Selasa, 08 Januari 2013

Norma Ekonomi Islam

Oleh : Yunus Ghazali

Apabila pembicaraan tentang norma-norma ekonomi dan muamalat Islam, maka akan ditemukan empat sendi utama, yaitu ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan. Keempatnya merupakan ciri khas ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataan merupakan milik ummat Islam dan tampak dalam segala hal kegiatan yang berbentuk Islami. “Setiap norma ini mempunyai cabang-cabang, buah dan pengaruh bagi aspek ekonomi dan sistem keuangan Islam, baik dalam hal produksi, konsumsi, distribusi, masalah ekspor, maupun impor yang semuanya diwarnai dengan norma ini. Jika tidak demikian maka bisa dipastikan bahwa Islam hanya sekedar simbol atau slogan dan pengakuan belaka8 .
1.    Ekonomi Bercirikan Islam.
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bercirikan ketuhanan, bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan melaksanakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Islam. Kegiatan ekonomi produksi, distribusi, konsumsi maupun ekspor, kesemuanya bertitik tolak demi Allah dan bertujuan akhir untuk Allah. Jika seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka niatnya tidak lain kecuali hendak memenuhi perintah Allah SWT. Hal ini dijelaskan firman Allah dalam surat al Mulk, ayat 15 :
هُوَ الَّذِى جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ (الملك: 15).
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali) setelah dibangkitkan”
Seorang muslim, ketika sedang bercocok tanam, membajak, menganyam dan berdagang, ia merasa bahwa yang ia kerjakan itu adalah ibadah karena Allah. Makin tekun bekerja, makin taqwa kepada Allah. Demikian juga apabila ia menggunakan atau menikmati sesuatu yang ada di dunia ini, secara tidak langsung ia juga telah beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.
Seorang muslim ketika ia memanfaatkan kenikmatan dunia ini secukupnya, tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Sikap pertengahan, dan ia mensyukuri atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Hal ini dijelaskan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-A’raf, ayat 31 :
... وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوآ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ  (الاعرف: 31).
“... makan dan minumlah serta janganlah berlebihan, sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan”
Banyak ayat yang menunjukkan bahwa rizki yang diperoleh seorang muslim dari Allah bertujuan agar ia bersyukur. Diantaranya ayat yang menyatakan : “…Dan diberikan-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur”. 9
Seorang muslim seharusnya sangat memahami terhadap segala perintah dan larangan Allah. Seperti halnya jual beli dan haramnya riba10 , serta haramnya memakan harta manusia secara bathil11 .
Ketika seorang muslim hendak membeli dan menjual, menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu melaksanakan pada batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Ia tidak memakan uang haram, memonopoli milik rakyat, korupsi, mencuri, berjudi, ataupun melakukan suap-menyuap. Seorang muslim secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah, disamping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan daerah syubhat. Ketika seorang muslim memiliki harta, ia tidak memakannya sendiri, tidak pelit terhadap orang lain, dan tidak menggunakannya untuk kemaksiatan. Atau dengan kata lain, ia tidak kikir terhadap kebenaran dan tidak boros terhadap kebathilan. Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa: “Pemilikan harta kekayaan bagi seorang muslim, bukanlah secara mutlak, sehingga ia tidak berhak untuk membelanjakan harta itu sesuka hatinya 12 .
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa walaupun terkumpulnya, harta kekayaan itu secara lahiriyah dapat usaha manusia, tetapi manusia tidak dibenarkan mendistribusikan kekayaannya menurut kehendaknya. Pengeluarannya itu hendaknya harus dikondisikan sesuai dengan aturan agamanya. Manusia tidak dibahas mengembangkan diri, bahwa harta kekayaannya itu diperoleh dari hasil usahanya sendiri. Hendaknya ia ingat bahwa kekayaannya sebenarnya pemberian dari Allah SWT kepada melalui usahanya. Jelasnya bagi muslim, di samping usaha, maka ibadah kepada Allah jangan ditinggalkan.
2.    Ekonomi Penunjang Aqidah dan Aqidah Merupakan Asas
a.    Ekonomi Penunjang Aqidah
Menurut tinjauan Islam ekonomi bukanlah tujuan akhir dari kehidupan manusia, tetapi merupakan suatu kelengkapan dalam kehidupannya, sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi aqidah dan bagi misi yang diembannya.
Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek ratio, materi, maupun spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik13 .
b.    Aqidah Merupakan Asas
Percaya kepada Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan14 . Dialah yang memiliki penciptaan dan segala masalah kembali kepada-Nya. Kepada-Nya tempat memuji dan kepada-Nya diserahkan segala urusan. Tidak ada yang patut disembah kecuali Dia. Tidak ada tempat bergantung kecuali kepada-Nya. Dan tidak ada tempat minta hidayah selain dari pada-Nya.
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”15
Tidak boleh satu makhluk pun menjadikan selain Allah sebagai pelindung16 . Tak patut selain-Nya dijadikan tempat pengambilan hukum17 dan tidak memohon hidayah selain kepada Allah18
c.    Allah mengutus untuk manusia, Rasul-rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan penjelasan.
Hal itu dijelaskan Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa, ayat, 165.
رُسُلاً مُبَثِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلاَّيَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ.
“Mereka Kami utus selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira, pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu”.
Manusia dalam kehidupannya di dunia di samping untuk makan dan menikmati kehidupannya sebagaimana makhluk lainnya, juga ada tugas menyembah Allah yang satu, berbuat kebajikan untuk mendapatkan ridha-Nya, melarang kemunkaran dan berpegang teguh dengan tali yang kuat, yaitu Islam, serta sabar dalam menghadapi segala cobaan. Aqidah, merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk ekonomi. Tatanan dalam Islam merupakan gabian dari aqidah. Tugas tatanan adalah melindungi aqidah, memperdalam akar-akarnya, menyebar luaskan cahayanya, dan membentenginya dari segala rintangan, serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tatanan kehidupan dalam Islam bersifat sempurna dan spesifik, mencakup ibadah yang menjadikan manusia meningkat derajat rohaninya dan dapat menjalin hubungan dengan Tuhannya. Etika yang meletakkan insting pada tempatnya dan membersihkan jiwa, sopan santun yang meniggikan karakter dan menghiasi kehidupan; serta syari’at yang mengatur masalah-masalah halal dan haram dan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian manusia menjauhi maksiat atau kedzaliman, dan mengatur hubungan antar sesama, individu dengan keluarga dan masyarakat dengan masyarakat atas dasar persahabatan, persamaan dan keadilan. Syari’at juga menerangkan hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya sanksi-sanksi atas penyelewengan.
Ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia, walaupun demikian Islam tidak setuju kalau kehidupan ini dijadikan tujuan akhir. Islam hanya setuju apabila kehidupan ini merupakan tangga untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi dan lebih kekal.
Ekonomi Islam bertitik tolak dari Allah dan memiliki tujuan akhir kepada Allah. Tujuan ekonomi Islam membantu manusia untuk menyembah Allah yang “telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar serta mengamankan mereka dari ketakutan”19 .
Juga untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan akibat kelaparan yang bisa mendatangkan dosa, dan juga merendahkan suara orang-orang yang berbuat aniaya di atas suara orang-orang yang beriman. 20
d.    Beriman Sebelum Berkuasa
Dalam ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, penting adanya “perasaan selalu ada yang mengawasi”. Sikap itu timbul dari seorang muslim karena imannya kepada Allah. Dengan adanya perasaan demikian itu, seorang muslim tidak akan mengambil barang yang bukan miliknya. Karena imannya seorang muslim tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain, contoh-contohnya, dikala dunia sedang dilanda krisis sandang, pangan dan papan, seorang pengusaha muslim yang beriman tidak akan mencekik konsumen dengan mengambil laba sebanyak-banyaknya. Hadirnya Allah dalam imajinasinya sudah cukup baginya sebagai pengawas. Ia juga tidak akan suka, apabila di dalam hartanya terdapat sekalipun satu dirham yang didapat dengan jalan haram, walaupun pengadilan menyatakan ia berhak atas harta itu sebab, pengadilan biasanya hanya melihat yang tampak dalam kenyataan, sedangkan Allah Maha Tahu segala sesuatu yang tersembunyi. Di sinilah perasaan dan keimanan seorang muslim berperan sebagai jaksa dan hakim, walaupun manusia menuliskan lain.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 188 :
وَلاَ تَأْكُلُوْآ اَمْوَلِكُمْ بِالْبَطِلِ وَتُدْلَوْابِهَا اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَلِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 188).
