Selasa, 29 Januari 2013

HAMKA dan Poligami


Umat Islam, lebih-lebih peminat kajian tafsir di Indonesia, tentu sangat mengenal dengan tokoh yang satu ini, Hamka. Nama Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat tahun 1908 dan wafat di Jakarta, 24 Juli 1981. Ulama Indonesia yang satu ini pemikirannya sangat dikenal dan memiliki tempat tersendiri dalam dunia Islam, dalam dan luar negeri. Di Universitas Al-Azhar Mesir, Hamka pernah memberi ceramah tentang Islam di Indonesia dengan menarik. Karenanya ia diberi gelar doktor kehormatan oleh Rektor Syaikh Mahmud Syaltut pada tahun 1959. Ia juga Ketua MUI periode pertama selama enam tahun sejak didirikan tahun 1975.
Di samping, penceramah ulung yang suaranya selalu disiarkan oleh RRI pusat tiap habis Subuh itu juga dikenal sebagai ahli tasawuf modern dan juga memiliki jiwa seni bernafas religi. Karya-karyanya banyak sekali. Tentu karya yang sangat monumental adalah Tafsir al-Azhar yang ditulis semasa beliau hidup dalam penjara di Masa Presiden Soekarno. Tafsir tersebut berulang kali mengalami cetak ulang, hingga dicetak di negeri tetangga, Singapura. Selain itu, Hamka juga pernah menulis buku tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta, 1996). Karya tulis lainnya dalam bidang seni, yaitu Tenggelamnya Kapal Van der Vick.
Tafsir Hamka memiliki corak tersendiri dibanding tafsir-tafsir karya ulama Indonesia lainnya. Salah satu coraknya yang menonjol adalah perlawanannya terhadap ketidakadilan. Mungkin faktor situasi menyebabkan karya Hamka banyak mengungkap fenomena sosial yang timpang. Al-Azhar yang kental dengan budaya nusantara itu sungguh merupakan karya unggul dan menjadi bacaan yang kritis terhadap situasi di zamannya. Tidak mudah mencari karya tafsir yang kaya dengan pemikiran keislaman alternatif dengan tidak melupakan setting socio-culture Indonesia. Walaupun, menjelang tahun 2000 an, telah bermunculan ahli tafsir ala Indonesia yang tak kalah hebatnya, salah satunya, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.
Terkait tema poligami, menarik sekali jika dibuka lembar demi lembar Tafsir al-Azhar juz IV dan V (Surat al-Nisa, ayat 3 dan 129). Dari tafsirnya di surat al-Nisa tersebut, dapat diikuti dinamika pemikiran beliau terkait dengan pandangannya terhadap perempuan dan poligami dalam Islam. Luar biasa, Hamka adalah orang yang sangat menghormati perempuan, dalam arti sebenarnya. Tulisan demi tulisannya menjadi bukti kuat atas pembelaan yang tinggi terhadap martabat perempuan. Hamka sangat memahami bahwa QS. 4: 3 ini konteksnya adalah pembelaan kelompok lemah (dilemahkan) dan mencegah terjadinya kedzaliman terhadap anak-anak perempuan yatim. Menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman adalah prinsip utama dalam Islam. Karenanya, memahami ayat ini pun, Hamka selalu mengedepankan prinsip adil. Diam-diam dan jarang diungkap, ternyata Hamka adalah penganjur monogami yang istiqamah. Hamka menulis, “…yang lebih aman dan terlepas dari ketakutan tidak akan adil hanyalah beristri satu. Kalau kita beristri satu saja, lebih mendekati (baca: mendekatkan) kita kepada ketenteraman.”
