Rabu, 16 Januari 2013

Fiqh Muamalah: Wakaf

Oleh: Fatma Welda 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: (أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَرْضاً بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- يَسْتَأْمِرُهُ 
فِيهَا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضاً بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ. قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لا يُبَاعُ أَصْلُهَا، وَلا يُورَثُ، وَلا يُوهَبُ، فَتَصدَّقَ بِهَا فِى الْفُقَرَاءِ، وَفِى الْقُرْبَى، وَفِى الرِّقَابِ، وَفِى سَبِيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ، لا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيهَا أَنْ يَأَكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ صَدِيقاً غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالاً)، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.
وَفِى رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: (تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا: لا يُبَاعُ وَلا يُوهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ
Terjemah:
Dari Ibnu ‘Umar r.a. beliau berkata: ‘Umar mendapatkan tanah di Khaibar, lalu beliau mendatangi Nabi saw untuk meminta fatwa tentang tanah tersebut, seraya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mendapat harta yang lebih berharga bagi diri saya dibanding sebidang tanah tersebut. Lalu Rasulullah saw bersabda: jika kamu mau, tahanlah pokoknya lalu sedekahkan hasilnya. Kata Ibnu ‘Umar: Lalu ‘Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanahnya tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Lalu beliau sedekahkan hasilnya kepada fakir-miskin, keluarga-keluarga terdekatnya, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibnus sabil dan tamu. Tidak ada halangan bagi pengelolanya untuk memanfaatkan sebagian hasilnya dengan cara yang baik, boleh dia berikan kepada temannya, dengan tidak mengambil harganya. (Muttafaq ‘Alaih).

Susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfaqkan hasilnya.






III. Pengertian Lafal

:           Umar ibn al-Khaththab mendapatkan bagian sebidang tanah, dari hasil rampasan perang Khaibar, di daerah Khaibar. Dinyatakan dengankata “ashâba”, bukan “wajada” atau “nâla”, karena beliau tidak berusaha untuk mendapatkannya, tetapi sekadar “diberi” bagian.

            Umar ibn al-Khaththab, kemudian mendatangi Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. untuk memohon fatwa (meminta pendapat) mengenai masalah tanah yang diperolehnya itu. Dalam hal ini Umar ibn al-Khaththab berkeinginan agar Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam. bersedia untuk memberikan pendapatnya mengenai pemanfataan tanah tersebut.

            Kata Umar ibn al-Khaththab kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Menurut pendapat saya, tanah ini merupakan harta yang paling berharga bagi diri saya. Yang oleh karenanya, saya merasa perlu untuk mempertanyakan pemanfaatannya kepadamu (ya Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam), agar tanah ini tidak menjadi sia-sia, dan bahkan saya harapkan bisa memberi manfaat lebih besar bagi siapa pun”.

            Rasulullah (Nabi) Muhammad Salla’alaihi wa sallam. pun menjawab: “Jika kamu (Umar ibn al-Khaththab) setuju, saya usulkan agar tanah ini diwakafkan saja, dengan cara “memberikan kesempatan kepada pihak tertentu untuk mengolahnya dan menikmati hasil penolahnnya, tanpa harus memindahkan kepemilikan tanah tersebut darimu kepada orang-orang yang mengolahnya”.

            Dalam hal ini, selaras dengan usulan dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam., Umar ibn al-Khatththab pun setuju. Dan beliau pun mewakafkan tanah tersebut kepada pihak tertentu untuk dikelola dan dinikmati hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...