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”.
Seorang muslim yang takut kepada Allah, ia akan meninggalkan segala perbuatan yang hukumnya masih diragukan, menjauhi segala yang syubhat, dan ia takut terjerumus pada perbuatan haram. Sabda Rasulullah SAW riwayat dari an-Nu’man ibnu Basyir R.A. :
فمن اتقى الشبهات استبرألدينه وعرضه، ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه ... (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
“…Barangsiapa yang takut dari syubhat, maka ia telah menyelamatkan diri dan agamanya; dan barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia telah terjerumus dalam haram, sebagaimana penggembala kambing yang menggembala kambing-kambingnya di sekitar serigala” (Hadits telah diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi). 21
Pemikiran halal dan haram adalah pemikiran yang selalu menyertai akal dan hati kecil setiap muslim. Ia yakin bahwa pada hari kemudian (kiamat) kelak ia akan ditanya oleh Allah tentang hartanya. Dari mana ia memperolehnya dan kemana ia belanjakan. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa: “Islam tidak mengizinkan seseorang bekerja dengan cara haram, walaupun tujuan akhirnya baik dan terpuji, seperti mengadakan pertunjukan tari perut atau malam hura-hura untuk mengeruk dana yang akan disumbangkan kepada panti asuhan. Atau mengambil riba untuk mendirikan masjid, sekolah yatim piatu, madrasah tahfidz Qur’an, atau mendirikan rumah sakit bagi orang-orang tak mampu”. 22
e.    Pemikiran Istikhlaf dalam Kehidupan Ekonomi
Pemikiran istikhlaf, baik langsung maupun tidak telah membawa dampak positif terhadap kehidupan perekonomian dan sosial ummat Islam. Diantaranya, pertama mengurangi sikap sombong dan membanggakan diri. Harta itu tidak membuat pemiliknya lupa daratan dan tidak bertindak semena-mena, karena mereka yakin bahwa harta itu adalah milik Allah, sedangkan kepemilikan oleh manusia hanya bersifat sementara.
Sebagai muslim tidak akan mengatakan dengan sombong bahwa “ini hartaku”. Ia tidak akan berkata dengan congkak bahwa harta kekayaan yang banyak itu adalah hasil usahanya sendiri.
Kedua, seorang muslim tidak pernah menahan hartanya untuk dikeluarkan demi menegakkan agama Allah. Harta dianggap masalah yang ringan baginya, apabila diminta ia dengan mudah mengeluarkan harta itu sebagai infaq. Ia segera mengeluarkan hartanya untuk membantu fakir miskin, karena yang ia nafkahkan itu adalah harta Allah, dikeluarkan untuk kepentingan keluarga Allah dan di jalan Allah.
Yusuf Qardhawi mengutip dari Al-Khatib, dalam kitab sejarahnya menceritakan bahwa setiap tahun Abu Hanifah pergi ke Baghdad. Di kota itu ia membeli barang dan membawanya ke Kufah. Maka terkumpullah laba tahun demi tahun. Dari laba itu ia membeli berbagai kebutuhan, baik sandang maupun pangan, untuk para syekh muhadditsin. Ketika memberikan barang itu kepada syekh, Abu Hanifah berkata: “Jangan memuji kecuali kepada Allah, sebab aku tak memberikan sedikitpun hartaku kepada kalian. Tapi yang aku berikan adalah apa yang dilebihkan Allah kepadaku atas kalian”.23
Ketiga, muslim kaya mudah untuk menerima perintah dan patuh terhadap undang-undang, karena perintah itu datangnya (turun) dari pemilik harta yang sebenarnya. Contoh pada zaman Rasulullah SAW, bukan sesuatu yang aneh, apabila kaum mu’min (saudagar mu’min) yang kaya datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya “Apa yang dapat kami perbuat dengan harta kami?” Berapa yang kami nafkahkan? Dan kepada siapa saja harta ini kami bagikan?”.