Dalam tafsirnya pula, Hamka tidak lupa mengutip nasehat seorang gurunya ketika masih muda, “Cukuplah istrimu satu saja, wahai Abdulmalik! Aku telah beristri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Anakku dengan mereka berdua banyak. Aku siang malam menderita bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati.” Hamka masih melanjutkan nasehat gurunya, “Janganlah beristri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia, jenis perempuan. Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdulmalik.” Selanjutnya, sang guru meminta Hamka untuk memegang ayat “zâlika adnâ allâ ta‘ûlû” (yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya). (al-Azhar, Juz IV, h. 294-295). Nasihat tersebut dipegang erat oleh Hamka hingga ajal menjemputnya. Dengan demikian, Hamka adalah penganut paham monogami.
Hamka juga menyatakan bahwa bila seseorang hendak beristri lebih dari satu, hendaklah berpikir lebih dahulu sebelum melangsungkannya. Mungkin saja, setelah berpikir, niat itu akan dibatalkan. Berpikir tentang keadilan terhadap istri dan anak-anaknya serta tanggung jawab terhadap anak istri. Memang, Hamka tidak menyangkal bahwa ayat tersebut dapat diartikan Tuhan membolehkan (tidak menganjurkan) pernikahan dengan lebih dari seorang istri, tetapi, lagi-lagi Hamka menekankan, pemenuhan beberapa syarat penting demi kepentingan semua pihak. Hamka menegaskan kembali, “kalau engkau merasa takut tidak akan adil, lebih baik satu saja, supaya aman, tidak banyak pusing”.
Hamka juga tidak lupa bahwa situasi masyarakat Arab ketika itu adalah masyarakat kabilah yang berdasarkan “perbapakan” (patriarchaat). Di mana kaum laki-laki sangat diunggulkan jauh melebihi perempuan. Karenanya, membaca ayat tentang poligami, akan lebih obyektif, jika melihat kondisi ketika ayat itu turun. Hamka mengisahkan proses masuk Islamnya Gailân ibn Salamah al-Œaqafî (dengan sepuluh istri), ‘Umair al-Asadî (dengan delapan istri), dan Naufal ibn Mu‘âwiyah al-Dîlî (dengan lima istri) yang kemudian Nabi meminta mereka bertahan dengan maksimal empat istri, selebihnya harus diceraikan baik-baik. (h. 295 dan 305).
Dengan mengutip riwayat-riwayat tentang hal ini, tafsir Hamka dinilai sangat memegang erat/memperhatikan konteks sosial suatu ayat. Secara tak langsung, Hamka menyatakan bahwa ketentuan Islam (pembatasan poligami) itu tidak datang tiba-tiba. Lagi pula, pembatasan itu melawan arus di tengah maraknya, bukan saja budaya poligami tetapi juga pergundikan di masa pra Islam. Sejumlah ketentuan Allah swt. berlaku secara gradual, berproses, dan tidak drastis. Begitu pula dengan ketentuan poligami, pembatasannya berlangsung secara perlahan dengan syarat yang berat.
Terakhir, Hamka menyimpulkan pandangannya, “Alhasil, pernikahan yang bahagia dan dicita-citakan (ideal) adalah beristri satu. Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Mendirikan rumah tangga bahagia, li taskunu ilaiha (agar kamu merasa tenteram dengan dia). Sakinah (ketenteraman) tidak akan dirasakan kalau hanya sibuk menyelesaikan urusan istri banyak.” (h. 306). Setelah itu, Hamka tidak lupa menjelaskan model pernikahan Rasulullah saw. dan latar belakang Rasulullah berpoligami pasca wafatnya Khadijah. Perlu dicatat, selama 25 tahun lebih Rasulullah hidup secara monogami dengan Khadijah ra. Ketika Khadijah meninggal dunia di usia 65 tahun, Nabi berusia sekitar 53 tahun. Kemudian Nabi menikah dengan Saudah janda berusia 63 tahun yang suaminya telah lama meninggal dunia dengan sejumlah anak yatim.
Dalam konteks masyarakat tahun 1960-an, pandangan Hamka tentang perempuan dan model pernikahan sangatlah maju. Rasanya, sulit mencari ulama yang tawadu’ dan memperhatikan martabat dan perasaan perempuan seperti Hamka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...