Jumat, 18 Januari 2013

Shalat Tahiyatul Masjid Ketika Khutbah

      
Faedah yang bisa diambil dari dalil-dalil bahwasanya berbicara adalah perkara yang dilarang ketika ada khutbah dengan larangan yang bersifat umum. Hal ini dikhususkan oleh pembicaraan yang terjadi ketika shalat tahiyyatul masjid yang berupa bacaan Al Qur’an, tasbih, tasyahud dan do’a. Hadits-hadits yang mengkhususkan hal itu adalah hadits-hadits yang shahih. Sehingga tidak ada jalan untuk menghindar dari shalat tahiyyatul masjid dua raka’at bagi orang yang masuk masjid ketika khutbah bila ia hendak mengerjakan sunnah yang muakkadah ini dan menunaikan yang ditunjukkan dalil-dalil. (Hal ini) dikarenakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan Salik Al Ghathafani ketika telah sampai di masjid ketika beliau sedang berkhutbah, lalu Salik duduk dan belum shalat tahiyyatul masjid. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk berdiri dan melakukan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa hal itu perkara yang disyariatkan dan ditekankan, bahkan diwajibkan.
Termasuk dalil yang mengkhususkan shalat tahiyyatul masjid adalah hadits,
“Bila salah seorang dari kalian datang (pada hari jum’at) sedangkan imam sedang berkhutbah maka hendaklah shalat dua raka’at.” [1]

Hadits ini adalah hadits shahih, ia mengandung nash (dalil) tentang permasalahan yang diperselisihkan. Adapun selain shalat tahiyyatul masjid baik yang berupa dzikir, doa, dan mengikuti shalawat untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diucapkan khatib meskipun telah ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya maka dalil-dalil itu bersifat lebih umum daripada hadits-hadits yang melarang berbicara ketika khutbah dari satu sisi, dan lebih khusus dari hadits-hadits yang melarang berbicara dari sisi yang lain. Sehingga terjadi pertentangan dua dalil yang umum. Maka perlu dilihat mana yang lebih kuat di antara keduanya. Hal ini bila merupakan kesia-siaan (laghwun) yang disebutkan dalam hadits,
“Barangsiapa yang berbuat laghwun (kesia-siaan) maka tidak ada jum’at baginya.” [2]

Hadits ini mencakup seluruh jenis pembicaraan. Adapun bila dikhususkan darinya salah satu bentuk pembicaraan yaitu yang tidak ada faedahnya, maka tidak menunjukkan larangan berdzikir, berdoa, dan mengikuti shalawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Berkata penulis ringkasan ini (Asy Syaikh Al Albani):
Dan yang lebih kuat dari dua kemungkinan di atas adalah yang pertama. Yaitu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Bila engkau mengatakan kepada temanmu dalam keadaan imam sedang berkhutbah ‘Diamlah’, maka engkau telah berbuat laghwun.” (HR. Asy Syaikhan [Al Bukhari dan Muslim] dan selain keduanya)

Hal ini dikarenakan perkataan seseorang, “Diamlah!” secara bahasa tidak dimasukkan dalam laghwun, karena ia termasuk dalam rangka memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar. Meskipun demikian maka ia telah dinamakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan laghwun yang dilarang.

Hal ini termasuk dalam rangka mendahulukan yang paling penting, yaitu diam untuk mendengar mau’izhah khatib, di atas perkara yang penting yaitu memerintahkan perkara yang baik ketika sedang disampaikan khutbah. Bila demikian halnya maka setiap perkara yang dalam tingkatan memerintahkan yang baik maka hukumnya adalah hukum memerintahkan yang baik (ketika sedang disampaikan khutbah-pen). Lantas bagaimana bila tingkatannya dibawahnya, tidak diragukan lagi ketika itu larangan adalah lebih utama dan lebih layak, dan termasuk dari laghwun secara syar’i.

Adapun perkataan penulis (Shidiq Hasan Khan) pada halaman 27 dan Raudhatun Nadiyyah (140),
“Dan mungkin bisa dikatakan bahwasanya orang yang mengatakan, ‘diamlah’, ia tidaklah diperintah untuk mengatakannya pada saat itu. Sehingga ucapannya itu menjadi sebuah laghwun (kesia-siaan) dari sudut pandang ini.”

Aku (Al Albani) katakan, “Begitu pula halnya dengan dzikir-dzikir yang penulis (Shiddiq Hasan Khan) masih bimbang dalam hukumnya. Dzikir-dzikir itu termasuk sejumlah perkara yang tidak diperintahkan untuk mengucapkannya ketika itu sehingga menjadi laghwun juga.” Wallahu a’lam.

Dengan demikian selesailah ringkasan dari masalah-masalah yang disarikan dari Al Mau’izhah Al Hasanah disertai dengan catatan-catatan kaki yang dimudahkan untuk ringkasan tersebut. Pekerjaan ini selesai pada sore hari Sabtu, tanggal 12 Shafar 1382 H.

Walhamdu lillah Rabbil ‘alamin. Washallallah ‘ala Muhammad wa aalihi wa shahbihi ajma’in.

Muhammad Nashiruddin Al Albani

__________

[1] Muttafaq ‘alaih, dari hadits Jabir Radhiallahu'anhu dengan lafal “hendaklah ia ruku”, dan Muslim menambahkan dalam sebuah riwayat “hendaklah ia mempercepat kedua raka’at itu.”

[2] HR. Ahmad, Abu Dawud dan hadits ini memiliki banyak penguat yang membuatnya kuat. Tafsiran laghwun telah ada dalam hadits yang lain dengan lafal, “Barangsiapa yang berbuat laghwun dan melangkahi pundak orang-orang maka hal itu akan menjadi keterbalikan baginya.” Hadits hasan.



--------------------------------------------------------------------------------

kapuKOrner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...