Dalam sebuah hadits dari Anas Ibn Malik r.a diceritakan bahwa seorang dari Bani Tamim datang kepada Rasulullah SAW dan berkata :”Ya Rasulullah, saya seorang kaya raya, juga memiliki keluarga besar. Beritahu saya apa yang harus saya perbuat dan bagaimana cara menafkahkannya?”, Rasulullah bersabda :
تخرج الزكاة من مالك فإنها طهرة تطهرك، وتصل أقرباءك، وتعرف حق المسكين والجار والسائل. (رواه احمد).
“Keluarkan zakat dari hartamu, karena ia membersihkan hartamu, santunilah kerabatmu dan berikan hak orang miskin, tetangga, dan peminta-minta" (Hadits telah diriwayatkan oleh Ahmad).24
Keempat, pemikiran teori ekonomi yang demikian ini (istikhlaf), dapat dijadikan dasar bagi negara Islam untuk penetapan undang-undang cukai serta pajak terhadap orang yang mampu, untuk disalurkan kepada golongan yang tidak mampu, atau untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Kelima, memberikan penjelasan kepada masyarakat muslim untuk mengawasi hartawan yang melampaui batas dalam melakukan harta yang dimilikinya.
Masyarakat mempunyai wewenang untuk memberi peringatan, apabila orang kaya itu tidak melaksanakan batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemilik harta yang sebenarnya, yakni Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat An Nisaa, ayat 5 sebagai berikut :
وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَلَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَمًا وَارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ فِيْهَا وَقُوْلُوْالَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوْفًا (النساء: 5).
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
Keenam, supaya hati fakir miskin menjadi kuat dan membenarkan tindakan mereka dalam meminta hak dari orang kaya atau dari negara. Jika golongan ini tidak memberikan bagian mereka, orang-orang miskin dapat berjalan dengan tegak dan penuh percaya diri dalam meminta bagiannya dari harta Allah, karena mereka bukan pengemis, tetapi meminta hak yang secara nyata ditulis Allah dalam harta orang kaya. Firman Allah dalam surat al-Ma’arij, ayat 24-25, sebagai berikut :
وَالَّذِيْنَ فِى أَمْوَلِهِمْ حَقٌّ مَعْلُوْمٌ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ (المعارج: 35-34).
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.
“Sesungguhnya orang kaya pada pandangan si miskin tidak jauh berbeda dengan bendahara ummat. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan orang kaya, si miskin tidak harus merasa rendah diri ataupun kecil hati”. 25
f.     Sanksi Hartawan yang Tidak Mengindahkan Istikhlaf
Hartawan yang tidak mengindahkan istikhlaf akan mendapat hukuman (sanksi) dari pemilik harta yang sebenarnya, yakni Allah SWT. Pertama hukuman itu dapat berbentuk musibah alam, seperti ditariknya kekayaan itu, Allah memusnahkan hartanya atau memindahkannya kepada orang lain yang lebih berhak. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullan SAW bersabda :
إن لله تعالى أقواما اختصهم بالنعم لمنافع العباد، يقرهم فيها مابذلوها، فإذا منعوها نزع منهم فحولها إلى غيرهم (رواه الطبرانى).
“Allah memiliki kaum yang dikhususkan dengan nikmat agar bermanfaat bagi seluruh ummat manusia. Lalu ditetapkan bagi mereka apa yang diwajibkan untuk dikeluarkan. Jika mereka menahan harta tersebut dengan jalan tidak mengeluarkannya, Allah menarik harta itu dari mereka dan digantikannya kepada orang lain”. (Hadits telah diriwayatkan oleh Thabrani).26
Al-Qur’an juga menceritakan contoh-contoh hartawan yang tidak mengindahkan prinsip istikhlaf dalam harta Allah, karena itu Allah memutuskan nikmat-Nya, yang selama ini diberikan kepada mereka. Contoh pertama adalah kisah hidup Qarun, dan kemudian dibinasakannya. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qashash, ayat 76-81, yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Qarun berkata, ’Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmunya yang ada padaku. ‘Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat daroipadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta ? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka.
Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dala kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia. ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bgi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang shabar’.
“Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang dapat membela (dirinya)”.
Contoh kedua adalah kisah pemilik dua kebun buah, sebagaimana digambarkan Al-Qur’an dalam surat Al Kahfi, ayat 32-43, yang artinya sebagai berikut :
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buanya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai dicelah-celah kedua kebun itu, dan ia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia, ‘Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat’. Dan dia memasuki kebunnya sedangkan ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata, ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu’.
Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya, sedang dia bercakap-cakap dengannya, ‘Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna ? tetapi aku (percaya bahwa) Dia lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mangatakan waktu kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah ? Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini), dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin, atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi’.
Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan ia berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku’. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya”.
Kedua, hukuman bagi orang kaya yang tidak menegakka istikhlaf yang dijatuhkan oleh penguasa Islam sedangkan jama’ah Muslim sebagai pengawas untuk menegakkan hukum Allah. Hukuman itu bisa berupa sanksi yuridis yang ditetapkan lembaga pemerintah seperti hukuman cambuk bagi orang yang mengeluarkan harta untuk membeli dan meminum khamer atau menghisap narkotik. Atau tindakan tegas bagi lelaki yang meggunakan emas dan sutra, alat-alat dapur dari emas dan perak dan membeli patung-patung yang diharamkan, setidaknya ada undang-undang sebagai landasan sanksi untuk pelanggaran tersebut.27
Ketiga, yang lebih parah dan berat dari pada hukuman itu adalah hukuman akhirat. Pada hari itu Allah akan menanyakan setiap orang yang memiliki harta tentang hartanya : dari mana ia peroleh dan kemana ia salurkan? Hal ini dijelaskan oleh firman Allah dalam Al-Qur’an surat at Takatsur, ayat 8 :
ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ (التكاثر: 8).
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia ini”.
Bagi yang menyeleweng, Allah akan memberi balasan yang sangat berat. Hal ini dijelaskan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At Taubah, ayat 34-35, sebagai berikut :
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنْفِقُوْنَهَا فِى سَبِيْلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىبِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ (التوبة: 35-34).
…”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka) akan mendapat siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
3.    Ekonomi Berlandaskan Etika
Yang membedakan Islam dan materialisme adalah bahwa Islam tidak pernah memisahkan antara ekonomi dengan etika, seperti halnya Islam tidak pernah memisahkan antara ilmu dan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan Islam. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah melalui Rasulnya untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi SAW bersabda dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA., sebagai berikut:
إنّما بعثت لأتـمّم مكارم الأخلاق  (رواه البخارى).
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (Hadits telah diriwayatkan oleh Bukhari).28
Islam juga tidak memisahkan agama dengan negara dan materi dengan spiritual, seperti halnya yang dilakukan Eropa dengan konsep sekulerismenya. Islam juga berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi.29
Kegiatan ekonomi sebenarnya adalah kegiatan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka melaksanakan kegiatan inilah diperlukan aturan-aturan main yang mestinya sarat dengan muatan moral agar tidak timbul kekacauan dan kesulitan. Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai dengan Thomas Aquinos, kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral.30
Islam menempuh cara praktis dalam mendidik dan melatih ummatnya agar memelihara keseimbangan dalam sistemnya itu, dan berusaha mengendalikan naluri mementingkan diri sendiri serta menyelaraskan kebutuhan spiritual dan ekonomi melalui pendidikan moral. Penekanan tersebut dititik beratkan pada perbaikan moral dan pembinaan sikap moral yang benar dalam kehidupan bersama antar sesama ummat, sehingga kejahatan dan keserakahan dalam pikiran mereka bukan hanya dapat ditekan melainkan dapat disalurkan untuk mencapai tingkat keluhuran ruhani serta sukses dibidang materi. Disamping itu Islam juga mengendalikan hawa nafsu yang berlebihan dan ambisi-ambisi syaithoni yang terdapat dalam masyarakat. Dari kesemuanya itu Islam mengandalkan kepada pendidikan (Allah bagi) ummat-Nya dan pengendalian (sistem) eksternal yang dilakukan secara hati-hati  sepanjang benar-benar diperlukan untuk memelihara sistem sosial Islam.31
Dalam ekonomi Islam, kegiatan ekonomi itu, meskipun sifatnya material, akan tetapi juga ia bercorak spiritual. Asasnya dari corak ini ialah kesadaran dan taqwa kepada Allah SWT dan mengharapkan akan ridho-Nya. Sendinya, menurut Islam bahwa manusia itu tidak hanya sekedar berhubungan antara satu sama lainnya, tetapi juga ia berhubungan dengan Allah SWT. Apabila dalam sistem ekonomi yang positif hanya terfokus pada asas material, dan asas itu yang membentuk hubungan antara individu-individu, maka dalam ekonomi Islam tidak demikian, asasnya adalah ketaqwaan kepada Allah SWT, harapan akan mendapat ridho-Nya, dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Hal yang demikian itulah yang membentuk hubungan diantara individu-individu.
