjual belikan barang-barang haram seperti minuman keras, daging babi, darah, symbol-symbol kesyirikan dan lain-lain. Demikian juga tidak boleh menjual belikan barang-barang subhat seperti rokok, kartu remi dan lain sebagainya.
  2. Pemilik dari usaha tersebut adalah mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin yang memerlukan modal usaha ataupun tambahan modal.
  3. Jika usaha tersebut adalah perusahaan besar maka diusahakan mengambil tenaga kerja dari golongan mustahiq zakat baik  kaum fakir ataupun miskin.
Setelah usaha yang akan dijadikan obyek zakat produktif ditentukan maka langkah berikutnya yaitu cara penyalurannya. Mengenai penyalurannya dapat dilakukan dengan model pinjaman yang “harus” dikembalikan, kata harus di sini sebenarnya bukanlah wajib, akan tetapi sebagai bukti kesungguhan mereka dalam melakukan usaha.
Yusuf Qaradhawi menawarkan sebuah alternatif bagaimana cara menyalurkan zakat kepada fakir miskin, beliau mengatakan seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi bahwa orang yang masih mampu bekerja / berusaha dan dapat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara mandiri, seperti pedagang, petani, pengrajin, tetapi mereka kekurangan modal dan alat-alat yang diperlukan, maka mereka itu wajib diberi zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri seterusnya. Dan mereka bisa juga ditempatkan di berbagai lapangan kerja yang produktif yang didirikan dengan dana zakat.[4]     
Setelah proses penyaluran selesai, maka yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap mustahiq yang mendapatkan zakat produktif tersebut, jangan sampai dana tersebut disalah gunakan atau tidak dijadikan sebagai modal usaha. Pengontrolan ini sangat penting mengingat program ini bisa dikatakan sukses ketika usaha mustahiq tersebut maju dan dapat mengembalikan dana zakat tersebut. Karena hal inilah yang diharapkan, yaitu mustahiq tersebut dengan usahanya akan maju dan berkembang menjadi mustahiq zakat.
Model pengawasan terhadap bergulirnya dana zakat produktif dapat pula berupa pendampingan usaha, semacam konsultan yang akan mengarahkan para mustahiq dalam menjalankan usahanya. Model pendampingan ini juga hendaknya tidak hanya terfokus kepada usaha yang dikelolanya, melainkan juga dapat mendampingi dan memberikan input dalam hal spiritual mustahiq. Diadakannya kelompok-kelompok pertemuan antar mustahiq penerima zakat produktif dengan pengelola zakat dapat dijadikan momen untuk memberikan tausiah keagamaan, jadi selain untuk mengentaskan kemiskinan keduniaan sekaligus mengentaskan mereka dari kemiskinan spiritual. 
Bagaimana aplikasi penyaluran dana zakat produktif  pada masyarakat yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil zakat di Indonesia? Berikut beberapa contoh nya :
Di antara contoh pendistribusian zakat yang bersifat produktif adalah yang telah dilaksanakan oleh BAZKAF PT. Telkom Indonesia dimana mereka memasukan dua unsur produktif dalam penyaluran zakatnya :
a.       Investasi dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan bentuk pemberdayaan SDM yaitu berupa pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan beasiswa.
b.      Modal kerja usaha.[5]  

Sementara BAZ Kabupaten Sukabumi menyalurkan dana zakat yang bersifat produktif kepada para fakir miskin yang lemah kondisi ekonominya dalam bentuk modal usaha yang dengan beberapa variasi program yaitu :
1.      Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Zakat
2.      Bantuan Modal usaha Kecil (BMUK)
3.      Bantuan Modal Pertanian dan Peternakan
4.      Qordul Hasan untuk PNS yang kesulitan pinjaman
5.      Penguatan BMT
Program ini ditujukan bagi pengembangan ekonomi produktif di kalangan keluarga miskin. Bentuknya dalam bentuk bantuan permodalan bergulir dan bimbingan usaha, sehingga diharapkan dengan bantuan tersebut sasaran dapat melakukan usaha sendiri secara mandiri dan berpenghasilan tetap untuk keluar dari jerat kemiskinan. Kalau bisa menjadikan usaha ekonomi lemah ini menjadi seorang muzzaki. Program ini juga bisa berbentuk pelatihan usaha, Enterpreuneur School dll.
Adapun prosedurnya adalah bagi para penerima Dana Zakat harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dan mengisi formulir permohonan serta akta perjanjian, hal ini diambil sebagai tanda kesungguhan bagi penerima dana mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya sekitar 30 % dana tidak kembali.
Mengenai Enterpreuneur School bisa dalam bentuk Short Course (Kursus singkat) wirausaha bagi siapa saja yang berminat namun diutamakan dari golongan dhuafa dan fakir miskin yang mempunyai keinginan untuk maju dan berkembang. Program ini akan terus berlanjut hingga usaha tersebut benar-benar berdiri dan tugas BAZ adalah mendampingi dan membantu dalam hal manajerial dan pengembangannya.
BAZ DKI Jakarta juga melakukan terobosan baru dalam penyaluran zakat produktif ini, dengan menyalurkan modal usaha, langkah pertama yang dilakukan adalah modal usaha yang diberikan itu harus dikembalikan dalam waktu tertentu untuk disalurkan lagi kepada mustahiq berikutnya, yaitu merupakan pinjaman modal tanpa bunga selama satu tahun, sebagai pendidikan untuk meningkatkan kehidupan yang layak, demikian seperti dikutip oleh  Sjechul Hadi Permono.[6] 


[1] Lihat Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 129
[2] Anton Ath-Thoilah, Managemen, Fakultas Syari’ah IAIN, Bandung 1994, hal. 43-46
[3] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, hal. 247
[4] ibid, hal. 248.
[5] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, op.cit hal. 57.
[6] Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...