Sebagai akibat dari keistimewaan sistem ekonomi Islam, yang bertumpu pada asas kesadaran akan Allah SWT dan pengawasan-Nya dalam kegiatan ekonomi, maka terdapat tiga hal utama yang hanya dimiliki oleh Islam.
Kesalahan dari sistem ekonomi, baik yang kapitalis maupun yang sosialis adalah karena memandang manusia hanya sebagai materi semata, hakekat alam terbatas karena materi, dan penghasilan material atau kecukupan materi itu merupakan seluruh kehidupan manusia. Karena itu, maka kekosongan jiwa dan keambrukanlah yang dialami oleh masyarakat-masyarakat yang menganut sistem-sistem ini.
Adapun ekonomi Islam, disamping adanya kecenderungan kepada materi, karena aktivitas ekonomi itu harus tertuju kepada materi, tetapi tidak terlepas kaitannya dengan spiritual dalam eksistensi manusia. Yang dilakukan Islam dalam hal ini ialah mengarahkan manusia dengan kegiatan ekonominya kepada Allah SWT untuk memperoleh ridho-Nya. Yang demikian itu menambah corak imani dan rohani, perasaan ridho dan bahagia kepada kegiatan tersebut.
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa ekonomi Islam adalah tidak mengenal pemisahan antara yang material dan spiritual, juga tidak memisahkan antara yang duniawi dan ukhrawi. Segala aktivitas material (duniawi) yang dilakukan manusia itu dalam pandangan Islam adalah ibadah, selama aktivitas itu syah (diasyari’atkan) dan ditujukan kepada Allah SWT. Islam tidak membenarkan adanya pemisahan antara kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik yang material maupun spiritual.
Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa para pakar ekonomi non muslim mengakui keunggulan sistem ekonomi Islam. Menurut mereka, Islam telah sukses menggabungkan etika dan ekonomi, sedangkan sistem kapitalis dan sosialis memisahkan keduanya. Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya Islam dan Pengembangan Ekonomi, mengatakan: “Islam adalah pertalian antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya terdapat ikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang-orang muslim tidak akan menerima ekonomi kapitalis dan sosialis. Karena ekonomi yang kekuatannya berdasarkan wahyu itu tidak dapat diragukan lagi, adalah ekonomi yang berdasarkan etika.
Seperti dikutip Yusuf Qardhawi, Brooks juga mengkritik kebudayaan barat, karena memberikan hasil yang menyengsarakan masyarakat. Ia juga merasa cemas terhadap ekonomi dewasa ini yang dikuasai oleh kapitalisme di atas norma-norma yang hakiki. Islam tidak mengabaikan kenyataan ini dan siap mengantisipasi kebudayaan barat, khususnya di bidang ekonominya. Caranya yaitu dengan memasukkan nilai etika ke dalam ekonomi. 32 Selanjutnya Qardhawi juga mengutip pendapat J. Perth, gabungan antara ekonomi dan etika itu bukanlah masalah di dalam Islam. Sejak permulaan Islam tidak mengenal antara keduanya. Prinsip sekularisme di Eropa tidak dikenal dalam sejarah Islam. Karena, keuniversalan syari’at Islam melarang berkembangnya ekonomi tanpa etika. Di dalam sejarah Islam, ditemukan perilaku bisnis yang bergandengan antara etika dan ekonomi, terutama sekali dikala Islam betul-betul dijadikan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari. 33
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa sistem ekonomi Islam adalah menggabungkan antara etika dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan dampak yang baik dalam kehidupan masyarakat dan mensejahterakannya. Sedangkan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak demikian. Keduanya memisahkan antara etika dan ekonomi sehingga menghasilkan dampak yang negatif dan menjadikan kehidupan masyarakat menjadi fakir dan miskin, serba kekurangan. Itulah di antara sistem ekonomi Islam dan sistem kapitalis dan sosialis, di mana di antara orang-orang barat pun mengakui akan keunggulan sistem ekonomi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...